Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Body shaming adalah peristiwa yang dirasakan seseorang ketika dilihat

kekurangan sebagai sesuatu hal yang tidak baik oleh orang lain dari postur

tubuhnya. Body shaming termasuk bullying secara verbal dengan membully

tubuh seseorang serta bukti yang menunjukkan bahwa perlakuan body shaming

dapat menimbulkan penilaian diri sendiri yang buruk (Dozela & Eva, 2016).

Body shaming adalah perilaku dengan tujuan mempermalukan dengan

berkomentar tubuh orang lain secara negatif terhadap tubuh atau fisik orang lain.

Body shaming juga dapat dikatakan sebagai perbuatan mengkritik pada bentuk,

ukuran, dan penampilan orang lain (Chaplin, 2005).

Body shaming sendiri yaitu ejekan untuk orang yang memiliki

penampilan fisik atau tubuh yang dinilai cukup berbeda dari masyarakat pada

umumnya dan memiliki tubuh yang tidak proposional. Contoh body shaming

sendiri yaitu seperti mengejek gendut, hitam, pesek, kurus, pipi tembam, mata

sipit ataupun mata yang besar. Body shaming sering dilakukan pada era jaman

modern ini, meskipun tidak secara kontak fisik tetapi melalui secara verbal atau

melalui kata-kata. Body shaming itu sendiri merupakan suatu kritikan atau

komentar yang bersifat negatif dan memberi dampak kepada korban. Komentar

itu diberikan baik untuk diri sendiri ataupun orang lain (Honigam & Castle,

2004).

1
Sisi lain dengan adanya body shaming, turut memunculkan istilah body

positivity, yang merupakan bentuk apresiasi manusia terhadap bentuk tubuh

yang dimilikinya serta bagaimana mereka menerima bentuk tubuh dengan apa

adanya. Dari pengertian tersebut hingga kini menjadi sebuah gerakan sosial yang

mendorong agar semua orang untuk memiliki penilaian yang positif mengenai

tubuh mereka, dan menerima bentuk tubuh mereka sendiri dan juga tubuh orang

lain tanpa adanya pandangan untuk menghakimi seseorang.

Penelitian yang dilakukan Duarte (2017) dari 114 wanita dengan

diagnosis Binge Eating Disorse (BED) atau gangguan makan 78% peserta

menjawab dari rasa malu pada tubuh dapat memberikan efek negatif sehingga

cenderung untuk mengikuti apa yang orang lain sampaikan terkait dengan

kondisi tubuh, perilaku makan tidak teratur yang dipengaruhi oleh sejauh mana

pengalaman rasa malu dialami sehingga dapat menyebabkan rasa tidak percaya

diri, tidak menarik, tidak layak dalam kelompok sosial dan 22% menjawab biasa

saja ketika ada yang mengejek mereka dan menganggap itu sebagai motivasi

bagi mereka untuk menjadikan tubuhnya menjadi lebih proporsional.

Dampak body shaming merupakan tindakan kekerasan verbal (fisik) atau

pembullyan. Segala bentuk penghinaan yang dilakukan di media sosial termasuk

dalam tindakan pidana (Geofani,2019). Pelaku body Shaming di sosial media

dapat dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor

11 Tahun 2008, Pasal 27 Ayat 3, sebagaimana yang telah diubah oleh UU No.

19 Tahun 2016. Damanik (2018) memaparkan dinamika psikologis yang

2
mengalami body shaming bahwa individu yang mengalami body shaming akan

lebih memerhatikan tubuh dan menjadikan tubuh mereka sebagai objek (self-

objectification) yang akan berdampak pada munculnya rasa cemas dan malu.

Perasaan malu timbul dari penilaian diri yang disebabkan perasaan cemas atas

penilaian orang lain terhadap dirinya (Dolezal,2015).

KPAI mencatat berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada tahun

2019 sebanyak 68% Kasus body shaming setiap tahunnya terus mengalami

peningkatan yang signifikan. Menurut Bisnis.com (2019) pada tahun 2015

jumlah kasus body shaming sebanyak 206 kemudian terus meningkat menjadi

966 kasus pada tahun 2018. Detik.com (2019) sepanjang tahun 2018 polisi dapat

menyelesaikan kasus body shaming sebanyak 374 kasus dari 966 kasus yang

ada, sisanya hingga saat ini kasus tersebut belum dapat terselesaikan. Menurut

penelitian Lamont (2018) body shaming dapat menyebabkan seseorang lebih

sering mengalami infeksi serta mengalami gejala penyakit yang lebih banyak,

selain itu sering mengalami sakit diare dan sakit kepala. Rasa malu yang

menyebabkan kesehatan fisik menjadi menurun. Penelitian tentang dampak

body shaming oleh Lamont dilakukan dengan memberi survey pada 300

perempuan. Hasil yang didapatkan sebanyak 80% korban memiliki kondisi

fisik yang semakin menurun, 10% mengalami depresi, dan sisanya tidak

memiliki efek yang signifikan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Dalley

(2019), penelitian yang melibatkan 237 wanita gemuk korban fat shaming,

menemukan hubungan antara body shaming dan ide bunuh diri. Penelitian

tersebut mengungkap risiko korban melakukan bunuh diri meningkat 21 kali.

3
Adapun risiko percobaan bunuh diri sebesar 12%. Menurut Dalley selain

resiko bunuh diri, wanita yang telah mengalami body shaming juga memiliki

tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang tidak mengalami

body shaming. Menurut Adhichandra (2019) menguatkan pendapat diatas

bahwa mengalami body shaming akan menyebabkan individu mengalami

depresi. Hal ini karena body shaming dapat membuat individu menjadi

insecure sehingga menjadi depresi. Individu yang telah mendapatkan body

shaming akan mengalami depresi, ketika seorang telah mengalami depresi

secara otomatis kebahagiaannya ikut menurun pula karena perlakuan

perundungan berupa body shaming yang banyak dialami para remaja atau wanita

mereka melakukan apa saja untuk menjaga agar memiliki tampilan fisik sesuai

yang menjadi standar masyarakat atau agar tidak menjadi bahan ejekan dan tidak

menjadi objek perundungan masyarakat.

Salah satu efek dari body shaming yaitu munculnya gangguan-gangguan

pola makan seperti anoreksia maupun bulimia (gangguan makan yang ditandai

dengan kecenderungan untuk memuntahkan kembali makanan yang telah

dimakannya) yang banyak dialami remaja pun tidak jauh karena perlakuan

perundungan berupa body shaming yang banyak dialami para remaja. Mereka

melakukan apa saja untuk menjaga agar memiliki tampilan fisik sesuai yang

menjadi standar masyarakat atau agar tidak menjadi bahan ejekan dan tidak

menjadi objek perundungan masyarakat.

Dalam perilaku body shaming yaitu seperti kajian psikologi, korban body

shaming mengalami perasaan malu akan salah satu bentuk bagian tubuh ketika

4
penilaian orang lain dan penilaian diri sendiri tidak sesuai dengan diri ideal yang

diharapkan individu (Damanik 2018). Selain itu, gejala psikologis yang dialami

korban menurut penelitian psikologis adalah depresi, kecemasan, gangguan

makan, sosiopati subklinis, dan harga diri yang rendah (APA dictionary dalam

Chairani 2018). Dalam beberapa kasus efek dari body shaming banyak wanita

yang mengalami depresi dan melakukan hal ekstrem untuk memperbaiki

fisiknya.

Body shaming sering terjadi pada remaja. Remaja adalah masa transisi

dari anak-anak menjadi dewasa, transisi tersebut diawali pada usia 12 tahun dan

berakhir pada usia awal 20-an tahun (Papalia dan Olds, 2014). Masa remaja,

anak-anak akan mengalami perubahan yang terlihat secara fisik (akibat pubertas)

dan psikologis (Widiasti, 2016). Pubertas dianggap remaja sebagai periode yang

cukup sulit, pubertas dapat mempengaruhi keadaan fisik dan psikologis remaja

pada masa selanjutnya (Yunalia, 2017). Sering terjadi teman sebaya menjadikan

penampilan fisik sebagai bahan ejekan terhadap individu yang ada di dalam

kelompoknya. Pada masa ini remaja yang lebih banyak menghabiskan waktu

bersama teman daripada bersama keluarga (Santrock, 2007).

Pada masa remaja seseorang remaja mulai memahami aspek dirinya, hal

tersebut dapat digunakan untuk mengetahui self esteem yang dimiliki apakah

bersifat positif atau negatif. Body shaming cenderung berdampak pada remaja

karena pada saat masa pubertas seorang remaja sangat memikirkan

penampilannya. Seorang remaja akan lebih sering memastikan penampilannya

sudah baik dengan berkaca di depan cermin dan akan lebih khawatir dengan

5
make up dan baju yang akan digunakan (Dolezal, 2015). Body shaming

berdampak bagi kehidupan sehari-hari yang membuat self esteem menurun

sehingga mulai tidak percaya diri dihadapan orang lain (Brennan, Lalonde &

Bain, 2010) Self esteem seseorang dapat menjadi negatif ketika menerima

komentar negatif seperti body shaming. Peristiwa negatif dalam hidup dapat

membuat self esteem yang dimilikinya menjadi negatif (Baron & Byrne, 2003).

Pada umumnya pembentukan konsep diri terjadi pada usia remaja

(Hurlock, 2012). Pada masa remaja merupakan masa pembentukan konsep diri

atau jati diri. Menurut Erikson (dalam Alwisol, 2014) Tugas pada masa remaja

adalah memecahkan identitas versus krisis identitas. Masa remaja juga

merupakan masa dimana seseorang menjadi mudah terpengaruh. Lingkungan

menjadi salah satu pengaruh terbesar dalam pembentukan konsep diri seseorang

(Hurlock,2012). Perkataan dan ucapan yang diberikan lingkungan juga menjadi

salah satu pengaruh terbentuknya konsep diri (Hurlock, 2012).

Konsep diri merupakan gambaran diri seseorang tentang bagaimana

dirinya secara signifikan ditentukan oleh apa yang dipikirkan dan dipersepsi

orang lain mengenai dirinya (Cooley & Claudia, 2016). Hal tersebut yang

menyebabkan terbentuknya konsep diri individu termasuk cara melihat

penampilan dirinya secara fisik. Bahwa tiga proses utama dalam hubungan

interpersonal yang paling memainkan peranan penting yaitu penilaian terhadap

refleksi diri, timbal balik pada penampilan fisik, dan perbandingan sosial (Dunn

& Gokee, 2002).

6
Konsep diri yang terdapat pada remaja memang cenderung normal

meskipun dapat berubah. Pada area yang di sekeliling lingkungan akan sangat

mempengaruhi proses pembentukan konsep diri pada remaja. Bila individu di

lingkungan positif maka akan menghasilkan konsep diri remaja yang positif, dan

sebaliknya jika individu berada di lingkungan negatif maka akan menghasilkan

konsep diri remaja yang negatif. Oleh karena itu, konsep diri pada setiap

individu merupakan suatu keutuhan atau keselarasan yang akan terus berubah

dan banyak dipengaruhi oleh banyak faktor. Konsep diri sangat mempengaruhi

remaja dalam pencarian identitasnya. Remaja akan sering melakukan aktivitas

seperti interaksi sosial dengan teman sebayanya, dengan teman di atas usianya

dan teman di bawah usianya (SEJIWA, 2008).

Remaja dipengaruhi banyak faktor saat mulai membentuk konsep diri

pada dirinya, contoh seperti faktor internal yang meliputi: fisik dan emosional

sedangkan faktor eksternal meliputi keluarga dan lingkungan. Konsep diri pada

korban body shaming cenderung tidak mampu mempertahankan diri sendiri

karena lemah terhadap faktor internal dan faktor eksternal (Argiati, 2010). Hal

tersebut membuat pelaku atau seorang yang merasa memiliki kekuasaan atau

kekuatan yang lebih mudah dan sering menyakiti dan mengomentari korban

secara terus menerus (SEJIWA, 2008). Remaja yang memiliki konsep diri positif

akan memiliki dorongan mandiri lebih baik, dapat mengenal serta memahami

dirinya sendiri sehingga dapat berperilaku efektif dalam berbagai situasi.

Menurut (Rakhmat, 2007) menyatakan bahwa remaja yang memiliki konsep diri

positif akan mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik, memiliki

7
keyakinan pada kemampuannya mengatasi persoalan, merasa sama dengan

orang lain, serta sanggup menerima dirinya sendiri. Sedangkan remaja yang

memiliki konsep diri negatif akan memandang dan meyakini bahwa dirinya

lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal,

malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap

hidupnya sendiri (Saifullah, 2016).

Konsep diri dapat mempengaruhi seseorang dalam membentuk dirinya

sendiri saat berinteraksi sosial kepada orang lain. Konsep diri pada remaja awal

terbentuk melalui beberapa proses, pembentukan konsep diri. Seseorang yang

mendapat masalah di tengah-tengah prosesnya membentuk konsep diri dan tidak

dapat melalui proses tersebut dengan baik, maka ia dapat dikatakan memiliki

kecenderungan menjadi korban body shaming. Karena seseorang yang memiliki

kecenderungan menjadi korban body shaming biasanya memiliki konsep diri

yang negatif. Konsep diri negatif yang dimiliki oleh remaja yang kurang

memiliki kepercayaan diri, rendah diri dan sering menarik diri dari interaksi

sosial di sekitarnya. Sedangkan remaja yang dalam proses pembentukan konsep

dirinya terdapat masalah di tengah-tengah prosesnya namun ia dapat

menyelesaikan dan keluar dari masalah tersebut maka remaja tersebut akan

terhindar menjadi korban bodyshaming.

Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 08 april

dengan media google form di SMA 4 Tanjung Pinang Kepulauan Riau dengan

jumlah responden 10 siswa. Rata-rata usia dalam penelitian ini 14- 18

tahun,didapatkan hasil 9 diantara 10 siswa pernah mengalami tindakan body

8
shaming yang dilakukan orang lain dan 1 siswa diantaranya tidak pernah

mengalami tindakan body shaming sehingga konsep diri mereka menjadi rendah

dan merasa tidak percaya diri. Sebanyak 9 dari 10 respoden dialami oleh siswi

perempuan dan 1 laki-laki diantaranya berjenis kelamin laki-laki. Sebanyak 5

dari 10 responden merasa tidak percaya diri dan sebanyak 5 responden merasa

percaya diri.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti

"Hubungan Kejadian Body Shaming Terhadap Konsep Diri Pada Remaja Di

SMA 4 Tanjung Pinang Kepulauan Riau".

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan

dalam penelitian ini adalah “Apakah ada Hubungan Kejadian Body Shaming

Terhadap Konsep Diri pada Remaja di SMA 4 Tanjung Pinang Kepulauan

Riau?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui

Hubungan Kejadian Body Shaming Terhadap Konsep Diri Pada Remaja Di

SMA 4 Tanjung Pinang Kepulauan Riau.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, usia dan

pendidikan di SMA 4 Tanjung Pinang Kepulauan Riau.

9
b. Diketahui distribusi hubungan kejadian body shaming terhadap konsep

diri pada remaja di SMA 4 Tanjung Pinang Kepulauan Riau

c. Diketahui konsep diri pada remaja di SMA 4 Tanjung Pinang Kepulauan

Riau.

d. Mengetahui hubungan kejadian body shaming terhadap konsep diri pada

remaja di SMA 4 Tanjung Pinang Kepulauan Riau.

D. Manfaat Pelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada berbagai pihak.

Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Manfaat aplikasi

a. Bagi Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu perawat untuk lebih

mengetahui konsep diri terhadap remaja yang mengalami perlakuan body

shaming.

b. Bagi Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai salah satu acuan untuk

mengetahui konsep diri terhadap remaja yang mengalami perlakuan body

shaming.

c. Bagi Peneliti

Penelitian ini memberikan manfaat sebagai pengalaman langsung bagi

peneliti untuk menetapkan langkah-langkah metode penelitian dan hasil

10
penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan atau acuan

dalam pengembangan penelitian berikutnya.

E. Manfaat Akademik

a. Bagi Instusi Pendidikan

Manfaat akademik bagi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Hang Tuah Tanjungpinang sebagai institusi peneliti. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumbangan ilmu

atau sumbangan pustaka tentang “Hubungan Kejadian Body Shaming

Terhadap Konsep Diri Pada Remaja di SMA 4 Tanjung Pinang

Kepulauan Riau”.

b. Manfaat bagi peniliti

Memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan menambah

ilmu mengenai penelitian tentang “Hubungan Kejadian Body Shaming

Terhadap Konsep Diri Pada Remaja di SMA 4 Tanjung Pinang

Kepulauan Riau”.

11

Anda mungkin juga menyukai