Anda di halaman 1dari 8

PENCEGAHAN KORUPSI DI SEKTOR PUBLIK

DISUSUN OLEH

KRISTHA STEFINA MAMBOYU (A311 19 055)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TADULAKO

2019/2020
PENDAHULUAN

Kata Korupsi berasal dari bahasa latin Coruptio atau Coruptus.selanjutnya dikatakan
bahwa Coruptio berasal dari kata Coruppere suatu bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin
tersebut kemudian di kenal istilah Coruption, Corrupt (Inggris), Coruption (Perancis) dan
Corruptie/korruptie (Belanda). Anti korupsi secara harifial adalah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Korupsi di
Indonesia telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa.

Melihat realita tersebut timbul public judgement bahwa korupsi adalah manisfestasi budaya
bangsa. Telah banyak usaha yang dilakukan untuk memberantas korupsi. Namun sampai saat ini
hasilnya saat ini masih tetap belum sesuai dengan harapan masyarakat. Menurut Paul melalui
studinya memperlihatkan bahwa monopoli, diskresi, dan minimnya akuntabilitas menjadi faktor
timbulnya korupsi di sektor publik. Korupsi = Monopoli + Diskresi – Akutansi. Sesuai dengan
intruksi Presiden nomor 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi, maka diantara
intruksi tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, baik dalam
bentuk jasa atau perzinaan melalui transparasi dan standardisasi pelayanan yang meliputi
persyaratan-persyaratan, target waktu penyelesaian, dan tarif biaya yang harus dibayar oleh
masyarakat untuk mendapakan pelayanan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan
menghapuskan pungutan-pungutan liar. Dalam impres tersebut, presiden antara lain secara
khusus mengintruksikan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparat Negara untuk
menyiapkan rumusan kebijakan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Presiden
juga mengintruksikan kepada Gubernur, dan Bupati/Walikota agar meningkatkan pelyanan
publik dan meniadakan pungutan liar dalam pelaksanaannya.
ISI

PENCEGAHAN KORUPSI DI SEKTOR PUBLIK

Sektor pelayanan publikyang dikelolah pemerintah, baik depapartemen, lembaga


pemerintah non departemen, maupun pemerintah daerah, seperti pelayanan pajak, perizinan,
investasi, pembuatan KTP, SIM, STNK, IMB, transportasi, akta, sertifikat tanh, listrik, air,
telpon, pos, dan sebagainya merupakan sektor yang rentan terjadinya korupsi, karena berkaitan
lagsung dengan kepentingan masyarakat. Di sektor pelayanan publik terjadi hubungan antara
domain, yakni pemerintah atau birokrasi sebagai penyelenggaraan pemerintahan, sektor usaha,
dan masyarakat umum. Pada hakikatnya korupsi beserta kolusi dan nepotisme bukan kegiatan
sepihak, melainkan terjadi karena adanya hubungan, misalnya antara aparat pemerintah dengan
pengusaha. Oleh karena adanya interaksi intulah, maka kemungkinan adanya KKN bisa terjadi,
seperti tawar menawar biaya, pungutan liar, kolusi, penjualan pengaruh, nepotisme, kuitansi
fiktif, manipulasi laporan keuangan, katabalece, transfer komisi, mark up, pemerasan,
penyuapan, yang disamarkan sebagai hibah, hadia atau uang terimakasih dan cara-cara lain yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan yang kesemuanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi (High
Cost Economy). Sektor pelayanan pajak misalnya, merupakan sektor yang di tuding rawan
korupi. Di sana tempat terhimpun uang miliyaran samapi triliunan rupiah dari para wajib pajak.
Modus seperti mengangsir setoran pajak, tawar menawar nilai pajak sehingga pajak yang di
bayar dengan biaya lebih kecil, menggelapkan pajak yang dibayarkan, meminta persenan dari
pemohon bebas pajak, maupun petugas pajak, manipulasi laporan keuangan sehingga nilai
pajaknya berkurang, pemalsuan faktor pajak, mengisi SPT dengan data yang tidak sesuai dengan
kenyataan, dan meminta pembenaran isi SPT itu dengan cara menyuap oknum konsultan pajak,
maupun petugas pajak. Selain berupa korupsi, keluhan yang sering mengemuka terhadap sektor
pelayanan umumya adalahmenyangkut kualitas pelayanan seperti sistem dan prosedur pelayanan
yang berbelit-belit atau lambat, tidak transparan, kurang informasi, kurang simpatik dan
akomodatif, diskriminasi pelayanan, tidak memiliki standar baku pelayanan, atau kurang
konsisten sehingga tidak menjamin kepastian hukum, waktu dan biaya. Ironisnya, keluhan serupa
juga dirasakan sendiri oleh para PNS yang nota bene adalah sejaawat atau sesama aparat
birokrasi pada saat menyelesaikan urusan kepegawaian, seperti usul kenaikan pangkat, kenaikan
gaji berkala, usul jabatan struktural dan fungsional, cuti, bantuan kesejahteraan, dan sejenisnya.
Keluhan itu seringkali di kaitan dengan adanya budaya amplop yang harus disediakan jika
mereka berurusan di BKD, BKN atau instansi terkait lainya. Sudah bukan menjadi rahasia lagi
bahwa di banyak instansi pelayanan publik milik pemerintah seolah tidak ada lagi meja yang
terbebas dari praktik suap, sementara rangkaian meja yang ditelusuri kadangkala cukup panjang,
sehingga dapat dibayangkan berapa banyak uang suap yang dikeluarkan untuk memperpendek
birokrasi pelayanan itu. Atau bagi masyarakat yang enggan dengan birokrasi itu, kadangkala
lebih memilih berurusan lewat perantaraan calo. Akan tetapi, dikalangan bisnis dan birokrasi
pemerintah juga telah lama berlaku prinsip simbisiosis mutualisme, dimana pengusaha berbagi
rezeki dengan oknum birokrat. Karena prinsip itulah dikalangan dunia usaha dan birokrasi terjadi
praktik suap yang maksudnya untuk memperoleh kemudahan memperoleh fasilitas atau dalam
rangka memenangi persaingan bisnis. Dalam praktiknya, suap disamarkan sebagai hibah, hadiah
atau uang terima kasih kepada pejabat sebagai upaya menyamarkan perbuatan ilegal.

Pada dasarnya, suap menyuap itu tidak harus berupa pemberian dalam bentuk uang atau
barang, akan tetapi juga dapat berupa janji atau penyediaan kesenangan pada peejabat yang
disuap. Kondisi yang telah berlangsung lama itu tetap berlanjut hingga sekrang ini, praktik KKN
tetap merajalela meski pemerintah telah mmengeluarkan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelengara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi
dan nepotisme, Undang-undang nomor 31 tajun 1999 tentang pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme dengan segala perangkatnya pendukungnya, seperti komisi pemberantasan tindak
pidana korupsi ( KPK ), Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Timtas Tipikor ), dan Tim
Pemburu Koruptor.

Perilaku korupsi identik dengan perillau curang. Oleh karena itu perilaku korupsi hampir
sama usianya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Di berbagai negara, baik negara kaya
maupun miskin, negara maju, berkembang, maupun terbelakang, korupsi jelas pasti ada.
Yang membedakannya, diantara negara itu adalah tingkat intensitas korupsi dan dampaknya
terhadap kehidupan bangsa dan negara.

Indonesia tersohor sebagai salah satu negara yang paling korup di dunia. Hasil riset
Transparency International yang bepusat di Jerman beberapa tahun terakhir masih menempatkan
Indonesia di antara Negara paling korup di dunia. Berdasarkan analis data statistik pada CPI
2004 yang dilakukan oleh prof. Dr. Johan Graft Lambsdorf, sebagaimana dikutip dari Awang
Anwarudin ( 2007 ). Strategi Implementasi Percepatan pemberantasan korupsi. Indonesia berada
di urutan ke 10 dari negara-negara paling korup di dunia. Atau berada di urutan ke-3 negara
terkorup di Asia setelah Bangladesh dan Myanmar ( Hayat, 2011 ).

Pada masa orde Baru, kasus korupsi di Indonesia mulai marak pada dekade awal tahun
1970-an, kketika mengalirnya dana jutaan dollar berupa utang dari negara donor ( IGGI ) ke
Indonesia. Utang luar negeri itu tidak dikelola dengan sistem manajemen distribusi dan kontrol
yang baik, sehingga terjadilah kebocoran. Hingga kini akumulasi total utang luar negeri
iindonesia per Maret 2015 mencapai Rp 1.282, triliun. Jika utang tersebut dibagi rata dengan
jumlah penduduk Indonesia yang kini mencapai jumlah 220 juta orang, maka setiap jiwa di
Indonesia akan menanggunng hutang sebesar lebih kurang Rp 5,5 juta per orang ( Krina, 2008 ).
Hutang yang besar, korupsi yang mengurita, dan krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih
merupakan beban berat bagi bangsa ini. Pendapatan negara yang semestinya diperuntukkan
untuk pembangunan, justru dalam jumlah besar digunakan untuk mencicil atau melunasi hutang.
Dalam kondidi demikian itu, maka tidak mengherankan jika kehidupan masyarakat yang
sejahtera dan berkeadilan sosial masih jah dari cita-cita. Kalau dahulu praktik KKN banyak
dilakukan pejabat tingkat pusat ( Jakarta ), karena disanalah kewenangan dan uang negara
terkonsentrasi, maka di era ekonomi daerah, selain adanya desentarlisasi kewenangan kepada
daerah, malah terjadi pula desentralisasi korupsi yang memperkaya para elite daerah. Korupsi
ini tidak lagi didominasi para pejabat tinggi di jakarta, tetapi sudah menjad bagian kehidupan
pejabat daerah ironinya dilakukan secara berjumlah seperti yang dilakukan oleh kalangan DPRD
di beberapa daerah.

Di era otonomi daerah, adakalanya dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah ( PAD ), maka pemerinta provinsi, kabupaten, dan kota mengeluarkan banyak perda
retribusi. Akan tetapi, banyaknya retribusi yang berlebihan justru bersifat Counter productof
karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi, menimbulkan ketidaknyamanan publik, mulai dari
rasa memberatkan sampai munculnya kerugiaan bahwa pemerintah daerah telah melakukan
pungutan liar dengancara yang legal. Meski pemerintah daerah melegalkan, mungkin saja perda
retribusi itu bertentangan dengan produk hukum nasional seperti Undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan presiden atau keputusa mentri.
Posisi publik yang lemah dapat menjadi sasaran empuk bagi praktik curang di sektor
pelayanan publik. Oknum aparat dapat bermain dengan memeras publik yang berurusan dengan
birokrat. Atau jika tidak, publik tidak memperboleh pelayanan yang semestinya, sampai mereka
mau memberikan amplop atau janji tertentu kepada oknum aparat. Memang ada saja dikalangan
publik atau dunia usaha yang menolak dengan tegas praktik suap dan sejenisnya. Akan tetapi
mereka itu menanggung resiko seperti tidak mendapat pelayanan yang simpatik, prosedur yang
berbelit-belit sehinggga terasa dipimpong kesana kemari, rugi waktu, renaa dan biaya atau kalah
dalam persaingan bisnis.

Sesuai dengan kompleksitas permasalahan, maka seharusnya banyak cara yang dapat dilakukan
untuk mencegah korupsi disektor pelayanan. berikut ini saran konstruktif,dan diharpapkan
bukan sekedar retorika atau wacana ayang seringkali kita temui, akan tetapi secara teknis dapat
diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan menuju pelayan kususnya di di indonesia.

1. Mencegahnya korupsi di sektor pelayanandapat dilakukan dengan menciptakan


pelayanan yang berkualitas, yakni pelayanan prima. Pelayaan yang demikian itu tentunya
menjunjung transpansi dan akuntabilitas, standrdisasi pelayanan, bersikap akomodatif,
ramah, senyum dan simpatik, mempumyai proseduryang baku namun praktis konsisten
terhadap peraturan yang ditetapkan dan dimiliki kepastian di segi tarif biaya yang
dikeluarkan dan waktu penyelesaiannya, bebas dari praktik pungutan liar, dan
berorientasi kepada kepuasan pelanggan.
2. Untuk mewujudkanya, maka pembenahan sektor layanan harus mengacuh kepada data
akurat, sehingga bersifat mencerahkan.
3. Fungsi pengawasan intern di sektor pelayanan perlu ditingkatkan dengan melakukan
kerja sama dengan lembaga lainnya yang disokong pemerintah seperti Badan
Pemeriksaan Keuangan (BPK) , Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaraan Negara
(KPKPN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK), dan memperhatikan masukan-masukan yang bersifat
membangun dari kalangan pengamat, dunia usaha, maupun lembaga swadaya
masyarakat, seperti Transparansi Internasional Indonesia.
4. Melakukan penangkasan birokrasi atau prosedur pelayanan yang dirasa menghambat
dengan menyediakan pelayanan dengan satu pintu (one stop service).
5. Meningkatkan kualitas SDM secara terprogram dan berkelanjutan.
6. Memberikan penanganan khusus terhadap petugas yang bersentuhan langsung dengan
pelanggaran.
7. Menyampaikan informasi pelayanan secara proaktif kepada publik seperti pada media
cetak, media elektronik, penyaluran langsung pada masyarakat atau dengan cara
memasuki kurikulum dunia pendidikan formal.
8. Menciptakan transparasi syarat, prosedur, dan biaya serta kemudahan, memperoleh
informasi pelayanan yang dibutuhkan.
9. Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada publikyang merasa
dirugikan saat melakukan transaksi dengan petugas di unit pelayanan maka unit
pelayanan harus membuka kesempatan pada publik yang merasa di rugikan dengan
menyampaikan pengaduannya melalui kotak pengaduan atau membuka hotline telepon.
10. Akan tetapi lebih penting lagi jika adanya tindak lanjut sebagai jawaban atas pengaduan
yang masuk.
11. Untuk membangun kepercayaan publik , maka penting bagi pimpinan unit kerja untuk
menegakkan aturan dan menindak dengan tegas penyimpangan yang terjadi.
12. Untuk mencegah terulangnya kasus pungutan liar, maka secara insidental pimpinan
instansi perlu melakukan inspeksi mendadak ke unit-unit pelayanan, mengamati proses
pelayanan, dan mengajukan beberapa pertanyaan,jika ternyata biaya yang di kenakan
petugas melebihi ketentuan, maka pimpinan instansi langsung menegur petugas unit
pelayanan untuk melayani sesuai dengan ketentuan yang ada.
13. Untuk mencega praktif penyuapan yang berdampak pada buruknya pelayanan maka
penting di ruang atau loket pelayanan di pasang poster atau tuliasan yang dapat dapat
memuat etika pelayanan, tulisan ayat atau hadis yang melarang praktik suap, korupsi,
kolusi dan nepotisme.
14. Untuk mengurangi praktik suap antara petugas pelayanan dan pengguna layanan, maka
pertemuan fisik diantara keduanya sedapat mungkin dikurangi.
15. Untuk mewujutkan pelayanan prima bebas korupsi, maka ada baiknya, dilakukan
sertifikasi dan standardisasi unit-unit pelayanan, khususnya yang dikelolah pemerintah.
Agar mendorong petugas atau unit pelayanan untuk meningkatkan kualitas produk dan
jasa pelayanan sesuai standar yang ditetapkan.
KESIMPULAN

Jika bicara mengenai pencegahan pencegahan korupsi di sektor publik, cukup


mengaawatirkan dan kita harus semangat untuk memerangi para koruptor. Apalagi di sektor
publik dengan banyaknya institusi pemerintah makin besar pula peluang seseorang untuk
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Berbagai macam cara digunakan oleh para oknum untuk
melancarkan niat busuk mereka. Dalam pencegahannya sendiri tentulah peran dari petinggi
sangatlah penting untuk selalu mengawasi dan selalu mencegah korupsi dilingkupsektor publik.
Dengan tidak memberikan ruang bagi para pelakunya dan memberikan peringatan atau sanksi
bagi para pelakunya. Karena prakter Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sangat merugikan rakyat.
Peran rakyat dalam mencegah korupsi juga sangatlah penting. Rakyat harus melaporkan segalah
sesuatu yang berkaitan dengan praktek KKN jika ada yang terbukti. Warga sipilpun harus peka
dan peduli terhadap korupsi di sektor publik. Dengan kerugian yang di timbulkan membuat
rakyat sengsara. Untuk mencegah dan menghentikan praktek KKN tersebut, indahnya sedari
kecil anak-anak harus diajari tentang ruginya dan berbahayanya korupsi bagi rakyat. Dan harus
di ajarkan dan diterapkan pendidikan karakter dan pencegahan anti korupsi dari kecil. Agar anak
sadar, dan ketika ia besar nanti tidak akan melakukan hal terhina tersebut. Sebab berapapun dia
korupsi tetap akan menyebabkan kesengsaraan bagi seluruh orang.

Anda mungkin juga menyukai