Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Korupsi dalam lingkungan pejabat publik terutama penguasa bukanlah hal baru.
Korupsi tidak hanya masalah nasional tetapi juga masalah internasional. Pelaku-pelaku
korupsi pun banyak dari lingkungan pejabat publik. Sejarah mencatat banyak pemimpin yang
dipilih oleh rakyat karena mengangkat isu pemberantasan korupsi sebagai tema sentral
kampanye mereka. Sungguh ironis, terlepas apakah mereka benar-benar anti korupsi, dan
pada awalnya berupaya keras untuk memberantas korupsi, ataukah mereka hanya sekedar
menggunakan isu korupsi untuk meraih simpati masa saja, banyak diantara mereka yang
jatuh akibat kasus korupsi. Di Indonesia misalnya, pada awal kepemimpinan presiden
Soeharto berupaya secara serius memberantas korupsi melalui pembentukan berbagai
lembaga, tetapi upaya yang bersifat formalistis tersebut gagal dan bahkan isu korupsi ikut
menjatuhkannya pada tahun 1998.
Contoh lain di Filipina, Presiden Estrada terpilih menjadi presiden melalui pemilu
yang bebas dan terbuka pada tahun 1998 dengan mengusung isu pemberantasan korupsi pada
tahun 2001, Estrada kehilangan kekuasaan bahkan dihukum karena keterlibatannya dalam
kasus korupsi.Akhir-akhir ini pun banyak pejabat publik yang tersangkut kasus korupsi sebut
saja kasus Hambalang, Simulator SIM dan impor daging sapi mereka juga meneriakkan hal
yang sama pada saat mereka melakukan kampanye yaitu berantas korupsi.
Miris mendengar pejabat yang dipilih dan seharusnya menjadi figur panutan rakyat
justru mereka tersangkut korupsi. Terlepas dari semua itu korupsi adalah kejahatan yang
harus diberantas. Korupsi merusak cita-cita mewujudkan pemerintahan yang baik (Good
Governance). Hal ini ditandai melemahnya tanggung jawab pejabat publik dalam
menjalankan sikap, prilaku dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi maupun peran
kewenangan yang diberikan kepadannya. Contoh konkret prilaku menyimpang pejabat publik
adalah korupsi.
Perilaku menyimpang tersebut dikarenakan kurangnya sistem kontrol terhadap
akuntabilitas kinerja pejabat publik sehingga dengan mudah pejabat publik menyalahgunakan
kewenangannya. Maraknya kejahatan korupsi di Indonesia menunjukkan penegakan hukum
di Indonesia masih sangat lemah. Penegakan hukum di Indonesia cenderung lemah dan sarat
akan kepentingan politik sehingga banyak kasus korupsi tidak tuntas.1

1
Wijayanto, 2009, Korupsi Mengorupsi Indonesia, Edisi Pertama, Gramedia, Jakarta, hlm 21.
Lemahnya integritas pejabat publik memicu konflik kepentingan yang mengakibatkan
pejabat publik terjerumus kedalam jejaring pelaku-pelaku korupsi.2 Penegakan hukum perlu
ditopang oleh integritas pejabat publik di tengah tengah ancaman kejahatan korupsi.3
Integritas pribadi yang seharusnya dibangun dari nilai-nilai agama, budaya, moral sekadar
menjadi kesalehan. Pejabat publik menganggap bahwa ukuran kesalehan sudah mampu
menjamin dan membuat rakyat percaya. Cara yang ditempuh untuk meyakinkan pun amat
saleh. Memberi santunan kepada panti asuhan, mendirikan rumah ibadat. Kekuasaan yang
seharusnya dipahami sebagai radikal pelayanan publik justru dipakai sebagai alat efektif
untuk mengeruk uang rakyat.
Kekuasaan membuka gerbang tindak korupsi. Motivasi menjadi seorang pejabat
publik tidak lagi didasari oleh kebutuhan publik melainkan kebutuhan pribadi. Abuse of
power memungkinkan kekuasaan menghalalkan segala cara. Bahkan kritik terhadap kinerja
publik dilihat sebagai sebuah ancaman bagi kekuasaan. Tentu tidak diharapkan dialog bisu
yakni senjata, namun hal itu bisa saja terjadi di jaman ini jika segala sesuatu adalah mungkin
(everyting is possible) demi melanggengkan kekuasaan.
Survei yang dilakukan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2009
mencatat bahwa negara Indonesia menempati posisi terkorup dari 14 negara Asia. Terlepas
dari pro dan kontra data tersebut menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia merupakan
kejahatan dan sekaligus ancaman yang serius. Kepastian hukum yang dinanti-nanti
masyarakat ialah bagaimana pelaku-pelaku korupsi dapat ditangkap dan dijatuhi hukuman
maksimal. Esensi hukum tidak lagi menjadi alat untuk mencari kebenaran dan keadilan
melainkan manifestasi sang penguasa.
Maka dari itu integritas pejabat publik sangat diperlukan untuk membaharuhi institusi,
sistem birokasi, dan 4 membrantas korupsi. Pertanyaan yang menarik ialah mengapa harus
pejabat publik? Tentu hal ini tidak bermaksud menipsikan peran masyarakat sipil pada
umumnya tetapi pejabat publik sangat rentan terhadap penyalahgunaan wewenang.
Permasalahan korupsi tidak sekedar permasalahan hukum tetapi juga masalah moral. Istilah
“Integritas” biasanya dikontraskan dengan “korupsi”. Integritas pribadi sangat mendukung

2
M. Busyro Muqodas,2009, Korupsi Mengorupsi Indonesia, Edisi Pertama, Gramedia, Jakarta.
hlm. 625.
dalam menentukan berbagai kebijakan hukum maupun publik. Integritas mengutamakan
kualitas, tanggung jawab, transparansi, habitus dan akuntabilitas. Membangun sebuah
institusi yang adil sangat sulit tercipta tanpa adanya integritas publik. KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) akan diragukan oleh masyarakat jika tidak serius menangani kasus
korupsi. Bahkan kasus bocornya sprindik yang belum lama ini sempat membuat rakyat
bertanya-tanya terhadap kinerja KPK. Apalagi kasus tersebut melibatkan ketua KPK.
Sebagian rakyat banyak yang mempertanyakan kinerja mereka.
Menanggapi masalah tersebut beberapa kalangan elemen masyarakat mengungkapkan
bahwa ada kekeliruan dalam upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintah, karena fokusnya
hanya kepada menindak para koruptor. Seperti apa yang dikatakan oleh M. Zaki “di Indonesia,
Pedagogi harapan tersebut, belum sepenuhnya masuk ke dalam lini pendidikan. Negara justru
menyibukkan dirinya dengan mengotak-atik mahzab pidana mati dan perampasan aset diruang
parlemen. Padahal esensi dari aktivitas pemberantasan korupsi adalah melakukan pencegahan
agar tidak menimbulkan tindak pidana tersebut4.
Upaya pencegahan budaya korupsi dimasyarakat terlebih dahulu dapat dilakukan dengan
mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak bangsa Indonesia melalui pendidikan.
Semangat antikorupsi yang patut menjadi kajian adalah penanaman pola pikir, sikap, dan perilaku
antikorupsi melalui sekolah, karena sekolah adalah proses pembudayaan Sedikit sekali upaya
untuk pencegahan korupsi, salah satunya yaitu lewat pendidikan antikorupsi Menyadari hal
tersebut muncul gagasan untuk memasukkan materi antikorupsi kedalam kurikulum pendidikan
SD-SMU di Indonesia.5
Proses pendidikan mestinya bersifat sistematis dan massif. Cara sistematis yang bisa
ditempuh adalah dengan melaksanakan pendidikan antikorupsi secara intensif. Pendidikan
antikorupsi menjadi sarana sadar untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi. Pendidikan
antikorupsi merupakan tindakan untuk mengendalikan dan mengurangi korupsi berupa
keseluruhan upaya untuk mendorong generasi mendatang untuk mengembangkan sikap menolak
secara tegas terhadap setiap bentuk korupsi. Mentalitas antikorupsi ini akan terwujud jika kita
secara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk mampu mengidentifkasi berbagai
kelemahan dari sistem nilai yang mereka warisi dan memperbaharui sistem nilai warisan dengan
situasi-situasi yang baru. Dalam konteks pendidikan, “memberantas korupsi sampai ke akar-

4
M. Fajroel Rahman, “Indonesia: Korupsi harus masuk ke Meseum”, dalam M. Reza S. Zaki. dkk, Negeri
Melawan Korupsi (Yogyakarta: Bulaksumur Visual, 2012), hlm. 106
5
Oktavia Adhi Suciptaningsih, Pendidikan Antikorupsi Bagi Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Gunung Pati
(Jurnal Universitas PGRI Semarang, 2014), Vol.4. No.2.
akarnya” berarti melakukan rangkaian usaha untuk melahirkan generasi yang tidak bersedia
menerima dan memaafkan suatu perbuatan korupsi yang terjadi.6
Namun sikap optimis terhadap KPK terus bermunculan. Integritas mendorong sebuah
visi memperjuangkan sesuatu yang khas. Jujur terhadap ideal apa yang mau dicapainya
terungkap dalam satu kata dan perbuatan. Perhatian dan tanggung jawab terhadap masalah-
masalah kepentingan publik. Prihatin terhadap kinerja pejabat publik serta menjamurnya
tindak kejahatan korupsi di Indonesia penulis tertarik untuk memperdalam tentang “Integritas
Pejabat Publik”. Harapan penulis tidak lain ialah Indonesia bebas korupsi mengangkat derajat
moral yang semakin baik dan tentu berdiri tegaknya hukum sebagai panglima.

1.2 Rumusan Masalah


Memberantas ataupun mencegah praktek korupsi membutuhkan berbagai cara atau pun
strategi yang ampuh. Namun patut dipertimbangkan bahwa cara ataupun strategi tersebut
membutuhkan korelasi dari berbagai pendekatan hukum dan penididikan yang sungguh
integral, melekat pada pribadi maupun sistem. Penulis memberi rumusan masalah :
1. Apakah ada korelasi antara Integritas Pejabat Publik dengan Tindak Pidana Korupsi?
2. Apakah kurikulum pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi salah satu
penyebab Tindak Pidana Korupsi?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah upaya untuk mengetahui korelasi antara integritas pejabat
publik dengan tindak pidana korupsi dan faktor pendidikan di Sekolah Menengah Atas
(SMA). Tujuan penelitian ini juga diharapkan mampu memberi insight (pencerahan) bagi
Pejabat dan instansi pendidikan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan
pemikiran khususnya tentang korelasi antara integritas pejabat publik dan instansi
pendidikan dengan tindak pidana korupsi.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Pejabat Publik “Aparatur Sipil ”

6
Rosida Tiurma Manurung, Pendidikan Antikorupsi Sebagai Satuan Pembelajaran Berkarakter Dan
Humanistik (Jurnal Sisioteknologi, 2012), Edisi. 27.
 Sebagai pengingat khususnya untuk pejabat publik bahwa tugas yang diemban
mereka adalah sangat mulia, yakni sebagai figur pemimpin yang dapat
mengayomi dan patut diteladani, maka dari itu pejabat publik harus memiliki
dedikasi yang tinggi dalam pelayanan publik, membuat keputusan-keputusan
yang memihak rakyat.
 Pejabat publik adalah orang-orang yang berada di barisan terdapan dalam
melawan korupsi, untuk itu integritas pribadi sangat dibutuhkan.
1.4.2.2 Bagi Masyarakat
a. Menambah pengetahuan masyarakat akan bahaya tindak pidana korupsi dan ambil
bagian dalam sikap moral maupun hukum dalam mencegah terjadinya tindak pidana
korupsi di Indonesia.
b. Mengingat kejahatan korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan diharapkan
masyarakat mendorong mewujudkan hukum dengan tidak melakukan hal yang sama
yakni korupsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Kerangka Teoritis
Soerjono Soekanto berpendapat setiap penelitian akan ada keangka teoritis, kerangka
acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasii terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan
oleh peneliti.7 Kerangka teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara,
aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi acuan, landasan, dan
pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.8
Dari sekian banyak teori yang berkembang dapat diuraikan beberapa teori yang dapat
dikelompokan ke dalam kelompok teoriyang menjelaskan peranan dari faktor struktur sosial
dalam mendukung timbulnya kejahatan, yaitu:
a. Teori Differential Association
Sutherland menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi
yang dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk
norma hukum. Proses mempelajari tidak hanya meliputi teknik kejahatan yang
sesungguhnya, namun juga motif, dorongan sikap dan rasionalisasi yang nyaman dan
memuaskan bagi dilakukannya perbuatan- perbuatan anti sosial.
b. Teori Anatomie : Emile Durkheim menekankan mengendornya pengawasan dan
pengendalian sosial yang berpengaruh terhadap terjadinya kemerosotan moral yang
menyebabkan individu sukar menyesuaikan diri dalam perubahan norma.
c. Teori Labeling (Labeling Theory)
Frank Tannenbaum penemu teori label menyatakan penyimpangan merupakan
pengertian yang relatif. Penyimpangan timbul karena adanya reaksi dari pihak lain
yang berupa pelabelan pelaku penyimpangan dan penyimpangan pelaku tertentu.13
a. Teori Psikoanalisa
Sigmund Freud dalam teori psikoanalisa tentang kriminalitas menghubungkan
Delinquent dan perilaku kriminal dengan suatu “conscience”(hati nurani) yang baik,

7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Press, 1986, hlm.125.12
8
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm.73.10
yang mana dimaksudkan adalah, dia begitumenguasai sehingga menimbulkan
perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-
dorongan si individu,dan bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera.
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama
kriminologi ditemukan oleh P. Toponard (1830-1911) seseorang ahli antropologi Perancis.
Secara harfiah kriminologi berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat
dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang
kejahatan atau penjahat.9
Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan tindak pidana korupsi penyalahgunaan
wewenang dalam jabatan pemerintahan, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh
Abdul Rahman Khaldun menyatakan bahwa penyebab utama korupsi adalah nafsu untuk
hidup mewah dalam kelompok yang memerintah atau kelompok penguasa yang
menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi10. Sehingga menimbulkan penyelewengan
kekuasaan yang tidak terbatas. Adapun yang menjadi faktor pendorong seseorang untuk
melakukan tindakan korupsi ada 4 (empat), menurut Gone Theory antara lain:17
 Keserakahan (Greeds)
Keserakahan sini adalah perilaku serakah yang secara potensial ada didalam diri
setiap orang
 Kesempatan (Oppuurtunity)
Tentu saja dalam hal ini sangat mempengaruhi seseorang untuk berbuat korupsi.
Tanpa adanya kesempatan, seseorang tidak bisa berbuat korupsi.
 Kebutuhan (Needs)
Berkaitan dengan faktor faktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk
menunjang kehidupan yang wajar.
 Pengungkapan (exposures)
Berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan
apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan.
Sedangkan upaya penanggulangan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang
dalam jabatan dalam konteks kriminologis, penulis menggunakan teori
penanggulangan tindak pidana, yaitu11 :
a. Upaya Preventif (Non Penal)

99
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Repika Aditama, Bandung, 2010, hlm.23-49
10
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Jakarta: Rajawali Pers,2012, hlm.50-5115Ibid, hlm.24.
11
Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta,2008, hlm.417
Yaitu upaya non penal (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan
terjadi, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab
terjadi nya kejahatan
b. Upaya Represif ( Penal)
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat
“repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi.
Dengan penjatuhan atau pemberian sanksi pidana.
2.2 Pengertian Korupsi
Termaktub dalam Ensiklopedia Indonesia “korupsi” (dari bahasa latin corruption=
penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan
lainya. Adapun arti harfiyah dari korupsi dapat berupa:
1. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan
ketidakjujuran.Perbuatan yang buruk seperti menggelapan uang, penerimaan uang
sogok, dan sebagainya.
2. Korup (busuk; suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk
kepentingan sendiri, dan sebagainya),perbuatan busuk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok, dan sebagainya), Koruptor (orang yang korupsi).12
Kerangka Teoritis dan Konseptual

2.2.1 Bentuk-bentuk Korupsi


Bentuk korupsi sangatlah beragam. Menurut Hussein al-Attas, modus operandi
bentuk-bentuk korupsi mencakup penyuapan (bribery), pemerasan (exstortion), dan
Nepotisme. (Al-attas, 1982: 13-14)13 Jenis korupsi yang lebih operasional juga
diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat
jenis korupsi yakni, Korupsi ekstortif, korupsi manipulatif, korupsi nepotistik, dan korupsi
subversif.14
Secara lengkap dalam UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001)
Merumuskan 30 bentuk / Jenis tindak pidana korupsi, yang dikelompokan yaitu sebagai

12
Evi, Hartanti, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 8
13
Muhammad Nurdin, Pendidikan Antikorupsi (Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Islami Dalam Menumbuhkan
Kesadaran Antikorupsi Di Sekolah) (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2014), hlm. 68.
14
Syamsul Anwar, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah (Jakarta: Pusat studi Agama dan Peradaban (PSAP), 2006), hlm. 18
berikut15: Korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara, suap menyuap,
penggelapan dalam jabatan, pemerasan, curang, kepentingan dalam pengadaan, dan
gratifikasi (pemberian hadiah).
2.2.2 Penyebab Korupsi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya tindak korupsi, diantaranya adalah26:
penyalahgunaan wewenang dan jabatan/kekuasaan yang dimiliki demi kepentingan dan
mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman, buruknya hukum, tetapi
juga buruknya manusia, warisan, kemiskinan, ketidaksamaan, ketidakmerataan, gaji yang
rendah, salah persepsi, pengaturan/hukum yang bertele-tele, dan pengetahuan yang tidak
cukup dibidangnya, perumusan undang-undang yang kurang sempurna, administrasi yang
lamban, mahal dan tidak luwes.
Tradisi menambah penghasilan, Persepsi bahwa korupsi hal yang biasa dan kalau
terdesak maka tidak apa-apa, dan selama tidak berlebihan itu sah-sah saja, serta tidak ada
perhargaan atas aturan-aturan resmi dari negara, dan budaya dimana korupsi tak menjadi soal.
2.2.3 Korupsi dan Integritas
Menurut Fijnaut and Huberts (2002), integritas dan korupsi sangat jelas hubungannya.
Dalam diskusi internasional, korupsi diartikan sebagai sebuah konsep yang melingkupi
sebagian besar pelanggaran integritas atau tindakan tidak etis.
Menurut penelitian Quah (2013), Singapura sebelumnya juga memiliki penyakit korupsi
yang parah. Bahkan ada anggapan bahwa korupsi itu low cost high return. Kejahatan korupsi
dianggap sama saja dengan kejahatan lainnya walaupun dampaknya luar biasa.
Selanjutnya, Quah (2013) menyebutkan bahwa dalam perkembangannya, Singapura
berhasil memberantas korupsi dan sekarang menjadi salah satu negara dengan indeks persepsi
korupsi paling tinggi di dunia. Dalam memerangi korupsi, Indonesia perlu meniru langkah
Singapura. Singapura berhasil membalik keadaan dengan langkah-langkah penguatan aturan
dan mengubah anggapan korupsi itu low cost high return menjadi high cost low return
2.3 Pendidikan Antikorupsi
2.3.1 Pengertian
Antikorupsi merupakan sikap tidak setuju, tidak suka, dan tidak senang terhadap
tindakan korupsi. Antikorupsi merupakan sikap yang dapat mencegah (upaya meningkatkan
kesadaran individu untuk tidak melakukan tindak korupsi) dan menghilangkan peluang bagi

15
Agus Wibowo, Pendidikan Antikorupsi di Sekolah: Strategi Internalisai Pendidikan Antikorupsi di Sekolah
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 28-30.
berkembangnya korupsi. 19 Pendidikan antikorupsi merupakan usaha sadar untuk memberi
pemahaman dan pencegahan terjadinya perbuatan korupsi yang dilakukan melalui pendidikan
formal di sekolah atau madrasah, pendidikan informal di masyarakat.
Pendidikan antikorupsi tidak berhenti pada pengenalan nilai-nilai antikorupsi saja, akan
tetapi, berlanjut pada pemahaman nilai, penghayatan nilai dan pengalaman nilai antikorupsi
menjadi kebiasaan sehari-hari.16
2.3.2Tujuan Pendidikan Antikorupsi
Tujuan yang ingin dicapai melalui pendidikan antikorupsi adalah sebagai berikut17:
Pertama, untuk menanamkan semangat antikorupsi pada setiap anak bangsa. Melalui
pendidikan ini, diharapkan semangat antikorupsi akan mengalir di dalam darah setiap
generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari.
Dengan demikian, pekerjaan membangun bangsa yang terseok-seok karena adanya
korupsi dimasa depan tidak akan terjadi lagi. Jika korupsi sudah diminimalisasi, setiap
pekerjaan membangun bangsa akan maksimal. Kedua, menyadari bahwa pemberantasan
korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum, seperti KPK, Kepolisian, dan
Kejaksaan agung, melainkan tanggung jawab lembaga pendidikan dan semua komonen anak
bangsa.18
2.3.3 Model Pendekatan Pendidikan Antikorupsi
Kurikulum pendidikan antikorupsi secara konseptual dapat diorganisasikan melalui tiga
pendekatan. Pertama, dilaksanakan secara terpisah (separated). Kedua, dilaksanakan pada
mata pelajaran yang berhubungan (correlated). Dan ketiga dilaksanakan secara terintegrasi
(integrated) Tiga pendekatan ini dicantumkan dalam kerangka teori tesis ini karena dalam
pendidikan antikorupsi memang hanya melalui tiga pendekatan atau model ini.
 Nilai-nilai Pendidikan Antikorupsi
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, 2012), terdapat nilai-
nilai yang diinternalisasikan dalam pendidikan antikorupsi yaitu:30 Kejujuran, kepedulian,
kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, kesederhanaan, keberanian, dan
keadilan. Nilai-nilai pendidikan antikorupsi pada kerangka teori ini akan digunakan karena,
nilai-nilai inilah yang ada pada pendidikan antikorupsi.

16
Muhammad Nurdin, Pendidikan Antikorupsi (Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Islami Dalam Menumbuhkan
Kesadaran Antikorupsi Di Sekolah). (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm:178-179
17
28 Ibid. hlm. 99-100
18
(Berydevanda, 2011: 33).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam proses penelitian ini adalah pendekatan
Phenomenologis. Pendekatan Phenomenologis yakni mendekati secara mendalam suatu
fenomena (peristiwa-kejadian, dan atau fakta) yang menyita perhatian masyarakat luas karena
keunikan atau kedahsyatan fakta tersebut mempengaruhi masyarakat.
Penelitian ini juga menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian
hukum yang menggunakan data sekunder sebagai sumber data, langkah penelitian dengan
Logika Yuridis/Silogisme Hukum dan tujuan yang hendak dicapai dengan penjelasan secara
Yuridis Normatif/Analithycal Theory yaitu dengan menganalisis teori - teori yang
berhubungan dengan permasalahannya.19

Pendekatan yuridis pada hakekatnya menunjuk pada suatu ketentuan, yaitu harus
terpenuhi tuntutan secara keilmuan hukum yang khusus yaitu ilmu hukum dogmatik. Ukuran
yang digunakan untuk melihat atau untuk menentukan apakah suatu permasalahan hukum
konkrit telah memenuhi kriteria yuridis atau tidak. Sistem normatif maksudnya ialah bahwa
tinjauan nya itu berangkat dan memfokuskan diri, pada ketentuan hukum positif tata hukum
yang menguasai perkara atau isu hukum yang bersangkutan.

Artinya berada dalam kerangka kemauan dan maksud dari tata hukum yang
bersangkutan. Untuk melihat sistem normatif dan ilmu hukum harus dipahami terlebih dahulu
ciri- ciri atau karakter ilmu hukum normatif tersebut seperti dikatakan oleh Meuwissen:

 Bersifat analistis, artinya tidak semata- mata menjelaskan, akan tetapi juga
memaparkan dan menganalisis isi dan struktur hukum positif yang berlaku.
 Bersifat terbuka atau open system, artinya karena ilmu hukum normatif
mensistematisasi gejala - gejala hukum yang dipaparkan dan dianalisis, maka hal itu
merupakan pengembangan yang mengarah pada suatu sistem hukum yang logis dan
konsisten.
 Bersifat hermeneutic, artinya berusaha menjelaskan makna yang terkandung dalam
aturan hukum itu.

19
Anthon F Susanto, Penelitian Hukum Transformatif-Partisipatoris, LoGoz Publishing, Bandung, 2011, hlm.
21036
 Bersifat normatif, artinya selain objeknya norma, ilmu hukum normatifjuga memiliki
dimensi pernormaan.
 Memiliki arti praktis, maksudnya apa yang dikemukakan ilmu hukum
normatif berkaitan dengan penerapan praktis dari hukum.
3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah penelitian secara yuridis normatif
yakni mengkaji dan menganalisis tentang Integritas pejabat publik sebagai upaya pencegahan
tindak pidana korupsi serta diperkaya dengan data dari berbagai sumber dan buku-buku yang
diperoleh secara studi kepustakaan sebagai sumber data utama. Penelitian normatif ini
dilakukan dengan mempelajari bahan pustaka yang memfokuskan penelitiannya pada
permasalahan pentingnya peran integritas pejabat publik dan peran pendidikan terjadinya
kasus Tindak Pidana Korupsi.
3.3 Definisi Konsep dan Operasional
3.3.1 Definisi Konseptual
Definisi konseptual merupakan batasan terhadap masalah-masalah variabel yang
dijadikan pedoman dalam penelitian sehingga akan memudahkan dalam
mengoperasionalkannya di lapangan. Untuk memahami dan memudahkan dalam menafsirkan
banyak teori yang ada dalam penelitian ini, maka akan ditentukan beberapa definisi
konseptual yang berhubungan dengan yang akan diteliti, antara lain:
b. Tingkat Pendidikan Sudjarwo dan Basrowi menjelaskan Jenjang pendidikan adalah
tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik,
tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.20
c. Partisipasi Politik
Samuel P.Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political
Participation in Developing Countries dalam Miriam Budiardjo (1994) :
“partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-
pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau
sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak
efektif political participation we mean activity by private citizens designed to
influence government decision-making. Paticipation may be individual or collective,
organized or spontaneous, sustained or sporadic.

20
a. Sudjarwo dan Basrowi , Pranata dan Sistem Pendidikan., op.cid, hal: 35-36.
3.3.2 Definisi Operasional
Definisi operasional ini memberikan batasan-batasan tentang pengertian atas variabel-
variabel dalam penelitian ini, sebagai berikut:
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah dalam hal melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan berdasarkan Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah suatu badan khusus yang memiliki kewenangan
melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan.12 Kewenangan dalam hal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
3.4 Jenis dan Sumber Data
Sumber data yaitu sumber dari mana data itu diperoleh. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan
data yang relevan dengan permasalahan ini data yang diambil meliputi sumber data primer dan
sumber data sekunder. Sumber data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya,
diamati dan dicatat untuk pertama kalinya. Sumber data primer dalam penelitian ini yaitu
penelitian thesis yang dilakukan di SMA Muhammadiyah 4 Andong Boyolali. Berdasarkan jenis
penelitian yang dilakukan maka sumber data penelitian ini menggunakan data sekunder
sebagai data utama yaitu meliputi :
a. Data Primer
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara yang Baik dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
3. Ermansjah Djaja, 2009, Kompilasi Ketentuan Pidana Dalam Undang-Undang Pidana
Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 640.
4. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
b. Data Sekunder
Data sekunder yang dipakai berupa pendapat hukum yang diperoleh melalui
kepustakaan, yang terdiri dari: teori, asas-asas, pendapat ahli, hasil penelitian yang berkaitan
dengan permasalahan mengenai Integritas pejabat publik sebagai upaya pencegahan terhadap
tindak pidana korupsi. Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang bukan diusahakan
sendiri pengumpulannya oleh peneliti, misalnya dari biro statistik, majalah, keterangan-
keterangan atau publikasi. Sumber data sekunder dalam penelitian ini yaitu berupa data-data
tertulis seperti data sekolah, guru, karyawan dan siswa, struktur organisasi, daftar inventaris serta
buku-buku penunjang, dan lain sebagainya.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Metode yang dipergunakan dalam pengumpulan data adalah dengan cara studi
pepustakaan, yakni pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang
terdapat di dalam undang-undang, peraturanperaturan, buku-buku tentang Integritas, artikel-
artikel, melalui internet serta dokumentasi lainnya yang berhubungan dengan materi
penelitian.
Data yang diambil tidak terlepas dari metode pengumpulan data, dan guna memperoleh
data yang diperlukan dalam penelitian ini maka penulis mengambil data yang menggunakan
metode penelitian yang dilakukan oleh penulis sebelumnya.
a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua
pihak, yaitu wawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Tujuan dari instrument interview ini
adalah untuk mengetahui dan memperoleh data yang berkaitan dengan kurikulum pendidikan
antikorupsi di SMA Muhammadiyah 4 Andong Boyolali.
Wawancara dalam penelitian ini akan ditujukan kepada kepala sekolah, wakil kepala
sekolah (bagian al-Islam dan Kemuhammadiyahan), guru yang mengajarkan pelajaran
antikorupsi, dan siswa.
b. Observasi
Observasi adalah cara mengumpulkan data dengan mengamati atau mengobservasi objek
penelitian atau fenomena baik berupa manusia, benda mati, kegiatan, dan alam21. Metode
observasi yang peneliti gunakan adalah metode observasi partisipan yaitu peneliti terlibat dengan
kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data
penelitian.
Teknik observasi dalam penelitian ini yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mempelajari hasil dari penelitian yang dilakukan di di SMA Muhammadiyah 4 Andong Boyolali.
3.6 Teknik Analisis Data

21
35 Ahmad Tanzeh, Metode Penelitian Praktis, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 87
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah mengkaji tentang integritas
pejabat publik sebagai upaya mencegah tindak pidanakorupsi sebagai sumber hukum utama
yang akan dianalisis dan diolah secara kualitatif. Data hasil penelitian dari kepustakaan ini
akan disusun secara sistematis kemudian ditarik kesimpulan dengan metode berpikir deduktif
artinya metode berpikir dari hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik pada kesimpulan
yang bersifat khusus, dalam hal ini menggunakan penalaran diskriftif sehingga diperoleh
jawaban terhadap permasalahan yang dipaparkan.
3.7 Pemilihan Lokasi Penelitian
Dalam hal lokasi penelitian, penulis melakukan penelitian di dua lokasi, antara lain:
a. Studi Pustaka
 Perpustakaan Universitas Bengkulu (UNIB) Jl.Wr. Supratman, Kel. Kandang
Limun, Kec. Muara Bangkahulu
 Perpustakaan Daerah Provinsi Bengkulu
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai