Anda di halaman 1dari 2

Runtuhnya Marwah Institusi Pemerintah

Pada beberapa pekan terakhir terdengar santer pemberitaan terkait oknum pejabat
publik yang melakukan tindakan di luar norma dan aturan yang berlaku. Mulai dari fenomena
petinggi Polri yang dijatuhi hukuman oleh Pengadilan atas kasus pembunanan berencana. Di
mana kasus tersebut sempat menjadi perhatian dan buah bibir di kalangan masyarakat. Mulai
dari media cetak, elektronik, sampai digital mewartakan kejadian tersebut dari berbagai sudut
pandang.
Imbas dari adanya kasus pembunuhan Brigadir J yang melibatkan mantan Kepala
Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Ferdy Sambo, berdasarkan survei yang
dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap institusi Polri mengalami penurunan 13 persen dari 72,1 persen
(sebelum kasus) menjadi 59,1 persen. Survei tersebut dilakukan pada 11-20 September 2022
kepada 1.200 responden di 34 provinsi dan menggunakan metode riset kualitatif dengan
analis media, Focus Group Discussion (FGD), dan indepth interview. Wawancara
dilaksanakan secara tatap muka (face to face interview) dengan margin of error (Moe) survei
ini sekitar 2,9 persen.
Tidak lama berselang publik kembali digegerkan dengan prilaku penganiayaan biadab
yang dilakukan Mario Dandy Satriyo (MDS) terhadap Cristalino David Ozora (CDO).
Akibatnya David mengalami pembengkakan pada otak dan dirawat intensif di Rumah Sakit.
Belakang diketahui MDS merupakan anak dari pejabat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen
Pajak) Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo (RAT). Buntut dari arogansi dan
prilaku kesewanang-wenangan yang dilakukan anaknya, RAT dicopot dari jabatannya
sebagai eselon III Kabag Umum Kanwil DJP Jakarta Selatan II.
Hal yang bikin masyarakat jadi tambah geram adalah prilaku Rafael Alun Trisambodo
dan keluarganya yang suka pamer kemewahan secara berlebihan dan tidak sesuai dengan
kepantasan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Setelah melalui pemeriksaan yang mendalam ternyata hasil kekayaan yang diperoleh RAT
selama ini diluar batas kewajaran. Hal ini didukung oleh Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) yang menemukan sejumlah transaksi janggal senilai Rp 500
miliar lebih dari rekening Rafael Alun Trisambodo dan keluarganya.
Selanjutnya, Kementerian Keuangan kembali ditimpa kasus tak sedap dengan
terungkapnya gaya hidup mewah kepala kantor Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto. Eko
Darmanto menjadi sorotan publik akibat aksinya pamer kemewahan di media sosial. Eko
akhirnya dicopot dari posisinya sebagai kepala kantor Bea Cukai Yogyakarta. Selain itu juga
ada kepala kantor Bea Cukai Makassar, Andhi Purnomo yang memiliki gaya hidup mewah.
Andhi Prunomo diminta oleh Kementerian Keuangan untuk mengklarifikasi atas harta
fantastis miliknya senilai Rp13,7 miliar.
Tidak selesai sampai di situ, tsunami masalah di Kementerian Keuangan semakin
menggila setelah Menteri Koordinator Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud
MD, megaku menerima laporan adanya aliran dana tak wajar sebesar Rp300 triliun di
lingkungan Kementerian Keuangan. Mahfud mengatakan, pegawai yang terlibat di
Kemenkeu berjumlah 491 orang dan Rafael Alun Trisambodo hanya salah satu dari
banyaknya jaringan mafia yang ada di Kementerian Keuangan.
Mendengar informasi tersebut bagai petir menyambar di siang bolong. Marwah
Kementerian Keuangan benar-benar jatuh sejatuh-jatuhnya. Bagaimana tidak, selama ini
instansi yang getol melakukan tata kelola reformasi birokrasi dan di kenal sebagai institusi
yang bersih dan transpran dalam mengelola anggaran negara harus menelan pil pahit akibat
oknum yang melakukan penyelewengan dan memiliki gaya hidup mewah diluar batas
kewajaran.
Hedonisme Merusak Moral
Sebenarnya akar dari semua kejadian tersebut adalah hedonisme. Di mana secara
pengertian hedonisme sendiri merupakan sebuah doktrin yang menyatakan bahwa
kesenangan adalah hal yang paling penting dalam hidup (Collins GEM, 1993). Dengan kata
lain, hedonisme adalah paham yang dianut oleh orang-orang yang mencari kesenangan hidup
semata. Sehingga sesuatu itu dianggap baik, ketika mendatangan sebuah kebahagiaan.
Sedangkan sesuatu yang hanya mendatangkan kesusahan, penderitaan, dan tidak
menyenangkan dinilai tidak baik.
Berbicara mengenai “kebahagiaan” sebenarnya tidak ada salahnya manusia mengejar
kebahagiaan dalam hidupnya. Sebagai seorang pejabat negara juga memiliki hak untuk
bahagia. Akan tetapi yang menjadi persolaan adalah ketika kebahagiaan tersebut didapatkan
dengan cara-cara yang tidak etis atau melanggar norma serta aturan yang berlaku. Seperti
yang dilakukan oleh beberapa oknum pejabat di Kementerian Keuangan yang memanfaatkan
kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi, keluarga, dan kelompoknya sebanyak-
banyaknya.
Hal tersebut sangatlah merugikan banyak pihak. Dana yang semula dapat digunakan
sebagai modal untuk melakukan pembangunan di berbagai aspek seperti bantuan pendidikan,
peningkatan layanan kesehatan, pembangunan infrastuktur, bantuan modal usaha kecil
menengah, dan program lain menjadi berkurang karena diambil oleh pejabat untuk
memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya. Sehingga dapat dilihat ketika kehidupan
pejabat yang memiliki kekayaan diluar batas kewajaran seperti kasus yang telah dipaparkan
sebelumnya menimbulkan kecemburuan sosial yang begitu tinggi dari masyarakat.
Mengingat pada realitasnya di masyarakat Indonesia sendiri masih banyak orang yang hidup
dalam kondisi ekonomi yang terbatas.
Fenomena ini sebenarnya sudah pernah dipotret oleh Karl Max. Ia menjelaskan bahwa
pada dasarnya manusia ingin terus mengejar kebahagiaan. Ketika manusia berkuasa pasti ia
akan terus menerus memanfaatkan manusia lain (hegomoni) untuk mendapatkan apa yang ia
inginkan. Sehingga yang terjadi adalah relasi sosial ekonomi yang timpang. Di mana kelas
borjuis (kelas ekonomi atas) selalu memanfaatkan kelas ploletar (kelas ekonomi bawah)
untuk mengejarkan banyak pekerjaan. Hal ini juga dilakukan oleh para oknum pejabat
tersebut dengan memanfaatkan sumber kekuasaan yang ia miliki sebagai pengelola dana
pajak untuk mengatur dan melakukan kecurangan. Sehingga pada akhirnya ia dan
kelompoknya mendapatkan keuntungan (bertambah kaya). Sebaliknya masyarakat kelas
ekonomi bawah tidak terbantu kehidupannya (kurang sejahtera), karena tidak mendapat
manfaat dari dana pajak pembangunan yang seharunya dilakukan.

Nb: Jumlah kata (Judul & Isi) = 850 kata

Anda mungkin juga menyukai