Anda di halaman 1dari 94

PENGARUH EMPATI DAN SELF-CONTROL

TERHADAP AGRESIVITAS REMAJA SMA NEGERI 3


KOTA TANGERANG SELATAN

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

LAILATUL BADRIYAH

NIM : 109070000137

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH


JAKARTA

1434 H/ 2013 M
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak permasalahan serta kasus yang terjadi di negara Indonesia yang

sangat membutuhkan “jalan keluar”, bukan hanya wacana perbincangan

semata. Mulai dari kasus kriminal, pelecehan seksual, kekerasan dan

kenakalan remaja. Contohnya kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja

yang sekarang marak dilakukan, tindakan agresi fisik maupun verbal

bertujuan melukai orang lain.

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan.

Sekolah ini termasuk sekolah unggulan dengan prestasi yang tinggi serta

lulusan terbaik. Akan tetapi, dengan prestasi yang tinggi tersebut peneliti

melihat ada kecenderungan siswa-siswi untuk berperilaku agresi. Seperti

kasus yang dilakukan siswa kelas X2 yang melakukan agresi verbal dengan

mengolok-olok temannya yang mengalami obesitas. Kemudian kasus seorang

siswi yang mengalami kecemasan dan impulsif yang selalu membuat

kegaduhan di kelasnya sehingga teman-temannya merasa tidak nyaman dan

melakukan tindakan bullying. Serta permasalahan siswa dengan gurunya yang

sering terjadi, dimana gurunya sering menganggap (judge) siswanya dengan

penilaian yang buruk, padahal belum tentu pada kenyataannya.

(wawancara,13 Mei 2013). Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian yang lebih mendalam.


2

Di daerah lain khususnya kota Jakarta, perilaku agresi sering kali

terjadi. Diantaranya kasus tawuran yang dilakukan oleh pelajar SMA 70 dan

SMAN 6 Bulungan Jakarta yang terjadi pada tanggal 2 Oktober 2012 yang

menewaskan 1 orang pelajar dan 2 pelajar lainnya luka-luka. Menurut

informasi yang diperoleh bahwa data tawuran pelajar wilayah POLDA Metro

Jaya dari tahun 2010 hingga 2012 mengalami kenaikan hingga 100%. Pada

tahun 2010 terjadi 128 kasus tawuran antar pelajar yang mengakibatkan

banyak korban luka-luka, terjadi kenaikan yang sangat drastis pada tahun

2011 dimana terjadi 339 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar, dan

tahun 2012 terjadi 139 kasus tawuran yang mengakibatkan 12 orang pelajar

tewas. (Litbang tvOne, 2012)

Dilihat dari psikologi perkembangan, remaja mengalami pergantian

moralitas dari konsep-konsep moral khusus kekonsep moral individual.

(Hartati dkk, 2005). Selama berada dalam keadaan tersebut, remaja

mengalami ambiguitas dalam pola pemikiran kognitif dan afektif sebagai

pengarah kepada perilaku yang akan ditampilkan. Salah satu contoh

ambiguitas yang dialami remaja adalah mencari identitas diri. Menurut teori

Psikososial Erikson (Santrock 1995), remaja berada di tahap 5 yaitu identity

vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas), menurut erikson

jika remaja menerima dukungan sosial yang memadai, maka akan muncul

eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri, dan kontrol diri. Begitu

juga sebaliknya remaja yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan

hasratnya ditambah lagi kalau remaja sering kali mendapatkan penolakan dari
3

orang tua, maka dapat dipastikan remaja akan terus mengalami kebingungan.

Kebingungan-kebingungan inilah yang berimbas pada ketidak stabilan emosi.

Menurut Carr (Hartati dkk, 2005) emosi itu timbul jika organism dihadapkan

pada rintangan yang menghambat kebebasannya untuk bergerak, sehingga

semua tenaga dan upaya dikerahkan untuk mengatasi rintangan tersebut dan

merangsang organism tersebut untuk merugikan lawannya tanpa

pertimbangan terlebih dahulu.

Ada beberapa hal lainnya yang menurut peneliti siswa lebih

bertindak agresif diantaranya adalah peer group (teman sebaya). Dalam

kelompok sebaya tidak dipentingkan adanya struktur organisasi, masing-

masing individu merasakan adanya kesamaan satu dengan yang lain, seperti

di bidang usia, kebutuhan dan tujuan. Di dalam kelompok sebaya ini, individu

merasa menemukan dirinya (pribadi) serta dapat mengembangkan rasa

sosialnya sejalan dengan perkembangan kepribadiannya. Remaja yang sering

mengalami penolakan seperti kurang perhatian dari orang terdekat, dan

menginginkan penghargaan diri dari orang lain, mereka akan mencari

kelompok yang sesuai dengan keinginannya, bisa saling berinteraksi satu

sama lain dan merasa diterima dalam kelompok, dengan demikian ia akan

merasakan kebersamaan atau kekompakkan dalam kelompok teman

sebayanya tersebut.

Kemudian satu lagi kenapa perilaku remaja sangat agresif, karena

perilaku agresi itu merupakan suatu hal yang dipelajari. Menurut teori belajar

Albert Bandura, tingkah laku manusia akibat reaksi yang timbul dari interaksi
4

lingkungan dengan skema kognitif individu atau kelompok itu sendiri.

Sebagian besar apa yang dipelajari individu khususnya remaja adalah melalui

proses peniruan (imitation) dan penyajian contoh (modeling), dan dalam hal

ini seseorang belajar mengubah perilakunya sendiri melalui pengamatan

terhadap cara orang lain merespon stimulus (Hartati dkk, 2005). Remaja yang

salah meniru dan memodeling sesuatu akan bertentangan dengan norma

masyarakat dan mereka akan mengalami kembali penolakan-penolakan dari

masyarakat, sehingga mereka akan bertindak lebih agresif dari sebelumnya.

Beberapa penelitian yang membahas tentang agresivitas, setidaknya

penelitian tersebut meneliti tentang berbagai faktor orang melakukan tindakan

agresi, seperti penelitiannya Bushman dan Cooper (1990) yang menemukan

bahwa ada pengaruh alkohol terhadap tindakan agresif seseorang. Ada juga

penelitian dari Bandura, Ross, & Ross, A. (1961) menyebutkan beberapa

faktor orang bertindak agresif, karena bawaan biologis, pengulangan frustrasi,

dan yang paling terpenting adalah tindakan agresi itu dipelajari. Beberapa

penelitian seperti Milles dan Carey (1997) yang meneliti faktor gen dan

lingkungan terhadap agresi manusia. Jurnal Sex Differences in physical,

verbal, and indirect aggression penelitian dari Bjorkqvist (1994) yang

membahas tentang perbedaan jenis kelamin terhadap perilaku agresi fisik,

verbal dan agresi secara tidak langsung.

Perilaku agresif sebenarnya bukan hanya masalah kekerasan seperti

tawuran semata, tetapi banyak perilaku agresi yang dimulai dari agresi yang

berupa perkataan (verbal), ataupun olok-olokan yang dirasa menyakitkan


5

individu dan berakhir pada tindakan agresi fisik berupa pemukulan,

penusukan, dan lain-lain yang berujung pada tindakan kriminalitas.

Setidaknya perilaku agresi ini dibagi dalam tiga klasifikasi yaitu, 1) fisik dan

verbal, 2) aktif dan pasif, 3) langsung dan tidak langsung. Dari ketiga

klasifikasi tersebut akhirnya ditarik delapan bentuk agresif yaitu, 1) Perilaku

agresif fisik aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya menusuk,

menembak, memukul orang lain. 2) Perilaku agresif fisik aktif yang

dilakukan secara tidak langsung, misalnya membuat jebakan untuk orang lain.

3) Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara langsung, misalnya tidak

memberi jalan kepada orang lain. 4) Perilaku agresif fisik pasif yang

dilakukan secara tidak langsung, misalnya menolak untuk mengerjakan

sesuatu, menolak untuk mengerjakan perintah orang lain. 5) Perilaku agresif

verbal aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya memaki-maki orang.

6) Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung,

misalnya menyebar gosip tentang orang lain. 7) Perilaku agresif verbal pasif

yang dilakukan secara langsung, misalnya tidak setuju dengan pendapat orang

lain, tetapi tidak mau mengatakan (memboikot), tidak mau menjawab

pertanyaan orang lain. 8) Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara

tidak langsung, misalnya menolak untuk berbicara dengan orang lain,

menolak memberikan perhatian dalam suatu pembicaraan.

Terdapat juga bentuk-bentuk agresivitas menurut Buss dan Perry

(1992), yaitu agresi fisik, verbal, kemarahan (anger ) dan kecurigaan

(hostility). Agresi fisik dan verbal dapat dikontrol dengan kemampuan


6

mengontrol perilaku, sehingga individu dapat mengontrol dirinya dengan baik

dan mengatur perilaku dengan kemampuan dirinya. Kemarahan dapat

dikontrol dengan kemampuan mengantisipasi peristiwa, mengantisipasi

keadaan dengan pertimbangan secara objektif. Sedangkan kecurigaan dapat

dikontrol dengan menafsirkan peristiwa, karena kemampuan ini menilai dan

menafsirkan peristiwa dengan memperhatikan segi-segi positif secara

subjetif.

Penelitian ini mengambil sudut pandang baru dimana menempatkan

empati sebagai variabel independen untuk diteliti apakah mempengaruhi

agresivitas remaja. Empati dapat dilihat dari beberapa indikasi, diantaranya

adalah hubungan diri yang hangat dengan orang lain diterjemahkan dengan

sikap cinta dan keamanan emosional yang diterjemahkan lagi dengan

menerima diri sehingga dapat menempatkan untuk diterima orang lain.

Beberapa penelitian sebelumnya meneliti tentang hubungan antara

empati dan efikasi diri dengan perilaku agresi pada guru sekolah dasar negeri

inklusi di kecamatan lowokwaru kota Malang, menyatakan bahwa guru

diharapkan dapat lebih berempati terhadap siswa terutama terhadap siswa

yang berkebutuhan khusus, serta tetap mempertahankan efikasi dirinya yang

tinggi terhadap perannya sebagai seorang pendidik serta menghindari

berperilaku agresi. Ama Hastik (2012)

Penelitian lainnya dari Sintha Meliyana (2009) mengenai Peran

empati terhadap keterampilan sosial dan agresifitas pada anak sekolah dasar,
7

menunjukkan hasil nilai estimasi sebesar -0,711 dan nilai CR -4,038 (p=

0,000), yang berarti semakin tinggi kemampuan empati anak maka akan

semakin rendah perilaku agresifnya. Kemudian jurnal penelitian dari

Giancola (2003) mengenai The moderating effects of dispositional empathy

on alcohol-related aggression in men and women, menunjukkan bahwa laki-

laki dan perempuan yang meminum alkohol dan memiliki empati yang

rendah akan lebih tinggi tingkat agresifnya, dari pada laki-laki dan perempuan

yang memiliki empati yang tinggi akan turun tingkat agresifnya. Dalam

penelitian ini, peneliti ingin mengungkap konsep empati yang sesuai untuk

mengatasi perilaku agresifitas pada remaja. Sampai saat ini, peneliti belum

menemukan hasil penelitian mengenai empati yang berhubungan langsung

dengan agresivitas seseorang.

Konsep empati yang ditampilkan merujuk pada kesadaran individu

untuk dapat berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari

perspektif orang tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat

merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut. Empati

dapat berperan di kalangan remaja khususnya siswa, dengan sebuah tindakan

positif baik dari dalam diri siswa maupun dari luar, misalnya dari dalam diri

siswa tersebut dapat dibiasakan berinfaq ketika ada sumbangan amal untuk

anak yatim piatu dan orang yang tidak mampu setiap jumat. Contoh lainnya

yang beranjak dari luar diri siswa adalah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler

Palang Merah Remaja (PMR) dan Pusat Informasi Konselor-Remaja (PIK-R)

yang dilaksanakan di SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan, dimana mereka


8

akan dididik untuk membantu teman-temannya yang mengalami kesulitan

dengan bertindak sebagai konselor teman sebaya.

Selanjutnya, ada faktor yang peneliti anggap penting untuk diteliti,

yaitu factor self-control. Secara teori, terjadinya tindakan agresif karena

seseorang tidak bisa mengendalikan emosi yang ada dalam dirinya, sikap

agresif yang dipicu karena rasa marah dan dendam akan sangat mudah

muncul. Hal ini didukung oleh penelitian Finkenauer,dkk (2005) yang

menyatakan bahwa tinggi self-control sangat berhubungan dengan penurunan

resiko masalah psikososial diantaranya kenakalan dan sikap agresivitas pada

remaja. Dalam penelitian lainnya dari DeWall, dkk (2011) tentang Self-

Control Inhibits Aggression menyatakan bahwa mekanisme neural otak

dalam meregulasi emosi dan kontrol kognitif pada self-control dapat

mengurangi agresi seseorang. Maka dari itu dalam penelitian ini, peneliti

menjadikan factor self-control menjadi independen variabel yang akan dicari

tahu ada pengaruhkah terhadap agresivitas dan seberapa besar pengaruhnya

terhadap mengatasi tindakan tersebut.

Selain itu perbedaan jenis kelamin akan di teliti untuk menjadi

perbandingan, sehingga tampak lebih jelas tindakan agresi tersebut. Hal ini

didukung dalam jurnal penelitian oleh Bushman dan Anderson (1998) yang

menunjukkan bahwa laki-laki 11x lebih agresif dari pada perempuan dan

lebih cenderung melakukan agresi fisik daripada agresi verbal.


9

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti berasumsi bahwa ada 2

hal yang diduga dapat mengurangi atau mengatasi agresivitas remaja yaitu

empati dan self-control. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti

memilih judul “ Pengaruh Empati dan Self-control Terhadap Agresivitas

Remaja SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan.”

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini, permasalahan yang akan dikaji terbatas pada hal-hal

berikut:

1. Agresivitas dalam penelitian ini adalah suatu tindakan yang

dilakukan secara sadar baik fisik maupun verbal oleh individu kepada

orang lain yang merugikan dan tidak menyenangkan, bertujuan untuk

menyakiti orang tersebut. (Buss dan Perry, 1992)

2. Empati yang dimaksud adalah merujuk pada kesadaran individu

untuk dapat berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain

dilihat dari perspektif orang tersebut, sehingga individu tahu dan

benar-benar dapat merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh

orang tersebut. (Davis,1980)

3. Self-control yang dimaksud adalah kemampuan seseorang dalam

mengelola emosi untuk membuat keputusan dalam mengekspresikan

perasaan-perasaan atau tindakan dalam lingkungan sosial.

(Averill,1973)

4. Jenis kelamin.
10

1.2.2 Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini, rumusan masalah yang diangkat adalah:

1. Apakah ada pengaruh empati terhadap agresivitas remaja?

Dalam detail dapat dirumuskan lagi sebagai berikut:

a. Apakah ada pengaruh aspek perspective taking terhadap

agresivitas remaja?

b. Apakah ada pengaruh aspek fantacy terhadap agresivitas remaja?

c. Apakah ada pengaruh aspek empathic concern terhadap

agresivitas remaja?

d. Apakah ada pengaruh aspek personal distress terhadap agresivitas

remaja?

2. Apakah ada pengaruh self-control terhadap agresivitas remaja?

Dalam detail dapat dirumuskan lagi sebagai berikut:

a. Apakah ada pengaruh behavior control terhadap agresivitas

remaja?

b. Apakah ada pengaruh aspek cognitive control terhadap agresivitas

remaja?

c. Apakah ada pengaruh decisional control terhadap agresivitas

remaja?

3. Apakah ada pengaruh empati dan self-control secara bersama-sama

terhadap agresivitas remaja?


11

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh empati yang meliputi perspective

taking, fantacy, empathic concern, dan personal distress terhadap

agresivitas remaja.

2. Untuk mengetahui pengaruh self-control yang meliputi behavior

control, cognitive control, dan decisional control terhadap

agresivitas remaja.

3. Untuk mengetahui pengaruh empati dan self-control secara bersama-

sama terhadap agresivitas remaja.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Dari gambaran pendahuluan hingga tujuan penelitian diatas, maka

penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara kolektif

baik untuk keilmuan (teoritis) atau untuk peneliti dan subjek penelitian

(praktis). Manfaat tersebut adalah:

1. Secara teoritis dapat memberikan sumbangan untuk menambah

wawasan keilmuan dan pengetahuan bagi masyarakat umum serta

pengembangan ilmu pengetahuan psikologi, khususnya dibidang

psikologi sosial dan perkembangan.


12

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa

manfaat yaitu:

a. Memberikan pengertian pentingnya pengaruh sikap empati dan

self-control dalam mengatasi sikap agresivitas remaja yang dapat

dikonsumsi oleh peneliti, mahasiswa psikologi dan civitas

akademisi (akademisi umum dan akademisi muslim) serta

masyarakat Indonesia pada umumnya.

b. Memberikan wacana yang menguatkan mengenai konsep empati

dan self-control dalam kajian psikologi sosial dan perkembangan

pada tema mengenai agresivitas remaja.

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi

Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

dengan sistematika sebagai berikut:

BAB 1 : Pendahuluan berupa latar belakang masalah, identifikasi masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB 2 : Kajian teori berisi uraian pendapat para ahli mengenai agresivitas,

empati dan self-control, disertai dengan kerangka berpikir dan

hipotesis.
13

BAB 3 : Populasi dan sampel, variabel penelitian, instrumen penelitian,

teknik pengumpulan data, teknik analisis data, teknik analisis

statistik, prosedur penelitian.

BAB 4 : Hasil penelitian, meliputi gambaran umum responden,

pengkategorian skor masing-masing skala, persiapan penelitian,

penyebaran skor hasil, instrumen penelitian, dan hasil analisis data

penelitian.

BAB 5 : Kesimpulan, diskusi, dan saran.


14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Agresivitas

2.1.1 Pengertian agresivitas

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, agresivitas berasal dari kata

agresif yang berarti bersifat atau bernafsu menyerang, cenderung ingin

menyerang kepada suatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang

mengancam, menghalangi atau menghambat. Kemudian menambah

akhiran itas,- yang bermakna sifat. Sehingga dapat didefinisikan

menjadi suatu sifat yang cenderung memiliki keinginan untuk selalu

menyerang kepada suatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang

mengacau, menghalangi atau menghambat.

Menurut Baron (dalam Hoaken dan Stewart, 2003) ,

menyatakan bahwa “ Aggression is any form of behavior directed

toward the goal of harming or injuring another living being who is

motivated to avoid such treatment.” Menurut definisi tersebut

menyatakan bahwa agresi adalah setiap bentuk perilaku yang diarahkan

pada tujuan merugikan atau melukai makhluk hidup yang termotivasi

untuk menghindari perlakuan tersebut."

Sigmund Freud (dikutip dari Taylor, 2009) mengemukakan

bahwa perilaku agresi merupakan gambaran ekspresi sangat kuat dari


15

insting kematian (thanatos), karena dengan melakukan agresi maka

secara mekanisme individu telah berhasil mengeluarkan energi

destruktifnya dalam rangka menstabilkan keseimbangan mental antara

insting mencintai (eros) dan insting kematian (thanatos). Meski

demikian, walaupun agresi dapat dikontrol tetapi agresi tidak bisa

dieliminasi, karena agresi adalah sifat alamiah manusia.

Myers (2009) menjelaskan bahwa agresi merupakan perilaku

fisik maupun verbal yang disengaja maupun tidak disengaja namun

memiliki maksud untuk menyakiti, menghancurkan atau merugikan

orang lain yang diniatkan untuk melukai objek yang menjadi sasaran

agresi. Dan secara spesifik, Gelles dkk (1991) mendefinisikan agresi

verbal adalah komunikasi yang dimaksudkan untuk menyebabkan

penderitaan psikologi kepada orang lain baik secara langsung maupun

tidak langsung.

Kamus Psikologi Chaplin (Terjemahan Kartini Kartono, 2008)

Agresi adalah suatu tindakan permusuhan ditujukan pada seseorang

atau benda. Sedangkan agresivitas merupakan kecenderungan habitual

(yang dibiasakan) untuk memamerkan permusuhan. Pernyataan diri

secara tegas, penonjolan diri, penuntutan atau pemaksaan diri,

pengejaran dengan penuh semangat suatu cita-cita. Dominasi sosial,

kekuasaan sosial, khususnya yang diterapkan secara ekstrim.

Buss (dalam Bushman, 1998) mendefinisikan agresi sebagai

respon yang memberikan rangsangan berbahaya keorganisme lain.


16

Sedangkan menurut Geen (dalam Bushman, 1998) agresi didefinisikan

kedalam dua klasifikasi yaitu agresor (penyerang) memberikan

rangsangan berbahaya dengan maksud untuk menyakiti korban, dan

penyerang mengharapkan rangsangan berbahaya itu memiliki efek

sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Bandura (1961) menyatakan

bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar sosial yang

diperoleh melalui mekanisme belajar pengamatan dalam dunia sosial.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah diungkapkan diatas,

dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah kecenderungan yang

dilakukan individu atau kelompok dengan niat/kesengajaan untuk

menyakiti atau melukai orang lain atau merusak objek baik secara fisik

maupun psikis.

2.1.2 Faktor-Faktor Agresivitas

Munculnya perilaku agresi berkaitan erat dengan rasa marah yang

terjadi dalam diri seseorang. Menurut Taylor (2009) rasa marah dapat

muncul dengan sebab-sebab sebagai berikut:

1. Adanya serangan dari orang lain. Bayangkan ketika tiba-tiba

seseorang menyerang dan mengejek anda dengan perkataan yang

menyakitkan. Hal ini dapat secara refleks menimbulkan sikap agresi

terhadap lawan.

2. Terjadinya frustrasi dalam diri seseorang. Frustrasi adalah gangguan

atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Salah satu prinsip dalam


17

psikologi, orang yang mengalami frustrasi akan cenderung

membangkitkan perasaan agresifnya.

3. Ekspektasi pembalasan atau motivasi untuk balas dendam. Intinya

jika seseorang yang marah mampu untuk melakukan balas dendam,

maka rasa kemarahan itu akan semakin besar dan kemungkinan

untuk melakukan agresi juga bertambah besar pula.

4. Kompetensi. Agresi yang tidak berkaitan dengan keadaan emosional,

tetapi mungkin muncul secara tidak sengaja dari situasi yang

melahirkan suatu kompetensi. Secara khusus merujuk pada situasi

kompetitif yang sering memicu pola kemarahan, pembantahan dan

agresi yang tidak jarang bersifat destruktif.

Menurut Myers (2009), faktor yang mempengaruhi agresi sebagai

berikut:

1. Frustrasi

2. Pembelajaran agresi, dimana terdapat reward dan pembelajaran

sosial.

3. Pengaruh lingkungan, maksudnya adalah situasi lingkungan saat itu

misalnya insiden yang menyakitkan, suhu udara panas, serangan,

kerumunan orang, dimana akan memicu tindakan agresi.

4. Sistem saraf otak.

5. Faktor gen atau keturunan.


18

6. Faktor kimia dalam darah (alkohol dan obat-obatan). Hal ini

didukung oleh penelitian yang dilakukan Bushman dan Cooper

(1990) yang meneliti adanya pengaruh alkohol terhadap tindakan

agresif seseorang.

Menurut Davidoff (1991), agresi dilatarbelakangi oleh beberapa faktor,

diantaranya:

1. Amarah. Marah merupakan emosi dasaar manusia yang memiliki

ciri-ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya

perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan

adanya kesalahan yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin

juga tidak. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi

adalah suatu respon terhadap marah, kekecewaan, sakit fisik,

penghinaan atau ancaman yang sering memancing amarah dan

akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan, serta ancaman

merupakan pemicu (anchor ) yang jitu terhadap marah untuk

mengarahkan pada perilaku agresi.

2. Gen berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang

mengatur perilaku agresi. Dari penelitian Davidoff terhadap

binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing

amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan

lebih cepat marah dari pada hewan betina.


19

3. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat

memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan

agresi. Misalnya dengan merangsang sistem limbik (daerah

kenikmatan pada manusia) sehingga muncul interaksi antara

kenikamatan dan kekejaman.

4. Kimia darah khususnya hormon seks yang ditentukan oleh factor

keturunan dapat mempengaruhi perilaku agresi.

5. Kesenjangan generasi, dapat dilihat dari hubungan komunikasi yang

kurang antara anak dan orang tua yang mengakibatkan

misunderstanding dan kegagalan komunikasi.

6. Kemiskinan. Seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan

kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami akan

mengalami penguatan. Misalnya kerasnya hidup di ibukota akan

melatih mental mereka untuk bagaimana bertahan hidup.

7. Anonimitas. Seseorang yang berusaha untuk cederung berusaha

beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan

yang berlebih. Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif

membuat dunia sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan

orang lain tidak lagi saling mengenal secara baik. Bila seseorang

merasa anonim, ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena

ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang

bersimpati dengan orang lain.

8. Suhu udara yang panas.


20

9. Peran belajar model kekerasan. Menurut Davidoff menyaksikan

perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan

menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model

kekerasan tersebut.

10. Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam

mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau

tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara merespon

terhadap frustrasi.

11. Proses pendisiplinan yang keliru. Pendidikan disiplin yang otoriter

dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan

memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh

bagi remaja.

12. Kebudayaan. Lingkungan geografis seperti pantai/pesisir

menunjukkan karakter lebih keras dari pada masyarakat yang hidup

di pedalaman dan pegunungan. Nilai dan norma yang mendasari

sikap dan tingkah laku masyarakat juga berpengaruh terhadap

agresivitas satu kelompok.

2.1.3 Bentuk-bentuk agresivitas

Buss (dikutip oleh Nashori, 2010) mengklasifikasikan perilaku agresif

secara lebih lengkap, yaitu: perilaku agresif secara fisik atau verbal, dan

secara aktif atau pasif, serta langsung atau tidak langsung. Tiga

klasifikasi ini masing-masing saling berinteraksi, sehingga akan

menghasilkan 8 bentuk perilaku agresif, yaitu:


21

1. Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara langsung, misalnya

menusuk, menembak, memukul orang lain.

2. Perilaku agresif fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung,

misalnya membuat jebakan untuk orang lain.

3. Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara langsung, misalnya

tidak member jalan kepada orang lain.

4. Perilaku agresif fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung,

misalnya menolak untuk mengerjakan sesuatu, menolak untuk

mengerjakan perintah orang lain.

5. Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara langsung,

misalnya memaki-maki orang.

6. Perilaku agresif verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung,

misalnya menyebar gosip tentang orang lain.

7. Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara langsung,

misalnya tidak setuju dengan pendapat orang lain, tetapi tidak mau

mengatakan (memboikot), tidak mau menjawab pertanyaan orang

lain.

8. Perilaku agresif verbal pasif yang dilakukan secara tidak langsung,

misalnya menolak untuk berbicara dengan orang lain, menolak

memberikan perhatian dalam suatu pembicaraan.


22

Myers (2009) membagi agresi kedalam 2 bentuk:

1. Agresif rasa benci atau agresi emosi (hostile aggression).

Agresi ini merupakan ungkapan kemarahan dan ditandai dengan

emosi yang tinggi. Perilaku agresif ini adalah tujuan dari agresi itu

sendiri, jadi agresi sebagai agresi itu sendiri. Contohnya seseorang

mencaci orang lain, karena sebelumnya orang tersebut telah dicaci

maki sebelumnya dengan kata-kata kasar yang membuatnya sakit.

2. Agresi sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain (instrumental

aggression).

Agresi ini pada umumnya tidak disertai emosi. Bahkan antara pelaku

dan korban kadang-kadang tidak ada hubungan pribadi, agresi ini

bertujuan untuk mencapai tujuan. Contohnya, seseorang yang

terobsesi untuk menjadi pemimpin dan merebut kekuasaan,

menyingkirkan lawannnya dengan cara kekerasan dan tindakan yang

tidak fair .

Kemudian menurut Buss dan Perry (1992) mengelompokkan agresivitas

kedalam 4 bentuk agresi, yaitu:

1. Agresi fisik

Merupakan komponen perilaku motorik, seperti melukai dan

menyakiti orang secara fisik. Contohnya terjadinya perkelahian antar

pelajar yang mengakibatkan beberapa orang terluka parah.

2. Agresi verbal
23

Merupakan komponen motorik, seperti melukai dan menyakiti orang

lain dengan menggunakan verbal/perkataan. Misalnya seperti

mencaci maki, berkata kasar, berdebat, menunjukkan ketidaksukaan

atau ketidaksetujuan, menyebarkan gossip, dan lain-lain. Contohnya,

beberapa siswa yang saling mengejek satu sama lainnya dengan

ejekan yang menyakitkan.

3. Agresi marah

Merupakan emosi atau afektif, seperti munculnya kesiapan

psikologis untuk bertindak agresif. Misalnya kesal, hilang kesabaran

dan tidak mampu mengontrol rasa marah. Contohnya, seseorang

akan kesal kalau dituduh melakukan kejahatan yang tidak pernah

dilakukannya.

4. Sikap permusuhan

Meliputi komponen kognitif, seperti benci dan curiga pada orang

lain, iri hati dan merasa tidak adil dalam kehidupan. Contohnya,

seseorang sering merasa curiga terhadap orang lain, yang dikiranya

menaruh dendam pada dirinya, padahal orang lain tersebut tidak

dendam terhadapnya.

2.1.4 Jenis-jenis agresi

Erich Fromm (terjemahan Imam Muttaqin, 2010) menggunakan istilah

Agresi Lunak dalam menjelaskan jenis-jenis agresi, diantaranya sebagai

berikut:

1. Agresi semu
24

Agresi semu adalah tindakan-tindakan yang dapat dilakukan, tetapi

tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kerugian kepada pihak lain.

Contohnya agresi mendadak.

2. Agresi aksidental

Agresi aksidental adalah tindakan agresif yang melukai orang lain,

namun tidak sengaja dilakukan, contohnya peluru nyasar.

3. Agresi permainan

Agresi permainan bertujuan untuk mempraktikkan kemahiran. Ia

tidak bertujuan untuk menghancurkan atau melukai, serta tidak

menimbulkan kebencian. Contohnya permainan anggar, memanah,

pertarungan pedang dan seni-seni lainnya.

4. Agresi penegasan diri

Agresi penegasan diri tidak terbatas pada perilaku seksual semata, ia

merupakan sifat dasar yang diperlukan dalam banyak situasi

kehidupan, contohnya pada perilaku ahli bedah, pendaki gunung,

perilaku-perilaku dalam olahraga, serta sidat yang diperlukan bagi

seorang pemburu. Namun harus dibedakan antara agresi yang

bertujuan merusak dengan agresi penegasan diri yang hanya untuk

membantu mencapai tujuan, baik dengan cara merusak secara

langsung maupun dengan cara yang berpotensi menimbulkan

kerusakan.
25

5. Agresi defensif

Agresi defensif sebenarnya bertujuan untuk menghilangkan bahaya,

hal ini dapat dilakukan dengan cara menyelamatkan diri, dan jika

upaya penyelamatan diri itu tidak dapat dilakukan, maka dapat

ditempuh dengan cara lain, yaitu dengan melawan atau

memperlihatkan tampang paling menyeramkan. Tujuan agresi

defensif bukanlah untuk menghancurkan, melainkan untuk menjaga

kelangsungan hidup. Bila tujuan telah tercapai, maka agresi tersebut

beserta emosinya akan lenyap.

6. Agresi dan kebebasan

Asumsinya adalah bahwa kebebasan merupakan syarat untuk

berkembangnya seseorang secara penuh, untuk kesehatan mental,

dan kesejahteraan. Contohnya kelompok-kelompok masyarakat yang

memerangi penindasan.

7. Agresi dan narsisme

Orang yang narsistik seringkali mendapatkan perasaan aman melalui

keyakinan subjektifnya mengenai kesempurnaan dirinya, keunggulan

atas orang lain, dan sifat-sifat luar biasanya. Jika narsismenya

terancam, dia akan merasakan ancaman terhadap kepentingan

vitalnya. Jika orang lain melukai narsistiknya, dengan

meremehkannya, mengkritik, meralat ucapannya yang salah, atau

mengalahkannya dalam sebuah permainan, maka ia akan bereaksi

dengan kemarahan yang sangat marah. Intensitas reaksi agresif


26

seringkali diperlihatkan dari sikap seseorang yang tidak mau

memaafkan orang yang telah melukai perasaan narsisitiknya. Dia

juga sering merasakan dendam yang jauh lebih intens dibanding

dengan dendam yang ditimbulkan oleh tindakan orang lain secara

fisik.

8. Agresi dan perlawanan

Agresi sebagai reaksi terhadap segala upaya untuk memunculkan

perlawanan dan cita-cita terpendam kedalam kesadaran. Ada

beberapa alasan yang menyebabkan seseorang memendam keinginan

tertentu disepanjang hidupnya, mungkin karena takut akan hukuman,

tidak lagi dicintai, atau takut direndahkan apabila keinginan

terpendam tersebut diketahui orang lain.

9. Agresi kompromis

Agresi kompromis dapat digolongkan sebagai agresi semu.

Kepatuhan sebagai konsekuensi kebutuhan untuk mematuhi perintah.

Dalam beberapa kasus dorongan agresi itu tidak akan terjadi jika

perintah itu tidak dipatuhi. Akan tetapi ada pula yang mengancam

diri pelaku, dan cara menghindari ancaman tersebut adalah dengan

melakukan tindakan agresif sesuai yang diperintahkan. Contohnya

ketika Nabi Ibrahim AS bersedia menyembelih putranya Nabi Ismail

AS karena kepatuhan.

10. Agresi instrumental


27

Agresi instrumental bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang

diperlukan, tetapi yang menjadi tujuan bukanlah penghancuran,

karena penghancuran itu sendiri hanya berfungsi sebagai sarana

untuk mencapai tujuan yang sebenarnya.

Dari teori-teori diatas peneliti menggunakan teori Buss dan

Perry (1992) yang mengklasifikasikan agresi kedalam 4 bentuk agresi,

yaitu agresi fisik, agresi verbal, agresi marah, dan sikap permusuhan,

sebagai dasar untuk pengukuran agresivitas.

2.1.5 Pengukuran agresivitas

Banyak skala yang digunakan untuk mengukur agresivitas individu,

diantaranya:

1. Skala pengukuran agresivitas dari Buss dan Perry dalam jurnal

penelitian The Aggression Questionnaire yang menggunakan 4

faktor yaitu, agresi fisik, verbal, marah, dan permusuhan, dan

terangkum ke dalam 29 item baku.

2. Penelitian Orpinas dan Frankowski dalam jurnal The Aggression

Scale yang mengadopsi teori Buss dan Perry merumuskan 3 faktor

yaitu, agresi fisik verbal, dan marah, yang terangkum dalam 11 item

baku.

3. Peneliti akan menggunakan faktor skala Buss dan Perry, dengan

mengadopsi item-item yang telah dibakukan, sebanyak 29 item baku.


28

2.2 Empati

2.2.1 Pengertian empati

Konsep empati berasal dari kata “einfϋhlung” yang popular pada abad

ke-19. Istilah ini berasal dari filsafat estetika Jerman yang mengkaji

tentang abstrak formal, hingga fokus pada isi, simbol dan emosi.

Sehingga paa akhirnya salah satu ilmuwan pada masa itu Johan

Friedrich Herbart (dalam Taufik, 2012), merekonstruksikan konsep

einfϋhlung dalam makna yang mengantarkan kepada pemahaman

konsep tentang empati.

Hoffman (2000) menyatakan bahwa“Empaty defined as an

affective response more appropriate to another’s situation than one’s

own.” Pernyataan tersebut menyatakan bahwa empati didefinisikan

sebagai respon afektif (perasaan) terhadap situasi orang lain dari pada

situasi diri sendiri.”

Menurut Decety dan Jackson (dikutip dari Andreasson, 2010)

mendefinisikan empati sebagai:

Empathy accounts for the naturally occurring subjective


experience of similarity between the feelings expressed by self
and others without losing sight of whose feelings belong to whom.
Empathy involves not only the affective experience of the other
person’s actual or inferred emotional state but also some minimal
recognition and understanding of another’s emotional state.

“ Empati secara alami merupakan pengalaman subjektif yang memiliki

kesamaan antara perasaan yang diekpresikan oleh diri sendiri dan orang

lain tanpa mengabaikan perasaan yang lainnya. Empati tidak hanya


29

melibatkan pengalaman afektif keadaan emosi atau penafsiran orang

lain, tetapi juga sedikit pemikiran dalam memahami kondisi emosional

orang lain.”

Sedangkan menurut Chaplin (terjemahkan Kartini Kartono,

2008), empati adalah memproyeksikan perasaan sendiri pada satu

kejadian, satu objek alami, atau satu karya estetis. Sebagai contoh, bagi

para penumpang, sebuah mobil tampak seperti menjadi tegang ketika

mobil tersebut mendaki bukit, dan mereka tampaknya seperti dapat

“menolong” ( mengurangi ketegangan ) dengan mencondongkan tubuh

kedepan. Realisasi dan pengertian terhadap perasaan, kebutuhan, dan

penderitaan pribadi lain.

Menurut Stein (dikutip dari Davis, 1990) empati adalah

sepenuhnya keunikan dan perbedaan yang mencolok dari proses

hubungan intersubjektif yang didalamnya ditemukan tahapan yang

bertingkat dan memberikan kita sesuatu yang telah dilakukan, agak

seperti realisasi setelah kejadian. Tiga tahapan tesebut adalah simpati,

perasaan belas kasih, identifikasi, perubahan diri.

Empati umumnya dianggap sebagai menempatkan diri pada

posisi orang lain dimana empati mengacu pada pemahaman afektif

(emosional), kognitif, pengalaman, atau keduanya. Ada kesepakatan

bahwa ada dua komponen yang diperlukan: empati menyiratkan

kemampuan perspektif tertentu dalam berbicara dan juga berperilaku


30

prososial, yaitu berbagi dan memberikan bantuan. Dalam kata lain,

adalah kesadaran sosial dan kepekaan sosial. Keduanya menyiratkan

perilaku prososial, kemampuan untuk mengenali dan memahami

perasaan, kebutuhan dan persepsi dari orang lain (Garton & Gringart,

2005).

Cotton (dikutip dari Garton & Gringat , 2005) empati biasanya

didefinisikan sebagai kemampuan afektif untuk berbagi dalam perasaan

orang lain dan kemampuan kognitif untuk memahami perasaan orang

lain dalam perspektif dan kemampuan untuk berkomunikasi terhadap

empati seseorang serta perasaan dan pemahaman yang lain dengan cara

lisan verbal dan atau nonverbal.

Dari berbagai macam pendapat diatas dapat disimpulkan

bahwa empati adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat

menempatkan dirinya kedalam pikiran dan perasaan orang lain yang

dilakukan secara sadar.

2.2.2 Aspek – Aspek Empati

Menurut Davis (1980) terdapat 4 aspek empati:

1. Perspective taking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil

sudut pandang orang lain secara spontan. Sementara menurut

Galinsky & Ku (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan perspective

taking sebagai “putting oneself in the shoes of another ” atau

menempatkan diri sendiri ke dalam posisi orang lain. Perspective


31

taking secara psikologis dan sosial penting bagi keharmonisan

interaksi antar individu. Menurut Galinsky (dalam Taufik, 2012)

bahwa perspective taking dapat menurunkan stereotype dan

pandangan buruk terhadap kelompok lain secara lebih efektif

dibandingkan dengan melakukan penekanan terhadap stereotype.

Apabila konsep perspective taking ini dikaitkan dengan theory of

mind, dimana seseorang dapat menyimpulkan kondisi mental orang

lain, memahami dari perspektif mereka, dan dapat pula

menginterpretasikan serta memprediksi perilaku selanjutnya dari

orang lain. Kunci pokoknya adalah dimana seseorang dapat

mengoptimalkan kemampuan berpikirnya untuk memahami kondisi

orang lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang terlihat.

Karena berkaitan erat dengan daya kognisi, kemampuan setiap orang

dalam melakukan perspective taking akan berbeda-beda tergantung

dengan kecermatan analisisnya. Menurut Taufik (2012) perspective

taking terbagi dalam 2 bentuk:

 Membayangkan bagaimana seseorang akan berpikir dan

merasakan apabila ia berada pada situasi anggota kelompok lain.

 Membayangkan bagaimana seseorang anggota kelompok lain

berpikir dan merasakan.

2. Fantasy, yaitu kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka

secara imajenatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari


32

karakter khayal dalam buku, film, sandiwara yang dibaca atau yang

ditontonnya.

3. Empathic Concern, yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada

orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang

lain.

4. Personal distress, yaitu kecemasan pribadi yang berorientasi pada

diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal

yang tidak menyenangkan. Personal distress bisa disebut sebagai

empati negatif.

Selanjutnya sebagai tambahan, terdapat aspek yang penting

untuk dilihat yang dikutip dari buku Taufik yaitu aspek komunikatif.

Munculnya aspek komunikatif ini didasarkan pada asumsi bahwa

masing-masing aspek akan tetap berpisah apabila tidak terjalinnya

komunikasi. Bierhoff (dalam Taufik, 2012) juga mengatakan bahwa

yang dimaksud komunikatif ialah perilaku yang mengekspresikan

perasaan-perasaan empatik. Wang et.al (dalam Taufik, 2012) ada 2

komponen lain dari aspek komunikatif:

 Intellectual empathy ( ekspresi dari pikiran-pikiran empatik)

 Empathic emotions ( perasaan-perasaan terhadap orang lain yang

dapat diekspresikan melalui kata-kata dan perbuatan.)


33

2.2.3 Pengukuran Empati

Dalam penelitian ini, skala yang digunakan adalah skala pengukuran

empati dari Mark H. Davis (1980) dengan melihat empati dari beberapa

aspek, yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern , dan

personal distress. Davis merangkumnya kedalam 28 item baku. Model

skala yang digunakan adalah skala likert.

2.3 Self Control (Pengendalian Diri)

2.3.1 Pengertian self-control

Self control adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku

sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau

tingkah laku impulsif (Chaplin, terjemahan Kartini Kartono, 2002).

Menurut Hurlock (1980) mengatakan bahwa kontrol diri muncul

karena adanya perbedaaan dalam mengelola emosi, cara mengatasi

masalah, tinggi rendahnya motivasi, dan kemampuan mengelola potensi

dan pengembangan kompetensinya. Kontrol diri sendiri berkaitan

dengan bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta

dorongan-dorongan dalam dirinya.

Menurut Rothbaum (dalam Tangney et.all, 2004) menyatakan

bahwa “Self-control is widely regarded as a capacity to change and

adapt the self so as to produce a better, more optimal fit between self

and world.” Maksud dari pernyataan tersebut adalah kontrol diri secara

luas dianggap sebagai kapasitas untuk berubah dan beradaptasi dengan


34

diri sehingga menghasilkan sesuatu lebih baik secara optimal antara diri

dan dunia.”

Menurut Tangney, dkk (2004) menyatakan bahwa “ Central to

our concept of self control is the ability to override or change one’s

inner responses, as well as to interrupt undesired behavioral tendencies

and refrain from acting on them.” Pernyataan tersebut menyatakan

bahwa pusat dari konsep pengendalian diri kita adalah kemampuan

untuk mengesampingkan atau mengubah tanggapan batin seseorang,

serta untuk menekan kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan dan

menahan diri dari tindakan tersebut.”

Kontrol diri untuk situasi dimana orang terlibat dalam perilaku

yang dirancang untuk melawan atau mengesampingkan respon yang

melebihi (kecenderungan perilaku, emosi, atau motivasi), seperti

seseorang yang marah menyerang mereka, beristirahat setelah seharian

bekerja keras, atau membolos bukannya pergi ke sekolah. Kontrol diri

demikian konsep yang lebih spesifik dari pada self regulation

(Mccullough & Willoughby, 2009).

Kontrol diri mengacu pada sumber daya internal yang tersedia

untuk menghambat, menimpa, atau mengubah tanggapan yang mungkin

timbul sebagai akibat dari proses fisiologis, kebiasaan, pembelajaran,

atau situasi. Schmeichel dan Baumeister (dikutip dari Mccullough dan

Willoughby, 2009).
35

Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa self

control adalah kemampuan untuk mengendalikan dorongan-dorongan

emosi sehingga dapat menekan kecenderungan perilaku yang tidak

diinginkan.

2.3.2 Aspek-Aspek Self-Control

Berdasarkan konsep Averill (1973), terdapat 3 aspek dalam kemampuan

mengontrol diri, yaitu:

1. Behavior Control (Mengontrol perilaku)

Merupakan suatu tindakan langsung terhadap lingkungan. Aspek ini

terdiri dari 2 komponen, yaitu: mengatur pelaksanaan (regulated

administration), dan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability).

Kemampuan mengatur pelaksaan merupakan kemampuan individu

untuk menentukan siapa yang akan mengendalikan situasi atau

keadaan dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya. Individu yang

mempunyai kemampuan mengontrol diri dengan baik akan mampu

perilakunya sendiri, dan jika individu tersebut tidak mampu, maka

akan menggunakan sumber eksternal dari luar dirinya. Kemampuan

mengatur stimulus adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana

dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki datang (Nur,

2006).
36

2. Cognitive Control (Mengontrol Kognisi)

Merupakan kemampuan individu untuk mengolah informasi yang

tidak diinginkan dengan cara menginterpretasikan, menilai, atau

menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif

sebagai adaptasi psikologi untuk mengurangi tekanan. Aspek ini

terdiri dari 2 komponen, yaitu: memperoleh informasi ( information

gain) dan melakukan penilaian (apparsial). Informasi yang dimiliki

individu atas suatu kejadian yang tidak menyenangkan dapat

diantisipasi dengan berbagai pertimbangan, serta individu akan

melakukan penilaian dan berusaha untuk menafsirkannya melalui

segi-segi positif secara subjektif (Nur, 2006).

3. Decisional Control (Mengontrol Keputusan)

Kemampuan untuk memilih hasil yang diyakini individu, dalam

menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu

kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk

memilih kemungkinan tindakan. Aspek ini terdiri dari 2 komponen

juga, yaitu: mengantisipasi peristiwa dan menafsirkan peristiwa,

dimana individu dapat menahan dirinya (Nur, 2006).

Kemampuan mengontrol diri tergantung dari ketiga aspek di

atas, kontrol diri ditentukan oleh seberapa jauh aspek itu

mendominasi atau terdapat kombinasi dari beberapa aspek dalam

mengontrol diri.
37

2.3.3 Pengukuran self control

Ada beberapa pengukuran self control, diantaranya:

1. Skala pengukuran Self-Control Rating Scale (SCRS) yang ditulis

oleh Dickerson, yang terangkum kedalam 33 item baku.

2. Self Control Behavior Inventory Fagen (dalam Tangney, 2004) pada

dasarnya adalah sebuah checklist untuk peringkat pengamatan

perilaku.

3. Self-Control Questionnaire oleh Brandon, dkk sebagai skala sifat

kontrol diri. Brandon menekankan pada perilaku kesehatan, dan

memiliki cakupan item yang luas.

4. Self-Control Schedule oleh Rosenbaum, ditujukan khusus untuk

sampel klinis dan berfokus pada penggunaan strategi seperti

gangguan diri dan kognitif untuk memecahkan masalah perilaku

tersebut.

5. Peneliti menggunakan skala pengukuran teori dari Averill (1973)

yaitu, mengontrol perilaku, kognisi, keputusan, dan terangkum ke

dalam 20 item yang valid.

2.4 Kerangka Berpikir

Agresivitas adalah suatu sifat yang cenderung memiliki keinginan untuk

selalu menyerang kepada suatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang

mengacau, menghalangi atau menghambat. Beberapa faktor yang

melatarbelakangi terjadinya agresi ialah frustrasi, marah, suhu, gen,

lingkungan sosial, pengaruh alkohol, hal ini sejalan dengan penelitian dari
38

Bandura, dkk (1961) menyebutkan beberapa faktor orang bertindak agresif,

karena bawaan biologis, pengulangan frustrasi, dan yang paling terpenting

adalah tindakan agresi itu dipelajari. Tidak hanya itu, beberapa jurnal

penelitian melihat indikasi lain yang membuat seseorang bertindak agresif,

seperti dalam jurnal penelitian dari Giancola (2003) yang menunjukkan

bahwa laki-laki dan perempuan yang meminum alkohol dan memiliki empati

yang rendah akan lebih tinggi tingkat agresifnya, dari pada laki-laki dan

perempuan yang memiliki empati yang tinggi akan turun tingkat agresifnya.

Empati umumnya dianggap sebagai menempatkan diri pada posisi orang lain

dimana empati mengacu pada pemahaman afektif (emosional), kognitif,

pengalaman, atau keduanya.

Penelitian ini juga menyajikan konsep tentang self-control yang

berkaitan langsung dengan agresivitas, seperti yang terdapat dalam jurnal

penelitian Finkenauer, dkk (2005) yang menyatakan bahwa tinggi self-control

sangat berhubungan dengan penurunan resiko masalah psikososial

diantaranya kenakalan dan sikap agresivitas pada remaja.

Agar kedua hal tersebut dapat dilihat lebih jelas lagi pengaruhnya,

maka sesuai dengan pengertian masing-masing variabel di atas, peneliti pun

mengembangkan kedua variabel itu menjadi masing-masing variabel, variabel

empati dikembangkan menjadi empat aspek, yaitu perspective taking, fantasy,

empathic concern, dan personal distress. Sedangkan self-control

dikembangkan menjadi tiga aspek, yaitu behavior control, cognitive control,


39

dan decisional control. Jenis kelamin menjadi variabel lainnya yang akan

diteliti bersama dengan empati dan self-control.

Berikut ini adalah skema dari kerangka berpikir:

KERANGKA BERPIKIR

EMPATI

Perspektive Taking
1. (PT)
2.
Fantasy (FS)
3.
4.
Empatic Concern
5.
(EC)
6.
Personal Distress
7.
(PD)
8. Self-esteem

SELF-CONTROL
9.
Behavior control
10. Agresivitas
11.
Cognitive control
12.
13.
Decisional control
14.
15.

Jenis Kelamin

Gambar 2.1. Kerangka berpikir


40

2.5 Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat pengaruh IV yang diketahui

terhadap DV. IV dalam penelitian ini adalah empati dengan aspek-aspeknya

yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern, personal distress. serta

self-control dengan aspek-aspeknya yaitu behavior control, cognitive control,

dan decisional control. Sedangkan DV nya adalah agresivitas remaja. Dalam

hal ini, IV dari faktor demografis yang bersifat kategorik seperti jenis kelamin

dan usia dianalisis secara terpisah dan hanya dimasukkan ke dalam hipotesis

minor.

Hipotesis Alternatif
Hipotesis Mayor
Ada pengaruh yang signifikan antara empati dan self-control terhadap
agresivitas remaja.
Hipotesis Minor
Ha1 : Ada pengaruh yang signifikan antara perspective taking terhadap
agresivitas remaja.
Ha2 : Ada pengaruh yang signifikan antara fantasy terhadap agresivitas
remaja.
Ha3 : Ada pengaruh yang signifikan antara empathic concern terhadap
agresivitas remaja.
Ha4 : Ada pengaruh yang signifikan antara personal distress terhadap
agresivitas remaja.
Ha5 : Ada pengaruh yang signifikan antara behavior control terhadap
agresivitas remaja.
Ha6 : Ada pengaruh yang signifikan antara cognitive control terhadap
agresivitas remaja.
41

Ha7 : Ada pengaruh yang signifikan antara decisional control terhadap


agresivitas remaja.
Ha8 : Ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap agresivitas
remaja.
42

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini membahas mengenai metode penelitan, dan dalam hal ini akan

dibatasi secara sistematis sebagai berikut: variabel penelitian, subjek penelitian,

metode dan instrument pengumpulan data, prosedur penelitian, validitas dan

reliabilitas alat ukur dan teknik analisa data.

3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.1.1 Variabel penelitian

Identifikasi Variabel

Dependent Variabel (DV) : Agresivitas pada remaja

Independent Variabel (IV 1) : Empati

Independent Variabel (IV 2) : Self-Control

3.1.2 Definisi operasional

3.1.2.1 Definisi operasional agresivitas. Agresi adalah respon yang

memberikan rangsangan berbahaya ke organisme lain, yang

diukur melalui empat bentuk perilaku agresif yang

dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992) yaitu agresi fisik,

agresi verbal, rasa marah, dan sikap permusuhan.

3.1.2.2 Definisi operasional empati. Empati adalah keadaan psikologis

seseorang yang dapat menempatkan dirinya kedalam pikiran dan

perasaan orang lain secara tulus, yang diukur melalui empat

aspek empati yang dikembangkan oleh Mark H Davis (1980)


43

yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern, dan

personal distress.

3.1.2.3 Definisi operasional self-control. Self control adalah

kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, yang

diukur melalui tiga aspek self-control yang dikembangkan oleh

Averill (1973) yaitu behavior control (kontrol perilaku),

cognitive control (kontrol kognitif) dan decisional control

(kontrol keputusan).

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa/siswi SMA Negeri 3 Kota

Tangerang Selatan. Jumlah siswa kelas X sebanyak 228 siswa, dan

kelas XI sebanyak 259 siswa,. Jumlah total dari populasi sebanyak 487

siswa.

3.2.2 Sampel

Sampel yang digunakan sebanyak 150 siswa/siswi SMAN 3 Tangerang

Selatan, yang terdiri dari siswa/siswi kelas X dan XI. Kelas X terdiri

dari 7 kelas, dan kelas XI terdiri dari 8 kelas. Jumlah seluruhnya 15

kelas. Teknik Pengambilan Sampel menggunakan probability sampling,

teknik dimana peluang dipilihnya sampel diketahui.


44

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode skala

likert yaitu dengan menyebarkan angket. Untuk alat ukur agresivitas, peneliti

menggunakan skala agresivitas Buss dan Perry (1992) sebanyak 27 item,

skala pengukuran empati dengan mengadopsi Empathy Questionnaire dari

Mark H. Davis (1980) sebanyak 28 item, dan skala pengukuran self-control

menggunakan teori Averill (1973) sebanyak 20 item.

Untuk pemberian skor dari skala ini, jawaban antara pernyataan yang

bersifat favorabel dengan yang bersifat unfavorabel berbeda, untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 3.1.

Skoring Instrumen

Pilihan Jawaban Favorabel Unfavorabel


Sangat Setuju (SS) 4 1
Setuju (S) 3 2
Tidak Setuju (TS) 2 3
Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4

Adapun alasan penulisan menggunakan empat alternatif jawaban

adalah untuk melihat kecenderungan kearah setuju atau tidak setuju serta

untuk menghindari adanya kecenderungan responden menjawab netral.

3.3.1 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini dengan

menggunakan skala. Skala yang dipergunakan untuk mengumpulkan


45

data dalam penelitian ini ada tiga, yaitu skala agresivitas, empati, dan

skala pengendalian diri (self-control).

1. Skala pengukuran pertama dalam penelitian ini adalah skala

agresivitas remaja. Skala ini disusun berdasarkan teori Buss dan

Perry dalam jurnal The Aggression Questionnaire (1992) yang

menyatakan bahwa ada 4 bentuk agresi yaitu: agresi fisik, verbal,

marah, sikap permusuhan. Menurut hasil penelitian, reliabilitas

agresi fisik sebesar 0.80, agresi verbal 0.76, marah 0.72, dan sikap

permusuhan 0.72. Adapun tabel blue print penyebaran skala

agresivitas adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2

Blue Print Skala Agresivitas

No. Item Jumlah

 Menyerang
Aspek Indikator Favorabel Unfavorabel Item

 Memukul
Agresi Fisik 5 4 9

 Berdebat
 Menyebarkan
Agresi Verbal 3 2 5

 Bersikap
gossip

 Kesal
Sarkastis

 Mudah marah
Agresi Marah 4 3 7

 Benci
 Curiga
Sikap 5 3 8

 Iri hati
permusuhan

Jumlah pernyataan 17 12 29
46

2. Skala Empati yang digunakan mengacu pada aspek-aspek empati

menurut Davis dalam jurnal A Multidimensional Approach to

Individual Differences in Empathy (1980) yaitu perspective taking,

fantasy, empathic concern, personal distress dengan menggunakan

skala model likert. Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat

perbedaan empati individu yang dikategorikan menurut jenis

kelamin. Hasil penelitiannya menunjukkan reliabilitas dilihat dari

konsistensi internal perspective taking (0.75, 0.78), fantasy (0.78,

0.75), empathic concern (0.72, 0.70), personal distress (0.78, 0.78)

Adapun tabel blue print penyebaran item skala empati adalah

sebagai berikut:

Tabel 3.3

Blue Print Skala Empati

No. Item
Aspek Indikator Favorabel Unfavorabel Jumlah
Item

Perspective Taking Berpikir dan 5 2 7


Merasakan
berdasarkan
keadaan orang
lain
Fantasy Mengimajinasikan 5 2 7
diri dalam situasi
fiktif
Empathic Concern Merasakan 4 3 7
pengalaman orang
lain
Personal Distress Merasakan 5 2 7
perasaaan cemas
dari pengalaman
negative
47

Jumlah Pernyataan 19 9 28

1. Skala pengendalian diri (self-control) yang digunakan mengacu

pada aspek-aspek pengendalian diri (self-control) menurut Averil

(1973) yaitu behavior control, cognitive control, dan decisional

control, dengan menggunakan model skala likert. Adapun tabel

blue print penyebaran item skala pengendalian diri (self-control)

adalah sebagai berikut:

Tabel 3.4

Blue Print Skala Self Control

No. Item Jumlah

 Mengatur
Aspek Indikator Favorabel Unfavorabel Item
Behavior 2, 17 11 3

 Memodifikasi
control pelaksanaan
13, 15 2

 Memperoleh
stimulus
Cognitive 16 1

 Melakukan
control informasi
10, 12, 20 1, 3, 18 6

 Mengantisipasi
penilaian
Decisional 5, 8 4, 7, 19 5

 Menafsirkan
control peristiwa
14 6, 9 3
peristiwa
Jumlah Pernyataan 9 11 20

3.4 Uji Validitas Konstruk

Untuk menguji validitas konstruk setiap item, maka peneliti melakukan uji

validitas dengan menggunakan Confirmatory Factor Analiysis (CFA) dengan


48

software LISREL 8.7 . Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah

sebagai berikut:

1. Dilakukan uji CFA dengan model unidimensional (satu faktor) dan dilihat

nilai Chi-Square yang dihasilkan. Jika nilai Chi-Square tidak signifikan

(p>0.05) berarti semua item telah mengukur sesuai dengan yang

diteorikan, yaitu hanya mengukut satu faktor saja. Jika ini terjadi maka

analisis dilanjutkan pada tahap selanjutnya, yaitu melihat muatan faktor

pada masing-masing item. Namun jika Chi-Square signifikan (p<0.05),

maka diperlukan modifikasi terhadap model pengukuran tersebut.

2. Jika nilai Chi-Square signifikan, maka dilakukan modifikasi model

pengukuran dengan cara mengestimasi korelasi antar kesalahan

pengukuran pada beberapa item yang mungkin bersifat multidimensional.

Ini berarti bahwa selain suatu item mengukur konstruk yang seharusnya

diukur, juga dapat dilihat apakah item tersebut mengukur hal yang lain

(mengukur lebih dari satu hal). Jika setelah beberapa kesalahan

pengukuran dibebaskan untuk saling berkorelasi dan diperoleh model fit,

maka model terkahir inilah yang akan digunakan pada langkah

selanjutnya.

3. Setelah diperoleh model fit (unidimensional) maka dilihat apakah ada item

yang muatan faktornya negatif. Melihat signifikan tidaknya item tersebut

mengukur faktornya dilihat dari nilai t bagi koefisien muatan faktor item.

Perbandingannya adalah (t>1,96) maka item tersebut signifikan. Jika ada


49

yang tidak signifikan dimana (t<1,96) maka item tersebut harus didrop

atau tidak diikutsertakan dalam analisis perhitungan faktor skor.

4. Dengan menggunakan SPSS dan model unidimensional (satu faktor)

kemudian dihitung (destimasi) nilai skor faktor (true score) bagi setiap

orang untuk variabel yang bersangkutan.

3.4.1 Validitas konstruk agresivitas remaja

Dalam subbab ini peneliti menguji apakah 29 item yang ada bersifat

unidimensional dalam mengukur agresivitas remaja. Dari hasil CFA

yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan Chi-

Square=1189,19 df=377 P-value=0,00000 RMSEA=0,120. Namun,

setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan

pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi satu

sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square=322,83

df=289 P-value=0,08328 RMSEA=0,028.

Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square

menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model

dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item

terbukti mengukur satu hal saja, yaitu agresivitas remaja. Hanya saja,

pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada

beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan

bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional.

Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item

tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang diuji
50

adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya

dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan faktor. Jika nilai

(t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya, jika

(t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat tabel 3.5 dibawah ini:

Tabel 3.5

Muatan Faktor Item Agresivitas Remaja

No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan


1 0,51 0,08 6,38 V
2 -0,08 0,09 -0,88 X
3 0,54 0,08 7,01 V
4 -0,01 0,09 -0,11 X
5 0,60 0,08 7,31 V
6 -0,13 0,09 -1,45 X
7 0,59 0,08 7,58 V
8 -0,32 0,09 -3,81 X
9 -0,35 0,08 -4,37 X
10 0,30 0,08 3,68 V
11 0,75 0,08 9,98 V
12 -0,14 0,08 -1,66 X
13 -0,35 0,08 -4,23 X
14 0,36 0,08 4,37 V
15 0,50 0,08 5,95 V
16 0,53 0,08 6,63 V
17 0,25 0,08 3,06 V
18 0,53 0,08 6,70 V
19 0,43 0,08 5,36 V
20 0,30 0,08 3,68 V
21 0,24 0,08 2,85 V
22 0,53 0,08 6,28 V
23 0,30 0,08 3,61 V
24 0,69 0,08 9,15 V
25 0,20 0,08 2,35 V
26 0,47 0,08 5,57 V
27 0,34 0,08 4,01 V
28 0,55 0,08 7,01 V
29 0,43 0,08 5,18 V

Keterangan: tanda (V)=signifikan (t>1,96), (X)=tidak signifikan.


51

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa 7 item tidak

signifikan karena (t<1,96) dan koefisien bermuatan negatif.

Artinya, item tersebut akan didrop dan tidak akan diikutsertakan

dalam analisis uji hipotesis. Namun demikian, walaupun item-item

tersebut saling berkorelasi, peneliti menganggap item tersebut

masih dapat diikutsertakan dalam uji analisis regresi ketika

dilakukan uji hipotesisi penelitian. Skor faktor tersebut merupakan

“true score” dari variabel agresivitas remaja yang dengan

demikian memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis

regresi dapat lebih akurat dan terpercaya.

3.4.2 Validitas konstruk perspective taking

Dalam hal ini peneliti menguji apakah 7 item yang ada bersifat

unidimensional dalam mengukur perspective taking. Dari hasil CFA

yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan Chi-

Square=40,24 df=14 P-value= 0,00023 RMSEA=0,112. Namun,

setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan

pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi

satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-

Square=17,16 df=12 P-value=0,14360 RMSEA=0,054.

Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square

menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model

dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item

terbukti mengukur satu hal saja, yaitu perspective taking. Hanya


52

saja, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada

beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan

bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional. Adapun

butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling berkorelasi

disajikan pada tabel 3.6 dibawah ini:

Tabel 3.6

Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada item perspective taking.

1 2 3 4 5 6 7
1 1
2 1
3 1 V
4 1
5 1 V
6 1
7 1

Keterangan: tanda (v) menunjukkan item yang saling berkorelasi dengan

item lainnya.

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item

yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua

item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi

ada empat yaitu item 3, 5, 6 dan 7 yang bersifat multidimensional.

Namun demikian item lainnya yaitu item 1, 2 dan 4 dapat dikatakan

ideal karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak

berkorelasi sama sekali dengan item lainnya.

Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item

tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang

diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item.


53

Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan

faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu

juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat

tabel 3.7 dibawah ini:

Tabel 3.7 :

Muatan faktor item untuk perspective taking

No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan


1 0,60 0,08 7,32 V
2 0,08 0,09 0,89 X
3 0,49 0,09 5,38 V
4 0,80 0,08 9,79 V
5 0,14 0,09 1,56 X
6 0,68 0,09 7,88 V
7 0,14 0,09 1,57 X

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa tiga item tidak

signifikan karena (t<1,96) dan semua koefisien bermuatan positif.

Walaupun terdapat empat item yang saling berkorelasi, peneliti

menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji

analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun,

terdapat tiga item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor

2, 5 dan 7 harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam

mengestimasi skor faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true

score” dari variabel perspective taking yang dengan demikian

memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat

lebih akurat dan terpercaya.


54

3.4.3 Validitas Konstruk Fantasy

Dalam hal ini peneliti menguji apakah 7 item yang ada bersifat

unidimensional dalam mengukur fantasy. Dari hasil CFA yang

dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan Chi-Square=66,58

df=14 P-value=0,00000 RMSEA=0,159. Namun, setelah dilakukan

modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran ada pada

beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi satu sama lainnya, maka

diperoleh model fit dengan Chi-Square=13,04 df=10 P-

value= 0,22147 RMSEA=0,045.

Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square

menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model

dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item

terbukti mengukur satu hal saja, yaitu fantasy. Hanya saja, pada

model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada

beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan

bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional.

Adapun butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling

berkorelasi disajikan pada tabel 3.8 dibawah ini:


55

Tabel 3.8

Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada butir item fantasy.

1 2 3 4 5 6 7
1 1
2 1 V V
3 1 V
4 1
5 1 V
6 1
7 1

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item

yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua

item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi

ada lima yaitu item 2, 3, 5, 6 dan 7 yang bersifat multidimensional.

Namun demikian item lainnya yaitu item 1 dan 4 dapat dikatakan

ideal karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak

berkorelasi sama sekali dengan item lainnya.

Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item

tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang

diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item.

Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan

faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu

juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat

tabel 3.9 dibawah ini:


56

Tabel 3.9

Muatan faktor item untuk fantasy

No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan


1 0,68 0,08 8,93 V
2 0,84 0,07 11,33 V
3 0,40 0,09 4,31 V
4 0,65 0,08 8,48 V
5 0,39 0,09 4,58 V
6 0,67 0,08 8,61 V
7 0,16 0,09 1,74 X

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa ada satu item tidak

signifikan karena (t<1,96) dan semua koefisien bermuatan positif.

Walaupun terdapat lima item yang saling berkorelasi, peneliti

menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji

analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun,

terdapat satu item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor 7

harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam mengestimasi skor

faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true score” dari variabel

fantasy yang dengan demikian memiliki reliabilitas sempurna,

sehingga hasil analisis regresi dapat lebih akurat dan terpercaya.

3.4.4 Validitas konstruk empathic concern

Dalam hal ini peneliti menguji apakah 7 item yang ada bersifat

unidimensional dalam mengukur empathic concern. Dari hasil CFA

yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan Chi-

Square=53,36 df=14 P-value=0,00000 RMSEA=0,137. Namun,

setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan

pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi


57

satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-

Square=18,91 df=12 P-value=0,09084 RMSEA=0,062.

Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square

menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model

dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item

terbukti mengukur satu hal saja, yaitu empathic concern. Hanya saja,

pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada

beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan

bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional. Adapun

butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling berkorelasi

disajikan pada tabel 3.10 dibawah ini:

Tabel 3.10

Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada item empathic concern.

1 2 3 4 5 6 7
1 1
2 1 V
3 1
4 1
5 1 V
6 1
7 1

Keterangan: tanda (v) menunjukkan item yang saling berkorelasi dengan item

lainnya.

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item

yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua

item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi

ada tiga yaitu item 2, 5 dan 6 yang bersifat multidimensional. Namun


58

demikian item lainnya yaitu item 1, 3, 4 dan 7 dapat dikatakan ideal

karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak berkorelasi

sama sekali dengan item lainnya.

Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item

tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang

diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item.

Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan

faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu

juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat

tabel 3.11 dibawah ini:

Tabel 3.11

Muatan faktor item untuk empathic concern

No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan


1 0,69 0,09 7,41 V
2 0,18 0,10 1,86 X
3 0,55 0,09 5,96 V
4 0,15 0,10 1,54 X
5 0,48 0,09 5,18 V
6 0,22 0,10 2,24 V
7 0,65 0,09 7,03 V

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa dua item tidak

signifikan karena (t<1,96) dan semua koefisien bermuatan positif.

Walaupun terdapat tiga item yang saling berkorelasi, peneliti

menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji

analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun,

terdapat dua item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor 2
59

dan 4 harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam

mengestimasi skor faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true

score” dari variabel empathic concern yang dengan demikian

memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat

lebih akurat dan terpercaya.

3.4.5 Validitas Konstruk Personal Distress

Dalam hal ini peneliti menguji apakah 7 item yang ada bersifat

unidimensional dalam mengukur personal distress. Dari hasil CFA

yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan Chi-

Square=38,33 df=14 P-value=0,00046 RMSEA=0,108. Namun,

setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan

pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi

satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-

Square=20,34 df=12 P-value=0,06084 RMSEA=0,068.

Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square

menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model

dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item

terbukti mengukur satu hal saja, yaitu personal distress. Hanya saja,

pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada

beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan

bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional. Adapun

butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling berkorelasi

disajikan pada tabel 3.12 dibawah ini:


60

Tabel 3.12

Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada item personal distress.

1 2 3 4 5 6 7
1 1
2 1 v
3 1
4 1 v
5 1
6 1
7 1

Keterangan: tanda (v) menunjukkan item yang saling berkorelasi dengan item

lainnya.

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item

yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua

item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi

ada tiga yaitu item 2, 4 dan 6 yang bersifat multidimensional. Namun

demikian item lainnya yaitu item 1, 3, 5 dan 7 dapat dikatakan ideal

karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak berkorelasi

sama sekali dengan item lainnya.

Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item

tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang

diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item.

Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan

faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu

juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat

tabel 3.13 dibawah ini:


61

Tabel 3.13

Muatan faktor item untuk personal distress

No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan


1 0,33 0,09 3,51 V
2 0,60 0,10 5,80 V
3 0,68 0,10 6,99 V
4 0,16 0,10 1,56 X
5 0,43 0,09 4,63 V
6 0,44 0,11 4,14 V
7 0,17 0,10 1,76 X

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa dua item tidak

signifikan karena (t<1,96) dan semua koefisien bermuatan positif.

Walaupun terdapat tiga item yang saling berkorelasi, Peneliti

menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji

analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun,

terdapat dua item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor 4

dan 7 harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam

mengestimasi skor faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true

score” dari variabel personal distress yang dengan demikian

memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat

lebih akurat dan terpercaya.

3.4.6 Validitas Konstruk Behavior Control

Dalam hal ini peneliti menguji apakah 5 item yang ada bersifat

unidimensional dalam mengukur behavior control. Dari hasil CFA

yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan Chi-

Square=13,25 df=5 P-value=0,02112 RMSEA=0,105. Namun,

setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan


62

pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi

satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-

Square=7,01 df=4 P-value=0,13553 RMSEA=0,071.

Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square

menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model

dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item

terbukti mengukur satu hal saja, yaitu behavior control. Hanya saja,

pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada

beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan

bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional. Adapun

butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling berkorelasi

disajikan pada tabel 3.14 dibawah ini:

Tabel 3.14

Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada item behavior


control.

1 2 3 4 5
1 1
2 1
3 1
4 1 V
5 1

Keterangan: tanda (v) menunjukkan item yang saling berkorelasi

dengan item lainnya.

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item

yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua

item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi


63

ada dua yaitu item 4 dan 5 yang bersifat multidimensional. Namun

demikian item lainnya yaitu item 1, 2 dan 3 dapat dikatakan ideal

karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak berkorelasi

sama sekali dengan item lainnya.

Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item

tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang

diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item.

Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan

faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu

juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat

tabel 3.15 dibawah ini:

Tabel 3.15

Muatan faktor item untuk behavior control

No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan


1 0,45 0,10 4,37 V
2 0,80 0,13 6,07 V
3 0,42 0,10 4,13 V
4 0,19 0,10 1,89 X
5 0,34 0,10 3,37 V

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa satu item tidak

signifikan karena (t<1,96) dan semua koefisien bermuatan positif.

Walaupun terdapat dua item yang saling berkorelasi, peneliti

menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji

analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun,

terdapat satu item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor 4
64

harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam mengestimasi skor

faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true score” dari variabel

behavior control yang dengan demikian memiliki reliabilitas

sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat lebih akurat dan

terpercaya.

3.4.7 Validitas Konstruk Cognitive Control

Dalam hal ini peneliti menguji apakah 7 item yang ada bersifat

unidimensional dalam mengukur cognitive control. Dari hasil CFA

yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan Chi-

Square=25,55 df=14 P-value=0,02949 RMSEA=0,074. Namun,

setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan

pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi

satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-

Square=15,33 df=13 P-value=0,28695 RMSEA=0,035.

Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square

menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model

dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item

terbukti mengukur satu hal saja, yaitu cognitive control. Hanya saja,

pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran pada

beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat disimpulkan

bahwa beberapa item sebenarnya bersifat multidimensional. Adapun

butir soal yang terdapat kesalahan pengukuran dan saling berkorelasi

disajikan pada tabel 3.16 dibawah ini:


65

Tabel 3.16

Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada item cognitive control.

1 2 3 4 5 6 7
1 1
2 1 v
3 1
4 1
5 1
6 1
7 1

Keterangan: tanda (v) menunjukkan item yang saling berkorelasi dengan

item lainnya.

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item

yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua

item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi

ada dua yaitu item 2 dan 4 yang bersifat multidimensional. Namun

demikian item lainnya yaitu item 1, 3, 5, 6 dan 7 dapat dikatakan

ideal karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga tidak

berkorelasi sama sekali dengan item lainnya.

Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item

tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang

diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item.

Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan

faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu

juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat

tabel 3.17 dibawah ini:


66

Tabel 3.17

Muatan faktor item untuk cognitive control

No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan


1 0,35 0,09 3,68 V
2 -0,24 0,10 -2,41 X
3 0,59 0,09 6,57 V
4 0,59 0,09 6,38 V
5 0,30 0,09 3,12 V
6 0,37 0,09 3,94 V
7 0,68 0,09 7,55 V

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa satu item tidak

signifikan karena (t<1,96) dan ada satu koefisien bermuatan negatif.

Walaupun terdapat dua item yang saling berkorelasi, peneliti

menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji

analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun,

terdapat satu item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor 2

harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam mengestimasi skor

faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true score” dari variabel

cognitive control yang dengan demikian memiliki reliabilitas

sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat lebih akurat dan

terpercaya.

3.4.8 Validitas Konstruk Decisional Control

Dalam hal ini peneliti menguji apakah 8 item yang ada bersifat

unidimensional dalam mengukur decisional control. Dari hasil CFA

yang dilakukan, model satu faktor tidak fit, dengan Chi-

Square=63,89 df=20 P-value=0,00000 RMSEA=0,121. Namun,

setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan


67

pengukuran ada pada beberapa item dibebaskan untuk berkorelasi

satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-

Square=26,76 df=18 P-value=0,08358 RMSEA=0,057.

Terlihat dari model fit tersebut bahwa nilai Chi-Square

menghasilkan p>0,05 (tidak signifikan). Dengan demikian model

dengan satu faktor dapat diterima, yang berarti bahwa seluruh item

terbukti mengukur satu hal saja, yaitu decisional control. Hanya

saja, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran

pada beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat

disimpulkan bahwa beberapa item sebenarnya bersifat

multidimensional. Adapun butir soal yang terdapat kesalahan

pengukuran dan saling berkorelasi disajikan pada tabel 3.18

dibawah ini:

Tabel 3.18

Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada item decisional control.

1 2 3 4 5 6 7 8
1 1
2 1
3 1 V
4 1 V
5 1
6 1
7 1
8 1

Keterangan: tanda (v) menunjukkan item yang saling berkorelasi dengan

item lainnya.
68

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat item

yang baik dan item yang buruk. Alat ukur ini diketahui tidak semua

item saling berkorelasi. Adapun butir item yang saling berkorelasi

ada empat yaitu item 3, 4, 6 dan 8 yang bersifat multidimensional.

Namun demikian item lainnya yaitu item 1, 2, 5 dan 7 dapat

dikatakan ideal karena tidak ada kesalahan pengukuran dan juga

tidak berkorelasi sama sekali dengan item lainnya.

Langkah selanjutnya melihat apakah signifikan tidaknya item

tersebut mengukur faktor yang hendak diukur. Dalam hal ini yang

diuji adalah hipotesis nihil koefisien muatan faktor dari item.

Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t dari setiap muatan

faktor. Jika nilai (t>1,96) artinya item tersebut signifikan dan begitu

juga sebaliknya, jika (t<1,96) item tersebut tidak signifikan. Lihat

tabel 3.19 dibawah ini:

Tabel 3.19

Muatan faktor item untuk decisional control

No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan


1 0,68 0,09 7,94 V
2 0,66 0,09 7,66 V
3 0,06 0,09 0,65 X
4 0,61 0,09 7,04 V
5 0,65 0,09 7,59 V
6 0,49 0,09 5,36 V
7 0,06 0,09 0,64 X
8 0,15 0,09 1,55 X

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa tiga item tidak

signifikan karena (t<1,96) dan semua koefisien bermuatan positif.


69

Walaupun terdapat empat item yang saling berkorelasi, peneliti

menganggap item tersebut masih dapat diikutsertakan dalam uji

analisis regresi ketika dilakukan uji hipotesisi penelitian. Namun,

terdapat tiga item yang koefisien t (<1,96) yang berarti item nomor

3, 7 dan 8 harus didrop dan tidak dapat diikutsertakan dalam

mengestimasi skor faktor. Skor faktor tersebut merupakan “true

score” dari variabel decisional control yang dengan demikian

memiliki reliabilitas sempurna, sehingga hasil analisis regresi dapat

lebih akurat dan terpercaya.

3.5 Metode Analisa Data

3.6.1. Teknik Analisa Data

Analisis data adalah proses pengolahan data sehingga dapat

ditafsirkan. Pengolahan data dilakukan dengan analisis data statistik

sebagai cara untuk mengetahui pengaruh independen variabel, yaitu

empati dan self control terhadap dependen variabel yaitu agresivitas

remaja.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian digunakan teknik

analisis regresi berganda. Teknik analisis berganda ini digunakan

untuk menentukan ketepatan prediksi dan ditujukan untuk mengetahui

besarnya pengaruh dari independen variabel dan dependen variabel.

Regresi berganda merupakan metode statistika yang digunakan untuk

membentuk model pengaruh antara satu dependen variabel dengan


70

lebih dari satu independen variabel. Analisis statistik dilakukan

dengan bantuan software Lisrel dan SPSS 18.0.

Untuk menilai apakah model regresi yang dihasilkan

merupakan model yang paling sesuai atau tidak, dibutuhkan beberapa

pengujian dan analisis sebagai berikut:

1. R² (koefisien determinasi berganda)

R² menunjukkan variasi atau perubahan dependen variabel (Y)

yang disebabkan independen variabel (X) atau digunakan untuk

mengetahui besarnya hubungan independen variabel (X) dengan

dependen variabel (Y). untuk mendapatkan nilai R² digunakan

rumus sebagai berikut:

2. Uji F

Untuk membuktikan apakah regresi Y pada X signifikan atau

tidak, maka digunakan uji F untuk membuktikan hal tersebut. Dari

hasil uji F yang dilakukan nantinya, dapat dilihat apakah beberapa

variabel independen yang diujikan memiliki hubungan dengan

dependen variabel. Untuk membuktikan hal tersebut menggunakan

rumus sebagai berikut:


71

Pembagian disini adalah itu sendiri dengan df nya yaitu (k),

ialah jumlah independen variabel yang dianalisis, sedangkan

penyebutan dibagi dengan dimana N adalah

jumlah sampel. Dari hasil uji F yang dilakukan nantinya dapat

dilihat apakah variabel independen yang diujikan memiliki

pengaruh terhadap dependen variabel.

3. Uji t

Uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh independen variabel

terhadap dependen variabel. Hasil uji t ini akan diperoleh dari

hasil regresi yang akan peneliti lakukan. uji t yang dilakukan

menggunakan rumus sebagai berikut:

Dimana (b) adalah koefisien regresi dan (Sb) adalah standar

deviasi sampling dari koefisien (b). selain uji t, peneliti akan

menulis signifikan tidaknya dilakukan dengan menggunakan

rumus yang telah dijelaskan sebelumnya. Penghitungan penelitian

ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS 18.0.

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Tahap Persiapan

Persiapan yang dilakukan adalah:

1. Melakukan perumusan masalah dan menentukan variabel yang akan

diteliti, serta menentukan subjek penelitian.


72

2. Melakukan observasi terlebih dahulu terhadap siswa siswi SMA

Negeri 3 Tangerang Selatan.

3. Melakukan studi pustaka untuk mendapatkan gambaran dan landasan

teori yang kuat mengenai variabel penelitian, serta subjek penelitian.

4. Persiapan yang menyangkut alat pengumpul data adalah dengan

membuat item-item yang mengacu pada aspek dan indikator dari

setiap variabel penelitian yang diajukan.

3.6.2 Tahap pelaksanaan

Pelaksanaan pengumpulan data:

1. Menentukan subjek penelitian dengan teknik probability sampling,

dimana semua anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk

dipilih sebagai sampel berdasarkan tingkatan kelas yang telah

ditentukan.

2. Melakukan penyembaran skala uji bentuk likert.

3.6.3 Tahap analisa data

Pelaksanaan menganalisa data:

1. Melakukan scoring data hasil penyebaran skala likert

2. Menghitung dan membuat tabulasi data yang diperoleh, kemudian

membuat tabel data.

3. Melakukan analisis data dengan menggunakan metode statistik

untuk menguji hipotesis penelitian dan korelasi antar variabel.

Dianalisis secara validitas dan reliabilitasnya, analisis uji beda, serta

teknik analisis statistik dengan menggunakan SPSS 18.0.


73

4. Membuat laporan hasil dari analisis tersebut, berupa gambaran

umum, kategorisasi dari setiap variabel, hasil korelasi regresi, serta

menghitung uji beda sebagai data tambahan, dan yang terakhir

membuat kesimpulan.
74

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini peneliti membahas mengenai hasil penelitian yang telah

dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi dua bagian yaitu analisis deskriptif

serta uji hipotesis penelitian yaitu analisis regresi variabel penelitian dan

pengujian proporsi varian masing-masing variabel independen.

4.1 Analisis Deskriptif

Sampel dalam penelitian ini adalah 150 siswa-siswi kelas X dan XI SMA

Negeri 3 Kota Tangerang Selatan. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai

gambaran sampel berdasarkan jenis kelamin. Gambaran sampel penelitian

dapat dilihat pada table 4.1. berikut ini:

Table 4.1

Karakteristik sampel penelitian

Karakteristik Sampel = 150


n (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 63 (42,0)
Perempuan 87 (58,0)
Usia
13-15 47 (31,3)
16-17 103 (68,7)
Kelas
X 70 (46,7)
XI IPA 60 (40,0)
XI IPS 20 (13,3)
75

1. Responden laki-laki jumlahnya lebih sedikit daripada perempuan

yaitu 63 sampel (42%), sedangkan responden perempuan berjumlah

87 sampel (58%).

2. Responden yang berumur 13-15 tahun berjumlah lebih sedikit dari

pada responden yang berumur 16-17 tahun yaitu 47 sampel

(31,3%), sedangkan responden yang berumur 16-17 tahun

berjumlah 103 sampel (68,7%).

3. Responden dari kelas X sebanyak 70 sampel (46,7%), responden

dari kelas XI IPA sebanyak 60 sampel (40%), dan responden dari

kelas XI IPS sebanyak 20 sampel (13,3%).

4.2 Kategorisasi Skor Variabel

Pada penelitian ini, peneliti membagi klasifikasi skor agresivitas remaja,

perspective taking, fantasy, empathic concern, personal distress, behavior

control, cognitive control, dan decisional control menjadi tiga skor, yaitu skor

rendah, sedang dan tinggi. Kategorisasi didapat berdasarkan rumus pada tabel

4.2 berikut ini:

Tabel 4.2

Kategorisasi skor variabel

Variabel Rendah Sedang Tinggi


n(%) n(%) n(%)
Agresivitas 27(18,0) 102(68,0) 21(14,0)
Perspective Taking 25(16,7) 95(63,3) 30(20,0)
Fantasy 28(18,7) 98(65,3) 24(16,0)
Empathic Concern 19(12,7) 107(71,3) 24(16,0)
Personal Distress 22(14,7) 101(67,3) 27(18,0)
Behavior Control 26(17,3) 100(66,7) 24(16,0)
Cognitive Control 28(18,7) 95(63,3) 27(18,0)
Decisional Control 27(18,0) 94(62,7) 29(19,3)
76

1. Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa dari 150 jumlah sampel, terlihat
bahwa sampel dengan skor agresivitas rendah sebanyak 27 sampel (18%),
skor sedang 102 sampel (68%), dan skor tertinggi sebanyak 21 sampel
(14%).
2. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor perspective
taking rendah sebanyak 25 sampel (16,7%), skor sedang 95 sampel
(63,3%), dan skor tertinggi sebanyak 30 sampel (20%).
3. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor fantasy
rendah sebanyak 28 sampel (18,7%), skor sedang 98 sampel (65,3%), dan
skor tertinggi sebanyak 24 sampel (16%).
4. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor empathic
concern rendah sebanyak 19 sampel (12,7%), skor sedang 107 sampel
(71,3%), dan skor tertinggi sebanyak 24 sampel (16%).
5. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor personal
distress rendah sebanyak 22 sampel (14,7%), skor sedang 101 sampel
(67,3%), dan skor tertinggi sebanyak 27 sampel (18%).
6. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor behavior
control rendah sebanyak 26 sampel (17,3%), skor sedang 100 sampel
(66,7%), dan skor tertinggi sebanyak 24 sampel (16%).
7. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor cognitive
control rendah sebanyak 28 sampel (18,7%), skor sedang 95 sampel
(63,3%), dan skor tertinggi sebanyak 27 sampel (18%).
8. Dari 150 jumlah sampel, terlihat bahwa sampel dengan skor decisional
control rendah sebanyak 27 sampel (18%), skor sedang 94 sampel
(62,7%), dan skor tertinggi sebanyak 29 sampel (19,3%).

4.3 Uji Hipotesis Penelitian

4.3.1 Pengujian hipotesis mayor dan minor

Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis

regresi berganda dengan menggunakan software SPSS 18.0.


77

Seperti yang telah disebutkan pada bab 3, dalam regresi ada 3

hal yang dilihat, yaitu melihat besaran R square untuk mengetahui

seberapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV. Kedua ialah

apakah secara keseluruhan IV berpengaruh signifikan terhadap DV.

Ketiga ialah melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari

masing-masing IV.

Langkah pertama peneliti melihat besaran R square untuk

mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh DV.

Selanjutnya untuk tabel R square dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.3
R square

Model R R Square Adjusted Std. Error


R Square of the
Estimate
1 ,407 ,166 ,118 13,04531

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa perolehan R square

sebesar 0,166 atau 16,6%. Artinya proporsi varians dari agresivitas

remaja yang dijelaskan oleh semua independen variabel adalah

sebesar 16,6%, sedangkan 83,4% sisanya dipengaruhi oleh variabel

lain diluar penelitian.

Langkah kedua peneliti menganalisis dampak dari seluruh

independen variabel terhadap agresivitas remaja. Adapun hasil uji F

dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut:


78

Tabel 4.4
Analisis Regresi

ANOVAb
Model Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 4761,411 8 595,176 3,497 ,001a
Residual 23995,386 141 170,180
Total 28756,797 149
a. Predictors: (Constant), J.KELAMIN, BEHAVIOR, E.CONCERN,
FANTASY, P.TAKING, P.DISTRESS, DECISIONAL, COGNITIVE
b. Dependent Variable: AGRESIVITAS

Jika dilihat dari kolom ke 6 dari kiri diketahui bahwa nilai

signifikan lebih kecil (p<0,05). Maka hipotesis nihil yang menyatakan

tidak ada pengaruh yang signifikan seluruh independen variabel

terhadap dependen variabel, yaitu agresivitas remaja ditolak. Artinya

ada pengaruh yang signifikan dari empati (perspective taking, fantasy,

empathic concern, personal distress), self control (behavior control,

cognitive control, decisional control) dan jenis kelamin.

4.3.2 Uji hipotesis minor

Uji hipotesis ini merupakan uji hipotesis untuk menjawab hipotesis

minor. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut:


79

Tabel 4.5

Koefisien regresi
Coefficientsa
Model Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
B Std. Error Beta T Sig.
1 (Constant) 81,198 7,834 10,364 ,000
P.TAKING ,080 ,099 ,073 ,802 ,424
FANTASY -,058 ,091 -,055 -,633 ,528
E.CONCERN -,059 ,107 -,050 -,555 ,580
P.DISTRESS ,004 ,108 ,004 ,040 ,968
BEHAVIOR -,287 ,122 -,235 -2,353 ,020*
COGNITIVE ,062 ,126 ,052 ,497 ,620
DECISIONAL -,242 ,111 -,218 -2,185 ,031*
J.KELAMIN -3,930 2,365 -,140 -1,662 ,099
a. Dependent Variable: AGRESIVITAS

Berdasarkan hasil di atas, hanya koefisien regresi Behavior

control dan Decisional control yang signifikan sedangkan sisa lainnya

tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa dari 8 hipotesis minor

hanya terdapat 2 yang signifikan. Koefisien regresi di atas dapat

dijelaskan dengan persamaan regresi sebagai berikut:

Agresivitas remaja = 81,198 + (0,080) perspective taking + (-0,058)


fantasy + (-0,059) empathic concern + (0,004)
personal distress + (-0,287) behavior control*
+ (0,062) cognitive control + (-0,242)
decisional control* + (-3,930) Jenis Kelamin.

Begitu juga dengan hasil uji hipotesis minor dapat dilihat berdasarkan

tabel rinciannya yaitu sebagai berikut:

1. Variabel jenis kelamin


80

Diperoleh nilai koefisien regresi variabel jenis kelamin sebesar -

3,930 dengan signifakansi 0,099 (sig>0,05). Hal tersebut

menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin secara signifikan tidak

mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan negatif.

2. Variabel perspective taking

Diperoleh nilai koefisien regresi variabel perspective taking sebesar

0,080 dengan signifakansi 0,424 (sig>0,05). Hal tersebut

menunjukkan bahwa variabel perspective taking secara signifikan

tidak mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan

positif.

3. Variabel fantasy

Diperoleh nilai koefisien regresi variabel fantasy sebesar -0,058

dengan signifakansi 0,528 (sig>0,05). Hal tersebut menunjukkan

bahwa variabel fantasy secara signifikan tidak mempengaruhi

agresivitas remaja dengan arah hubungan negatif.

4. Variabel empathic concern

Diperoleh nilai koefisien regresi variabel empathic concern sebesar

-0,059 dengan signifakansi 0,580 (sig>0,05). Hal tersebut

menunjukkan bahwa variabel empathic concern secara signifikan

tidak mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan

negatif.
81

5. Variabel personal distress

Diperoleh nilai koefisien regresi variabel personal distress sebesar

0,004 dengan signifakansi 0,968 (sig>0,05). Hal tersebut

menunjukkan bahwa variabel personal distress secara signifikan

tidak mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan

positif.

6. Variabel behavior control

Diperoleh nilai koefisien regresi variabel behavior control sebesar -

0,287 dengan signifakansi 0,020 (sig<0,05). Hal tersebut

menunjukkan bahwa variabel behavior control secara signifikan

mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan negatif.

Jadi semakin tinggi behavior control maka semakin rendah

agresivitas remaja di SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan.

7. Variabel cognitive control

Diperoleh nilai koefisien regresi variabel cognitive control sebesar

0,062 dengan signifakansi 0,620 (sig>0,05). Hal tersebut

menunjukkan bahwa variabel cognitive control secara signifikan

tidak mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan

positif.

8. Variabel decisional control

Diperoleh nilai koefisien regresi variabel decisional control sebesar

-0,242 dengan signifakansi 0,031 (sig<0,05). Hal tersebut

menunjukkan bahwa variabel decisional control secara signifikan


82

mempengaruhi agresivitas remaja dengan arah hubungan negatif.

Jadi semakin tinggi decisional control maka semakin rendah

agresivitas remaja di SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan.

4.4 Analisis proporsi varians pada masing-masing independen variabel

Pengujian pada tahap ini bertujuan untuk melihat apakah signifikan tidaknya

penambahan (incremented) proporsi varian dari tiap independen variabel,

yang mana independen varibel tersebut dianalisis satu per satu. Pada tabel

kolom pertama adalah independen variabel yang dianalisis satu per satu,

kolom kedua merupakan total penambahan varians dependen variabel dari

tiap independen variabel yang dianalisis satu per satu tersebut, kolom ketiga

merupakan nilai murni varians dependen variabel dari tiap independen

variabel yang dimasukkan secara satu per satu, kolom keempat adalah nilai

F hitung bagi independen variabel yang bersangkutan, kolom df adalah

derajat bebas bagi independen variabel yang bersangkutan pula, yang terdiri

dari numerator dan denumerator. Jika signifikan artinya bahwa penambahan

(incremented) proporsi varians dari independen variabel yang bersangkutan,

dampaknya signifikan. Besarnya proporsi varians pada agresivitas remaja

dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut:


83

Tabel 4.6 : Proporsi varians

Model Summary

Model Change Statistics


R Adjusted R Square F Sig. F
Square R Square Change Change df1 df2 Change
1 ,008 ,001 ,008 1,168 1 148 ,282
2 ,018 ,005 ,010 1,506 1 147 ,222
3 ,034 ,015 ,016 2,494 1 146 ,116
4 ,034 ,008 ,000 ,011 1 145 ,918
5 ,118 ,087 ,084 13,636 1 144 ,000
6 ,118 ,081 ,000 ,012 1 143 ,911
7 ,149 ,107 ,031 5,203 1 142 ,024
8 ,166 ,118 ,016 2,762 1 141 ,099

a. Predictors: (Constant), P.TAKING

b. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY

c. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY, E.CONCERN

d. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY, E.CONCERN, P.DISTRESS

e. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY, E.CONCERN, P.DISTRESS, BEHAVIOUR

f. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY, E.CONCERN, P.DISTRESS, BEHAVIOUR, COGNITIVE

g. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY, E.CONCERN, P.DISTRESS, BEHAVIOUR, COGNITIVE, DECISIONAL

h. Predictors: (Constant), P.TAKING, FANTASY, E.CONCERN, P.DISTRESS, BEHAVIOUR, COGNITIVE, DECISIONAL,JK

Dari tabel 4.6 diatas didapatkan informasi sebagai berikut:

1. Variabel perspective taking dengan agresivitas remaja diperoleh

change sebesar 0,008 variabel perspective taking memberikan

sumbangan atau pengaruh 0,8% bagi bervariasinya agresivitas remaja.

Sedangkan koefisien regresi sebesar 0,080 F = 1,168 dan df=1,148.

2. Variabel fantasy dengan agresivitas remaja diperoleh change sebesar

0,010 variabel fantasy memberikan sumbangan atau pengaruh 1% bagi


84

bervariasinya agresivitas remaja. Sedangkan koefisien regresi sebesar -

0,058 F = 1,506 dan df=1,147.

3. Variabel empathic concern dengan agresivitas remaja diperoleh

change sebesar 0,016 variabel empathic concern memberikan

sumbangan atau pengaruh 1,6% bagi bervariasinya agresivitas remaja.

Sedangkan koefisien regresi sebesar -0,059 F = 2,494 dan df=1,146.

4. Variabel personal distress dengan agresivitas remaja diperoleh

change sebesar 0,000 variabel personal distress memberikan sumbangan

atau pengaruh 0% bagi bervariasinya agresivitas remaja. Sedangkan

koefisien regresi sebesar 0,004 F = 0,011 dan df=1,145.

5. Variabel behavior control dengan agresivitas remaja diperoleh

change sebesar 0,084 variabel behavior control memberikan sumbangan

atau pengaruh 8,4% bagi bervariasinya agresivitas remaja. Sedangkan

koefisien regresi sebesar -0,287 F = 13,636 dan df=1,144.

6. Variabel cognitive control dengan agresivitas remaja diperoleh

change sebesar 0,000 variabel cognitive control memberikan sumbangan

atau pengaruh 0% bagi bervariasinya agresivitas remaja. Sedangkan

koefisien regresi sebesar 0,062 F = 0,012 dan df=1,143.

7. Variabel decisional control dengan agresivitas remaja diperoleh

change sebesar 0,031 variabel decisional control memberikan

sumbangan atau pengaruh 3,1% bagi bervariasinya agresivitas remaja.

Sedangkan koefisien regresi sebesar -0,242 F = 5,203 dan df=1,142.


85

8. Variabel jenis kelamin dengan agresivitas remaja diperoleh change

sebesar 0,016 variabel decisional control memberikan sumbangan atau

pengaruh 1,6% bagi bervariasinya agresivitas remaja. Sedangkan

koefisien regresi sebesar -3,930 F = 2,762 dan df=1,141.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dari

delapan IV terdapat dua IV yang signifikan sumbangannya terhadap

agresivitas, yaitu behavior control dan decisional control. Berikut

urutan IV yang memberikan sumbangan terhadap dependen variabel

agresivitas.

Tabel 4.7

Urutan sumbangan IV terhadap DV

No Variabel R² change Persentase


1 Perspective taking 0,008 0,8%
2 Fantasy 0,010 1%
3 Empathic concern 0,016 1,6%
4 Personal distress 0,000 0%
5 Behavior control 0,084 8,4%
6 Cognitive control 0,000 0%
7 Decisional control 0,031 3,1%
8 Jenis kelamin 0,016 1,6%
86

BAB V

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Pada bab ini peneliti akan memaparkan lebih lanjut mengenai hasil dari penelitian

yang telah dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi tiga bagian yaitu kesimpulan,

diskusi dan saran yang dapat diberikan sehubungan dengan hasil penelitian ini.

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh bersama yang signifikan

dari empati dan self control terhadap agresivitas remaja SMA Negeri 3 Kota

Tangerang Selatan. Dari delapan variabel yang diujikan, terdapat dua variabel

yang berpengaruh signifikan secara negatif, yaitu behavior control dan

decisional control. Penelitian ini juga menemukan bahwa fantasy, empathic

concern dan jenis kelamin berpengaruh negatif namun tidak signifikan. Di

sisi lain, perspective taking, personal distress dan cognitive control

berpengaruh positif, namun tidak signifikan.

5.2 Diskusi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh empati dan self-control

secara bersama-sama terhadap agresivitas. Secara spesifik, penelitian ini

menemukan bahwa behavior control dan decisional control dari aspek self

control berpengaruh negatif secara signifikan terhadap agresivitas remaja.

Variabel behavior control berarah negatif memberikan pengaruh yang

signifikan terhadap agresivitas remaja. Artinya, semakin rendah skor aspek


87

behavior control maka semakin tinggi agresivitas seseorang. Hal ini didukung

oleh penelitian Dewall, dkk (2011) yang menyatakan bahwa self control dapat

mencegah tindakan agresi. Menurutnya, kegagalan seseorang dalam

pengendalian diri merupakan prediktor penting dari agresi terhadap orang

lain. Semakin rendah kontrol perilaku (behavior control) seorang remaja,

maka kecenderungan untuk bertindak agresif terhadap seseorang semakin

tinggi. Dengan kontrol perilaku (behavior control) yang rendah, seseorang

akan susah mengendalikan perilakunya untuk bertindak agresif baik itu

terhadap diri sendiri maupun orang lain. Sebaliknya, jika seseorang memiliki

kontrol perilaku yang tinggi, maka ia akan mudah mengendalikan

perilakunya.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa decisional control

berpengaruh signifikan dan berarah negatif. Artinya, semakin rendah skor

aspek decisional control maka semakin tinggi agresivitas seseorang.

Seseorang yang memiliki kontrol keputusan (decisional control) yang tinggi,

cenderung lebih berhati-hati dan lebih bijak dalam bertindak. Sebaliknya, jika

seseorang memiliki kontrol keputusan yang rendah, maka ia akan mudah

bertindak ceroboh, bahkan salah dalam mengambil keputusannya dan

akhirnya penimbulkan penyesalan dalam diri. Peneliti berasumsi bahwa siswa

akan bertindak agresi ketika mereka harus memilih keputusan apa yang akan

mereka ambil, seperti mencemooh guru mereka karena diberi tugas yang

banyak, atau mereka harus tetap mengerjakannya walaupun “terpaksa”. Akan

tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa akan tetap mengerjakan


88

tugas yang telah diberikan kepada mereka, karena mereka merasa lebih

bermanfaat dari pada menghabiskan waktu untuk mencemooh guru.

Di sisi lain, penelitian ini menemukan beberapa aspek lain yang

berpengaruh negatif terhadap agresivitas remaja, namun tidak signifikan,

yaitu fantasy, empathic concern dan jenis kelamin. Artinya, semakin tinggi

seseorang membayangkan (fantasy), dan berusaha untuk lebih bersimpati

(empathic concern) terhadap orang lain, maka semakin rendah agresivitasnya.

Hal ini didukung oleh penelitian Miller & Eisenberg, (1988) dan Lovett dan

Sheffield (2007) (dalam Elfrie van Heerebeek) yang menyatakan bahwa

terdapat hubungan antara empati terhadap agresi dan anti sosial yang berarah

negatif.

Penelitian ini juga menemukan bahwa perspective taking, personal

distress dan cognitive control berpengaruh positif dan tidak signifikan.

Artinya, semakin tinggi pemikiran seseorang serta pemahamannya terhadap

pikiran dan perasaan orang lain, maka semakin tinggi pula kecenderungan

untuk bertindak agresif. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Elfrie van

Heerebeek (InPress) yang menyatakan bahwa empati kognitif dan afektif

berhubungan negatif terhadap agresi baik secara langsung maupun tidak

langsung.

5.3 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan saran

teoritis dan saran praktis sebagai berikut:


89

1.3.1. Saran Teoritis

1. Penelitian-penelitian selanjutnya agar meneliti mengenai variabel-

variabel lain yang mempengaruhi agresivitas remaja seperti tipe

kepribadian, budaya, dukungan sosial, dan pola asuh orang tua

sehingga mampu mendapatkan hasil yang lebih komprehensif.

2. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk membuat item setiap

variabel yang lebih baik lagi, sesuai dengan pemahaman siswa

khususnya kelas X dan XI SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan

sehingga benar-benar mengukur apa yang sedang diteliti dan

meminimalisir item yang harus didrop karena saling berkorelasi

antar item.

3. Dalam penelitian selanjutnya, lebih baik mengambil sampel dalam

jumlah yang lebih banyak. Tidak hanya siswa kelas X dan XI saja,

tetapi siswa kelas XII juga diikutsertakan dalam penelitian.

1.3.2. Saran praktis

1. Pihak sekolah SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan

 Menyelenggarakan training self control pada siswa guna

meningkatkan kontrol diri yang terkait dengan cara

menurunkan tingkat agresivitas siswa.

 Mempertegas aturan di sekolah untuk mendisiplinkan siswa

yang sering melanggar peraturan, sebagai upaya meningkatkan

behavior dan decisional control pada siswa.


90

2. Saran bagi siswa

 Diperlukan peningkatan bagaimana cara mengontrol perilaku

ketika sedang menghadapi impuls-impuls kemarahan, serta

mampu mengantisipasi keadaan yang sedang dihadapi secara

objektif.

 Siswa dianjurkan untuk mengikuti berbagai ekstrakurikuler

seperti bela diri, paskibra, rohis, untuk menunjang peningkatan

self control dalam dirinya.

3. Saran bagi guru BK

 Peningkatan self-control siswa dapat dilakukan melalui

kegiatan konseling, seperti grup-grup terapi dan terapi teman

sebaya.

 Mendeteksi siswa-siswi yang berpotensi untuk berperilaku

agresi sedini mungkin.

4. Saran bagi guru

 Mencegah terjadinya stress dan frustrasi yang menjadi faktor

pemicu tindakan agresi, dianjurkan untuk menciptakan suasana

belajar yang lebih kondusif.

 Disarankan lebih mengawasi, mendampingi, memberikan

arahan dan perilaku yang positif terhadap siswanya.

 Guru diharapkan memberikan evaluasi dan saran yang tepat

kepada siswa terhadap tindakan yang telah ia lakukan.


91

DAFTAR PUSTAKA

Andreasson, P. (2010). Emotional Empathy, Facial Reactions, and Facial


Feedback. Acta Universitatis Upsaliensis. Digital Comprehensive
Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Social Sciences
58. 52 pp. Uppsala. ISBN 978-91-554-7840-7.
Averill. J.R. (19730. Personal control over aversive stimuli and its relationship to
stress. Psychology Bull. 80. 286-303.
Bandura, A., Ross,D., & Ross, S.A. (1961). Transmission of aggression trough
imitation of aggressive models. Journal of Abnormal and Social
Psychology. 63. 575-582.

Bjorkqvist, K. (1994). Sex Differences in physical, verbal, and indirect


aggression: Review of Recent Research. Sex Roles. 30 (3/4). 177-188.
Browne, E. (2010). The relationship between empathy in children and their
parents. California: Psychology and Child Development Department
College of Liberal Arts.
Bushman, B.J., & Anderson, C.A. (1998). Chapter two: Methodology in the study
of aggression: integrating experimental an nonexperimental findings.
Dalam Russell, G.G & Edward, D (ed). Human Aggression: Theories,
Research, and Implications for Social Policy (24-45). New York:
Academic Press.
Bushman, B.J. ,& Copper. H.M., (1990). Effect of alcohol on human aggression:
An integrative research review. Psychological Bulletin. 107(3), 341-354.
Buss, A.H., & Perry, M. (1992). The Aggression Questionare. Journal of
Personality and Social Psychology. 63 (3). 452-459.

Chaplin, J.P. Dictionary of Psychology. Kamus Lengkap Psikologi. Kartini


Kartono (terj). 2008. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Davis, C.M. (1990). What Is Empathy, and Can Empathy Be Taught. Physical
Therapy. Journal of the American Physical Therapy Association . 70, 707-
711. Retrieved from http://ptjournal.apta.org/content/70/11/707
Davis, M.H. (1980). A Multidimentional Approach to Individual Differences in
Empathy. JSAS Catalog of Selected Document in Psychology.

DeWall, C.N., Finkel, E.J., & Denson, T.F. (2011). Self-Control Inhibits
Aggression. Social and Personality Psychology Compass 5/7. 458-472.
10.1111/j.1751-9004.2011.00363.x.
92

Finkenauer, C., Engels, Rutger.C.M.E., & Baumeister, R.F. (2005). Parenting


behavior and adolescent behavioral and emotional problems: The role of
self-control. International Journal of Behavioral Development. 29 (1), 58-
69.
Fromm, E. The Anatomy of Human Destructiveness. Akar Kekerasan. Imam
Muttaqin (terj). 2010. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Garton, A.F., & Gringart, E. (2005). The Development of a Scale to Measure


Empathy in 8- and 9-year old Children. Australian Journal Of Education
and Developmental Psychology. 5. 17-25.

Gelles, R.J., Harrop, J.W., Vissing, Y.M., & Straus, M.A. (1991). Verbal
aggression by parents and psychosocial problems of children. Child Abuse
and Neglect. 15. 223-238.

Giancola, P.R. (2003). The moderating effects of dispositional empathy on


alcohol-related aggression in men and women. Journal of Abnormal
Psychology. 112(2), 275-281.

Hartati, N., Nihayah, Z., Shaleh, A.R., Mujib, A. (2005). Islam dan Psikologi.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Hastik, Ama. 2012. Hubungan Antara Empati dan Efikasi Diri dengan Perilaku
Agresi guru. Skripsi, Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri
Malang. Pembimbing: (1) Dra. Endang Prastuti, M.Si., (II) Indah Y.
Suhanti, S.Psi, M. Psi.

Heerebeek. E.V. (InPress)The Relationship Between Cognitive and Affective


Empathy and Indirect and Direct Aggression in Dutch Adolescents.
Running head: Empathy and Aggression Subtypes in Adolescents.

Hurlock, E.B. (1980). Developmental Psychology: A Life-Span Approach Fifth


Edition. New York: McGraw-Hill Book Company.

Hoaken, P.N.S., & Stewart, S.H. ( 2003). Drugs of abuse and the elicitation of
human aggressive behavior. Addictive Behaviors. 28. 1533-1554.

Hoffman, M.L. (2000). Empathy and Moral Development: Implications for


Caring and Justice. New York: Cambridge University Press.

Srigunting. (2012). Fenomena Tawuran Pelajar Berdasarkan Perspektif


Differential Association Theory. Diunduh tanggal 16 Januari 2013 dari
Http://www. Jurnal Srigunting.co.id
93

Lopez, E.E., Perez, S.M., Ochoa, G.M., & Ruiz, D.M. (2008). Adolescent
Aggression: Effects of Gender and Family and School Enviroments.
Journal of Adolescence 31. 433-450. doi: 10.1016/j.adolescence.
2007.09.007

McCullough, M.E., Willoughby, B.L.B. (2009). Religion, Self-Regulation, and


Sel-Control: Associations, Explanations, and Implications. Psychological
Bulletin. 135(1), 69-93.

Meliyana, Shinta. 2009. Peran empati terhadap ketrampilan sosial dan


agresivitas pada anak sekolah dasar . Tesis, Magister Sains Psikologi
Universitas Gajah Mada. Pembimbing Supra Wimbarti Ph.D.

Miles, D.R.,& Carey, G. (1997). Genetic and environmental Architecture of


Human Aggression. Journal of Personality and Social Psychology. 72 (1).
207-217.

Myers, D.G. (2009). Exploring Social Psychology – 6th. New York : The
McGraw-Hall Companies.

Nashori, F. (2008). Psikologi Sosial Islam. Bandung: Refika Aditama.

Nurfaujiyanti. (2006). Skripsi hubungan pengendalian diri (self-control) terhadap


agresivitas pada anak jalanan. Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Tangney, J.P., Baumeister, R.F., & Boone, A.L. (2004). High Self-Control Predict
Good Adjustment, Less Pathology, Better Grades, and Interpersonal
Success. Journal of Personality. 72(2). 271-282.

Taufik. (2012). Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Taylor, S.E., Peplau, L.A., & Sears, D.O. Social Psychology 12 th Edition.
Psikologi sosial edisi kedua belas. Tri Wibowo B.S (terj). 2009. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

TvOneNews. (2012). Data Tawuran Pelajar Selama 2010-2012. Diunduh tanggal


16 Januari 2013 dari http://video.tvonenews. tv/ arsip/ view/ 62132/ 2012/
09/27/data tawuran pelajar selama 20102012.tvOne

Anda mungkin juga menyukai