Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

CONGESTIVE HEART FAILURE

Pembimbing:
dr. Mario Steffanus, Sp. PD

Disususn oleh :
Latisha Lubianca
2016-061-160

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 10 JULI – 12 AGUSTUS 2017

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA


FAKULTAS KEDOKTERAN
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ i

BAB I....................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 1

1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 1

1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................................... 1

BAB II ..................................................................................................................................... 2

TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................................... 2

2.1. Definisi Gagal Jantung Kongestif ........................... Error! Bookmark not defined.

2.2. Epidemiologi ............................................................................................................. 2

2.3. Etiologi dan Faktor Risiko ........................................................................................ 3

2.4. Patogenesis Gagal Jantung........................................................................................ 4

2.5. Manifestasi Klinis ..................................................................................................... 7

2.6. Klasifikasi ................................................................................................................. 8

2.7. Diagnosis CHF .......................................................................................................... 8

2.8. Tatalaksana Farmakologis CHF.............................................................................. 10

2.8.1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI) ...................................................... 10


2.8.2. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)........................................................................... 10
2.8.3. Angiotensin Receptor – Neprilysin Inhibitor (ARNI).................................................... 11
2.8.4. Ivabradine................................................................................................................... 11
2.8.5. Penyekat β .................................................................................................................. 11
2.8.6. Antagonis Aldosteron ................................................................................................. 12
2.8.7. Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate ......................................................................... 12
2.8.8. Digoxin ........................................................................................................................ 13

i
2.8.9. Diuretik ....................................................................................................................... 13
BAB III .................................................................................................................................. 15

KESIMPULAN ..................................................................................................................... 15

Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif merupakan
sindrom klinis yang kompleks akibat kelainan struktural maupun fungsional jantung
yang menyebabkan gangguan salah satu atau kedua ventrikel dalam memompa
maupun menerima darah. Gagal jantung kongestif merupakan penyakit kronis dengan
gejala yang semakin memberat, dan lebih sering terjadi pada perempuan, orang
dengan usia tua, dan orang dengan tekanan darah yang tinggi.1
Gagal jantung menjadi masalah kesehatan dengan angka mortalitas dan
morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang termasuk
Indonesia. Prevalensi gagal jantung di Negara Barat yaitu 1 – 2 % dan insidensinya
adalah 5 – 10 / 1000 orang setiap tahunnya. Rata-rata usia orang yang menderita gagal
jantung yaitu 75 tahun. Walaupun terdapat banyak kemajuan dalam evaluasi dan
manajemen penyakit gagal jantung, namun penyakit ini masih memiliki prognosis
yang buruk. Untuk itu diperlukan kemampuan yang baik untuk mendiagnosis penyakit
gagal jantung sehingga dapat memberikan tatalaksana yang tepat. 2

1.2. Rumusan Masalah


- Bagaimana patofisiologi dari gagal jantung kongestif ?
- Bagaimana cara untuk menegakkan diagnosis penyakit gagal jantung kongestif ?
- Bagaimana cara penatalaksanaan gagal jantung kongestif ?

1.3. Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui patofisiologi gagal jantung, bagaimana cara menegakkan
diagnosis gagal jantung, serta cara penatalaksanaan gagal jantung kongestif.

1.4. Manfaat Penelitian


Agar dapat menegakkan diagnosis dengan tepat dan pasien yang menderita
penyakit gagal jantung kongestif dapat diberikan pengobatan yang efektif dan efisien.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gagal Jantung Kongestif


Menurut guideline dari American college of cardiology foundation (ACCF) /
American heart association (AHA), gagal jantung adalah sindrom klinis yang
kompleks karena gangguan struktural atau fungsional dari pengisian ventrikel dan
juga ejeksi darah yang menimbulkan manifestasi klinis dari gagal jantung yaitu sesak
nafas, fatigue, edema, dan ronki. Karena banyak pasien mengalami gagal jantung
namun tidak memiliki gejala kelebihan cairan, maka istilah congestive heart failure
mulai ditinggalkan dan sekarang lebih sering disebut sebagai heart failure. 3
Gagal jantung dikategorikan menjadi dua bagian yaitu gagal jantung dengan
fraksi ejeksi yang menurun (gagal jantung sistolik) dan gagal jantung dengan fraksi
ejeksi yang tetap (gagal jantung diastolik. Gagal jantung sistolik ditandai dengan
fraksi ejeksi yang menurun yaitu < 50 %, dan dapat disebabkan oleh beberapa
penyakit seperti penyakit jantung iskemik, hipertensi, penyakit katup jantung, maupun
kardiomiopati. Gagal jantung diastolik terjadi pada 40-50% kasus, lebih sering terjadi
pada perempuan, dan insidensinya meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Segala penyakit yang menyebabkan gagal jantung sistolik juga dapat menyebabkan
gagal jantung diastolik. 4

2.2. Epidemiologi
Di seluruh dunia lebih dari 20 juta orang terkena gagal jantung. Prevalensi gagal
jantung pada orang dewasa di Negara berkembang sebesar 2%. Prevalensi gagal
jantung ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan memengaruhi 6-10%
usia diatas 65 tahun. Insidensi gagal jantung ini lebih banyak terjadi pada pria
dibandingkan wanita karena ekspektansi hidup wanita yang lebih panjang. Di United
States, sebanyak 5 juta penduduk terkena penyakit gagal jantung, dan sebagian besar
mengenai orang tua dengan presentase 80% mengenai usia di atas 65 tahun.4
Dulunya gagal jantung lebih sering terjadi pada orang dengan left ventricural
ejection faction (LVEF) yang menurun. Namun studi epidemiologi, menunjukan
bahwa hampir setengah pasien yang menderita gagal jantung memiliki LVEF yang
normal (LVEF ≥ 50%). 2

2
2.3. Etiologi dan Faktor Risiko
Di Negara-negara industri, Coronary Artery Disease (CAD) merupakan penyebab
utama pada 60-75% kasus gagal jantung. Hipertensi merupakan penyebab timbulnya
gagal jantung pada 75% pasien. CAD, hipertensi, dan juga diabetes mellitus
merupakan faktor resiko tersering yang menyebabkan gagal jantung.2 Faktor
predisposisi terjadinya gagal jantung yaitu hipertensi, penyakit jantung iskemik, usia
tua, obesitas, diabetes, gagal ginjal, penyakit katub jantung.9
Penyakit jantung koroner meengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung yang menyebabkan terjadinya hipoksia dan
asidosis karena penumpukan asam laktat . Infark miokardium (kematian sel jantung)
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan pada miokardium dan
infark miokardium akan menyebabkan kontraktilitas menurun sehingga menyebabkan
terjadinya gagal jantung. Hipertensi baik sistemik maupun pulmonal dapat
meningkatkan beban kerja jantung (afterload) dan pada akhirnya dapat menyebabkan
hipertrofi otot jantung. 5

Ejeksi fraksi menurun Ejeksi fraksi tetap High- output stages


(<40%) (>40-50%)
Penyakit jantung koroner Hipertrofi patologis Kelainan metabolik
(CAD): - Primer - Tirotoksikosis
(kardiomiopati Kelainan nutrisi (beriberi)
-Infark miokard
hipertrofi) Peningkatan kebutuhan aliran
-Iskemia miokard
- Sekunder (hipertensi)
darah
Peningkatan tekanan kronis - Anemia kronis
Kardiomiopati restriktif
-Hipertensi
- Kelainan infiltratif
-Penyakit katup
(amiloidosis)
obstruktif
- Storage disease
(hemochromatosis)
Kelebihan cairan kronis
-Regurgitant valvular Fibrosis
disease
-Intracardiac (left-to-
right) shunting
-Extracardiac shunting

Penyakit paru kronik


-Cor pulmonale

3
-Kelainan pembuluh
darah paru

Gangguan irama jantung


-Bradiaritmia kronis
-Takiaritmia kronis
Tabel 1. Etiologi Gagal Jantung 2

2.4. Patogenesis Gagal Jantung


Gagal jantung dimulai ketika terjadi penurunan kapasitas jantung dalam
memompa darah sehingga tidak dapat melakukan fungsinya untuk menghantarkan
oksigen yang adekuat. Miokard infark merupakan penyebab tersering gagal jantung
sistolik, sedangkan hipertensi akan menyebabkan gagal jantung diastolik dan sistolik.4
Ketika memompa darah dari ventrikel, jumlah darah yang dipompa keluar disebut
dengan stroke volume (SV). Volume darah yang dipompa dari jantung selama 1 menit
disebut dengan cardiac output (CO). CO ditentukan oleh SV dan frekuensi selama 1
menit. SV dipengaruhi oleh 3 komponen yaitu preload, kontraktilitas, dan afterload.9
Preload merupakan volume darah yang masuk ke dalam ventrikel kiri yang harus
dipompa oleh ventrikel. Apabila terjadi peningkatan preload, maka terjadi peregangan
pada miokardium. Selain itu lumen dari arteri koronaria akan tertutup, sehingga aliran
darah ke miokardium akan berkurang dan terjadi iskemia miokard. Kedua hal tersebut
akan menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung. Beberapa hal yang dapat
meningkatkan preload yaitu pemberian cairan intravena yang berlebihan, gagal ginjal,
dan kelainan katup mitral.9
Komponen kedua adalah kontraktilitas jantung, merupakan kekuatan kontraksi
jantung untuk memompa darah keluar. Penyakit miokard infark dan kardiomiopati
dapat menurunkan kontraktilitas jantung. 9
Afterload merupakan resistensi yang harus dilawan oleh jantung untuk memompa
darah keluar. Salah satu hal yang dapat meningkatkan afterload yaitu hipertensi.
Dalam keadaan hipertensi, resistensi pembuluh darah perifer akan meningkat,
sehingga resistensi ejeksi ventrikel juga akan meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah keluar. Pada
akhirnya kontraktilitas jantung akan menurun. 9
Gagal jantung merupakan penyakit progresif dimana terjadi kerusakan pada otot
jantung yang menyebabkan jantung tidak dapat berkontraksi secara normal. Setelah

4
terjadi penurunan dalam kemampuan jantung memompa darah, banyak pasien yang
belum menunjukan gejala (asimptomatik). Seiring dengan berjalannya waktu, gejala
akan mulai terlihat.2
Apabila terjadi penurunan kontraktilitas jantung dimana terjadi penurunan CO
dan tekanan sistolik, serta perfusi ke ginjal yang menurun, tubuh akan mengaktivasi
mekanisme kompensasi untuk mengatasi hal tersebut. Sistem saraf simpatis, sistem
renin angiotensin aldosteron (RAAS), dan sitokin akan teraktivasi untuk
mempertahankan fungsi jantung dalam keadaan homeostasis yang seimbang, sehingga
gejala masih asimptomatik.2
Ketika terjadi penurunan CO, terjadi peningkatan sinyal ke saraf simpatik dan
pelepasan arginine vasopressin (AVP/ADH) dari pituitari. Hormon ADH merupakan
vasokonstriktor yang meningkatkan permeabilitas dari tubulus kolektivus ginjal. Hal
tersebut menyebabkan peningkatan reabsorbsi air. 2,9
RAAS yang teraktivasi akan menyebabkan retensi air dan garam yang
menyebabkan vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, hipertrofi miosit, kematian
sel miosit, dan fibrosis miokardium. Sistem saraf simpatis yang teraktivasi akan
menstimulasi ginjal untuk melepaskan renin. Renin akan meningkatkan pengeluaran
angiotensis II dan aldosteron yang menyebabkan retensi Na dan air yang pada
akhirnya akan menyebabka peningkatan tekanan darah. Mekanisme tersebut bertujuan
untuk mempertahankan tekanan darah dan berusaha memperbaiki perfusi ke organ-
organ vital. 2,9
RAAS dan aktivasi saraf simpatis akan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi.
Akibatnya terjadi peningkatan afterload, tekanan darah, dan peningkatan nadi. Seiring
dengan berjalannya waktu, tubuh tidak dapat lagi melakukan kompensasi, sehingga
terjadi perubahan struktur ventrikel (ventricle remodeling) yaitu hipertrofi dan dilatasi
ventrikel, kontraktilitas jantung yang terganggu. Pada fase ini gejala simptomatik
mulai terlihat 9
Pada fase asimptomatik, mekanisme kompensasi yang aktif akan
mempertahankan fungsi ventrikel kiri sehingga masih dapat berfungsi normal selama
beberapa bulan hingga tahun. Mekanisme kompensasi yang pertama adalah aktivasi
dari sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan sistem saraf adrenergik yang
akan mempertahankan CO dengan meningkatkan retensi garam dan air. Mekanisme
yang kedua adalah peningkatan kontraktilitas miokardium dengan mengaktifkan
molekul vasodilator yaitu atrial natriuretic peptides (ANP) dan brain natriuretic

5
peptides (BNP), prostaglandin (PGE2 dan PGI2), dan nitric oxide (NO). Vasodilator
ini akan memperlebar pembuluh darah sehingga mengurangi beban jantung dalam
memompa darah.2
Perubahan dalam gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun yaitu hipertofi
miosit, perubahan kontraktilitas dari miosit, berkurangnya miosit secara progresif
karena nekrosis, apoktosis, dan kematian sel, desensitisasi β-adrenergik, metabolisme
miokardium yang abnormal dan reorganisasi matriks ekstraseluler di sekitar miosit
sehingga menyebabkan gangguan miosit dalam berkontraksi. Hal tersebut
menyebabkan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun. 2
Relaksasi miokardium membutuhkan ATP. Namun pada keadaan iskemik,
konsentrasi ATP akan berkurang sehingga menyebabkan relaksasi miokardium yang
lebih lambat. Keadaan hipertrofi maupun fibrosis menyebabkan pengisian ventrikel
kiri terhambat karena berkurangnya compliance dari ventrikel kiri, sementara tekanan
di ventrikel kiri akan meningkat ketika akhir diastolik. Peningkatan frekuensi jantung
akan mempersingkat waktu pengisian diastolik yang menyebabkan tekanan pengisian
ventrikel kiri yang semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan tekanan di kapiler
paru meningkat sehingga menimbulkan sesak nafas pada pasien dengan disfungsi
diastolik. gangguan dalam relaksasi miokardium dan peningkatan kolagen di
miokardium menyebabkan gagal jantung diastolik. 2

Left ventricular remodeling


Remodeling dari ventrikel ini berupa perubahan dalam massa, volume, bentuk,
dan komposisi dari jantung yang terjadi setelah kerusakan pada jantung atau keadaan
hemodinamik jantung yang abnormal. Peningkatan dari volume end-diastolic ventrikel
kiri mengakibatkan dinding dari ventrikel kiri menipis dan ventrikel kiri berdilatasi.
Dinding ventrikel yang menipis seiring dengan meningkatnya afterload dikarenakan
dilatasi ventrikel akan mengakibatkan afterload mismatch yang berakibat pada
penurunan stroke volume lebih lanjut. Peningkatan dilatasi dari ventrikel kiri akan
mengakibatkan otot papilaris untuk menempel sehingga menyebabkan gangguan
katub mitralis dan mitral regurgitasi. Oleh karena itu, semakin banyak cairan overload
di ventrikel. 2
Perubahan massa ventrikel, komposisi, dan volume menyebabkan
terjadinya perubahan geometri secara keseluruhan menjadi lebih bulat dan tidak
berbentuk elips. Perubahan geometrik ini pada awalnya bersifat kompensasi
6
karena jantung gagal membesar untuk meningkatkan volume ventrikel. Dinding
otot jantung juga menjadi menebal dan memberat yang pada awalnya digunakan
untuk meningkatkan kontraktilitas. Hipertrofi dari miokard ini diperantarai oleh
Angiotensin II, Katekolamin dan menghasilkan peningkatan kebutuhan energi
dan oksigen miokard7. Diperlukan jumlah ATP yang meningkat dengan
bertambahnya ketebalan dari miokard, saat persediaan ATP tidak mencukupi
maka mulai terjadi gangguan daya kontraktilitas dan perubahan struktur
kardiomiosit. Penumpukan kolagen diantara kardiomiosit juga dapat terjadi dan
menyebabkan gangguan kontraktibilitas8. Kelemahan kontraktibilitas yang
terjadi karena peningkatan resistensi vaskular disebut sebagai Hypertensive
Hypertrophic Cardiomyopathy .

2.5. Manifestasi klinis


Berdasarkan kriteria Framingham, diagnosis pasti dari gagal jantung kongestif
yaitu apabila terdapat minimal 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor. 6
Kriteria mayor : Kriteria minor :
- Paroksismal nocturnal dispnea (PND) atau - Edema pergelangan kaki bilateral
ortopnea - Batuk malam hari
- Distensi vena jugularis - Sesak pada aktivitas sehari-hari
- Ronki paru - Hepatomegali
- Gambaran ukuran jantung yang meningkat - Gambaran efusi pleura pada X-ray
pada X-ray - Penurunan 1/3 kapasitas vital
- Gambaran edema paru akut pada X-ray - Takikardi (>120 x / menit)
- S3 Gallop - Gambaran pelebaran pembuluh darah paru
- Tekanan vena > 16 cm H2O pada X-ray
- Hepatojugular refluks
- Edema paru, kongesti visceral, kardiomegali
- Penurunan berat badan 10 lbs / 5 hari
Tabel 2. Kriteria Framingham 6

2.6. Klasifikasi
Berikut ini adalah klasifikasi berdasarkan kapasitas fungsional New York Heart
Association (NYHA) : 7

7
- Kelas I : tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik
sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau sesak napas.
- Kelas II : terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan ketika istirahat,
namun melakukan aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau
sesak napas.
- Kelas III : terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan ketika
istirahat, tetapi aktivitas ringan saja dapat menimbulkan keletihan, palpitasi, atau
sesak napas.
- Kelas IV : tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun tanpa keluhan. Gejala gagal
jantung dapat muncul bahkan ketika istirahat. Apabila melakukan aktivitas fisik, rasa
tidak nyaman semakin besar.

2.7. Diagnosis CHF


Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh harus dilakukan
untuk menemukan penyebab gagal jantung dan faktor risiko yang mempercepat
progresivitas dari penyakit gagal jantung. Melalui anamnesis, ditanyakan apa yang
menjadi penyebab dari gagal jantungnya, faktor risiko apa saja yang dapat
menyebabkan gagal jantung (CAD, hipertensi, penggunaan obat diuretik), onset
penyakit, faktor yang memperberat dan memperingan sesak dan kelelahan, kriteria
mayor dan minor gagal jantung (ortopnea), apakah ada nyeri dada, penurunan /
peningkatan berat badan, pembengkakan pada tungkai, sesak pada malam hari yang
menyebabkan gangguan tidur, riwayat penggunaan obat-obatan, dan diet sehari-hari
(natrium dan asupan cairan). 10,3
Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai keadaan umum, kesadaran, dan tanda-
tanda vital. Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh dari kepala dan wajah,
leher, paru, jantung, abdomen, punggung, hingga ekstremitas. Pengukuran tinggi
badan dan berat badan juga penting untuk menilai BMI karena obesitas menjadi salah
satu faktor risiko terjadinya gagal jantung. Pemeriksaan tekanan vena jugularis
penting dilakukan, karena apabila terdapat distensi vena jugularis menandakan bahwa
ada aliran balik cairan dari atrium kanan. 10,3
Pada pemeriksaan fisik paru, ronki jarang ditemukan pada gagal jantung kronik
walaupun terdapat edema paru yang nyata. Pada pemeriksaan fisik jantung, mulai dari
inspeksi, perkusi batas jantung untuk melihat apakah ada pembesaran jantung

8
(hipertrofi ventrikel), kemudian mendengarkan apakah ada bunyi jantung tambahan
dan murmur. Adanya bunyi jantung tambahan (s3) merupakan tanda bahwa
prognosisnya akan lebih buruk, dan murmur merupakan indikasi bahwa terdapat
penyakit katup jantung. 10,3
Pada pemeriksaan abdomen, apabila terdapat hepatomegali atau asites
menandakan bahwa ada cairan yang berlebih. Pemeriksaan fisik pada ekstremitas
dilakukan untuk mencari adanya edema dan menilai temperatur pada ekstremitas
bawah. Edema menandakan adanya kelebihan cairan dan akral yang dingin pada
ekstremitas menjadi pertanda bahwa CO tidak adekuat. 10,3
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan biomarker BNP (B-
type natriuretic peptide) dan NT-proBNP (N-terminal pro B-type natriuretic peptide),
dimana keduanya merupakan biomarker untuk mendeteksi gagal jantung beserta
derajat keparahannya. Screening terhadap biomarker peptida natriuretik dan
pencegahan secara dini dapat mencegah terjadinya gagal jantung. Selain itu dapat juga
dilakukan pemeriksaan pada enzim jantung yaitu troponin I atau troponin T pada
kasus gagal jantung akut. Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal
jantung jika gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut.11,8 Apabila
terdapat peningkatan NT-proBNP ≥125 pg/mL dan BNP ≥ 35 pg/mL maka
dilanjutkan dengan pemeriksaan EKG untuk menegakkan diagnosis gagal jantung. 10
Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan EKG, namun pemeriksaan ini memiliki
spesifisitas yang rendah. Kelainan yang ditemukan dalam pemeriksaan EKG dapat
memberikan petunjuk mengenai etiologi dari gagal jantung, salah satunya adalah
miokard infark. Temuan lainnya dalam pemeriksaan EKG dapat memberikan indikasi
yang tepat untuk pemberian terapi, misalnya dengan diketahui adanya sinus bradikardi
maka sebagai tatalaksananya akan diberikan pacu jantung untuk meningkatkan denyut
jantungnya. Pasien dengan gagal jantung hampir tidak ada yang menunjukan hasil
EKG yang normal (sensitivitas 89%). Oleh karena itu pemeriksaan EKG
direkomendasikan untuk menyingkirkan diagnosis gagal jantung. 10
Pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan adalah chest X-ray. Pada foto thoraks
akan terlihat kongesti vena pulmonalis pada pasien dengan gagal jantung. Selain foto
polos thoraks, dapat dilakukan pemeriksaan transthoracic echocardiography (TTE).
TTE dilakukan untuk menilai fungsi sistolik dan diastolik miokardium dari kedua
ventrikel jantung. 10 Magnetic resonance imaging (MRI) juga dapat digunakan untuk
mengetahui adanya penyakit jantung kongenital, melihat bagaimana perfusi

9
miokardium, ada tidaknya fibrosis sehingga dapat membantu menentukan etiologi dan
prognosis gagal jantung. Computed tomography (CT-scan) jantung juga dapat
digunakan untuk menilai sruktur dan fungsi jantung, termasuk menilai keadaan arteri
koronaria jantung. 3

2.8. Tatalaksana Farmakologis CHF 3,8,11


2.8.1 Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
ACEI akan mengurangi tingkat kesakitan dan kematian pada penderita gagal jantung
dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri. ACEI dapat memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACEI
akan menghambat kininase dan meningkatkan kadar bradikinin sehingga dapat
menimbulkan efek samping batuk, namun memiliki efek yang menguntungkan dengan efek
vasodilatasinya. ACEI dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,
hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema. Oleh karena itu ACEI hanya diberikan pada
pasien dengan fungsi ginjal adekuat, kadar kalium normal (<5.0 mEq/L), dan tekanan darah
yang normal (bukan tekanan darah rendah).
Indikasi pemberian ACEI yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau
tanpa gejala. Kontraindikasi pemberian ACEI yaitu riwayat angioedema, stenosis renal
bilateral, kadar kalium serum > 5,0 mmol/L, serum kreatinin > 2,5 mg/dL , dan stenosis
aorta berat

2.8.2 Angiotensin Receptor Blocker (ARB)


ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri
≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis
optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung. Pasien yang intoleran terhadap ACEI karena efek batuk dan
angioedema dapat diberikan alternative obat ACEI yaitu ARB. Pada pasien ini, ARB
mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular. ARB dapat menyebabkan
perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama seperti ACEI, tetapi
ARB tidak menyebabkan batuk karena tidak menghambat kiniase dan lebih jarang
menyebabkan angioedema.

10
Indikasi pemberian ARB yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, sebagai pilihan
alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
yang intoleran ACEI.
Kontraindikasi pemberian ARB yaitu sama seperti ACEI, kecuali angioedema,
pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan, pasien dengan monitor
fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI.

2.8.3 Angiotensin Receptor – Neprilysin Inhibitor (ARNI)


ARNI direkomendasikan untuk diberikan kepada pada pasien gagal jantung kronis
simptomatis NYHA FC II / III dengan fraksi ejeksi yang menurun yang toleransi terhadap
ACEI / ARB, untuk menggantikan ACEI / ARB. Pasien yang sebelumnya mengonsumsi
obat enalapril (ACEI) 2 x 10 mg/ hari, kemudian menggunakan ARNI (valsartan / sacubitril
2 x 200 mg/ hari menunjukkan penurunan tingkat kesakitan dan kematian, dan lama
perawatan di rumah sakit yang lebih bermakna ketika menggunakan ARNI dibandingkan
dengan ACEI.
ARNI juga memiliki efek samping hipotensi dan angioedema (frekuensi lebih sedikit).
ARNI tidak boleh diberikan bersamaan dengan ACEI atau 36 jam setelah konsumsi ACEI,
karena dapat menyebabkan angioedema.

2.8.4 Ivabradine
Ivabradine direkomendasikan untuk diberikan kepada pasien gagal jantung
simptomatik NYHA FC II-III dengan fraksi ejeksi yang menurun, yang mendapat terapi beta-
bloker pada dosis maksimum, dengan irama sinus dan laju nadi ≥ 70 per menit. Ivabradine
akan menghambat laju nadi pada nodus SA sehingga terjadi penurunan laju nadi.

2.8.5 Penyekat β
Penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β akan memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas
hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan kelangsungan hidup. Penyekat β yang efektif mengurangi risiko kematian
pada pasien gagal jantung kronis dengan fraksi ejeksi yang menurun adalah bisoprolol,
metoprolol, dan carvedilol yang memblok reseptor alpha-1, beta-1 dan beta-2.
Indikasi pemberian penyekat β yaitu : fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % , gejala
ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) , ACEI / ARB (dan antagonis

11
aldosteron jika indikasi) sudah diberikan, pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan
dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β yaitu asma, adanya blok AV (atrioventrikular)
derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi
< 50 x/menit)
Penyekat β harus diberikan bersama dengan diuretik, karena diuretik dibutuhkan
untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan sodium, serta mencegah terjadinya retensi
cairan karena efek samping penyekat β. Selain retensi cairan, kelelahan, bradikardi, dan
hipotensi merupakan efek samping lainnya dari penyekat β.

2.8.6 Antagonis Aldosteron


Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada
semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis
aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA), Dosis optimal penyekat β dan
ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu konsentrasi serum kalium > 5,0
mmol/L, serum kreatinin> 2,5 mg/dL , digunakan bersamaan dengan diuretik hemat kalium
atau suplemen kalium , dan kombinasi ACEI dan ARB.

2.8.7 Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)


Pada pasien gagal jantung NYHA FC III-IV dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40
%, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan
ARB, hipotensi, dan ginjal yang tidak adekuat. (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN yaitu sebagai pengganti ACEI dan ARB
dimana keduanya tidak dapat ditoleransi, sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau
antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi, jika gejala pasien menetap walaupun sudah
diterapi dengan ACEI, penyekat β dan ARB atau antagonis aldosteron.
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN, jika terdapat hipotensi simtomatik,
sindroma lupus, dan gagal ginjal berat.

12
2.8.8 Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)
Indikasi pemberian digoksin yaitu apabila terdapat fibrilasi atrial dengan irama
ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat aktivitas > 110 - 120 x/menit. Indikasi yang
kedua yaitu apabila terdapat irama sinus dengan : fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, gejala
ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA), dosis optimalACEI dan/atau ARB,
penyekat β dan antagonis aldosteron jika ada indikasi.
Kontraindikasi pemberian digoksin adalah apabila terdapat AV blok derajat 2 dan 3
(tanpa pacu jantung tetap), sindroma pre-eksitasi , dan riwayat intoleransi digoksin.
Efek samping dari pemberian digoksin adalah aritmia jantung, gejala gastrointestinal
(anoreksia, mual, muntah dan gangguan neurologis (gangguan pengelihatan, disorientasi,
dan kebingungan).

2.8.9 Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B). Diuretik akan menghambat reabsorbsi
sodium atau klorida di tubulus ginjal, dan meningkatkan sekresi sodium di urin sehingga
mengurangi gejala retensi carian pada pasien dengan gagal jantung. Diuretik diberikan
untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin,
yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi.

Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)


Diuretik Loop
Furosemide 20 – 40 40-240
Bumetanide 0.5 – 1.0 1-5
Torasemide 5-10 10-20
Tiazide
Hidrochlortiazide
Metolazone 25 12.5-100
Indapamide 2.5 2.5-10
Diuretik hemat kalium 2.5 2.5-5

13
Spironolakton (+ACEI/ARB) 12.5 - 25 (+ACEI/ARB) 50
(- ACEI/ARB) 50 (- ACEI/ARB) 100 - 200
Tabel 3. Dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung8

Gambar 1. Obat-obatan yang digunakan untuk HFrEF3

14
BAB III
KESIMPULAN

Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif merupakan sindrom
klinis yang kompleks akibat kelainan struktural maupun fungsional jantung yang
menyebabkan gangguan salah satu atau kedua ventrikel dalam memompa maupun
menerima darah. Gangguan dalam memompa darah dari ventrikel akan terlihat dari fraksi
ejeksi yang menurun. Gagal jantung diklasifikasikan menjadi 2 yaitu gagal jantung dengan
fraksi ejeksi yang menurun (<40%) maupun gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang tetap
(>40-50%).
Untuk mendiagnosis gagal jantung dapat digunakan kriteria Framingham yang
terdiri dari kriteria mayor dan minor. Selain itu diperlukan anamnesis yang lengkap dan
pemeriksaan fisik secara menyeluruh, serta dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
menetapkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis bandiing. Beberapa obat yang
direkomendasikan untuk diberikan pada gagal jantung antara lain ACE-I, beta bloker, MRA,
ARB, diuretik, dan beberapa obat lainnya.

15
Daftar Pustaka

1. Lopez Pablo P, Vazquez Jesus Peteiro, Campos Anna Carcia, et al.. The causes,
consequences, and treatment of left or right heart failure. Vascular Health and Risk
Management 2011: 237-254.

2. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH, et al. 2013
ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure: Executive SummaryA
Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2013 Oct 15;62(16):1495–539.

3. Figueroa Michael S, Peters Jay I. Congestive Heart Failure : Diagnosis,


Pathophysiology, Therapy, and Implications for Respiratory Care. 2006; 51(4) : 403 –
412.

4. Pazos-López P, Peteiro-Vázquez J, Carcía-Campos A, García-Bueno L, de Torres JPA,


Castro-Beiras A. The causes, consequences, and treatment of left or right heart failure.
Vasc Health Risk Manag 2011;7:237–54.

5. Mahmood Syed S, Levy Daniel, Wang Thomas J.. The Framingham Heart Study. 2014;
383(9921) : 999-1008

6. Lilly Leonard S.. Pathophysiology of Heart Disease, 5 ed. Philadelphia: Wolters


Kluwer Health; 2011

7. Siswanto Bambang B, Hersunarti Nani, Erwinanto, Barack Rossana, et al.. Pedoman


Tatalaksana Gagal Jantung, 1 ed. Jakarta: PP PERKI; 2015

8. McCance K, Parkinson C. Study guide for Pathophysiology, the biologic basis for
disease in adults and children. 6th ed. Mosby: St. Louis, Mo.; 2010.

9. Ponikowski Piotr, Voors Adriaan A., Anker Stefan D, et al.. 2016 ESC Guidelines for
the diagnosis and treatment of acute and Chronic Heart Failure. European Heart
Journal 2016; 37 : 2129 – 2200

10. Yancy Clyde W., Jessup Mariell, Bozkurt Biykem, et al.. 2017 ACC / AHA / HFSA
Focused Update of the 2013 ACCF / AHA Guideline for the Management of Heart
Failure. Journal of the American College of Cardiology 2017

16

Anda mungkin juga menyukai