Anda di halaman 1dari 3

Opini oleh Laila Hidayati

Menyoal Solusi Pencegahan Penelantaran Bayi, KEMENPPA Gagal Melihat Akar


Permasalahan.

Jika awal tahun, Januari 2023 Indonesia kembali di sambut dengan potret kerusakan
pergaulan remaja yang berimbas pada banyaknya pengajuan dispensasi nikah dini. Baru-baru
ini, masyarakat kembali dibuat geger dengan adanya penelantaran Bayi di Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Bak ombak yang terus bergulir kasus semacam ini tak kunjung usai, ini
hanyalah satu di antara fenomena gunung es yang terjadi di Indonesia.

Rini Handayani, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA melalui konferensi pers
04/3/2023, menyatakan bahwa upaya pencegahan dilakukan dengan penyelenggaraan
program kesehatan reproduksi dan program pencegahan perkawinan anak melalui satuan
pendidikan. Becermin dari solusi atas tumpukan kasus yang tak memberi efek jera, hadirnya
regulasi semacam ini makin memperpanjang daftar angka kriminal di kalangan pemuda.

Pasalnya, program kesehatan reproduksi yang diselenggarakan melalui sistem pendidikan dan
pencegahan perkawinan anak sejalan dengan penyampaian Meneteri PPPA, Bintang
Puspayoga bahwa upaya tersebut dilakukan dengan menanamkan mindset kewirausahaan
sebagai hal strategis untuk masa depan perempuan pada masa mendatang. Solusi yang
dihadirkan berorientasi pasar, dan tak tepat sasaran. Dibanding fokus terhadap permasalahan,
pengaturan dibuat secara sistematis untuk kepentingan komersialisasi berbagai bidang hingga
permasalahan penuntasan kekerasan pada anak, pelecehan maupun kekerasan sesksual yang
urgen di tengah-tengah masyarakat tak pernah terselesaikan.

Dilansir dari laman kekerasan.kemenpppa.go.id, persentase angka kekerasan pada anak


mencapai hingga 600.000 korban dari 9 provinsi di Indonesia, berdasarkan grafik data kasus
kekerasan paling banyak di jumpai dalam kehidupan rumah tangga. Hadirnya regulasi yang
dibeberkan oleh Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, KemenPPPA yakni Rini Handayani
memanglah tepat sesuai pernyataanya dalam konferensi pers yang berlangsung pada Maret
2023 lalu bahwa untuk menangani kasus semacam ini perlu edukasi ketahanan keluarga bagi
calon orang tua agar hak korban sebagai anak tetap terpenuhi kedepannya.

Namun, dalam praktiknya remaja yang melahirkan di luar pernikahan diberi bimbingan
konseling dan opsi terakhir sebagai alternatif penanganan kasus dalam hal ini kasus
penelantaran anak khususnya. Apabila orang tua korban tak ditemukan maka diserahkan ke
panti perawatan bayi diasuh oleh Calon Orang Tua Angkat (COTA) alih-alih melihat akar
permasalahan agar tak ada kasus yang berulang KemenPPPA justru menghadirkan solusi
yang seolah-olah mendukung perilaku remaja yang mulai mengabaikan nilai moral dan
tujuan mulia dihadirkannya pendidikan sebagai wadah untuk mencerdaskan generasi
mudanya.

Tentunya masih membekas di ingatan kita bersama, bagaimana perjuangan panjang para
pahlawan untuk lepas dari cengkeraman para penjajah dalam hal ini utamanya pendidikan,
pada masa kolonial masih menduduki pribumi pendidikan tak bisa di akses dengan mudah
dan berorientasi pasar yakni pendidikan pemuda untuk kebutuhan para penjajah saja pada
saat itu, mencetak tenaga kerja. Bedanya pada masa sekarang pendidikan mudah di akses
namun tak ada bedanya juga dengan masa penjajahan, pendidikan masih menjadi privillage
dan menciptakan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Nyatanya, edukasi di tingkat dasar, menengah maupun setara perguruan tinggi belum mampu
memperkecil angka kekerasan bahkan potret generasi-generasi saat ini makin masif
menunjukkan bagaimana bobroknya sistem pendidikan yang mengatur tak mampu mencetak
generasi yang menanamkan akhlak atau perilaku islami sebagai identitasnya.

Sejalan dengan ungkapan Bung Karno dalam pidatonya, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya
akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia. “
Maka betapa pentingnya peran pemuda bagi keberlangsungan bangsa, di pundak merekah
kita berharap cita-cita negara akan tercapai sesuai visi, namun dalam genggaman sistemnya
lah yang menentukan bagaimana langkah pemuda ini kedepannya.

Gagalnya penuntasan kasus kekerasan maupun kasus lainnya yang menimpa kalangan muda
khususnya remaja disebabkan karena maraknya arus sekulerisasi yang menjangkit pemikiran.
Dalam Islam, untuk membentuk karakter yang menanamkan nilai-nilai kebaikan atau akhlak
Islami, yang kemudian akan menentukan bagaimana tindak-tanduk individu dalam proses
bermasyarakat, melakukan interaksi sosial di masyarakat, dimulai dari keluarga, pentingnya
pendidikan keluarga sama halnya dengan pentingnya sistem pemerintahan. Keluarga berperan
penting untuk membentuk ketakwaan individu yang dengan ketakwaan tersebut, memiliki
control untuk tidak melakukan kemungkaran atas dasar ketundukan pada pencipta Allah Swt.
Menjadikan aqidah Islam sebagai intellectual leadership atau kepemimpinan berpikir.

Inti dari sistem pendidikan Islam selain menguasai pengetahuan atau ilmu-ilmu kehidupan
baik sains, matematika maupun teknologi akan menghasilkan (output) peserta didik yang
kokoh keimanannya. Menjadikan pemikiran (fiqrah) Islam sebagai kepemimpinan berpikir
yang berdampak (impact) pada terciptanya masyarakat yang beramar ma’ruf nahi mungkar
tegas terhadap perilaku-perilaku keburukan yang tak sesuai dengan aturan Islam.

Seperti halnya kondisi kurikulum pendidikan sekarang, pemerintah memiliki peran strategis
untuk memengaruhi kebijakan dibawahnya khususnya dalam sistem pendidikan, penerapan
pemikiran (fiqrah) Islam tak cukup memengaruhi regulasi maupun ketakwaan secara luas,
butuh metodologi penerapan (thariqah) sebagai junnah (perisai) yang menegakan aqidah
Islam sebagai dasar penentuan kebijakannya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

ِ‫إ‬
َ ‫اْل َما ُم َراعٍ َو َم إسئُو ٌل‬
‫ع إن َر ِعيَّتِ ِه‬

Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas
urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Terbukti dalam sejarahnya, pada masa Khilafah Islam. Pendidikan Islam mampu mencetak
generasi yang beramar ma’ruf nahi mungkar dan kemajuan ilmu-ilmu kehidupan masih bisa
dinikmati hingga saat ini mulai dari dunia kedokteran ada seorang pakar Ibnu Sina, Al-
Khawarizmi pakar Matematika, aZ-Zarqi pakar astronomi dsb. Kemajuan pendidikan pada
era peradaban islam menjadi rujukan juga bagi peradaban lainnya. Sesuai yang di ungkapkan
oleh Tim Wallace-Murphy (WM) yang menerbitkan buku berjudul “What Islam Did for Us:
Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing,
2006). Buku WM tersebut memaparkan fakta tentang transfer ilmu pengetahuan dari Dunia
Islam (Khilafah) ke Dunia Barat pada Abad Pertengahan. (Sumber Buletin Kaffah Edisi 279).
Pun pada masa kejayaan Islam misalnya, yakni pada tahun 837 M pemerintahan khalifah
Al-Mu’tashim. Muru’ah rakyatnya sangat di jaga ketat oleh beliau tanpa memandang relasi
kelas bawah ataupun kelas atas. Ketika itu terjadi pelecehan oleh orang Romawi saat seorang
budak perempuan dari Bani Hasyim sedang berbelanja di Pasar, kainnya dikaitkan ke paku
sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya lantas seorang perempuan itu berteriak
memanggil nama samg khalifah meminta pertolongan. Setelah mendapat laporan pelecehan
tersebut, Khalifah menurunkan puluhan ribu pasukan hingga menewaskan 30.000 pasukan
Romawi. Sejarah ini membuktikan bahwa, di bawah kepemimpinan Islam dengan penerapan
syariat (aturan) Islam maka sudah menjadi tugas sekarang Khalifah (pemimpin) untuk
menjadi perisai bagi rakyatnya dan turut andil menyelesaikan masalah secara sistematis.

Anda mungkin juga menyukai