Anda di halaman 1dari 12

YAYASAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM (YLPI) RIAU

UNIVERISTAS ISLAM RIAU


FAKULTAS PSIKOLOGI

HUBUNGAN KONTROL DIRI PADA PERILAKU


AGRESI PADA REMAJA

DOSEN PENGAMPU : Dr. Leni Armayati, S.Psi., M.Si


DISUSUN OLEH : MUTHMAINNAH (228110218)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah remaja sering disebut sebagai masa peralihan dari masa anak-anak ke masa
dewasa, hal ini di mulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia
mencapai usia matang secara hukum. Remaja merupakan suatu periode
perkembangan dari transisi antara masa anak-anak dan dewasa, yang diikuti oleh
perubahan biologis, kognitif, dan emosional (Firdaus & Marsudi, 2021). Seorang
individu yang sudah memasuki masa remaja dikatakan sudah memiliki kontrol atas
dirinya sendiri baik itu kontrol diri atas perilaku dan emosional. Namun, tidak sedikit
seorang individu remaja juga dapat berperilaku agresi yang dapat memberikan
dampak negatif terhadap lingkungannya.
Perilaku agresi yang dapat dilakukan oleh seorang remaja dapat berupa perilaku
tercela, sampai pada kekerasan secara verbal maupun kekerasan secara fisik. Izzatul
(2023) menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh remaja merupakan salah
satu bentuk perilaku agresif yang dapat memberikan dampak negatif berupa adanya
korban jiwa, kerusakan fasilitas umum, dan lain-lain. Selanjutnya, Rinanda (2017)
menjelaskan faktor yang mempengaruhi perilaku agresi seorang yaitu emosi, kontrol
diri, regiulitas, kecerdasan emosi, dan pengaruh media. Seorang individu yang
melakukan kekerasan secara verbal maupun fisik merupakan ketidakmampuan
seorang individu dalam mengontrol emosinya. Izzatul (2023) menyatakan, kontrol diri
merupakan kemampuan individu dalam mengendalikan emosi atau impuls dalam
rangka untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Ketika individu memasuki masa remaja sebenarnya individu sedang berada
dimasa transisi dari seorang anak kecil menjadi seorang yang dianggap dewasa.
Pratidina & Marheni (2019) menjelaskan peran orangtua dalam mendampingi anak
sangat dibutuhkan ketika anak berada pada masa remaja, sebab pada masa ini anak
belajar bagaimana mengambil keputusan yang tepat untuk berperilaku. Remaja yang
memiliki kontrol diri yang baik, akan dapat mengendalikan diri dari perilaku-perilaku
yang melanggar aturan dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pengendalian
diri pada remaja ini memiliki kaitan dengan proses pengendalian emosi serta
pengendalian dari dorongan-dorongan negatif yang berasal dari luar diri individu.

1
2

Artinya, ketika remaja memiliki kontrol diri yang baik maka tingkat agresivitas yang
dimilikinya akan rendah.
Fenomena perilaku agresi remaja saat ini tidak pernah surut bahkan cenderung
meningkat. Tindakan kekerasan atau perilaku agresi terjadi di seluruh dunia dan di
seluruh lapisan masyarakat. Hasil penelitian Hidayat, Yusri, & Ilyas (2013)
mengungkapkan bahwa tindakan agresi remaja dilihat dari menyakiti orang secara
fisik dengan presentase 35,32%, sedangkan tindakan agresi yang dilakukan remaja
dilihat dari menyakiti orang secara verbal sebanyak 41,30% dan tindakan agresi
dilihat dari merusak dan menghancurkan harta benda dengan presentase 30,42%. Data
lain berdasarkan hasil penelitian Marsh, McGee & Williams (2014) bahwa perilaku
agresi remaja usia 15-16 tahun sebanyak 70% teridentifikasi sebagai korban dan
pelaku agresi. Hasil penelitian Enopadria, Neherta & Fernandes (2018) juga
mengungkapkan bahwa sebanyak 5,7% remaja awal, sebanyak 91,7% remaja tengah,
dan sebanyak 2,6% remaja akhir yang melakukan tindakan agresi.
Perilaku agresi di Indonesia pada saat ini mendapatkan banyak perhatian.
Beberapa media massa menayangkan tentang perilaku agresi yang dilakukan oleh
pelajar. Berdasarkan data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) terjadi
sebanyak 206 kasus remaja usia 13-19 di tahun 2016, kemudian terjadi penurunan di
tahun 2017 sebanyak 92 kasus, dan kembali meningkat di tahun 2018 sebanyak 265
kasus sebagai pelaku kekerasan fisik maupun verbal (penganiayaan, perkelahian,
tawuran pelajar, bullying). Data terupdate diawal tahun Januari 2019 sudah ada 28
kasus remaja yang menjadi pelaku kekerasan fisik. Khususnya untuk di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, KPAI juga menyajikan data terakhir disepanjang tahun
2016 terdapat 6 korban dan 8 pelaku tawuran pelajar, 23 pelaku kekerasan fisik
(pengeroyokan, penganiayaan, perkelahian, dan lain-lain), 4 pelaku kekerasan psikis
(mengancam, mengintimidasi, dan lain-lain), 28 korban kekerasan fisik dan 3 korban
kekerasan psikis (KPAI, 2019).
Kecenderungan merosotnya moral bangsa hampir terasa di semua strata
kehidupan. Krisis moral ini kemudian di ikuti dengan menyuburnya pola hidup
konsumtif, materialistis, hedonis, dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan
tersingkirnya rasa kemanusiaan, kebersamaan, dan kesetiakawanan sosial. Khusus di
kalangan remaja, problem sosial moral ini dicirikan dengan sikap arogansi, saling
memfitnah sesama teman, rendah kepedulian sosial, meningkatnya hubungan seks pra
nikah, bahkan merosotnya penghargaan dan rasa hormat terhadap guru ataupun
3

orangtua sebagai sosok yang seharusnya disegani dan dihormati. Bila dicermati
dengan seksama ternyata kejadian ini semuanya mengisyaratkan adanya
kecenderungan meningkatnya perilaku agresif pada remaja (Aziz dan Mangestuti,
2006). Di Indonesia, fenomena perilaku agresif mahasiswa seringkali terjadi dan
mendapatkan perhatian banyak pihak. Agresi merupakan perilaku yang dapat
merugikan diri sendiri dan pihak lain, sehingga diperlukan upaya untuk mereduksi
dan mengendalikan perilaku agresif pada mahasiswa (Wildan, 2008).
Perilaku agresif adalah suatu tindakan yang sengaja dilakukan dengan
maksuduntuk melukai atau menyakiti orang lain secara fisik maupun verbal sebagai
bentukpelampiasan dari perasaan negatif untuk memperoleh kepuasan atau tujuan
yang di inginkan. Agresivitas secara fisik dapat berupa merusak suatu benda mati,
memukul orang lain, menendang, melempar dan lain-lain. Agresivitas yang dilakukan
secaraverbal dapat berupa berbicara kasar, mengolok, mencaci maki dan lain-lain
(Nisfiannor & Yulianti, 2005; Zamzami, 2007; Dini & Indrijati, 2014). Beberapa
perilaku agresi pada mahasiswa Indonesia, misalnya di Makassar pada tanggal 14 Juni
2010 tawuran antara fakultas ekonomi dengan fakultas olah raga UNM. Peristiwa ini
berawal dari adanya saling ejek di sebuah pertandingan futsal. Peristiwa lain yakni
tawuran antara mahasiswa peternakan dan mahasiswa teknik UNHAS yang bermula
seorang mahasiswi diganggu oleh mahasiswa yang mengaku berasal dari fakultas
pertanian. Lalu tanggal 25 Mei 2010 juga terjadi tawuran antara mahasiswa FISIPOL
dengan mahasiswa fakultas teknik, tanggal 26 Oktober 2010 (Saido, 2010).
Salah satu faktor kepribadian yang mempengaruhi munculnya perilaku agresi
yaitu kontrol diri. Kontrol diri diartikan sebagai kemampuan mengontrol diri sebagai
suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk
perilaku yang membawa individu ke arah konsekuensi yang lebih positif (Ghufron
dan Risnawati, 2010). Kontrol diri sangat diperlukan bagi setiap individu, khususnya
remaja jika remaja tidak mampu untuk melakukan kontrol diri dengan baik maka
remaja dikhawatirkan dapat mengalami krisis identitas, sehingga remaja memiliki
kecenderungan berperilaku negatif (Widiarti, 2010). Perilaku individu bisa
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mengakibatkan munculnya perilaku
tersebut.Salah satunya perilaku agresi bisa muncul dikarenakanan beberapa
faktor.Kontrol diri merupakan aspek diri yang relevan untukmemahami perilaku
agresi dalam setiap individu. Kontrol diri merupakan hambatan internal yang
berfungsi untuk mencegah keterlepasan kecenderungan respon agresif..Penelitian
4

Beumeister dan Boden (dalam Krahe, 2005) menyatakan perilaku kriminal sering kali
diikuti dengan kekurangkontrolan diri pada berbagai aktivitas lainnya (perokok berat,
konsusmsi alkohol yang berlebihan) mendukung pendapat bahwa masalah kontrol diri
secara umum mendasari perilaku agresif. Perilaku agresi individu salah satunya
disebabkan oleh kepentingan kelompok yang harus dipenuhi tanpa memperdulikan
tindakan yang dilakukan sesuai atau tidak dengan norma yang berlaku. Kontrol diri
yang kurang menyebabkan munculnya tindakan yang tidak sesuai dengan norma
tersebut yang berwujud kekerasan atau agresi. Kontrol diri merupakan cara individu
untuk untuk mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya
(Hurlock, 2004).
Beberapa faktor penyebab perilaku agresi, diantaranya ada pada kondisi
internal dan eksternal. Gen, hormon, kimia darah, instink, stres, emosi, frustasi, dan
konsep diri menjadi berbagai penyebab terjadinya perilaku agresi dalam kondisi
internal. Sedangkan, keluarga, rekan sebaya, tetangga, dan sekolah menjadi faktor
eksternal yang menyebabkan terjadinya perilaku agresi (Susantyo, 2011). Perilaku
agresi signifikan disebabkan oleh adanya faktor internal, diantaranya frustasi, stress,
kesepian dan keluarga (Estévez Lópe, Jiménez, & Moreno, 2018). Hal yang serupa
juga dikemukakan dari hasil penelitian Potirniche dan Enache (2014) bahwa faktor
utama penyebab perilaku agresi adalah kondisi keluarga yang tidak baik dan tidak
harmonis.
Faktor pemanasan global yang sedemikian cepat juga dapat meningkatkan
kekerasan di seluruh dunia. Adanya peningkatan kemiskinan, kekurangan gizi, dan
masalah dalam keluarga akan meningkatkan anak-anak yang berkembang menjadi
remaja dan orang dewasa yang rentan terhadap perilaku agresi (Warburton &
Anderson, 2015). Perilaku agresi yang dilakukan seseorang muncul dari suatu
dorongan (drive) yang ditimbulkan oleh faktor-faktor eksternal untuk menyakiti
ataupun melukai orang lain. Teori dorongan atas agresi memunculkan perilaku untuk
menyakiti orang lain. Teori dorongan atas agresi menjelaskan bahwa perilaku agresi
terjadi dari dalam oleh dorongan untuk menyakiti orang lain. Dorongan-dorongan
tersebut muncul dari berbagai kejadian eksternal (Baron & Byrne, 2005).
Menurut Tola (2018) faktor yang mempengaruhi perilaku agresi verbal ialah
faktor biologis yaitu setiap anak terlahir dengan tingkah laku dan emosi yang berbeda
namun dapat diubah dengan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. Selain itu
penyakit yang di derita juga dapat mempengaruhi perilaku agresi seseorang. Faktor
5

keluarga yaitu berhubungan dengan pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak.
Misalnya orang tua yang selalu menekan anak untuk bersikap sesuai dengan
kemauannya maka tidak menutup kemungkinan anak ini memiliki perilaku agresif
yang cenderung menetap karena gejolak dari tekanan-tekanan yang diberikan oleh
orang tua. Faktor sekolah yaitu kebanyakan anak menunjukkan perilaku yang berbeda
saat sebelum dan sesudah masuk sekolah. Kebanyakan anak cenderung menunjukkan
perilaku agresinya saat sudah masuk sekolah karena merasa keluar dari lingkungan
keluarga dan dapat bebas melakukan hal yang ingin dilakukan. Faktor budaya yaitu
yang dimaksud budaya disini bukan adat namun seperti suatu kebiasaan yang dibuat.
Misalnya kebisaan anak menonton televisi yang menayangkan perilaku kekerasan
seperti lm kartun atau robot yang menayangkan adegan kekerasan, dengan begitu
anak cenderung meniru tayangan tersebut. Hal negatif dari media tersebut dapat
mempengaruhi perilaku anak. Baron dan Byrne (dalam Arron & Dwiastuti, 2019)
juga berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang
melakukan perilaku agresi verbal ada tiga yaitu faktor sosial seperti frustasi, tekanan
dari orang tua dan lingkungan, provokasi, agresi yang dipindahkan, pemaparan
terhadap kekerasan di media, keterangsangan yang meningkat, dan keterangsangan
seksual. Faktor pribadi seperti pola perilaku, persepsi, narsisme, dan ancaman ego.
Faktor situasional seperti suhu udara yang tinggi, obat-obatan, dan keramaian yang
memicu munculnya perilaku agresivitas verbal. Berkowitz (dalam Kartika, 2015)
menjabarkan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku agresi verbal diantaranya
frustasi, pikiran, kepribadian, keluarga, proses sosialisasi, pola asuh, dan lingkungan
luar. Selanjutnya Bandura, Ross dan Ross A ( dalam Zahri & Savira, 2017) juga
mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi seseorang berperilaku agresi
verbal ialah faktor bawaan biologis, frustasi dan belajar melakukan tindakan agresi itu
sendiri. Berdasarkan beberapa faktor yang telah di paparkan maka dapat disimpulkan
bahwa ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi perilaku agresi verbal yaitu
faktor internal yang lahir dari diri sendiri atau fak tor bawaan, kemudian faktor
eksternal meliputi sosial, keluarga, situasional, budaya, dan sekolah. Selain faktor
yang terkait dengan perilaku agresi, menurut Buss (dalam Arron & Dwiastuti, 2019)
ada beberapa aspek perilaku agresi verbal diataranya agresi verbal aktif langsung
yaitu perilaku agresi verbal yang dilakukan secara langsung pada pihak sasaran.
Agresi verbal pasif langsung yaitu perilaku agresi verbal yang diakukan langsung
dengan tujuan yang dialihkan. Agresi verbal aktif tidak langsung yaitu perilaku agresi
6

verbal yang dilakukan secara tidak langsung namun tujuannya langsung ke pihak
sasaran. Agresi verbal pasif tidak langsung yaitu perilku agresi verbal yang dilakukan
secara tidak langsung kepada sasaran dengan kontak verbal.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, perilaku agresi tidak terjadi dengan
sendirinya, tetapi disebabkan oleh faktor tertentu. Penelitian Nisannoor dan Yulianti
(2005) menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga bercerai lebih agresif
dibandingkan dengan remaja dari keluarga utuh. Ditinjau dari segi dimensi
agresivitas, remaja yang berasal dari keluarga bercerai juga lebih agresif secara fisik
maupun verbal.
Perilaku agresi akan memberikan dampak tersendiri terhadap diri sendiri
sebagai pelaku, maupun dampak terhadap orang lain atau diluar dirinya sebagai
korban dari perilaku agresi. Dampak bagi pelaku agresi yaitu akan dijauhi, dibenci
dan ditakuti oleh teman-teman sebayanya. Sementara, dampak bagi korban agresi
yaitu dapat menimbulkan luka secara fisik maupun psikis dan perasaan rendah diri
(Arifin & Lukitaningsih, 2016). Melihat dampak-dampak dari perilaku agresi
terhadap remaja tersebut, dalam jangka kedepan akan sangat berpengaruh terhadap
perkembangan remaja itu sendiri, baik sebagai individu maupun lingkungan
sosialnya.
Hampir setiap hari kasus perilaku agresif remaja selalu ditemukan dimedia
massa, dimana sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan
dan salah satu perilaku agresif remaja adalah tawuran. Data di Jakarta tahun 1992
tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus
dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban
meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang
menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat
dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban
cenderung meningkat, bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga
perkelahian ditiga tempat sekaligus. Lebih jauh dijelaskan bahwa dari 15.000 kasus
narkoba selama dua tahun terakhir, 46 % di antaranya dilakukan oleh remaja
(Tambunan, 2001).
Berikut ini adalah data peningkatan perilaku agresif remaja dari tahun ketahun
diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pada tahun 2013 angka perilaku agresif
remaja di Indonesia mencapai 6325 kasus, sedangkan pada tahun 2014 jumlahnya
mencapai 7007 kasus dan pada tahun 2015 mencapai 7762 kasus. Sedangkan tahun
7

2016 mencapai 8597,97 kasus, dan tahun 2017 sebesar 9523.97 kasus. Artinya dari
tahun 2013 – 2017 mengalami kenaikan sebesar 10,7%. Kasus tersebut terdiri dari
berbagai kasus perilaku agresif remaja diataranya, tawuran, pembunuhan,
pemerkosaan dan penyiksaan. Dari data tersebut kita dapat mengetahui pertumbuhan
jumlah perilaku agresif remaja yang terjadi tiap tahunnya. Untuk prediksi tahun 2018
sebanyak 10549,70 kasus, 2019 mencapai 11685,90 kasus dan pada tahun 2020
mencapai 12944,47 kasus. Mengalami kenaikan tiap tahunnya sebesar 10,7% (Sub
Direktorat Statistik Politik dan Keamanan, 2017).
Masa remaja merupakan masa yang bergejolak dan sangat mudah untuk
dipengaruhi atau diprovokasi baik dari segi yang positif maupun yang negatif, dimana
remaja lebih mudah dipengaruhi dari segi yang negatif yaitu untuk melakukan
tindakan-tindakan yang merugikan orang lain ataupun dirinya sendiri, misalnya:
memaki teman, merokok, minum – minuman keras, mengeroyok teman, tawuran,
kebut-kebutan. Remaja tersebut terkadang tidak ingin melakukannya tetapi karena
didesak atau bahkan akan disepelekan oleh teman-teman sebayanya maka remaja
tersebut akhirnya melakukan perilaku agresif. Perkembangan sosial remaja memiliki
sifat khusus yaitu berkelompok-kelompok yang terdiri dari jenis kelamin yang sama,
dan pada masa remaja sudah ada saling hubungan yang lebih erat antara anak- anak
sebaya, sehingga timbul kelompok-kelompok anak, perkumpulan untuk bermain
bersama atau membuat rencana bersama, misalnya untuk kemah, atau saling tukar
pengalaman, merencanakan aktivitas bersama misalnya aktivitas terhadap suatu
kelompok lain. Aktivitas tersebut juga dapat bersifat agresif, kadang-kadang kriminal
seperti misalnya mencuri, penganiayaan dan lain-lain (Haditono, 2006).
Perilaku agresif merupakan suatu luapan emosi sebagai reaksi terhadap
kegagalan individu yang ditampakkan dalam pengrusakan terhadap manusia atau
benda dengan unsur kesengajaan yang diekspresikan dengan kata-kata (verbal) dan
perilaku (non verbal). Contoh dari perilaku agresif remaja yang terlihat jelas dari data
di atas adalah seperti memaki, tawuran, penganiayaan, penyiksaan dan pemerkosaan,
bahkan sampai menghilangkan nyawa (Sarwono & Meinarno, 2009).
Kontrol diri adalah kemampuan individu untuk menentukan perilakunya
berdasarkan standar tertentu seperti moral, nilai, dan aturan di masyarakat agar
mengarah pada perilaku positif yang lebih menguntungkan individu (Tangney,
Baumeister, dan Boone, 2004). Komponen kontrol diri terdiri dari disiplin diri,
tindakan atau aksi yang tidak impulsif, pola hidup sehat, etika kerja, dan keandalan
8

(Tangney dkk, 2004). Inti dari penjabaran di atas adalah individu dengan kontrol diri
yang rendah memiliki kecenderungan untuk berperilaku agresif
Bandura (1971) beranggapan bahwa perilaku agresif merupakan sesuatu yang
dipelajari dan bukannya perilaku yang dibawa individu sejak lahir. Bandura
menambahkan bahwa ternyata anak-anak sejak usia dini dapat mempunyai perilaku
agresi hanya dengan mengamati perilaku agresi sesosok model (orang tua, pengasuh,
guru). Bandura (1971) menyatakan bahwa individu belajar banyak perilaku melalui
peniruan, bahkan tanpa adanya penguatan (reinforcement) sekalipun yang individu
terima. Individu dapat meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap
perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut, termasuk agresi
dan kontrol diri. Baumeister, Vohs, dan Tice (2007) mengatakan kontrol diri
merupakan proses yang berkembang pada individu melalui intervensi psikologis yang
bahkan juga terjadi pada masa dewasa. Kontrol diri merupakan kemampuan yang
dimiliki individu untuk mengubah respon individu tersebut secara sadar dan sengaja
untuk membuat individu dapat menahan atau menghilangkan respon negatif dan
mengubahnya menjadi respon lain yang lebih sesuai (Baumeister dkk, 2007). Saat
respon negatif seperti perilaku agresif terjadi, individu dengan kontrol diri yang baik
dapat dengan sengaja mengubah responnya untuk menghindari dirinya berperilaku
agresif (Baumeister dkk, 2007).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian


ini adalah “Bagaimana Hubungan Kontrol Diri Pada Perilaku Agresi Pada Remaja”

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan memahami
faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku agresif pada remaja, dan untuk
memberikan wawasan mengenai prevalensi agresi, penyebabnya, dan dampaknya
terhadap pelaku dan korban. Dengan mengidentifikasi faktor-faktor ini, penelitian ini
bertujuan untuk berkontribusi pada pengembangan intervensi dan strategi yang efektif
untuk mengatasi dan mencegah perilaku agresif di kalangan remaja di kota. mencoba
untuk mengidentifikasi penyebab dan dampak dari perilaku agresif mereka. Selain itu,
penelitian ini juga memberikan informasi tentang peningkatan jumlah kasus perilaku
agresif remaja di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Dengan pemahaman yang
9

lebih baik tentang penyebab dan dampak perilaku agresif pada remaja, diharapkan
penelitian ini dapat memberikan dasar bagi pengembangan solusi untuk mengurangi
perilaku agresif pada remaja di masa mendatang.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Pemahaman yang Lebih Mendalam: Penelitian ini membantu dalam pemahaman
yang lebih mendalam tentang perilaku agresif pada remaja, termasuk faktor-
faktor penyebabnya. Hal ini dapat membantu para peneliti, pendidik, orangtua,
dan praktisi kesehatan mental untuk lebih memahami kompleksitas masalah ini.
2. Identifikasi Faktor Penyebab: Penelitian ini mengidentifikasi berbagai faktor
penyebab perilaku agresif pada remaja, termasuk faktor internal dan eksternal
seperti stres, frustasi, keluarga, lingkungan sekolah, dan budaya. Identifikasi ini
dapat membantu dalam mengembangkan strategi intervensi yang lebih efektif.
3. Pemahaman Terhadap Dampak: Penelitian ini juga membahas dampak perilaku
agresif pada remaja, baik bagi pelaku maupun korban. Hal ini dapat
meningkatkan kesadaran tentang konsekuensi dari perilaku agresif dan
mendorong upaya untuk mencegahnya.
4. Data Statistik yang Merepresentasikan Masalah: Data-data statistik yang disajikan
dalam penelitian ini memberikan pandangan yang jelas tentang sejauh mana
masalah perilaku agresif remaja telah menyebar di masyarakat. Data ini dapat
digunakan untuk menyusun kebijakan pencegahan dan intervensi.
5. Relevansi Sosial: Penelitian ini memiliki relevansi sosial yang tinggi, mengingat
meningkatnya kasus perilaku agresif remaja dalam beberapa tahun terakhir. Hasil
penelitian dapat memberikan panduan bagi para pemangku kepentingan dalam
merumuskan program-program pencegahan.
6. Upaya Pencegahan dan Intervensi yang Lebih Baik: Dengan pemahaman yang
lebih baik tentang faktor penyebab perilaku agresif, penelitian ini dapat
membantu dalam pengembangan program-program pencegahan yang lebih
efektif. Hal ini dapat mencakup program-program pelatihan keterampilan sosial,
dukungan psikologis, atau intervensi dalam keluarga.
7. Kontribusi terhadap Pengetahuan Ilmiah: Penelitian ini dapat berkontribusi pada
literatur ilmiah tentang psikologi remaja dan perilaku agresif. Hasilnya dapat
digunakan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut di bidang ini.
10

8. Kesadaran Masyarakat: Penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat


tentang pentingnya mengatasi masalah perilaku agresif remaja. Kesadaran ini
dapat membantu masyarakat secara keseluruhan dalam mendukung solusi yang
lebih baik.
9. Potensi Pengembangan Program: Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh
lembaga pemerintah, sekolah, dan organisasi non-pemerintah dalam merancang
program-program untuk membantu remaja mengatasi perilaku agresif dan
mencegahnya.
10. Pengembangan Perilaku Positif: Penelitian ini dapat membantu dalam merancang
program-program untuk mengembangkan perilaku positif pada remaja, seperti
keterampilan komunikasi, penyelesaian konflik, dan pengelolaan emosi.

Dengan demikian, penelitian ini memiliki potensi untuk memberikan wawasan


yang berharga dan berkontribusi pada upaya pencegahan dan penanganan masalah
perilaku agresif pada remaja.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kuantitatif. Penelitian dengan


menggunakan metode kuantitatif telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu
konkrit/empiris, obyektif, terukur, rasional serta sistematis karena data penelitian
berupa angka-angka dan analisisnya menggunakan statistik (Sugiyono, 2010).
Variabel-variabel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel Bebas
(independent variable) Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Kontrol Diri 2.
Variabel Terikat (dependent variable) Variabel terikat dalam penelitian ini Perilaku
Agresi.
11

Daftar Pustaka

Firdaus, W., & Marsudi, M. S. (2021). Konseling remaja yang kecanduan gadget
melalui terapi kognitif behavior. Studia: Jurnal Hasil Penelitian
Mahasiswa, 6(1), 15-24.

Um, Izzatul. (2023). Literature Review: Hubungan Kecerdasan Emosi dan Kontrol
Diri dengan Perilaku Agresi Pada Remaja. BRPKM, 1-8.

Rinanda, F., & Haryanta, H. (2019). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan
Agresivitas pada Atlet Futsal. Gadjah Mada Journal of Psychology
(GamaJoP), 3(1), 37 - 44.

Anda mungkin juga menyukai