Pembimbing:
dr. Mario Steffanus, Sp. PD
Disususn oleh :
Latisha Lubianca
2016-061-160
BAB I....................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
BAB II ..................................................................................................................................... 2
2.1. Definisi Gagal Jantung Kongestif ........................... Error! Bookmark not defined.
i
2.8.9. Diuretik ....................................................................................................................... 13
BAB III .................................................................................................................................. 15
KESIMPULAN ..................................................................................................................... 15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Epidemiologi
Di seluruh dunia lebih dari 20 juta orang terkena gagal jantung. Prevalensi gagal
jantung pada orang dewasa di Negara berkembang sebesar 2%. Prevalensi gagal
jantung ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan memengaruhi 6-10%
usia diatas 65 tahun. Insidensi gagal jantung ini lebih banyak terjadi pada pria
dibandingkan wanita karena ekspektansi hidup wanita yang lebih panjang. Di United
States, sebanyak 5 juta penduduk terkena penyakit gagal jantung, dan sebagian besar
mengenai orang tua dengan presentase 80% mengenai usia di atas 65 tahun.4
Dulunya gagal jantung lebih sering terjadi pada orang dengan left ventricural
ejection faction (LVEF) yang menurun. Namun studi epidemiologi, menunjukan
bahwa hampir setengah pasien yang menderita gagal jantung memiliki LVEF yang
normal (LVEF ≥ 50%). 2
2
2.3. Etiologi dan Faktor Risiko
Di Negara-negara industri, Coronary Artery Disease (CAD) merupakan penyebab
utama pada 60-75% kasus gagal jantung. Hipertensi merupakan penyebab timbulnya
gagal jantung pada 75% pasien. CAD, hipertensi, dan juga diabetes mellitus
merupakan faktor resiko tersering yang menyebabkan gagal jantung.2 Faktor
predisposisi terjadinya gagal jantung yaitu hipertensi, penyakit jantung iskemik, usia
tua, obesitas, diabetes, gagal ginjal, penyakit katub jantung.9
Penyakit jantung koroner meengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung yang menyebabkan terjadinya hipoksia dan
asidosis karena penumpukan asam laktat . Infark miokardium (kematian sel jantung)
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan pada miokardium dan
infark miokardium akan menyebabkan kontraktilitas menurun sehingga menyebabkan
terjadinya gagal jantung. Hipertensi baik sistemik maupun pulmonal dapat
meningkatkan beban kerja jantung (afterload) dan pada akhirnya dapat menyebabkan
hipertrofi otot jantung. 5
3
-Kelainan pembuluh
darah paru
4
terjadi penurunan dalam kemampuan jantung memompa darah, banyak pasien yang
belum menunjukan gejala (asimptomatik). Seiring dengan berjalannya waktu, gejala
akan mulai terlihat.2
Apabila terjadi penurunan kontraktilitas jantung dimana terjadi penurunan CO
dan tekanan sistolik, serta perfusi ke ginjal yang menurun, tubuh akan mengaktivasi
mekanisme kompensasi untuk mengatasi hal tersebut. Sistem saraf simpatis, sistem
renin angiotensin aldosteron (RAAS), dan sitokin akan teraktivasi untuk
mempertahankan fungsi jantung dalam keadaan homeostasis yang seimbang, sehingga
gejala masih asimptomatik.2
Ketika terjadi penurunan CO, terjadi peningkatan sinyal ke saraf simpatik dan
pelepasan arginine vasopressin (AVP/ADH) dari pituitari. Hormon ADH merupakan
vasokonstriktor yang meningkatkan permeabilitas dari tubulus kolektivus ginjal. Hal
tersebut menyebabkan peningkatan reabsorbsi air. 2,9
RAAS yang teraktivasi akan menyebabkan retensi air dan garam yang
menyebabkan vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, hipertrofi miosit, kematian
sel miosit, dan fibrosis miokardium. Sistem saraf simpatis yang teraktivasi akan
menstimulasi ginjal untuk melepaskan renin. Renin akan meningkatkan pengeluaran
angiotensis II dan aldosteron yang menyebabkan retensi Na dan air yang pada
akhirnya akan menyebabka peningkatan tekanan darah. Mekanisme tersebut bertujuan
untuk mempertahankan tekanan darah dan berusaha memperbaiki perfusi ke organ-
organ vital. 2,9
RAAS dan aktivasi saraf simpatis akan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi.
Akibatnya terjadi peningkatan afterload, tekanan darah, dan peningkatan nadi. Seiring
dengan berjalannya waktu, tubuh tidak dapat lagi melakukan kompensasi, sehingga
terjadi perubahan struktur ventrikel (ventricle remodeling) yaitu hipertrofi dan dilatasi
ventrikel, kontraktilitas jantung yang terganggu. Pada fase ini gejala simptomatik
mulai terlihat 9
Pada fase asimptomatik, mekanisme kompensasi yang aktif akan
mempertahankan fungsi ventrikel kiri sehingga masih dapat berfungsi normal selama
beberapa bulan hingga tahun. Mekanisme kompensasi yang pertama adalah aktivasi
dari sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan sistem saraf adrenergik yang
akan mempertahankan CO dengan meningkatkan retensi garam dan air. Mekanisme
yang kedua adalah peningkatan kontraktilitas miokardium dengan mengaktifkan
molekul vasodilator yaitu atrial natriuretic peptides (ANP) dan brain natriuretic
5
peptides (BNP), prostaglandin (PGE2 dan PGI2), dan nitric oxide (NO). Vasodilator
ini akan memperlebar pembuluh darah sehingga mengurangi beban jantung dalam
memompa darah.2
Perubahan dalam gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun yaitu hipertofi
miosit, perubahan kontraktilitas dari miosit, berkurangnya miosit secara progresif
karena nekrosis, apoktosis, dan kematian sel, desensitisasi β-adrenergik, metabolisme
miokardium yang abnormal dan reorganisasi matriks ekstraseluler di sekitar miosit
sehingga menyebabkan gangguan miosit dalam berkontraksi. Hal tersebut
menyebabkan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun. 2
Relaksasi miokardium membutuhkan ATP. Namun pada keadaan iskemik,
konsentrasi ATP akan berkurang sehingga menyebabkan relaksasi miokardium yang
lebih lambat. Keadaan hipertrofi maupun fibrosis menyebabkan pengisian ventrikel
kiri terhambat karena berkurangnya compliance dari ventrikel kiri, sementara tekanan
di ventrikel kiri akan meningkat ketika akhir diastolik. Peningkatan frekuensi jantung
akan mempersingkat waktu pengisian diastolik yang menyebabkan tekanan pengisian
ventrikel kiri yang semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan tekanan di kapiler
paru meningkat sehingga menimbulkan sesak nafas pada pasien dengan disfungsi
diastolik. gangguan dalam relaksasi miokardium dan peningkatan kolagen di
miokardium menyebabkan gagal jantung diastolik. 2
2.6. Klasifikasi
Berikut ini adalah klasifikasi berdasarkan kapasitas fungsional New York Heart
Association (NYHA) : 7
7
- Kelas I : tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik
sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau sesak napas.
- Kelas II : terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan ketika istirahat,
namun melakukan aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau
sesak napas.
- Kelas III : terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan ketika
istirahat, tetapi aktivitas ringan saja dapat menimbulkan keletihan, palpitasi, atau
sesak napas.
- Kelas IV : tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun tanpa keluhan. Gejala gagal
jantung dapat muncul bahkan ketika istirahat. Apabila melakukan aktivitas fisik, rasa
tidak nyaman semakin besar.
8
(hipertrofi ventrikel), kemudian mendengarkan apakah ada bunyi jantung tambahan
dan murmur. Adanya bunyi jantung tambahan (s3) merupakan tanda bahwa
prognosisnya akan lebih buruk, dan murmur merupakan indikasi bahwa terdapat
penyakit katup jantung. 10,3
Pada pemeriksaan abdomen, apabila terdapat hepatomegali atau asites
menandakan bahwa ada cairan yang berlebih. Pemeriksaan fisik pada ekstremitas
dilakukan untuk mencari adanya edema dan menilai temperatur pada ekstremitas
bawah. Edema menandakan adanya kelebihan cairan dan akral yang dingin pada
ekstremitas menjadi pertanda bahwa CO tidak adekuat. 10,3
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan biomarker BNP (B-
type natriuretic peptide) dan NT-proBNP (N-terminal pro B-type natriuretic peptide),
dimana keduanya merupakan biomarker untuk mendeteksi gagal jantung beserta
derajat keparahannya. Screening terhadap biomarker peptida natriuretik dan
pencegahan secara dini dapat mencegah terjadinya gagal jantung. Selain itu dapat juga
dilakukan pemeriksaan pada enzim jantung yaitu troponin I atau troponin T pada
kasus gagal jantung akut. Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal
jantung jika gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut.11,8 Apabila
terdapat peningkatan NT-proBNP ≥125 pg/mL dan BNP ≥ 35 pg/mL maka
dilanjutkan dengan pemeriksaan EKG untuk menegakkan diagnosis gagal jantung. 10
Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan EKG, namun pemeriksaan ini memiliki
spesifisitas yang rendah. Kelainan yang ditemukan dalam pemeriksaan EKG dapat
memberikan petunjuk mengenai etiologi dari gagal jantung, salah satunya adalah
miokard infark. Temuan lainnya dalam pemeriksaan EKG dapat memberikan indikasi
yang tepat untuk pemberian terapi, misalnya dengan diketahui adanya sinus bradikardi
maka sebagai tatalaksananya akan diberikan pacu jantung untuk meningkatkan denyut
jantungnya. Pasien dengan gagal jantung hampir tidak ada yang menunjukan hasil
EKG yang normal (sensitivitas 89%). Oleh karena itu pemeriksaan EKG
direkomendasikan untuk menyingkirkan diagnosis gagal jantung. 10
Pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan adalah chest X-ray. Pada foto thoraks
akan terlihat kongesti vena pulmonalis pada pasien dengan gagal jantung. Selain foto
polos thoraks, dapat dilakukan pemeriksaan transthoracic echocardiography (TTE).
TTE dilakukan untuk menilai fungsi sistolik dan diastolik miokardium dari kedua
ventrikel jantung. 10 Magnetic resonance imaging (MRI) juga dapat digunakan untuk
mengetahui adanya penyakit jantung kongenital, melihat bagaimana perfusi
9
miokardium, ada tidaknya fibrosis sehingga dapat membantu menentukan etiologi dan
prognosis gagal jantung. Computed tomography (CT-scan) jantung juga dapat
digunakan untuk menilai sruktur dan fungsi jantung, termasuk menilai keadaan arteri
koronaria jantung. 3
10
Indikasi pemberian ARB yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, sebagai pilihan
alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
yang intoleran ACEI.
Kontraindikasi pemberian ARB yaitu sama seperti ACEI, kecuali angioedema,
pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan, pasien dengan monitor
fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI.
2.8.4 Ivabradine
Ivabradine direkomendasikan untuk diberikan kepada pasien gagal jantung
simptomatik NYHA FC II-III dengan fraksi ejeksi yang menurun, yang mendapat terapi beta-
bloker pada dosis maksimum, dengan irama sinus dan laju nadi ≥ 70 per menit. Ivabradine
akan menghambat laju nadi pada nodus SA sehingga terjadi penurunan laju nadi.
2.8.5 Penyekat β
Penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β akan memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas
hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan kelangsungan hidup. Penyekat β yang efektif mengurangi risiko kematian
pada pasien gagal jantung kronis dengan fraksi ejeksi yang menurun adalah bisoprolol,
metoprolol, dan carvedilol yang memblok reseptor alpha-1, beta-1 dan beta-2.
Indikasi pemberian penyekat β yaitu : fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % , gejala
ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) , ACEI / ARB (dan antagonis
11
aldosteron jika indikasi) sudah diberikan, pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan
dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β yaitu asma, adanya blok AV (atrioventrikular)
derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi
< 50 x/menit)
Penyekat β harus diberikan bersama dengan diuretik, karena diuretik dibutuhkan
untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan sodium, serta mencegah terjadinya retensi
cairan karena efek samping penyekat β. Selain retensi cairan, kelelahan, bradikardi, dan
hipotensi merupakan efek samping lainnya dari penyekat β.
12
2.8.8 Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)
Indikasi pemberian digoksin yaitu apabila terdapat fibrilasi atrial dengan irama
ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat aktivitas > 110 - 120 x/menit. Indikasi yang
kedua yaitu apabila terdapat irama sinus dengan : fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, gejala
ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA), dosis optimalACEI dan/atau ARB,
penyekat β dan antagonis aldosteron jika ada indikasi.
Kontraindikasi pemberian digoksin adalah apabila terdapat AV blok derajat 2 dan 3
(tanpa pacu jantung tetap), sindroma pre-eksitasi , dan riwayat intoleransi digoksin.
Efek samping dari pemberian digoksin adalah aritmia jantung, gejala gastrointestinal
(anoreksia, mual, muntah dan gangguan neurologis (gangguan pengelihatan, disorientasi,
dan kebingungan).
2.8.9 Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B). Diuretik akan menghambat reabsorbsi
sodium atau klorida di tubulus ginjal, dan meningkatkan sekresi sodium di urin sehingga
mengurangi gejala retensi carian pada pasien dengan gagal jantung. Diuretik diberikan
untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin,
yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi.
13
Spironolakton (+ACEI/ARB) 12.5 - 25 (+ACEI/ARB) 50
(- ACEI/ARB) 50 (- ACEI/ARB) 100 - 200
Tabel 3. Dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung8
14
BAB III
KESIMPULAN
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif merupakan sindrom
klinis yang kompleks akibat kelainan struktural maupun fungsional jantung yang
menyebabkan gangguan salah satu atau kedua ventrikel dalam memompa maupun
menerima darah. Gangguan dalam memompa darah dari ventrikel akan terlihat dari fraksi
ejeksi yang menurun. Gagal jantung diklasifikasikan menjadi 2 yaitu gagal jantung dengan
fraksi ejeksi yang menurun (<40%) maupun gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang tetap
(>40-50%).
Untuk mendiagnosis gagal jantung dapat digunakan kriteria Framingham yang
terdiri dari kriteria mayor dan minor. Selain itu diperlukan anamnesis yang lengkap dan
pemeriksaan fisik secara menyeluruh, serta dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
menetapkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis bandiing. Beberapa obat yang
direkomendasikan untuk diberikan pada gagal jantung antara lain ACE-I, beta bloker, MRA,
ARB, diuretik, dan beberapa obat lainnya.
15
Daftar Pustaka
1. Lopez Pablo P, Vazquez Jesus Peteiro, Campos Anna Carcia, et al.. The causes,
consequences, and treatment of left or right heart failure. Vascular Health and Risk
Management 2011: 237-254.
2. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH, et al. 2013
ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure: Executive SummaryA
Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2013 Oct 15;62(16):1495–539.
5. Mahmood Syed S, Levy Daniel, Wang Thomas J.. The Framingham Heart Study. 2014;
383(9921) : 999-1008
8. McCance K, Parkinson C. Study guide for Pathophysiology, the biologic basis for
disease in adults and children. 6th ed. Mosby: St. Louis, Mo.; 2010.
9. Ponikowski Piotr, Voors Adriaan A., Anker Stefan D, et al.. 2016 ESC Guidelines for
the diagnosis and treatment of acute and Chronic Heart Failure. European Heart
Journal 2016; 37 : 2129 – 2200
10. Yancy Clyde W., Jessup Mariell, Bozkurt Biykem, et al.. 2017 ACC / AHA / HFSA
Focused Update of the 2013 ACCF / AHA Guideline for the Management of Heart
Failure. Journal of the American College of Cardiology 2017
16