Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH TEORI KONSTITUSI

“Sumber Hukum Konstitusi”


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai
kekuatan yang besifat memakasa,yakni aturan-aturan yang kalau dilaggar mengakibatkan
sanksi yang tegas dan nyata.Pendapat ahli hukum sering disebut juga sebagai doktrin.Dalam
Bahasa latin ,doctrina atau doctrine,berarti”ajaran,ilmu”.Sumber hukum formil adalah sumber
hukum yang dikenal dalam bentuknya.karena bentuknya itulah sumber hukum formil
diketahui dan ditaati sehingga hukum berlaku umum. Sumber hukum materil Ialah tempat
dimana hukum itu di ambil. Sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu
pembentuk hukum.selain itu bahwa Pengertian tertib hukum yaitu tegaknya hukum,
kebenaran, dan keadilan, berarti bahwa setiap pejabat, bahkan pemerintah dan aparatur
pemerinntahan sendiri harus tunduk kepada hukum yag berlaku, pelaksanan hukum harus
diabdikan untuk melindunngi kepentingan masyarakat,dan kepentingan rakyat banyak
terhadap segala bentuk kesewenangan-wenangan dari tangan yang tak berbijak.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah

2. Apa itu

3. Bagaimana

4. Mengapa

5. Apa saja

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui

2. mengetahui

3. mengetahui

4. mengetahui

5. mengetahui
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sumber Hukum

Hukum berkaitan erat dengan kepastian. Hukum hendak menciptakan kepastian dalam
mengatur hubungan antara orang orang yang ada di dalam masyarakat. Masalah kepastian
hukum tersebut berkaitan erat dengan masalah dari mana hukum itu berasal.

Pengertian sumber hukum menurut C.S.T. Kansil adalah segala apa saja yang menimbulkan
aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang
kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.

Sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat melihat bentuk perwujudan hukum. Sumber
hukum dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat menimbulkan atau melahirkan
hukum sehingga menimbulkan kekuatan hukum mengikat. Yang dimaksud dengan segala
sesuatu adalah faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya hukum, dari mana hukum
ditemukan atau dari mana berasalnya isi norma hukum. Ringkasnya, sumber hukum adalah
asal mula hukum.

A.1. Sumber Hukum Materiil

Sumber hukum materiil adalah tempat atau asal mula dari mana hukum itu diambil.
Sumber hukum materiil berkaitan erat dengan keyakinan atau perasaan hukum individu dan
pendapat umum yang menentukan isi hukum.

Keyakinan atau perasaan hukum individu (anggota masyarakat) dan pendapat hukum
(legal opinion) dapat menjadi sumber hukum materiil. Selain itu sumber hukum materiil bisa
juga berupa hal-hal yang mempengaruhi pembentukan hukum seperti pandangan hidup,
hubungan sosial dan politik, situasi ekonomi, corak, peradaban (agama dan kebudayaan) serta
letak geografis dan konfigurasi internasional.

A.2. Sumber Hukum Formil

Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dikenal dan digali dalam bentuknya
(peraturan perundang-undangan). Karena bentuknya tersebut maka sumber hukum formil
diketahui dan ditaati sehingga memperoleh kekuatan hukum. Perlu diketahui bahwa selama
belum mempunyai bentuk, maka suatu hukum baru hanya merupakan perasaan hukum atau
cita-cita hukum yang belum mempunyai kekuatan mengikat.

Sumber hukum formil terdiri dari undang-undang (statute), kebiasaan (custom),


keputusan-keputusan hakim (jurisprudence, jurisprudentie), traktat (treaty), dan pendapat
sarjana hukum (doktrin). Selain lima sumber hukum tersebut, juga terdapat sumber hukum
yang tidak normal yaitu revolusi (coup d'etat).
A.2.1. Undang-Undang (Statute)

Undang-undang merupakan suatu peraturan negara yang memiliki kekuatan hukum yang
mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara. Undang-undang memiliki dua
pengertian, yaitu dalam arti material dan dalam arti formal.

Undang-undang dalam arti material berarti setiap keputusan pemerintah yang menurut
isinya disebut undang-undang, yaitu tiap-tiap keputusan pemerintah, yang menetapkan
peraturan peraturan yang mengikat secara umum atau dengan kata lain peraturan-peraturan
hukum objektif.

Undang-undang dalam arti formal berarti keputusan pemerintah yang memperoleh nama
undang-undang karena bentuk, dalam mana la timbul. Undang-undang dalam arti formal
biasanya memuat peraturan-peraturan hukum dan biasanya sekaligus merupakan undang-
undang dalam arti material.

Di Indonesia pengertian undang-undang dalam arti formal mengacu pada ketentuan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bentuk peraturan yang
dibuat oleh pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan undang-undang
dalam arti material adalah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya memiliki sifat
mengikat langsung bagi setiap penduduk.

A.2.2. Kebiasaan (Custom)

Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang tetap dilakukan
berulang-ulang dalam rangkaian perbuatan yang sama dan dalam waktu yang lama. Suatu
kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat secara normatif apabila kebiasaan tersebut
dilakukan secara tetap atau ajek dan dilakukan berulang-ulang dalam waktu yang lama,
sehingga menimbulkan hak dan keharusan atau apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Singkatnya, kebiasaan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh banyak
orang dan diulang-ulang, sehingga menimbulkan kesadaran atau keyakinan bahwa perbuatan
tersebut memang patut untuk dilakukan.

A.2.3. Yurisprudensi/ Keputusan-Keputusan Hakim (Jurisprudence, Jurisprudentie)

Yurisprudensi berasal dari bahasa Latin jurisprudentia yang berarti pengetahuan hukum,
sedangkan dalam bahasa Inggris disebut jurisprudence yang artinya ilmu hukum atau ajaran
hukum umum atau teori hukum umum (general theory of law). Pada sistem common law,
yurisprudensi diartikan sebagai suatu ilmu pengetahuan hukum positif dan hubungan-
hubungannya dengan hukum lain. Sedangkan sistem statute law atau civil law mengartikan
yurisprudensi sebagai putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap
dan diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus
yang sama.

Yurisprudensi merupakan istilah teknis dalam hukum Indonesia yang artinya sama
dengan jurisprudentie dalam bahasa Belanda atau jurisprudence dalam bahasa Prancis, yang
berarti peradilan tetap atau hukum peradilan. Kehadiran keputusan hakim atau yurisprudensi
sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia dimulai pada masa Hindia Belanda. Pada masa
tersebut yang menjadi peraturan pokok adalah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesia (ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan untuk Indonesia) atau
yang disingkat AB.

Menurut Prof. Subekti lensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi
atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Sehingga tidak
semua putusan hakim pada tingkat pertama atau pada tingkat banding dapat dikategorikan
sebagai yurisprudensi, kecuali putusan tersebut sudah melalui proses eksaminasi dan notasi
oleh Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar
hukum yurisprudensi.

A.2.4. Traktat (Treaty)

Apabila ada dua orang yang melakukan konsensus atau kata sepakat mengenai suatu hal,
lalu mereka mengadakan perjanjian, maka mereka menjadi terikat pada isi perjanjian yang
telah disepakati tersebut. Hal ini disebut asas pacta sunt servanda yang berarti setiap
perjanjian harus ditaati atau ditepati (agreements are to be kept). Dengan kata lain perjanjian
mengikat para pihak yang mengadakannya. Pada ruang lingkup yang lebih tinggi yaitu
negara, asas tersebut juga berlaku. Seluruh warga negara yang terlibat dalam perjanjian antar
negara harus mentaati isi perjanjian tersebut. Perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau
lebih disebut traktat.

Ada beberapa jenis traktat sesuai dengan jumlah negara yang terlibat di dalamnya, yaitu:

1. Traktat bilateral, adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara.

2. Traktat multilateral, yaitu perjanjian yang dilakukan oleh lebih dari dua negara.

3. Traktat kolektif, merupakan perjanjian antar beberapa negara dan kemudian terbuka
bagi negara-negara lainnya untuk mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.

A.2.5 Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)

Doktrin hukum adalah pendapat para ahli atau sarjana hukum ternama/terkemuka.
Doktrin berkaitan erat dengan yurisprudensi. Hakim dalam memutus sebuah perkara
seringkali mengutip pendapat para sarjana yang dipandang memiliki kemampuan dalam
persoalan yang ditanganinya. Doktrin atau pendapat para sarjana hukum menjadi dasar
keputusan keputusan yang akan diambil oleh seorang hakim dalam menyelesaikan suatu
perkara

Pendapat para sarjana hukum yang merupakan doktrin adalah sumber hukum. Ilmu hukum
merupakan sumber hukum, tapi bukan hukum karena tidak langsung mempunyai kekuatan
mengikat seperti undang-undang. Ilmu hukum tersebut akan mengikat dan mempunyai
kekuatan hukum apabila dijadikan pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan.
A.2.6. Revolusi (Coup d'etat)

Selain lima sumber hukum yang telah dibahas sebelumnya, beberapa penulis juga
menambahkan revolusi (coup d'etat) sebagai sumber hukum. Revolusi atau kudeta (coup
d'etat) merupakan salah satu sumber hukum yang abnormal atau tidak normal. Revolusi
adalah suatu tindakan dari warga negara yang mengambil alih kekuasaan di luar cara-cara
yang diatur dalam konstitusi suatu negara.

B. Landasan Sumber Hukum Konstitusi

B.1. Landasan Formil

Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan adalah dimaksudkan


untuk memberikan legitimasi prosedural terhadap pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat” suatu peraturan
perundangundangan. Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundangundangan menjadi
penting dengan adanya lembaga negara dalam Kekuasaan Kehakiman yang diberikan
wewenang oleh konstitusi untuk menguji (judicial review) peraturan perundangundangan
yang secara eksplisit dimuat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945 pasca amendemen.
Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Agung diberikan kewenangan menguji
peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Kewenangan konstitusional
semacam ini sebenarnya pernah dimuat juga dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Tahun 1949 (KRIS 1949). Namun dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
(UUDS 1950) maupun dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak ada kewenangan
konstitusional semacam ini yang diberikan kepada Mahkamah Agung. Kewenangan menguji
peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU diberikan kepada Mahkamah
Agung hanya didasarkan UU, jadi bukan kewenangan konstitusional (vide UU No. 14/1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang sekarang telah diganti
dengan UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo UU No. 14/1985 tentang
Mahkamah Agung yang telah diubah dengan UU No. 5/2004).

B.2. Landasan Materiil

Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk


memberikan sign bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk merupakan
penjabaran dari Pasal-pasal UUD 1945 yang dicantumkan juga dalam dasar hukum
“mengingat” suatu Peraturan Perundang-undangan yang (akan) dibentuk. Landasan Materiil
Konstitusional Peraturan Perundangundangan ini kemudian diuraikan secara ringkas dalam
konsiderans “menimbang” dan dituangkan dalam norma-norma dalam pasal dan/atau ayat
dalam Batang Tubuh dan dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan suatu peraturan
perundangundangan kalau kurang jelas. Penjabaran Landasan Materiil Konstitusional
Peraturan Perundang-undangan dalam konsiderans “menimbang” dan dalam Batang Tubuh
(pasal dan/atau ayat) disesuaikan dengan keinginan pembentuk UU (DPR dan Presiden)
sebagai kebijakan/politik hukum (legal policy) namun harus tetap dalam pemahaman koridor
konstitusional yang tersurat maupun tersirat. Semuanya ini melalui metoda penafsiran. Kalau
terjadi perbedaan penafsiran antara pembentuk UU (DPR dan Presiden) dengan Mahkamah
Konstitusi terhadap pasal (-pasal) UUD 1945 yang dijabarkan dalam suatu UU maka yang
dimenangkan adalah penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal
dan penafsir akhir konstitusi (the guardian/last interpreter of the constitution).

C. Teknik Pembuatan Landasan formil dan materil

Sebagaimana diuraikan di atas Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-


undangan adalah dimaksudkan untuk memberikan legitimasi prosedural terhadap
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dicantumkan dalam dasar hukum
“mengingat”. Kalau pembuatan atau prosedur pembuatannya tidak benar atau menyimpang
dari UUD 1945 dan UU Susduk DPR, DPD, dan DPRD dan jabarannya dalam Peraturan Tata
Tertib DPR/DPD (untuk UU) dan Tata tertib DPRD (untuk Perda) serta prosedur yang
ditentukan dlam UU No. 10/2004 dan UU Pemerintahan Daerah (bagi Perda), maka UU
dan/atau Perda tersebut dapat dibatalkan secara menyeluruh oleh Mahkamah Konstitusi
(untuk UU) atau oleh Mahkamah Agung (untuk perda).

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa Landasan Materiil Konstitusional Peraturan


Perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan sign bahwa Peraturan
Perundangundangan yang dibentuk merupakan penjabaran dari Pasalpasal UUD 1945 yang
dicantumkan juga dalam dasar hukum “mengingat” suatu Peraturan Perundang-undangan
yang (akan) dibentuk.

Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundangundangan ini kemudian diuraikan


secara ringkas dalam konsiderans “menimbang” dan dituangkan dalam norma-norma dalam
pasal dan/atau ayat dalam Batang Tubuh dan dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan suatu
peraturan perundangundangan kalau kurang jelas.

Pencantuman Pasal-pasal UUD 1945 sebagai landasan materiil konstitusional peraturan


perundang-undangan tersebut disesuaikan dengan materi muatan yang akan dijabarkan dalam
Batang Tubuh Peraturan Perundangundangan tersebut. Sebagai contoh, misalnya akan
dibentuk RUU (UU) tentang Partai Politik, dicantumkan Pasal 28 UUD 1945 karena pasal ini
memuat hak-hak dasar manusia (dalam hal ini warga negara) untuk menyatakan ekspresinya
dalam suatu kegiatan politik atau membentuk organisasi partai politik. Pencantuman Pasal 33
UUD 1945 dalam dasar hukum “mengingat” suatu RUU (UU) memberikan indikasi bahwa
landasan materiil konstitusional RUU (UU) adalah yang berkaitan dengan kesejahteraan atau
kegiatan di bidang ekonomi dan kekayaan alam (SDA).

Pasal-pasal UUD yang dijadikan landasan materiil konstitusional tersebut kemudian


diuraikan secara ringkas dalam konsiderans “menimbang”, dan dijabarkan atau dituangkan
lebih lanjut dalam pasal dan/atau ayat dalam “Batang Tubuh”, sampai dengan “Penjelasan”
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan kalau dibutuhkan. Landasan Formil dan
Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan kemudian diberikan landasan UU
yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (UU No. 10/2004). Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004,
ditentukan:

1. Butir 17: Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok–pokok pikiran yang
menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang–undangan.

2. Butir 18: Pokok-pokok pikiran pada konsiderans UU atau Perda memuat unsur-unsur
filosofis, juridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.

Butir 17-18 tersebut mencerminkan bahwa Peraturan Perundang-undangan tertentu


(khususnya UU dan Perda) harus mempunyai landasan formil dan materiil konstitusional
yang dituangkan dalam “menimbang” dan dasar hukum “mengingat”.

Unsur filosofis yang termuat dalam latar belakang pembuatan suatu UU/Perda merupakan
hakekat (inti) dari landasan formil dan materiil konstitusional Peraturan Perundang-
undangan. Unsur filosofis yang akan diuraikan secara singkat dalam “menimbang” ini
terkandung dalam:

1. Pembukaan UUD 1945 (tersurat-tersirat);

2. Aturan/norma dasar (tersurat/tersirat) dalam pasal-pasal UUD 1945;

3. Kehidupan masyarakat yang secara prinsip telah “dirangkum” dan “dimuat” dalam nilai-
nilai yang ada pada setiap sila dari Pancasila; atau

4. Setiap benda/situasi/kondisi yang akan diatur dalam Peraturan Perundang-undangan dalam


rangka mencari kebenaran di atas kebenaran dari yang akan diatur (relatif).

Unsur sosiologis yang dimuat dalam latar belakang dibuatnya UU/Perda adalah konstatsi
fakta atau keadaan nyata dalam masyarakat. Misalnya: dalam UU No. 22/1997 tentang
Narkotika unsur sosiologisnya adalah adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
yang semakin banyak terjadi di masyarakat yang dapat merusak tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Unsur yuridis yang dimuat dalam latar belakang dibuatnya UU/Perda adalah berkaitan
dengan Peraturan Perundangundangan yang ada baik yang menjadi dasar hukum “mengingat”
maupun yang berkaitan secara langsung dengan substansi Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan yang harus diganti/dicabut atau diubah karena sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dalam masyarakat.

Disamping Butir 17-18, Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-
undangan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 diberikan alas hukum juga yaitu
dalam Butir 26 yang berbunyi: Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan
Peraturan Perundangundangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan
pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan dalam Butir 26 tersebut berisi
landasan formil dan materiil konstitusional, apabila menyangkut UUD. Kalau menyangkut
Peraturan Perundang-undangan lain di bawah UUD dan TAP MPR disebut landasan formil
dan materiil yuridis (yuridis formil-materiil) Peraturan Perundang-undangan. Contoh:
Landasan formil dan materiil konstitusional dan yuridis formil-materiil Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung adalah:

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978


tentang Kedudukan dan Hubungan tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dan/atau
AntarLembaga-lembaga Tinggi Negara;

3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan


Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951);

https://www.jurnalhukum.com/sumber-sumber-hukum/#Sumber_Hukum_Materiil

Anda mungkin juga menyukai