Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hari ini remaja mana yang tidak ingin memiliki bentuk tubuh
yang ideal. Banyak remaja yang selalu merasa bahwa bentuk tubuh yang
dimilikinya jauh dari ideal. Bagaimana tidak, setiap hari selalu saja ada figur –
figur baru yang dipertontonkan untuk menanamkan pola pikir yang merujuk
pada satu tujuan: Budaya konsumtif. Dari bintang iklan yang hampir sama
gambaran fisiknya. Masyarakat berpikir definisi cantik adalah dengan kulit
putih mulus,rambut hitam dan tebal,berbadan langsing semampai, hidung
mancung. Kemudian sang pembuat iklan mengakhiri tampilan itu dengan
menawarkan produk kecantikan.

Perlahan tapi pasti, definisi cantik dibentuk oleh mereka, dan


masyarakat awam dengan mudah mempercayainya. Hingga kemudian, yang
berkulit cokelat bahkan hitam,tubuh gemuk dan kurus,rambut ikal
bergelombang,menjadi minder dan tidak merasa cantik di mata publik secara
umum.

Dari fenomena yang disebutkan baru berupa fisik yang


menempel di tubuh yang sebenernya menjadi ketetapan dan mungkin tidak
bisa diubah – ubah (kecuali jika memang terpaksa dan dipaksakan). Akan
berbeda hal yang terjadi jika nilai – nilai fungsional yang kian hari kian beralih
fungsi menjadi benda bernilai klasifikasi kasta. Benda – benda itu bisa berupa
gadget, jam tangan, laptop, motor,mobil,rumah,pakaian dan benda – benda
lainnya. Mereka seolah bekerja keras bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan
hidup, tetapi gaya hidup.

Masa remaja merupakan masa pertumbuhan. Remaja banyak


mengalami perubahan fisik yang juga diikuti dengan perubahan psikologis.
Salah satu perubahan fisik adalah bentuk tubuh yang dipengaruhi oleh
hormon – hormon dalam tubuh. Perubahan terkadang mempengaruhi cara
remaja memandang dan menilai bentuk tubuhnya. Remaja cenderung akan
berdiri lama di depan cermin dan memandang bentuk tubuhnya. Akan timbul
pertanyaan dan renungan seperti “kok aku gendut ya?”,”kenapa aku hitam
sih.”perasaan - perasaan seperti ini yang disebut sebagai body image.

Masa remaja adalah masa peralihan dan perubahan dalam


masa transisi dari kanak – kanak menuju dewasa. Pada masa ini remaja
memiliki pemikiran dan tingkah laku yang belum jelas, sehingga para remaja
ini menampilkan diri yang tidak sebenarnya, seakan – akan mereka sudah
dewasa, namun sebenarnya secara mental belum matang dan belum siap
menerima keadaan dirinya yang sudah menjadi dewasa(Hurlock,1999).

Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ricciardelli dan


McCabe, dalam Roslifa, 2001 menemukan bahwa body image dissatisfaction
lebih sering terjadi pada remaja putri yang berdampak pada perilaku diet dan
gangguan makan dibandingkan remaja laki – laki. Hal ini juga diungkapkan
oleh Levine dan Smolak (2002) bahwa body dissatisfaction meningkatkan
resiko depresi pada remaja putri. Dan penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Keery, et.al (dalam Roslifa,2001) menemukan adanya kecenderungan
social comparison dan internalisasi tubuh ideal menjadi faktor yang
membangun body image dissatisfaction. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Jones (2001) bahwa social comparison merupakan salah satu faktor yang
cukup penting dalam pembentukan body image yang kemudian akan
mempengaruhi kepuasaan dan ketidakpuasan tubuh seseorang.

Dalam penelitian kali ini peneliti akan meneliti mengenai


hubungan antara social comparison dan body image pada remaja putri di
Jakarta. Peneliti berhipotesa bahwa adanya hubungan antara social
comparison dan body image. Peneliti menggunakan metode kuantitatif
dengan SPSS sebagai pengolah data.

1.2 Rumusan Masalah :

1. Hubungan antara social comparison dan body image pada remaja putri di
Jakarta

1.3 Hipotesa Penelitian

H0 : Tidak ada hubungan antara social comparison dan body


image pada remaja putri di Jakarta

H1 : Ada hubungan antara social comparison dan body image pada


remaja putri di Jakarta

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk membuktikan hubungan antara social comparison dan body


image pada remaja putri di Jakarta
1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat adanya penelitian ini adalah agar dapat menjadi catatan


akademis yang ilmiah maka peneliti dapat berharap akan munculnya
pemanfaatan dari hasil penelitian ini secara teoritis dan praktis bagi para
pengguna dan pembacanya, yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis, dalam penelitian ini peneliti mengembangkan teori


social comparison dengan mengintegrasikan pada body image
untuk dapat melihat lebih dalam bagaimana responden untuk
mencegah terjadinya negative body image atau disebut juga
dengan persepsi terhadap bentuk tubuh sendiri, dengan meyakini
bahwa tubuh orang lain lebih menarik atau ideal.

2. Manfaat Praktis, dalam penelitian ini peneliti mengharapkan


pembaca penelitian ini pada khususnya, sebagai referensi untuk
menghindari perilaku social comparison dan mencegah terjadinya
body image.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Social Comparison (Perbandingan Sosial)

Wood (1996) menyebutkan bahwa perbandingan sosial merupakan


proses memikirkan informasi mengenai orang lain yang berhubungan dengan
diri melalui serangkaian proses seperti mendapatkan informasi sosial,
memikirkan informasi sosial dan bereaksi terhadap komparasi (Indrijati, 2014).

Festinger (1954) mengatakan bahwa teori perbandingan sosial adalah


proses saling mempengaruhi dan perilaku saling bersaing dalam interaksi
sosial ditimbulkan oleh adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri (self
evaluation).

Kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan membandingkan diri dengan


orang lain. Ada 2 hal yang dibandingkan :

a. Pendapat
A berbeda pendapat dengan B, bisa saja A yang mengubah B atau
sebaliknya. Perubahan pendapat lebih mudah terjadi daripada
perubahan kemampuan.
b. Kemampuan
Dalam perbandingan kemampuan terdapat dorongan searah menuju
keadaan yang lebih baik atau kemampuan yang lebih tinggi. A mampu
mendapat nilai 100, B mendapat nilai 70, maka B merasa harus
meningkatkan kemampuan agar dapat mendekati A.
Festinger (1954) menjelaskan perbandingan sosial sebagai keadaan
dimana individu memiliki dorongan untuk mengevaluasikan dirinya melalui
perbandingan orang lain jika tidak terdapat suatu media yang objektif. Teori
ini menjelaskan bahwa individu memiliki motivasi untuk mengetahui apakah
opini yang ia miliki, maka ia cenderung akan melakukan perbandingan sosial.
Terdapat 2 jenis perbandingan sosial yaitu upward comparison dan
downward comparison.

Upward comparison adalah saat dimana individu membandingkan


dirinya dengan individu yang lebih baik. Sedangkan downward comparison
adalah saat dimana individu membandingkan dirinya dengan individu lain
yang lebih buruk (Schiffman & Kanuk, 2004).

Festinger (1952) mengatakan bahwa perbandingan sosial merupakan


proses subjektif seseorang membandingkan kemampuan dan penampilan
dirinya dengan orang lain yang berada dalam lingkungannya. Semakin sering
seorang wanita membandingkan tubuhnya dengan tubuh wanita lain
menyebabkan mereka semakin tidak puas dengan tubuhnya (Tylka & Sabik,
2010). Hal ini sesuai dengan pernyataan Jones (2001), bahwa perbandingan
sosial merupakan salah satu faktor yang cukup penting dalam pembentukan
gambaran tubuh body image yang kemudian akan mempengaruhi kepuasan
tubuh seseorang (Sunarto, et.al, 2012).

Teori perbandingan sosial Festinger dapat diringkas sebagai berikut :

a. Orang memiliki dorongan untuk mengevaluasi opini dan


kemampuannya secara akurat
b. Karena tidak ada standart fisik langsung, orang mengevaluasi dirinya
dengan membandingkan dirinya dengan orang lain.
c. Secara umum, orang cenderung membandingkan dirinya dengan
orang lain yang setara atau mirip dengan dirinya (Taylor & Shelly,
2009)

Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan kelompok
kita dengan kelompok lain. Hal-hal yang dibandingkan hampir semua yang
kita miliki mulai dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter
kepribadian dan sebagainya. Konsekuensi dari perbandingan adalah adanya
penilaian sesuatu yang lebih baik atau lebih buruk dari yang lain (Irawan,
2009).

2.1.1 Dampak

Perbandingan sosial yang dilakukan secara downward dapat


memperkuat diri (self-esteem), meningkatkan self esteem dan mengurangi
stress. Sedangkan perbandingan sosial yang dilakukan secara upward dapat
meningkatkan diri, khususnya dalam aspek yang diperbandingkan. Jadi
dengan melihat bahwa orang lain yang mampu melebihi dirinya, seseorang
dapat terpacu untuk melakukan perbaikan atau pengembangan diri (self
improvment).

Namun untuk dapat mencapai tujuan ini, orang lain yang menjadi
acuan perbandingan harus berada dalam rentang yang mungkin tercapai
oleh seseorang yang membandingkan diri. Jika tidak, perbandingan sosial
yang dilakukan malah tidak akan mendorong orang untuk meningkatkan diri
karena sudah merasa tidak mungkin dapat mencapai posisi yang sama
dengan orang yang dijadikan acuan tersebut.

Kelompok yang dijadikan acuan untuk membandingkan diri ini disebut


dengan kelompok acuan (reference group). Secara khusus Wheeler (Baron &
Byrne, 2004), menyebutkan perbandingan sosial dengan menggunakan
kelompok acuan yang levelnya dalam aspek yang diperbandingkan masih
mungkin dicapai sebagai unidirectional drive upward comparison.

Festinger sendiri berpendapat manusia cenderung melakukan


unidirectional drive upward comparison (dikutip oleh Myers, 2007).
Menurutnya, kalau boleh memilih, seseorang akan memilih orang lain yang
pendapat atau kemampuannya mendekati pendapat atau kemampuannya
sendiri untuk dijadikan pembanding. Oleh sebab itu, kebanyakan orang
cenderung memilih teman sebaya atau rekan-rekannya sendiri untuk
dijadikan sumber perbandingan (dikutip oleh Myers, 2007). Karena umumnya
mereka masih berada pada rentang yang sama dengan dirinya sendiri dalam
aspek yang diperbandingkan

2.2 Pengertian Body Image

Body image merupakan suatu citra mental mengenai dirinya sendiri


(Kartono, Dali. 1987). Pembentukan body image merupakan hasil dari timbal
balik antara peristiwa di lingkungan sekitar, kognitif, afektif proses fisik dan
perilaku individu (Cash, Grogan. 2000). Gambaran tubuh yang terdiri dari
hubungan pribadi individu dengan tubuhnya sendiri yang berhubungan
dengan penampilan fisik yang terdiri dari empat yaitu persepsi, kognisi, afeksi,
dan perilaku.

Body image adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan


ukuran tubuhnya, dan bagaimana seseorang mempresepsikan dan
memberikan penilaian atas yang dipikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan
bentuk tubuhnya sendirim, dan atas penilaian orang lain terhadap dirinya.
Apa yang dipikirkan dan rasakan, belum tentu mempresentasikan keadaan
yang saat ini, namun lebih merupakan hasil penilaian diri yang bersifat
subjektif. (Honigam, Castle, 2004)

Body image merupakan cara bagaimana seseorang mempersepsikan


penampilan fisiknya, sebagai mana individu berfikir tentang persepsi orang
lain tentang dirinya. (Sloan, 2002)

Hal ini diperjelas menurut ensiklopedia psikologi (Corsini, 1994)


mengatakan bahwa citra tubuh atau body image adalah evaluasi dari tubuh
seseorang dan dipengaruhi oleh standar budaya terhadap penampilannya
saat itu.

Apabila seseorang memandang tubuhnya dengan positif maka body


image yang dimiliki akan positif, sebaliknya apabila seseorang memandang
tubuhnya dengan negative maka body image yang dimiliki akan negative
(National Eating Disorders Association, 2005). Hal ini tidak terlepas dari
ketiga faktor yang dapat mempengaruhi body image, yaitu media massa,
keluarga dan hubungan interpersonal (Cash & Purzinsky, 2002)

2.2.1 Komponen Body Image

Body image memiliki keterkaitan dengan tiga komponen lainnya


(Thompson & Altabe, 1990) yaitu :

a. Komponen Persepsi
Komponen ini menunjukkan sejauh mana ketepatan individu dalam
memperkirakan keseluruhan tubuhnya
b. Komponen Sikap
Komponen ini berhubungan dengan kepuasan individu terhadap
tubuhnya, perhatian individu terhadap tubuhnya, kognisnya, evaluasi
serta kecemasan individu terhadap penampilan tubuhnya.
c. Komponen Tingkah Lakunya
Komponen ini menitik beratkan pada penghindaran individu dari situasi
yang menyebabkan individu mengalami ketidak nyamanan yang
berhubungan dengan penampilan fisiknya.

2.2.2 Kategori Body Image

a. Body Image Positif

Orang yang memiliki Body Image Positif akan cenderung merasa puas
terhadap kondisi tubuhnya, memiliki harga diri yang tinggi, penerimaan jati
diri yang tinggi, rasa percaya diri akan kepedulian terhadap kondisi badan
dan kesehatannya sendiri, serta adanya kepercayaan diri ketika menjalani
hubungan dengan orang lain (Iranita, 2007).

Persepsi bentuk tubuh yang benar dan individu melihat berbagai


bagian tubuh sebagaimana yang sebenarnya. Individu menghargai bentuk
tubuh alaminya dan memahami bahwa penampilan fisik pada setiap individu
mempunyai nilai dan karakter. Individu bangga dan menerima kondisi bentuk
tubuhnya, serta merasa nyaman dan yakin dalam tubuhnya (Nada, Veronica.
2010)

b. Body Image Negatif

Orang yang memiliki Body Image Negatif cenderung merasa tidak


puas atau malu terhadap kondisi tubuhnya sehingga tidak jarang
menimbulkan depresi, memiliki harga diri yang rendah atau bahkan merasa
dirinya tidak berharga (Iranita, 2007).

Persepsi yang menyimpang dari bentuk tubuh, merasa terdapat


bagian-bagian tubuh yang tidak sebenarnya, individu yakin bahwa orang lain
yang menarik dan bahwa ukuran dan bentuk tubuh adalah tanda kegagalan
individu (Nada, Veronica, 2010).

2.3 Hubungan antara Social Comparison dan Body Image

Berdasarkan teori di atas maka terdapat hubungan antara social


comparison dengan body image pada remaja putri. Semakin tinggi skor
seorang wanita dalam membandingkan tubuhnya dengan tubuh wanita lain,
maka semakin tinggi tingkat body dissatisfaction yang dialami. Perbandingan
sosial yang lebih sering terjadi adalah upward comparison. Objek
pembanding yang sering digunakan, baik oleh wanita dewasa, remaja
maupun orang lain, adalah wanita lain yang dianggap memiliki tubuh yang
lebih menarik.

Hal ini dikuatkan oleh penelitian (Ricciardelli dan McCabe, dalam


Roslifa, 2001) menemukan bahwa body image dissatisfaction lebih sering
terjadi pada remaja putri yang berdampak pada perilaku diet dan gangguan
makan dibandingkan remaja laki – laki. Hal ini juga diungkapkan oleh Levine
dan Smolak (2002) bahwa body dissatisfaction meningkatkan resiko depresi
pada remaja putri. Dan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Keery,
et.al (dalam Roslifa,2001) menemukan adanya kecenderungan social
comparison dan internalisasi tubuh ideal menjadi faktor yang membangun
body image dissatisfaction. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jones (2001)
bahwa social comparison merupakan salah satu faktor yang cukup penting
dalam pembentukan body image yang kemudian akan mempengaruhi
kepuasaan dan ketidakpuasan tubuh seseorang.

Dari beberapa penelitian dan pemaparan kami ini, maka kami


berasumsi bahwa semakin wanita membandingkan tubuh dengan wanita
lainnya semakin tinggi tingkat body dissatisfaction yang dialami.. Oleh karena
itu peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara social comparison dan
body image pada remaja putri di Jakarta.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskripsi yaitu penelitian yang


dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri baik satu variabel atau
lebih(bebas) tanpa membuat perbandingan yang lain. (Sugiyono, 2000) Data
dikumpulkan sebagaimana adanya penelitian ini termasuk kedalamm
penelitian kuantitatif yang sifatnya noneksperimental.

3. 2 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah remaja putri di Jakarta. Karena


remaja putri masih dalam masa pertumbuhan secara fisik. Selain itu pada
rentang usia remaja biasanya berpikir definisi cantik adalah dengan kulit putih
mulus,rambut hitam dan tebal,berbadan langsing semampai, hidung
mancung, sehingga mereka terobsesi menjadi cantik seperti yang mereka
asumsikan.
Oleh karena itu peneliti berasumsi bahwa pada usia ini biasanya
seseorang akan cenderung melakukan social comparison. Adapun kriteria
subjek penelitian ini adalah :
1. Responden merupakan remaja putri yang berdomisili di Jakarta
2. Responden yang pernah melakukan social comparison dalam
body image
3.2.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas, objek/subjek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
1997).
Penelitian ini yang digunakan adalah populasi remaja putri yang
berdomisili di Jakarta. Selanjutnya teknik pengambilan sampel pada
penelitian ini adalah purposive sampling dengan metode pengambilan
sampel non probability sampling dimana setiap responden memiliki
kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel. Sampel penelitian ini
dibatasi hanya pada remaja putri yang berdomisili di Jakarta.

3.2.2 Sampel

Sampel adalah suatu prosedur pengambilan data dimana hanya


sebagian populasi saja yang diambil dan dipergunakan untuk menentukan
sifat serta ciri yang dikehendaki dari suatu populasi.

Jika peneliti hanya akan meneliti sebagian dari populasi, maka


penelitian tersebut disebut penelitian sampel. Sampel adalah sebagian atau
wakil populasi yang diteliti. Dinamakan penelitian sampel apabila sampel
yang dimaksud dengan menggeneralisasikan adalah mengangkat
kesimpulan penelitian sebagai suatu yang berlaku bagi populasi. (Arikunto,
2006).

Menurut Arikunto (2002), apabila subjek penelitian kurang dari 100


maka lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitian
populasi. Selanjutnya, jika jumlah populasinya besar maka dapat diambil
antara 10-15% atau 20-25% atau lebih.

Setidaknya tergantung dari :

a. Kemampuan peneliti dilihat dari segi waktu dan biaya


b. Sempit luasnya penelitian dari setipa subjek karena hal itu banyak
sedikitnya data
c. Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti yang resikonya
besar dan hasilnya akan baik

Pada penelitian ini yang digunakan sebagai sampel remaja putri


Jakarta. Yang mana peneliti mengambil sampel pada mahasiswi Remaja
Putri di Jakarta Selatan.

3.2.3 Waktu dan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam rentang waktu kurang lebih 5 bulan,


dengan tiga kali penyebaran kuisoner. Penyebaran kuisoner yang pertama
dilakukan untuk menguji validitas dan reabilitas dari skala social comparison
dan body image, penyebaran kedua dilakukan untuk mendapatkan data
penelitian dengan skala yang lebih besar.

3.4 Variabel penelitian

Adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu
penelitian (Arikunto, 2006). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel
bebas (independent) dan variabel terikat (dependent).

Identifikasi variabel penelitian digunakan untuk menguji hepotesa penelitian.


Dalam penelitian ini terdapat dua buah variabel yang akan diterliti, yaitu :

a. Variabel bebas : sosial comparison


b. Variabel terikat : body image

3.4.1 Definisi Konseptual dan operasional variabel penelitian

Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

Body image adalah evaluasi atau sikap yang dimiliki oleh seseorang
secara partisipasi terhadap tubuhnya. Evaluasi atau sikap tersebut bisa
berupa perasaan suka, puas atau positif yang ditunjukkan dengan
penerimaan terhadap bentuk tubuh dan ukuran tubuhnya atau bisa berupa
perasaan tidak suka, tidak puas atau negative seseorang terhadap bentuk
fisik pada tubuhnya seperti ukuran tubuh, berat badan, dan bentuk tubuh.
Dalam hal ini aspek-aspek dari body image adalah Appearance evaluation
(ecaluasi penampilan), Appearance orientation (orientasi penampilan), Body
area satisfaction (kepuasan bagian tubuh), Ovewweight preoccupation
(kecemasan menjadi gemuk), dan Self-classified weight (pengkategorian
ukuran tubuh).

a. Appearance evaluation (evaluasi penampilan), yaitu mengukur


evaluasi dari penampilan dan keseluruhan tubuh, apakah menarik atau
tidak menarik serta memuaskan dan tidak memuaskan
b. Appearance orientation (orientasi penampilan), yaitu perhatian individu
terhadap penampilan dirinya dan usaha yang dilakukan untuk
memperbaiki dan meningkatkan penampilan dirinya.
c. Body area satisfaction (kepuasan bagian tubuh), yaitu mengukur
kepuasan individu terhadap bagian tubuh secara spesifik, seperti
wajah, rambut, tubuh bagian bawah (pantan, paha, pinggul, kaki),
tubuh bagian tengah (pinggang, perut), tubuh bagian atas (dada, bahu,
lengan), dan penampilan secara keseluruhan.
d. Ovewweight preoccupation (kecemasan menjadi gemuk), yaitu
mengukur kecemasan terhadap kegemukan, kewaspadaan individu
terhadap berat bada, kecenderungan melakukan diet untuk
menurunkan berat badan dan membatasi pola makan.
e. Self-classified weight (pengkategorian ukuran tubuh), yaitu mengukur
bagaimana individu mepersepsi dan menilai berat badannya dari
sangat kurus sampai sangat gemuk (Cash, 2002).

Social comparison adalah evaluasi dirinya dengan cara membandingkan


dirinya dengan orang lain yang ada disekitarnya baik dengan orang yang
lebih baik dengannya atau lebih buruk darinya. Dalam hal ini yang
dibandingkan ada dua hal yaitu pendapat dan kemampuan.

3.5 Alat Ukur Penelitian

Alat ukur merupakan metode pengumpulan data dalam kegiatan yang


bertujuan untuk mengungkap fakta mengenai variable yang diteliti. Alat ukur
yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan tujuan penelirian dan bentuk
data yang akan diabil serta diukur. Data penelitian diperoled dengan
menggunakan metode skala. Skala adalah metode pengumpulan data yang
merupakan suatu daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek secara
tertulis (Hadi,2000). Dalam penelitian ini menggunakan dua alat ukur, yaitu
Social Comparison Scale miliik Leon Festinger yang sudah diadaptasi oleh
Alan and Gilbert (1995) dan Multiple Body Self Related Quistionnaire
(MBSRQ) oleh Thompson F. Cash. Alat ukur ini disebar menggunakan
internet agar partisipan dapat mengisi kuisioner tanpa merasa diawasi oleh
peneliti sehingga diharapkan dapat lebih jujur dengan respon yang diberikan.

3.5.1 Instrumen Penelitian

a. Instrumen Penelitian Social Comparison

Instrumen penelitian merupakan alat untuk mengukur fenomena


alam maupun fenomena sosial yang diamati dalam hal ini meliputi
teknik pengumpulan data uji validitas dan reliabilitas alat ukur.

Untuk model skala peneliti menggunakan social comparison


scale yang mengukur persepsi diri tentang peringkat sosial dan status
sosial relatif. Skala ini menggunakan metodologi diferensial semantik
dan terdiri dari 11 konstruksi bipolar. Peserta diminta untuk membuat
perbandingan global tentang diri mereka sendiri dalam kaitannya
dengan orang lain dan untuk menilai diri mereka sepanjang skala
sepuluh poin. Misalnya, skala bertanya:

Dalam hubungan dengan orang lain yang saya rasakan:

Tidak Lebih
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kompeten Kompeten

11 item tersebut mencakup penilaian yang berkaitan dengan peringkat, daya


tarik dan seberapa baik orang tersebut berpikir bahwa mereka 'cocok' dengan
orang lain di masyarakat. Skor rendah menunjukkan perasaan inferior dan
persepsi diri rendah. Skala ini ditemukan memiliki reliabilitas yang baik,
dengan alpha Cronbach sebesar 0,88 dan 0,96 dengan populasi klinis dan
0,91 dan 0,90 dengan populasi siswa (Allan dan Gilbert, 1995, 1997).

Tabel a. Social Comparison Scale


b. Instrumen Penelitian Body Image

Untuk model skala peneliti menggunakan Multiple Body Self Related


Qusitionare, Kuesioner Hubungan Tubuh-Diri Multi-dimensi (MBSRQ) adalah
69 item persediaan laporan sendiri untuk penilaian aspek sikap diri terhadap
citra tubuh membangun. Citra tubuh dipahami sebagai disposisi sikap
seseorang terhadap fisik diri (Kas & Pruzinsky, 1990). Sebagai sikap,
disposisi ini termasuk evaluatif, kognitif, dan komponen perilaku. Apalagi, fisik
diri tidak meliputi hanya penampilan fisik seseorang tapi juga kompetensi
tubuh atau "fitness" dan nya integritas biologis atau "kesehatan / penyakit."
Versi awal instrumen ini pada tahun 1983 berisi 294 item dan diistilahkan
BSRQ. Versi selanjutnya iteratif menghilangkan atau mengganti item
berdasarkan kriteria rasional / konseptual dan psikometri. Pada tahun 1985,
Cash, Winstead, dan Janda digunakan instrumen dalam survei citra tubuh
nasional. Dari lebih 30.000 responden, sekitar 2.000 sampel secara acak,
bertingkat berdasarkan usia seks X distribusi di populasi A.S. Selain publikasi
asli hasil survei (lihat Cash et al., 1986), banyak publikasi telah berkembang
dari analisis ini database dan dari penelitian dengan sampel beragam lainnya
(lihat referensi tambahan).

Tabel b. Skala Likert


Untuk model skala, peneliti menggunakan skala likert yang terdiri dari
pernyataan positif (favourable) dan pernyataan negatif (unfavourable),
masing-masing pernyataan terdiri atas empat rentang jawaban. Pada
pernyataan favourable skor tertinggi diberikan pilihan “selalu” dan skor
terendah diberikan pada pilihan “tidak pernah”. Dalam pernyataan
unfavourable skor diberikan sebaliknya seperti pada tabel.

Pernyataan
Pilihan
Favourable Unfavourable

Sangat Setuju 5 1

Setuju 4 2

Ragu - ragu 3 3

Tidak setuju 2 4

Sangat tidak setuju 1 5

Selanjutnya sistem penilaian skala tersebut bergerak dari 1 sampai 5.


Untuk pernyataan yang favorable, nilai 5 jika subyek menjawab “Sangat
Setuju (SS)” nilai 4 jika subyek menjawab “Setuju”, nilai 3 jika subyek
menjawab “Ragu – Ragu” nilai 2 jika subyek menjawab “Tidak Setuju “nilai 1
jika subyek menjawab “ Sangat Tidak Setuju” Sementara untuk pernyataan
yang unfavorable.

3.5.2 Validitas dan reliabilitas

1. Validitas

Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu


alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur
tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan
pengukuran yang di kehendaki dengan tepat (Azwar,2000).

Pengujian validitas tiap butir digunakan analisis item, yaitu


mengkorelasikan sko tiap butir dengan skor total yang merupakan jumlah tiap
skor butir. Dalam hal ini analisis item Masrun (1979) menyatakan “Teknik
korelasi untuk menentukan validitas item ini sampai sekarang merupakan
teknik yang paling banyak digunakan”. Selanjutnya dalam memberikan
interprestasi terhadap koefisien korelasi, Masrun menyatakan “item yang
mempunyai korelasi positif dengan skor total serta korelasi yang tinggi
menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula.
Biasanya syarat adalah kalau r-0.3”. Jadi kalau korelasi antara butir dengan
skor total kurang dari 0. Maka butir dalam instrumen tersebut dinyatakan tidak
valid ( Sugiyono, 2006)

2. Reliabilitas

Realibilitas/keterandalan ialah indeks yang menunjukkan sejauh


mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau diandalkan. Hal ini berarti
menunjukkan sejauh mana alat pengukur dikatakan konsisten, jika dilakukan
pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama. Untuk diketahui
bahwa perhitungan/uji realibilitas harus dilakukan hanya pada pertanyaan
yang telah dimiliki atau memenuhi uji validitas, jadi jika tidak memenuhi syarat
uji validitas maka tidak perlu diteruskan untuk uji realibilitas (Noor,2011).

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu


pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Reliabilitas menunjukkan
kemantapan/konsisten, apabila untuk mengukur sesuatu barang berulang kali,
alat ukur itu menunjukkan hasil yang sama, dalam kondisi yang sama.
Setiap alat pengkukur seharusnya memiliki kemampuan untuk

memberikan hasil pengukuran yang konsisten.Pada alat pengukur,

fenomena fisik seperti barat dan panjang suatu benda, konsistensi hasil

pengukuran bukanlah sesuatu yang sulit diperoleh.Tetapi untuk

pengukuran fenomena sosial, seperti sikap, pendapat, persepsi,

kesadaran beragama, pengukuran yang konsisten agak sulit dicapai. Akan

tetapi, menggunakan teknik belah dua merupakan cara mengukur

reliabilitas, dengan membagi alat ukur menjadi dua kelompok (Noor,

2011).

Adapun langkahnya sebagai berikut:

1. Mengajukan instrument penelitian kepada sejumlah responden

kemudian dihitung butir-butir validitas pernyataan/pertanyaan.

Butir-butir yang valid dikumpulkan menjadi satu, butir-butir yang

tidak valid dibuang.

2. Membagi butir-butir yang valid tersebut menjadi dua belahan.

Untuk membelah instrument menjadi dua, dapat dilakukan dengan

salah satu cara berikut: (1) membagi butir dengan cara acak

(random). Separauh masuk belahan pertama, separuh lagi masuk

belahan kedua; atau (2) membagi butir berdasarkan nomor genap-

ganjil. Butir yang bernomor ganjil dikumpulkan menjadi satu dan


yang bernomor genap juga dijadikan satu. Untuk menghitung

reliabilitasnya skor total dari kedua belahan itu dikorelasikan (Noor,

2011).

Berhubung dengan hal tersebut, maka dalam pengukuran

penelitian sosial selalu diperhitungkan unsur kesalahan

pengukuran.Karena itu, makin kecil kesalahan pengukuran, semakin

reliabel alat pengukurannya.Semakin besar kesalahan pengukuran,

semakin tidak reliabel alat pengukur tersebut (Noor, 2011).

Penelitian ini menggunakan reliabilitas dengan konsistensi

internal, yaitu dilakukan dengan cara mencobakan instrumen sekali

saja, kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan teknik tertentu.

Dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Alpha

Cronbach. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan bantuan program

SPSS 16.0 for Windows. (Sugiyono, 2012).

Reliabilitas dinyatakan koefisien reliabilitas (rxx) jika angkanya

dalam rentang 0 sampai 1,000.Semakin tinggi koefisien reliabilitas

mendekati 1,000 berarti semakin tinggi reliabilitasnya.Sebaliknya

koefisien yang seamkin rendah mendekati angka 0 maka semakin

rendah pula reliabilitasnya (Azwar, 1987).

24
Daftar Pustaka

25

Anda mungkin juga menyukai