DISUSUN OLEH
UNIVERSITAS TADULAKO
2019/2020
PENDAHULUAN
Kata Korupsi berasal dari bahasa latin Coruptio atau Coruptus.selanjutnya dikatakan
bahwa Coruptio berasal dari kata Coruppere suatu bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin
tersebut kemudian di kenal istilah Coruption, Corrupt (Inggris), Coruption (Perancis) dan
Corruptie/korruptie (Belanda). Anti korupsi secara harifial adalah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Korupsi di
Indonesia telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa.
Melihat realita tersebut timbul public judgement bahwa korupsi adalah manisfestasi budaya
bangsa. Telah banyak usaha yang dilakukan untuk memberantas korupsi. Namun sampai saat ini
hasilnya saat ini masih tetap belum sesuai dengan harapan masyarakat. Menurut Paul melalui
studinya memperlihatkan bahwa monopoli, diskresi, dan minimnya akuntabilitas menjadi faktor
timbulnya korupsi di sektor publik. Korupsi = Monopoli + Diskresi – Akutansi. Sesuai dengan
intruksi Presiden nomor 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi, maka diantara
intruksi tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, baik dalam
bentuk jasa atau perzinaan melalui transparasi dan standardisasi pelayanan yang meliputi
persyaratan-persyaratan, target waktu penyelesaian, dan tarif biaya yang harus dibayar oleh
masyarakat untuk mendapakan pelayanan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan
menghapuskan pungutan-pungutan liar. Dalam impres tersebut, presiden antara lain secara
khusus mengintruksikan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparat Negara untuk
menyiapkan rumusan kebijakan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Presiden
juga mengintruksikan kepada Gubernur, dan Bupati/Walikota agar meningkatkan pelyanan
publik dan meniadakan pungutan liar dalam pelaksanaannya.
ISI
Pada dasarnya, suap menyuap itu tidak harus berupa pemberian dalam bentuk uang atau
barang, akan tetapi juga dapat berupa janji atau penyediaan kesenangan pada peejabat yang
disuap. Kondisi yang telah berlangsung lama itu tetap berlanjut hingga sekrang ini, praktik KKN
tetap merajalela meski pemerintah telah mmengeluarkan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelengara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi
dan nepotisme, Undang-undang nomor 31 tajun 1999 tentang pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme dengan segala perangkatnya pendukungnya, seperti komisi pemberantasan tindak
pidana korupsi ( KPK ), Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Timtas Tipikor ), dan Tim
Pemburu Koruptor.
Perilaku korupsi identik dengan perillau curang. Oleh karena itu perilaku korupsi hampir
sama usianya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Di berbagai negara, baik negara kaya
maupun miskin, negara maju, berkembang, maupun terbelakang, korupsi jelas pasti ada.
Yang membedakannya, diantara negara itu adalah tingkat intensitas korupsi dan dampaknya
terhadap kehidupan bangsa dan negara.
Indonesia tersohor sebagai salah satu negara yang paling korup di dunia. Hasil riset
Transparency International yang bepusat di Jerman beberapa tahun terakhir masih menempatkan
Indonesia di antara Negara paling korup di dunia. Berdasarkan analis data statistik pada CPI
2004 yang dilakukan oleh prof. Dr. Johan Graft Lambsdorf, sebagaimana dikutip dari Awang
Anwarudin ( 2007 ). Strategi Implementasi Percepatan pemberantasan korupsi. Indonesia berada
di urutan ke 10 dari negara-negara paling korup di dunia. Atau berada di urutan ke-3 negara
terkorup di Asia setelah Bangladesh dan Myanmar ( Hayat, 2011 ).
Pada masa orde Baru, kasus korupsi di Indonesia mulai marak pada dekade awal tahun
1970-an, kketika mengalirnya dana jutaan dollar berupa utang dari negara donor ( IGGI ) ke
Indonesia. Utang luar negeri itu tidak dikelola dengan sistem manajemen distribusi dan kontrol
yang baik, sehingga terjadilah kebocoran. Hingga kini akumulasi total utang luar negeri
iindonesia per Maret 2015 mencapai Rp 1.282, triliun. Jika utang tersebut dibagi rata dengan
jumlah penduduk Indonesia yang kini mencapai jumlah 220 juta orang, maka setiap jiwa di
Indonesia akan menanggunng hutang sebesar lebih kurang Rp 5,5 juta per orang ( Krina, 2008 ).
Hutang yang besar, korupsi yang mengurita, dan krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih
merupakan beban berat bagi bangsa ini. Pendapatan negara yang semestinya diperuntukkan
untuk pembangunan, justru dalam jumlah besar digunakan untuk mencicil atau melunasi hutang.
Dalam kondidi demikian itu, maka tidak mengherankan jika kehidupan masyarakat yang
sejahtera dan berkeadilan sosial masih jah dari cita-cita. Kalau dahulu praktik KKN banyak
dilakukan pejabat tingkat pusat ( Jakarta ), karena disanalah kewenangan dan uang negara
terkonsentrasi, maka di era ekonomi daerah, selain adanya desentarlisasi kewenangan kepada
daerah, malah terjadi pula desentralisasi korupsi yang memperkaya para elite daerah. Korupsi
ini tidak lagi didominasi para pejabat tinggi di jakarta, tetapi sudah menjad bagian kehidupan
pejabat daerah ironinya dilakukan secara berjumlah seperti yang dilakukan oleh kalangan DPRD
di beberapa daerah.
Di era otonomi daerah, adakalanya dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah ( PAD ), maka pemerinta provinsi, kabupaten, dan kota mengeluarkan banyak perda
retribusi. Akan tetapi, banyaknya retribusi yang berlebihan justru bersifat Counter productof
karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi, menimbulkan ketidaknyamanan publik, mulai dari
rasa memberatkan sampai munculnya kerugiaan bahwa pemerintah daerah telah melakukan
pungutan liar dengancara yang legal. Meski pemerintah daerah melegalkan, mungkin saja perda
retribusi itu bertentangan dengan produk hukum nasional seperti Undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan presiden atau keputusa mentri.
Posisi publik yang lemah dapat menjadi sasaran empuk bagi praktik curang di sektor
pelayanan publik. Oknum aparat dapat bermain dengan memeras publik yang berurusan dengan
birokrat. Atau jika tidak, publik tidak memperboleh pelayanan yang semestinya, sampai mereka
mau memberikan amplop atau janji tertentu kepada oknum aparat. Memang ada saja dikalangan
publik atau dunia usaha yang menolak dengan tegas praktik suap dan sejenisnya. Akan tetapi
mereka itu menanggung resiko seperti tidak mendapat pelayanan yang simpatik, prosedur yang
berbelit-belit sehinggga terasa dipimpong kesana kemari, rugi waktu, renaa dan biaya atau kalah
dalam persaingan bisnis.
Sesuai dengan kompleksitas permasalahan, maka seharusnya banyak cara yang dapat dilakukan
untuk mencegah korupsi disektor pelayanan. berikut ini saran konstruktif,dan diharpapkan
bukan sekedar retorika atau wacana ayang seringkali kita temui, akan tetapi secara teknis dapat
diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan menuju pelayan kususnya di di indonesia.