Anda di halaman 1dari 9

Sambutan Seminar Pemberantasan Korupsi KPK di Palembang

Sambutan Ketua DPD RI


Pada Seminar “Pemberantasan Korupsi Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik”
Palembang, 30 September 2010

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua,

Yang terhormat:
Gubernur Sumatera Selatan;
Para Bupati/Walikota Se-Provinsi Sumsel;
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi;
Ketua Ombudsman;
Pimpinan SKPD di lingkungan Provinsi dan Kota;
Para Jurnalis, Mahasiswa, Tokoh Agama, dan Tokoh Masyarakat.

Hari ini kita akan mengikuti seminar pemberantasan korupsi dengan tema “Pemberantasan
Korupsi Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik” yang diselenggarakan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang rencananya akan dilaksanakan di empat kota mulai dari
Palembang, Manado, Makassar dan akan berakhir di Bandar Lampung.

Penyelenggaraan rangkaian seminar ini tentu saja memiliki makna strategis dalam rangka
menyosialisasikan gerakan antikorupsi di berbagai daerah, karena sadar atau tidak, otonomi
daerah dan desentralisasi di satu sisi memberikan penguatan kewenangan kepada pemerintah
daerah dalam melaksanakan fungsi otonomi pemerintahan, namun di sisi lain juga berdampak
pada makin maraknya praktek korupsi di daerah.

Hampir setiap saat kita mendengar dan membaca di koran KPK melakukan proses hukum
terhadap para pejabat daerah yang terindikasi melakukan praktek tindak pidana korupsi. Seolah-
olah korupsi tumbuh subur bersamaan dengan banyaknya daerah-daerah pemekaran baru.

Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia sudah melahirkan 205 daerah baru, yang terdiri dari 7
provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Jika dirata-rata, setiap tahun ada 20 daerah otonomi baru.
Namun, harapan munculnya daerah baru yang menyejahterakan masyarakat belum sesuai dengan
visi dan target, malah sebaliknya menyeburkan praktek tindak pidana korupsi.

Survei Bank Dunia dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM tahun 2009 terhadap
1.815 rumah tangga di tujuh provinsi hasil pemekaran, menunjukkan bahwa pemekaran justru
semakin menyuburkan praktik korupsi dan menyebabkan terjadinya inefisiensi. Lebih dari 36
persen rumah tangga yang disurvei mengaku harus membayar uang sogokan untuk mendapatkan
pelayanan.

Penelitian Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM tahun 2009 juga menemukan sekitar
1.891 kasus korupsi dalam kurun waktu lima tahun di tujuh daerah pemekaran dilaporkan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data tersebut belum termasuk kasus yang ditangani
kepolisian dan kejaksaan atau yang sedang diproses di persidangan.

Sampai dengan tahun 2010 sejak otonomi dilakukan, Indonesian Corruption Watch (ICW) juga
mensinyalir bahwa otonomi daerah membuka peluang meningkatnya praktek tindak pidana
korupsi. Menurut kajian ICW, setidaknya ada lima celah anggaran selama ini yang menjadi
target korupsi di daerah yakni; anggaran APBD, ang¬garan pemekaran daerah, ang¬garan
pemilihan kepala daerah, anggaran penanggulangan ben¬cana, dan anggaran kunjungan kerja.

Artinya apa, kebijakan otonomi daerah dalam 10 tahun terakhir mengakibatkan terjadinya
diaspora korupsi dari pusat ke daerah. Semangat awal untuk menyejahterakan rakyat kemudian
berbalik arah menjadi sekadar membagi kue kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dan
kelompok.

Padahal sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dengan sistem otonomi dan
desentraisasi, praktek korupsi di daerah seharusnya semakin berkurang, karena sistem demokrasi
mensyaratkan transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, dan pengawasan sebagai bagian dari
pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang bersih (good governance).

Oleh karena itu, kita berharap melalui seminar pemberantasan korupsi di empat kota tersebut,
visi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih yang didukung dengan sistem pelayanan
publik yang berkualitas tanpa suap, sogokan, korupsi, dan manipulasi menjadi komitmen kolektif
dari tingkat pemerintahan pusat sampai daerah.

Karena maraknya praktet korupsi di daerah tidak hanya berdampak pada meruginya hak-hak
ekonomi rakyat, namun secara nasional memberikan pengaruh yang signifikan terhadap citra
Indonesia di mata dunia internasional. Dimana pada tahun 2010 ini, survey bisnis dari Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan Indonesia pada urutan teratas dari 16
negara tujuan investasi sebagai negara yang paling korup dengan skor 9,07 dari nilai 10.

Survey ini berkorelasi dengan hasil survey Bank Dunia dalam Doing Business Report tahun
2010 yang melaporkan tentang kemudahan bisnis sebuah negara dimana Indonesia menempati
peringkat 122 dari 183 negara. Indonesia kalah dari Vietnam yang menempati peringkat 93,
Brunei Darussalam yang menempati peringkat 96, Papua New Guinea di peringkat 102, dan
Ethiopia di posisi 107.

Akibat maraknya praktek suap, birokrasi yang tidak bersih, budaya pungutan liar membuat
kemudahan bisnis di Indonesia cukup rendah.

Sebelumnya pada tahun 2009, indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan Transparancy
Internasional menempatkan Indonesia pada ranking 111 dari 180 negara. Posisi tersebut berada
sejajar dengan negara-negara berkembang, seperti Algeria, Djibouti, Mesir, Kiribati, Mali,
Solomon, dan Togo.

Dari sektor atau organisasi yang disurvei dalam Global Corruption Barometer 2009 tersebut,
institusi parlemen (DPR) dianggap sebagai lembaga yang paling korup oleh masyarakat 47%,
disusul instansi penegak hukum (Kejaksaan) 20%, birokrasi pemerintahan 19%, partai politik
11%, sektor swasta 3%, dan media 1%.

Oleh karena itu, saya bisa memahami kenapa gerakan antikorupsi yang digelorakan oleh KPK
semakin gencar, baik melaui iklan layanan masyarakat, seminar di berbagai daerah, kerja sama
dengan lembaga domestik maupun internasional, dan menjadikan pendidikan antikorupsi sebagai
bagian dari kurikulum pendidikan, sebenarnya dilatarbelakangi oleh sebuah kekhawatiran bahwa
korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime).

Saudara-saudara yang terhormat,


Korupsi sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang melawan hukum sebetulnya tidak
hanya membahayakan individu ataupun organisasi saja, namun dapat merugikan negara,
melanggar hak asasi manusia, mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat, melemahkan
institusi, merusak nilai-nilai demokrasi dan keadilan, membahayakan pembangunan
berkelanjutan, mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, menyebabkan inefisiensi dan pemborosan
dalam ekonomi.

Dalam kondisi yang lebih ekstrem, korupsi dapat menyebabkan kehancuran ekonomi,
penderitaan dan kesengsaraan. Banyak negara miskin dan berkembang terseok-seok, seperti
Nigeria, Somalia, Haiti, Sudan, Myanmar, Afghanistan akibat maraknya praktek korupsi yang
melahirkan kemiskinan, kemelaratan, dan penderitaan yang berkepanjangan.

Korupsi bahkan bisa menjadi salah satu faktor penyebab negara gagal (failed state). Dalam studi
Noam Chomsky dalam bukunya Failed States: The Abuse of Power and the Assault on
Democracy (terbitan tahun 2006), karakteristik negara gagal (failed state) antara lain: negara
tidak memiliki kemampuan melindungi warga negara dari berbagai bentuk kekerasan, tidak
terjaminnya hak-hak warga negara, lemahnya institusi demokrasi, sikap agresif yang sewenang-
wenang dari pemerintah, lemahnya penegakan hukum, serta maraknya penyalahgunaan
kekuasaan.

Hal ini sejalan dengan studi dari World Economic Forum dan Universitas Harvard pada tahun
2002 tentang negara gagal dimana dari 59 negara, Indonesia termasuk karakteristik negara gagal
karena tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela, serta suasana
ketidakpastian yang tinggi.

Artinya, korupsi merupakan salah satu permasalahan yang mengerikan dan meresahkan. Di
negara-negara miskin, korupsi bisa menjadi penentu hidup atau mati. Negara yang gagal
menekan angka korupsinya diramalkan akan menghadapi permasalahan yang serius di masa
mendatang dimana korupsi berpotensi menjadi penghambat utama pencapaian target MDGs
(Millenium Devepoment Goals).

Christiaan Poortman dari Transparancy International menjelaskan bagaimana korupsi bisa


berpengaruh pada tingkat kematian anak dan rendahnya tingkat pendidikan. Misalnya orangtua
tidak mampu membayar obat-obatan dan tidak mampu menyekolahkan anaknya karena obat-
obatan itu dibeli dengan harga terlalu mahal dan biaya pendidikan yang tinggi akibat terjadi
korupsi terhadap uang negara. Hanya orang-orang kaya yang bisa menikmati pelayanan
kesehatan dan pendidikan yang berkualitas. Akibatnya kemiskinan dan kemelaratan menjadi
makin tinggi.

Padahal tujuan milenium ini merupakan upaya terhadap aspek-aspek penting yaitu mengurangi
tingkat kemiskinan, kematian anak, kelaparan, penyakit-penyakit menular yang mematikan, dan
menyediakan pendidikan yang adil dan merata.

Saudara-saudara yang terhormat,


Berkaca pada studi-studi tersebut, korupsi sebagai sebuah tindak pidana tentu harus diberantas
dengan sungguh-sungguh. Korupsi harus terus menjadi musuh bersama yang membutuhkan extra
effort mulai dari aspek pencegahan sampai pada aspek penindakan.

Beberapa negara, seperti Malaysia, Singapura, dan Hongkong yang memberlakukan 'sistem
pembuktian terbalik' serta Cina yang menerapkan hukum mati bagi para koruptor begitu sukses
dalam memberantas korupsi. Sementara pemberantasan korupsi di Indonesia masih memerlukan
upaya yang lebih keras lagi.
Oleh karena itu, diperlukan penindakan dan pencegahan korupsi secara bersamaan dimana upaya
penindakan difokuskan untuk memberantas kasus-kasus korupsi aktual yang belakangan ini
terjadi, sementara pencegahan diarahkan untuk korupsi-korupsi potensial yang mungkin terjadi
di masa-masa yang akan datang.

Dalam hal penindakan, kita semua tentu berharap agar KPK menjadi institusi terdepan (selain
Kejaksaan dan Kepolisian) dalam melakukan pemberantasan korupsi, tidak pandang bulu,
terutama terhadap kasus-kasus besar yang merugikan keuangan negara.

Sementara itu, untuk langkah pencegahan agar korupsi semakin tidak meluas ke depan
diperlukan perbaikan terhadap faktor-faktor penyebabnya. Karena sejatinya korupsi tidak saja
disebabkan oleh lemahnya aturan hukum, melainkan juga disebabkan oleh berbagai faktor,
seperti, besaran gaji yang tidak mencukupi, administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes,
mental penyelenggara negara yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, budaya dan
lingkungan kerja yang korup, tingkat kesejahteraan yang rendah, maupun rendahnya tanggung
jawab dari para pemangku jabatan.

Dalam konteks pelayanan publik, prosedur dan proses panjang yang berbelit-belit dan
overlapping tugas dan kewenangan menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi
tidak efektif. Padahal pelayanan publik yang efektif dan efisien merupakan faktor penting untuk
mencegah terjadinya ekonomi biaya tinggi, penyalahgunaan wewenang, perlakuan diskriminatif,
dan tindakan yang koruptif.

Selain itu, muncul paradigma yang menganggap bahwa tindakan menyuap merupakan cara yang
sudah biasa dan lazim dilakukan untuk memudahkan suatu urusan. Suap seolah-olah menjadi
jalan pintas untuk memudahkan dan memperlancar suatu urusan. Cara pandang seperti inilah
yang pada akhirnya makin melanggengkan praktek korupsi di Indonesia.

Oleh karena itu, pada masa yang akan datang kinerja pelayanan publik yang berkualitas akan
terukur dari hilangnya extra money atau uang pelicin yang diberikan masyarakat demi
kelancaran urusan, karena tugas pelayanan adalah suatu kewajiban publik dari aparatur negara
sebagai konsekuensi dari gaji dan fasilitas yang diterima dari negara.

Untuk itulah, diperlukan berbagai upaya pemberantasan korupsi yang sistematis, koordinatif,
mulai dari reformasi aturan hukum (UU, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Daerah), reformasi
birokrasi, reformasi pelayanan publik, meningkatkan intensitas pengawasan baik dari sisi internal
maupun eksternal, memberikan punishment dan reward serta memperbaiki aspek moral dan
mental para penyelenggara negara.

Pengawasan masyarakat (social control) terhadap penyelenggaraan pelayanan publik juga


merupakan salah satu faktor eksternal yang sangat penting untuk mencegah praktek suap dan
korupsi. Karena pencegahan korupsi tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada lembaga penegak
hukum, institusi pemerintahan, dan institusi legislatif, melainkan juga memerlukan partisipasi
aktif dari masyarakat dan media.

Untuk meningkatkan peran masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik
perlu disiapkan dan dukungan berbagai instrumen penting, misalnya, tersedianya standar dan
prosedur pelayanan dan prosedur penyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik yang
jelas.

Pada tingkat yang paling elementer, pendidikan antikorupsi harus menjadi bagian dari kurikulum
pendidikan nasional sebagai upaya pencegahan korupsi jangka panjang. Pendidikan antikorupsi
ini sama pentingnya dengan pendidikan kewarganegaraan dimana pendidikan antikorupsi akan
membekali anak-anak usia sekolah tentang bahaya tindak pidana korupsi baik bagi diri sendiri,
keluarga, lingkungan sosial, masyarakat, bangsa, dan negara.

Sebab, upaya memberantas korupsi akan sulit dilakukan jika hanya mengandalkan pendekatan
kelembagaan saja ataupun pendekatan legal formal. Upaya-upaya tersebut harus juga disertai
dengan pendekatan tingkah laku yang menekankan pada aspek tanggung jawab, moral, dan etika.
Sehingga muncul kesadaran bahwa korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang merugikan
hak-hak orang lain.
Saudara-saudara yang terhormat,
Sebagai lembaga perwakilan daerah, DPD memiliki concern yang tinggi untuk memberantas
korupsi. Dalam mengimplemenastikan fungsi pengawasan, DPD RI telah membentuk kaukus
Anti Korupsi, kaukus ini meskipun bukan alat kelengkapan DPD RI, akan tetapi merupakan
gerakan moral secara kolektif untuk mengawasi jalannya pemerintahan terutama pengawasan
terhadap pelayanan publik.

Kaukus anti korupsi ini nantinya akan bersinergi dengan badan-badan pengawasan di daerah.
Dan yang lebih mengembirakan lagi berdasarakan UU nomor 27 tahun 2009 tentang MD-3 DPD
dalam struktur kelembagaannya dibentuk Panitia Akuntabilitas Publik sedangkan di Dewan
Perwakilan Rakyat lembaga sejenis dinamakan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara.

Dimana untuk mendukung upaya-upaya pencegahan dan pemberantasn korupsi, DPD RI Sejak
Agustus Tahun 2006 telah melakukan kerja sama dengan KPK yang meliputi tukar menukar data
dan/atau informasi terkait dugaan tindak pidana korupsi, penerimaan pengaduan masyarakat,
pelaporan gratifikasi, bimbingan teknis LHKPN, pemantauan penanganan kasus-kasus tindak
pidana korupsi di daerah, pendidikan dan pelatihan, serta sosialisasi pemberantasan korupsi baik
di internal DPD maupun kepada masyarakat.

Pada level anggota, semua anggota DPD RI telah menyerahkan secara complete Laporan Harta
Kekakayaan Penyelenggara Negara (LKHP) yang diumumkan secara terbuka kepada KPK.
Selain itu, seluruh anggota DPD RI juga telah melakukan penandatanganan pakta integritas yang
ditandatangani sebelum pelantikan Anggota DPD RI masa jabatan 2009-2014 yaitu pada tanggal
1 Oktober 2009. Begitu pula jajaran pejabat Eselon I, II, III, dan IV Sekretariat Jenderal juga
sudah menandatangani pakta integritas pada akhir Desember 2008.

Semua itu kami lakukan untuk menggelorakan dan membudayakan antikorupsi di lingkungan
DPD sebagai bagian dari dukungan kami terhadap gerakan antikorupsi secara nasional.

Kami berharap kesadaran yang sama juga diikuti oleh berbagai institusi, terutama di daerah
karena semangat pemberantasan korupsi harus menjadi komitmen bersama yang diikuti dengan
tindakan-tindakan pencegahan yang nyata. Jangan sampai korupsi sebagai musuh bersama malah
tumbuh subur dan menghambatnya jalannya pembangunan ekonomi dan demokrasi di masa-
masa yang akan datang.

Sebagai penutup sambutan ini, saya ingin menyampaikan apresiasi dan penghargaan yang tinggi
kepada KPK yang telah menyelenggarakan seminar pemberantasan korupsi ini. Semoga seminar
ini dapat membawa manfaat yang positif dalam rangka menyosialisasikan gerakan antikorupsi
secara nasional yang juga didukung oleh pemerintah daerah.

Demikianlah sambutan ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoi usaha kita untuk
menjadikan negeri ini bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.

Palembang, 30 September 2010

KETUA DPD RI
IRMAN GUSMAN

Anda mungkin juga menyukai