Anda di halaman 1dari 33

TUGAS ANALISIS JURNAL

GANGGUAN KEPRIBADIAN ANTISOSIAL


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Abnormal-E
yang diampu oleh :

Dr. Iin Tri Rahayu, M.Si.Psi

Oleh:

Ayu Annisa Ismira Ningrum


(18410229)

FAKULTAS PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2020
TUGAS ANALISIS JURNAL

Jurnal 1

Judul : Perilaku Anti Sosial Pada Anak Sekloah Dasar

Jurnal : Jurnal FKIP Universitas Sultan Ageng Tirrtayasa

Penulis : Ratna Sari Dewi

Jurnal 2

Judul : Kepribadian Antisosial: Fokus Pada White-Collar Crime

Jurnal : Jurnal FK Unair

Penulis : Ivana Sajogo & Didi Aryono Budiyono

1. Analisis Gangguan Antisosial

Menurut Oxford psychology, anti sosial adalah perilaku yang merugikan


orang lain dan merugikan masyarakat. Perilaku anti sosial terdiri dari banyak
bentuk. Salah satu contohnya bermusuhan (yang berarti emosional, impulsif dan
didorong oleh rasa sakit atau tertekan) dengan menanggapi situasi secara
langsung; atau dapat berperilaku anti sosial dengan perencanaan yang disengaja
dari waktu ke waktu. Dua jenis perilaku anti-sosial yang sangat berbahaya bagi
individu dan masyarakat yaitu agresi dan prasangka. Pendapat senada dijelaskan
Kathleen Stassen Berger (2003 hal 302), perilaku anti sosial sering dipandang
sebagai sikap dan perilaku yang tidak mempertimbangkan penilaian dan
keberadaan orang lain ataupun masyarakat secara umum di sekitarnya. Tindakan-
tindakan antisosial ini sering kali mendatangkan kerugian bagi masyarakat luas
sebab pada dasarnya si pelaku tidak menyukai keteraturan sosial (social order)
yang diinginkan oleh sebagian besar anggota masyarakat lain. Pendapat diatas
dipertegas Burt, Donnellan, Iacono & McGue (2011: 634) berpendapat bahwa
perilaku antisosial adalah sebagai perilaku-perilaku yang menyimpang dari
norma-norma, baik aturan keluarga, sekolah, masyarakat, maupun hukum. Dari
ketiga pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku anti sosial adalah
perilaku yang menyimpang dari norma-norma, baik aturan keluarga, sekolah,
masyarakat, maupun hukum, karena sipelaku tidak menyukai keteraturan sosial
(social order) oleh karenanya dalam berperilaku tidak mempertimbangkan
penilaian dan keberadaan orang lain ataupun masyarakat secara umum di
sekitarnya sehingga mendatangkan kerugian bagi masyarakat.

Kriteria DSM-IV-TR (Gabbard, 2005; Sadock & Sadock, 2007) :

1) Terdapat pola pervasif dari sikap acuh tak acuh dan kekerasan untuk
berkuasa atas orang lain sejak 15 tahun, yang terdiri dari 3 atau lebih :
a. Gagal untuk menyesuaikan diri dengan norma sosial dan hormat
pada tindakan berdasarkan hukum, ditandai dengan berkali-kali
melakukan tindakan yang merupakan alasan ia ditahan
b. Ketidakjujuran, ditandai bohong berulang-ulang, menggunakan
nama lain/menipu
c. Impulsivitas/kegagalan untuk merencanakan sesuatu
d. Mudah tersinggung, agresif, ditandai perkelahian berulang
kali/penyerangan
e. Sikap acuh tak acuh yang sembrono terhadap keselamatan diri
sendiri/orang lain
f. Tindakan tidak bertanggung jawab yang konsisten ditandai dengan
kegagalan berulang dalam mempertahankan perilaku bekerja yang
konsisten/menghormati kewajiban keuangan
g. Kurangnya rasa penyesalan ditandai dengan biasa
saja/merasionalisasi dirinya disakiti, dicuri, dianiaya oleh orang
lain
2) Berusia minimal 18 tahun
3) Bukti terjadinya gangguan tingkah laku timbul sebelum 15 tahun
4) Timbulnya perilaku antisosial yang tidak terjadi pada keadaan
skizofrenia/episode manik
2. Analisis Teori

Psikodinamika (Cameron & Rychlak, 1985; Millon & Davis, 2000)

Freud membayangkan 3 struktur dalam pikiran id, ego dan superego. Id,
paling primitif dari personality dan satu-satunya yang ada sejak lahir, bekerja
berdasarkan prinsip kesenangan. Dorongan seksual dan yang agresif harus segera
direspon langsung: jika seseorang membuatmu marah, bunuhlah. Pertama, reward
dapat diperoleh dengan mengikuti urutan tingkah laku tertentu, misalnya, sebuah
mobil baru membutuhkan uang, berarti membutuhkan perkerjaan layak, dimana
membutuhkan pendidikan/latihan tertentu. Inilah yang dikerjakan oleh “ego”. Ego
bekerja berdasarkan prinsip realitas.

Kedua, batasan pemenuhan keinginan dipaksakan oleh superego. Melalui


peran model penuh kasih tetapi tegas, anak-anak normal belajar bahwa orang lain
merupakan individu berbeda, memiliki perasaan dan kemampuan yang berbeda,
tetapi sama berharganya seperti dirinya sendiri. Dalam diri orang normal,
superego yang dewasa berkembang menjadi parental values dan larangan-
larangan diinternalisasi sebagai conscience/kesadaran/hati nurani dan ego ideal.
Ego ideal terdiri dari nilai-nilai yang mengarah kepada aktualisasi diri, apa yang
seharusnya dilakukan seseorang untuk memperoleh self-esteem dan memenuhi
potensi khusus seseorang sebagai manusia.

Kepribadian antisosial mudah dimengerti dalam kerangka klasik


psikoanalitis, ego berkembang, tetapi superego tidak berkembang. Akibatnya
seluruh kepribadian didominasi oleh “id kanak-kanak“ beserta prinsip
mengutamakan kesenangan. Sama seperti id tidak memiliki toleransi atas rasa
frustasi, pula antisosial. Mereka hanya dapat dihalangi oleh ancaman hukuman
yang konkrit.

Analisis Faktor Penyebab

Faktor-faktor penyebab perilaku anti sosial pada anak dapat dianalisa dari
pendapat Lewin (dalam Walgito, 2003: 16) memberikan formulasi mengenai
perilaku prososial dan anti sosial itu dengan bentuk B = f (E, O), B = Behavior, f
= Fungsi, E = Environment, dan O = Organisme. Formulasi tersebut mempunyai
makna bahwa perilaku (behavior) merupakan fungsi yang bergantung dengan
lingkungan dan organisme.

Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku pro


sosial dan anti sosial anak dipengaruhi oleh lingkungan dan sosialisasi dengan
orang-orang disekitar anak. Dari teori faktor-faktor penyebab perilaku anti sosial
pada anak diatas selanjutnya diuraikan lebih rinci dan jelas oleh Fortin (2003:
682) bahwa faktor risiko yang menyebabkan perilaku anti sosial pada anak-anak
dapat dikategorikan sebagai faktor pribadi (personal risk factors), keluarga
(family risk factors), berkaitan dengan sekolah (school-related risk factors) dan
sosial (social risk factors).

Biologis

Antisosial merupakan gangguan moral brain. Area yang mengalami


disfungsi adalah amigdala, bagian sistem limbik yang berperan dalam emotional
learning, aversive conditioning, respon terhadap rasa takut dan emosi lain.
Amigdala mengolah emosi signifikan dari rangsangan eksternal, berinteraksi
dengan hipokampus (tempat menyimpan memori emosi) dan berinteraksi dengan
fungsi kognitif korteks orbitofrontal dalam merespon suatu rangsangan. Amigdala
memungkinkan individu untuk belajar sesuatu (object) atau perilaku yang baik
dan buruk, sehingga sangat berperan dalam pengambilan keputusan secara moral.
Hal ini karena amigdala mempunyai hubungan timbal balik (reciprocal) dengan
korteks temporal. Oleh sebab itu individu antisosial dengan gangguan pada
amigdala akan sulit untuk bersosialisasi (Pasanen & Lee, 2008; DeLisi, 2009;
Blair, 2010)

Selain amigdala, ventromedial prefrontal cortex (vmPFC) juga berperan


dalam perkembangan dan pengambilan keputusan secara moral serta
mempertahankan perilaku sosial yang dapat diterima. Informasi yang dihasilkan
amigdala tidak hanya dikirim ke temporal dan korteks visual namun dikirim juga
ke vmPFC dan korteks orbitofrontal. Korteks orbitofrontal berperan dalam
mengontrol emosi dan menilai positive/negative reinforcement. Hipoaktifitas dari
amigdala dan korteks orbitofrontal, seperti juga disfungsi vmPFC menunjukkan
kepribadian yang keras kepala dan tidak berperasaan. (Pasanen & Lee, 2008;
DeLisi, 2009; Rodrigo, 2010)

Peranan serotonin, kortisol dan testosteron dalam perilaku agresi dan


antisosial telah dibuktikan. Fungsi kortisol secara fisiologis mempersiapkan
individu untuk kondisi yang sulit, membuat individu sensitif terhadap rasa takut
dan melakukan penarikan diri yang tepat. (Rodrigo, 2010)

Genetik dan Pola Asuh

Penelitian pada anak kembar membuktikan bahwa faktor genetik


mempengaruhi perkembangan antisosial. Angka kriminalitas 2-3 kali lebih tinggi
pada kembar monozigot dibandingkan kembar dizigot. (Gabbard, 2005)

Corley, menganalisa single nucleotide polymophism pada sampel remaja


yang berperilaku antisosial dan pecandu obat, didapatkan 2 gen yang berpengaruh
yaitu CHRNA2 dan OPRM1. CHRNA2 akan mengkode pada reseptor α 2
nikotinik (mirip pada skizofrenia) dan reseptor μ opiod (berperan pada
penyalahgunaan zat). (Millon & Davis, 2000; Rodrigo, 2010)

Salah satu faktor risiko terburuk bagi perilaku antisosial adalah callous-
unemotional (CU) traits, digambarkan sebagai kurangnya empati, kurangnya
perasaan bersalah, miskinnya ekspresi emosi, relatif stabil dalam masa kanak-
kanak sampai remaja. Kepribadian ini menunjukkan sub-kelompok yang penting
dari antisosial dan kenakalan remaja. Peneliti behavioral genetics yakin faktor
keturunan CU traits sangat kuat. Mereka menemukan gen kekerasan dan perilaku
antisosial menempati lokasi spesifik di otak. Begitu pula gen yang mempengaruhi
fungsi amigdala, meliputi gen tryptophan hydroxylase-2, gen neuropeptide Y,
dopamine catabolic enzyme catechol-O-methyltransferase dan MAO-A.
(Kimonis, 2008; DeLisi, 2009)
Analisis Terapi/Pengobatan

Upaya pemecahan menangani perilaku anti sosial pada siswa sekolah dasar
harus dilakukan oleh keluarga (orang tua), sekolah (guru dan kepala sekolah) dan
masyarakat adalah:

a) Orang tua atau keluarga menerapkan pola asuh authoritative. Tidak


memberikan disiplin yang sangat keras, tidak menuntut anak untuk berlaku
perfect (sempurna), memberikan pola disiplin yang konsisten, memberikan
suasana hidup dalam kasih sayang, memberi teladan yang baik, memenuhi,
mencukupi serta menaga keadaan fisik dan mental anak dengan baik,
mengajarkan anak untuk bersosialisasi dengan berbagai latar belakang
ststus sosial dan ekonomi, menanamkan pemahaman bahwa dalam urutan
anak dalam keluarga harus saling menyayangi dan memiliki peranan
sesuai dengan kemampuan anak serta harus mengontrol pergaulan anak.
b) Sekolah (guru) menerapkan metode pembelajaran Kooperatif. Selain itu
guru harus memperhatikan psikologi dan sesuai perkembangan multiple
intelegensi anak. Jangan bertindak sebagai ‘bos’ atau diktator, dimana
jangan memberi perintah langsung bila ingin apapun dilakukan anak
dengan baik. Guru harus menerapkan mata pelajaran di sekolah harus
terintegrasi dengan penanaman nilai-nilai moral dan karakter yang baik.
Guru harus menjadi model yang baik dalam interaksi sosial anak.
c) Lingkungan Sosial (masyarakat dan media): 1. Masyarakat harus berperan
menumbuhkan norma sosial yang baik. 2. Media Massa harus memberikan
tontonan dan tuntunan yang baik bagi anak.

Peranan berbagai pihak diperlukan dalam upaya memberikan bimbingan


pada anak anti sosial di sekolah dasar, yaitu keluarga (orang tua), Sekolah (guru)
dan Lingkungan Sosial (masyarakat dan media). Oleh karenanya Rekomendasi
ditujukan pada: a). Orang tua: Orang tua agar mengkaji dan mengevaluasi kembali
bentuk pola asuh terhadap anak,pola asuh authoritative disarankan sebagai bentuk
pola asuh yang baik. b) Guru: Guru agar mengkaji dan mengevaluasi pola
mendidik dan mengajar, dalam mendidik disarankan memberi permodelan tingkah
laku serta mengintegrasikan mata pelajaran dengan nilai-nilai karakter dan
menerapkan metode belajar kooperatif. c) Lingkungan Sosial. Masyarakat agar
memberikan permodelan tingkah laku yang baik ditopang oleh media penyiaran
publik yang sehat (cocok) bagi anak.

Treatment

Pengobatan biasanya dipaksakan/disertai ancaman/mungkin dikeluarkan


dari sekolah/dipecat dari pekerjaan/dihadapkan pada perceraian/dipenjarakan.
Terapi farmakologis dan terapi individual tidak efektif bagi antisosial murni.
Beberapa terapis percaya, perubahan seiring bertambahnya usia. Selama terapi,
pasien-pasien ini dapat berbohong, curang, mencuri, mengancam dan
memperdaya. (Millon & Davis, 2000; Gabbard, 2005)

Antisosial dan perilaku agresif pada remaja yang menunjukkan CU trait


disarankan memakai metode terapi fisik seperti electric shock. Bila gangguan
sangat berat dapat dilakukan prefrontal lobotomy, topectomy dan transorbital
lobotomy. (Cleckley, 1988; Kimonis, 2008)

Salah satu terapi yang berkembang sejak akhir tahun 1970-an yaitu
Multisystemic Therapy (MST), melibatkan individu, keluarga dan
lingkungan/extrafamilial (peer, sekolah, tetangga). Pendekatannya sangat
kompleks Target utama MST adalah mengurangi aktivitas kriminal remaja,
menurunkan perilaku antisosial bentuk lain seperti drug abuse, mengurangi
pengeluaran biaya dengan menurunnya penahanan.
LAMPIRAN JURNAL 1 & 2
PERILAKU ANTI SOSIAL PADA ANAK SEKLOAH DASAR

RATNA SARI DEWI


rsdbella@gmail.com
FKIP Universitas Sultan Ageng Tirrtayasa

ABSTRACT
ANTI-SOCIAL BEHAVIOUR IN PRIMARY SCHOOL CHILDREN. Anti-social
behavior is a negative behavior or deviates behavior from the norms, a good rule
of family, school, community, or the law. The type of anti-social behavior in
elementary school children including negativism behavior, aggression and
behavioral controls. The risk factors that lead to anti-social behavior in children
can be categorized as personal factors (personal risk factors), family (family risk
factors), related to the school (school-related risk factors) and social (social risk
factors). Efforts to tackle anti-social child can do with the efforts of parents to apply
parenting authoritative. If already at the level of anti-social behavior in violation
of state law, then the parents should bring their children to therapy personality
disorder, which is called dialectical Behavior Therapy. While that may be pursued
teacher in dealing with anti-social child is to implement cooperative learning
methods as well as the attention of Psychology and Child Development of Multiple
Intelligence. In addition, people can contribute to the handling of anti-social child
by growing social norms as well as the availability of mass media impressions that
provide good guidance for children.
Keywords: Anti - Social, Cooperative Learning, Multiple Intelligence

ABSTRAK

Perilaku Anti Sosial merupakan perilaku negatif atau perilaku yang menyimpang
dari norma-norma, baik aturan keluarga, sekolah, masyarakat, maupun hukum.
Jenis perilaku anti sosial pada anak sekolah dasar diantaranya perilaku
negativisme, agresi dan tingkah laku menguasai. Faktor risiko yang menyebabkan
perilaku anti sosial pada anak-anak dapat dikategorikan sebagai faktor pribadi
(personal risk factors), keluarga (family risk factors), berkaitan dengan sekolah
(school-related risk factors) dan sosial (social risk factors). Upaya penanganan
anak dengan anti sosial dapat dilakukan dengan upaya orang tua menerapkan pola
asuh authoritative. Jika terlanjur berperilaku anti sosial pada taraf melanggar
hukum negara, maka orang tua harus membawa anaknya untuk melakukan terapi
gangguan kepribadian, yang disebut Terapi Perilaku Dialektikal. Sedangkan yang
dapat diupayakan guru dalam menangani anak anti sosial adalah dengan
menerapkan metode pembelajaran kooperatif serta memberikan perhatian
Psikologi dan Perkembangan Multiple Intelegensi Anak. Selain itu masyarakat
dapat memberikan kontribusi dalam penanganan anak anti sosial dengan cara
menumbuhkan norma sosial yang baik serta tersedianya tayangan media massa
yang memberikan tuntunan baik bagi anak.
Kata Kunci : Anti – Sosial, Kooperatif, Multiple Intelegensi
A. Pendahuluan

Sekolah dasar merupakan perkembangan fisik. Menyangkut


lembaga formal tingkat dasar dorongan yang besar untuk
yang sejatinya diselenggarakan berhubungan dengan kelompok
untuk mengembangkan sikap, sebaya, anak cenderung keluar
kemampuan dan keterampilan rumah dalam hal bersososialisasi.
dasar yang diperlukan oleh Anak akan merasa nyaman bila
peserta didik untuk hidup dalam mereka dapat diteriima dalam
masyarakat. Selanjutnya kegiatan suatu kelompok dengan teman-
pembelajaran dan pendidikan di teman sebayanya, dan sebaliknya
sekolah dasar adalah sebagai anak akan merasa tidak nyaman
bekal persiapan bagi peserta bila tidak bisa diterima dalam
didik untuk melanjutkan kelompoknya.
pendidikan formal lebih lanjut.
Pernyataan sependapat dengan
Syamsu Yusuf LN (2004: para ahli diatas adalah pendapat
24) menjelaskan bahwa: Siswa Elizabeth B. Hurlock (2001:155-156)
sekolah dasar pada umumnya yang menyatakan bahwa akhir masa
berusia 6 sampai 13. Ada tiga ciri kanak-kanak sering disebut sebagai
yang menonjol pada masa ini “usia berkelompok” karena ditandai
yaitu: dorongan yang besar untuk dengan adanya minat terhadap
berhubungan dengan kelompok aktivitas teman-teman dan
sebaya, dorongan ingin tahu meningkatnya keinginan yang kuat
tentang dunia sekitarnya, dan untuk diterima sebagai anggota suatu
perkembangan fisik. kelompok, dan merasa tidak puas bila
tidak bersama teman-temannya. Anak
Pendapat diperjelas tidak lagi puas bermain sendiri di
Muhibin Syah (1995: 46) rumah atau dengan saudara-saudara
menjelaskan bahwa masa anak- kandung atau melakukan kegitan
anak (late childhoold) dengan anggota-anggota keluarga.
berlangsung antara usia 6 sampai Anak ingin bersama teman-temannya
12 tahun dengan ciri-ciri utama dan akan merasa kesepian serta tidak
memiliki dorongan untuk keluar puas bila tidak bersama teman-
dari rumah dan memasuki temannya. Pada masa sekolah ini
kelompok sebaya (peer group). anak ingin memiliki banyak teman.
Berdasarkan pendapat Anak ingin bersama dengan
para ahli di atas dapat kelompoknya, karena dengan
disimpulkan bahwa masa sekolah temannya anak dapat bemain dan
dasar dengan rentang usia antara berolah raga, dan dapat memberikan
6-13 tahun memiliki ciri utama kegembiraan. Sejak anak masuk
adanya dorongan yang besar sekolah sampai masa puber,
untuk berhubungan dengan keinginan untuk bersama dan untuk
kelompok sebaya, adanya diterima oleh kelompok menjadi
dorongan ingin tahu tentang dunia semakin kuat. Hal ini berlaku baik
disekitarnya serta adanya
untuk anak laki-laki maupun Pendapat ini lebih eksteem, karena
perempuan. bukan sekedar permasalahan tentang
perilaku yang mencakup
Mengacu pada pendapat perkembangan sosial, emosi, dan
Elizabeth B.Hurlock (2001: 155-156) moral dan berdampak pada perilaku
di atas siswa sekolah dasar senang negatif, namun sudah pada
bergaul dan membentuk kelompok- pelanggaran hukum yang berlaku di
kelompok dengan teman sebayanya, negara Indonesia.
sebagaimana telah dipaparkan di atas
secara teoritis bahwa anak sekolah Keadaan demikian pada
dasar mulai suka bersosialisasi dengn kenyataannya belum mendapat
teman sebayanya. perhatian dan penanganan yang
optimal oleh pihak sekolah, sehingga
Masalah akan timbul apabila anak dengan perilaku anti sosial bisa
dalam berinteraksi atau bersosialisasi menjadi anak yang terisolir, dan tidak
anak menunjukan perilaku yang diterima teman-teman di dalam
negatif atau anti sosial terhadap kelompoknya, dalam
kelompoknya, seperti anak yang masa perkembangannya anak anti sosial
bodoh dengan temannya, suka akan mengalami hambatan dalam
mengganggu temannya atau bahkan bersosialisasi, lebih jauh masa depan
melakukan perkelahian. Burt, yang kurang baik karena anak dengan
Donnellan, Iacono & McGue (2011: perbuatan melanggar hukum.
634) berpendapat bahwa perilaku anti Kenyataan ini menarik perhatian
sosial adalah sebagai perilaku- untuk dikaji dan dianalisa sehingga
perilaku yang menyimpang dari memperoleh gambaran realitas secara
norma-norma, baik aturan keluarga, jelas tentang perilaku anti sosial pada
sekolah, masyarakat, maupun hukum. anak sekolah dasar.

B. Pembahasan

A. PENGERTIAN PERILAKU sosial dengan perencanaan yang


ANTI SOSIAL disengaja dari waktu ke waktu. Dua
jenis perilaku anti-sosial yang sangat
Menurut Oxford psychology, berbahaya bagi individu dan
anti sosial adalah perilaku yang masyarakat yaitu agresi
merugikan orang lain dan merugikan dan prasangka.
masyarakat. Perilaku anti sosial
terdiri dari banyak bentuk. Salah satu Pendapat senada dijelaskan
contohnya bermusuhan (yang berarti Kathleen Stassen Berger (2003 hal
emosional, impulsif dan didorong 302), perilaku anti sosial sering
oleh rasa sakit atau tertekan) dengan dipandang sebagai sikap dan perilaku
menanggapi situasi secara langsung; yang tidak mempertimbangkan
atau dapat berperilaku anti penilaian dan keberadaan orang lain
ataupun masyarakat secara umum di maupun hukum. Dari ketiga pendapat
sekitarnya. Tindakan-tindakan diatas dapat ditarik kesimpulan
antisosial ini sering kali bahwa perilaku anti sosial adalah
mendatangkan kerugian bagi perilaku yang menyimpang dari
masyarakat luas sebab pada dasarnya norma-norma, baik aturan keluarga,
si pelaku tidak menyukai keteraturan sekolah, masyarakat, maupun hukum,
sosial (social order) yang diinginkan karena sipelaku tidak menyukai
oleh sebagian besar anggota keteraturan sosial (social order) oleh
masyarakat lain. Pendapat diatas karenanya dalam berperilaku tidak
dipertegas Burt, Donnellan, Iacono & mempertimbangkan penilaian dan
McGue (2011: 634) berpendapat keberadaan orang lain ataupun
bahwa perilaku antisosial adalah masyarakat secara umum di
sebagai perilaku-perilaku yang sekitarnya sehingga mendatangkan
menyimpang dari norma-norma, baik kerugian bagi masyarakat
aturan keluarga, sekolah, masyarakat,
B. JENIS PERILAKU ANTI SOSIAL Agresi merupakan tindakan nyata
PADA ANAK SEKOLAH DASAR yang mengancam sebagai ungkapan rasa
Menurut Wiramihardja (2012 : 111) benci. Anak akan menunjukkan
terdapat beberapa jenis perilaku anti sosial, kecenderungan untuk mengulangi tindakan
yaitu perilaku terbuka (overt) dan perilaku agresinya bila tindakan tersebut
tertutup (covert). Perilaku terbuka ini memberikan hasil yang menyenangkan
ditampilkan oleh otot maupun kerangka bagi dirinya, terutama mengenghadapi
badan seperti berjalan, memukul dan lain- frustasi atau kecemasan yang dirasannya.
lain. Perilaku tertutup adalah perilaku yang Beberapa penyebab munculnya agresi pada
gerak-geriknya tidak langsung menyatakan anak-anak antara lain frustasi, keinginan
maksudnya seperti marah yang untuk menarik perhatian, kebutuhan akan
diperlihatkan dengan muka merah atau perlindungan karena rasa tidak aman, dan
perilaku non-agresif seperti perilaku identifikasi dengan orang tua yang agresif.
melanggar peraturan dengan berbohong. Tingkah laku menguasai diartikan
Pendapat lain tentang jenis perilaku sebagai tindakan untuk mencapai atau
anti sosial adalah anak yang tidak patuh. mempertahankan penguasaan suatu situasi
Menurut Schaefer dan Millman (1981), ada sosial. Bentuk tingkah laku anti sosial dapat
3 karakteristik anak anti sosial khususnya membuat anak menarik diri dari lingkungan
pada anak yang tidak patuh, yaitu : sosial dan pada akhirnya anak tidak
1. The Passive Resistant Type, yaitu anak diterima dalam kelompok sebaya.
menjadi diam atau menghindari perintah C. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
dengan cara pasif, mengikuti perintah tetapi PERILAKU ANTI SOSIAL PADA
dengan setengah hati. ANAK SEKOLAH DASAR
2. The Openly Defiant Type, yaitu anak Faktor-faktor penyebab perilaku
secara langsung menolak perintah secara anti sosial pada anak dapat dianalisa dari
verbal. pendapat Lewin (dalam Walgito, 2003: 16)
3. The Spiteful Type of Noncompliance, memberikan formulasi mengenai perilaku
yaitu anak melakukan hal yang sebaliknya prososial dan anti sosial itu dengan bentuk
dari yang diperintahkan. B= f (E, O), B = Behavior, f=Fungsi, E=
T. Sutjihati Somantri (2006:43-45) Environment, dan O = Organisme.
menjelaskan bahwa bentuk tingkah laku Formulasi tersebut mempunyai makna
sosial yang dijumpai pada masa anak-anak bahwa perilaku (behavior) merupakan
dilandasi oleh pola tingkah laku yang fungsi yang bergantung dengan lingkungan
terbentuk pada masa bayi, tetapi beberapa dan organism.
diantaranya merupakan bentuk tingkah laku
yang baru. Beberapa diantaranya Berdasarkan pernyataan diatas
merupakan bentuk tingkah laku yang tidak dapat disimpulkan bahwa perilaku pro
sosial bahkan anti sosial. Bentuk-bentuk sosial dan anti sosial anak dipengaruhi oleh
tingkah laku anti sosial yang sering lingkungan dan sosialisasi dengan orang-
dijumpai pada masa anak-anak adalah: orang disekitar anak. Dari teori faktor-
faktor penyebab perilaku anti sosial pada
a. Negativisme anak diatas selanjutnya diuraikan lebih
b. Agresi rinci dan jelas oleh Fortin (2003: 682)
c.Tingkah laku menguasai Negativisme bahwa faktor risiko yang menyebabkan
adalah merupakan gabungan antara perilaku anti sosial pada anak-anak dapat
keyakinan diri, perlindungan diri, dan dikategorikan sebagai faktor pribadi
penolakan yang berlebihan. Negativisme (personal risk factors), keluarga (family
merupakan akibat situasi sosial, misalnya risk factors), berkaitan dengan sekolah
disiplin yang terlalu keras atau sikap orang (school-related risk factors) dan sosial
dewasa yang idak toleran. (social risk factors).
Kemudian Schaefer dan William kelas tinggi yang disebabkan faktor
(1981) juga menjelaskan penyebab yang keluarga yakni status sosial ekonomi dalam
mendasari perilaku anti sosial yang keluarga. Kehidupan sosial banyak
ditimbulkan dari faktor resiko keluarga, dipengaruhi oleh kondisi atau status
diantaranya adalah: kehidupan sosial keluarga dalam
1. Kurangnya disiplin, orang tua lingkungan masyarakat. Masyarakat akan
terlalu bersikap permisif dan sulit untuk memandang anak, bukan sebagai anak yang
mengatakan “tidak“ pada anak. Sehingga independen, akan tetapi akan dipandang
anak ‘belajar’ bahwa segala keinginannya dalam konteksnya yang utuh dalam
pasti akan dituruti oleh orang tua. Hal ini keluarga anak itu, ”ia anak siapa”. Secara
membuat anak berani menolak hal-hal yang tidak langsung dalam pergaulan sosial
diperintahkan yang tidak disukainya, sikap anak, masyarakat dan kelompoknya akan
anak keras, mau menang sendiri dan sulit mempertimbangkan norma yang berlaku di
diatur. Bila dibiarkan dan berlarut-larut dalam keluarganya. Perilaku anak akan
sifat anak seperti ini tidak hanya merugikan banyak memperhatikan kondisi normatif
bagi dirinya sendiri tetapi sudah merugikan yang telah ditanamkan oleh keluarganya.
bagi orang orang tua bahkan orang lain Sehubungan dengan hal itu, dalam
disekitarnya. kehidupan sosial anak akan senantiasa
2. Pemberian disiplin yang sangat menjaga status sosial dan ekonomi
keras, orang tua menuntut anak untuk keluarganya, dalam hal tertentu menjaga
berlaku perfect (sempurna), mereka status sosial keluarganya itu
cenderung memaksa dan menginginkan mengakibatkan anak menempatkan dirinya
disiplin ’instant’ pada anak. Pemaksaan dan dalam pergaulan sosial yang tidak tepat.
tuntutan yang berlebihan terhadap anak ini Hal ini dapat berakibat lebih jauh, yaitu
embuat anak melawan dan ‘protes’ dengan anak menjadi ”terisolir” dari kelompoknya.
berperilaku yang sebaliknya. Akibat lain mereka akan membentuk
3. Pemberian disiplin yang tidak kelompok elit dengan normanya sendiri.
konsisten, kadang orang tua melarang Pendapat diatas diperkuat oleh
kadang mereka membiarkan anak berlaku Supratiknya (2012:86-89) yang
hal yang sama. Ketidakkonsistenan yang berpendapat bahwa penyebab perilaku anti
ditunjukkan orang tua membuat anak sosial adalah frustasi karena keluarga tidak
bingung dan kemudian ‘mencoba-coba’ rukun, penolakan sosial, orang tua kurang
untuk menolak perintah orang tua, siapa memberi bimbingan, dan pengaruh teman.
tahu kali ini ia berhasil untuk tidak jadi Sejalan dengan itu Sunarto dan B. Agung
melakukan hal yang diperintahkan. Hartono (1995:130-133) menjelaskan
4. Orang tua berada dalam setres atau bahwa perkembangan sosial manusia
konflik. Salah satu atau kedua orang tua dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
menghindari peran pengasuhan anak keluarga, kematangan anak, status sosial
dikarenakan kesibukan, ketidaktertarikan ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, dan
pada anak, masalah pribadi, atau adanya kemampuan mental terutama emosi dan
masalah dalam perkawinan. Hal ini juga inteligensi.
mengakibatkan ketidak-konsistenan dan Dari berbagai pendapat diatas dapat
ketidakseragaman pengasuhan atau aturan disimpulkan begitu pentingnya peran
yang diterapkan oleh kedua orang tua. keluarga dimana merupakan lingkungan
Sehingga anak kembali menjadi bingung pertama yang memberikan pengaruh
dan malah melawan terhadap berbagai aspek perkembangan
Lebih lanjut Aankusuma (Http://id- anak, termasuk perkembangan sosialnya.
id.facebook.com) menjelaskan bahwa Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga
faktor-faktor yang mempengaruhi merupakan lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan sosial anak sekolah dasar sosialisasi anak. Di dalam keluarga berlaku
norma-norma kehidupan keluarga, dan demikian, untuk mampu bersosialisasi
dengan demikian pada dasarnya keluarga dengan baik diperlukan kematangan fisik
merekayasa perilaku kehidupan budaya sehingga setiap orang fisiknya telah mampu
anak. Proses pendidikan yang bertujuan menjalankan fungsinya dengan baik. alas
mengembangkan kepribadian anak lebih belajar, emosional, bersikap kasar, tidak
banyak ditentukan oleh keluarga. Pola bisa berpikir logis.
pergaulan dan bagaimana norma dalam
menempatkan diri terhadap lingkungan 2) Kesehatan Anak
yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan
oleh keluarga. Anak-anak biasanya sulit untuk
patuh bila mereka lelah, sakit, lapar, atau
Sementara faktor-faktor pribadi sedang ada tekanan emosional. Keadaan
(personal risk factors) dapat dianalisa dari fisik yang tidak baik membuat seseorang
pendapat Aankusuma (Http://id- tidak dapat berpikir positif. Perasaan
id.facebook.com) menjelaskan negatif lebih banyak muncul dan hal ini
bahwa faktor- faktor yang membuat anak tidak bersedia
mempengaruhi Perkembangan mematuhi hal yang diperintahkan.
sosial anak sekolah dasar kelas
tinggi yaitu: 3) Jenis Kelamin

a) Faktor dari Dalam (Personal Risk Temuan Rodkin dkk. (2000 : 22 )


Factor) menunjukkan bahwa di sekolah dasar anak
laki-laki lebih berperilaku anti sosial. Anak
1) Kapasitas Mental: Emosi dan laki-laki banyak membentuk geng kelas
Intelegensi. yang menonjol. Anak laki-laki pada
umumya cenderung sok berkuasa dan
Kemampuan berpikir menganggap remeh pada anak perempuan.
mempengaruhi banyak hal, seperti
kemampuan belajar, memecahkan masalah, 4) Umur
dan berbahasa. Perkembangan emosi,
berpengaruh sekali terhadap perkembangan Umur memengaruhi pembentukan
sosial anak. Anak yang berkemampuan sikap dan pola tingkah laku individu, makin
intelektual tinggi akan berkemampuan bertambahnya umur diharapkan seseorang
berbahasa secara baik. Oleh karena itu, bertambah pula kedewasaannya, makin
kemampuan intelektual tinggi, kemampuan mantap pengendalian emosi, dan makin
berbahasa baik, dan pengendalian emosi tepat dalam segala tindakannya. Kadang
secara seimbang sangat menentukan dijumpai ketidak sesuaian sikap yang
keberhasilan dalam perkembangan sosial dilakukan oleh anak sekolah dasar,
anak. Sikap saling pengertian memahami sikapnya seperti anak kecil, manja, minta
orang lain merupakan modal utama dalam dituruti segala keinginannya.
kehidupan sosial dan hal ini akan dengan
mudah dicapai oleh anak yang
berkemampuan intelektual tinggi.
Bersosialisasi memerlukan kematangan 5) Kedudukan dalam Keluarga
fisik dan psikis. Untuk mampu
mempertimbangkan dalam proses sosial, Keluarga yang terdiri atas beberapa
memberi dan menerima pendapat orang anak, sering kali anak tertua merasa dirinya
lain, memerlukan kematangan intelektual paling berkuasa dibandingkan dengan anak
dan emosi. Di samping itu kemampuan kedua atau ketiga. Anak bungsu
berbahasa ikut pula menentukan, dengan mempunyai sifat ingin dimanjakan oleh
kakak-kakaknya maupun orang tuanya. prostitusi sebagai bagian dari profesi yang
Oleh karena itu, susunan atau urutan wajar. Demikian pula anak yang tumbuh
kelahiran kadang akan menimbulkan pola dan berkembang di lingkungan masyarakat
tingkah laku, peranan dan fungsi yang penjudi atau peminum minuman keras,
berbeda dalam keluarga. maka akan membentuk sikap dan pola
perilaku menyimpang.
b. (School-Rlated Risk Factors)
2) Pergaulan dengan Anak Lain
Dalam pendidikan khususnya
dalam dunia persekolahan merupakan Pola tingkah laku anak tidak bisa
proses sosialisasi anak yang seharusnya terlepas dari pola tingkah laku anak-anak
terarah pada prakteknya tidaklah berjalan lain di sekitarnya. Anak-anak lain yang
baik. Meskipun hakikat pendidikan sebagai menjadi teman pergaulannya sering kali
proses pengoperasian ilmu yang normatif, memengaruhi kepribadian individu, dari
yang akan memberi warna kehidupan sosial teman bergaul tersebut anak akan
anak di dalam masyarakat dan kehidupan menerima norma-norma atau nilai- nilai
mereka di masa yang akan datang namun sosial yang ada dalam masyarakat. Apabila
terkadang tidaklah mencapai tujuan yang teman bergaulnya baik, anak akan
optimal. Karena pendidikan di sekolaH saja menerima konsep-konsep norma yang
tidak cukup. Pendidikan dalam arti luas bersifat positif, namun apabila teman
harus diartikan bahwa perkembangan anak bergaulnya kurang baik, anak sering kali
dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, akan mengikuti konsep-konsep yang
masyarakat, dan kelembagaan. Penanaman bersifat negatif. Akibatnya terjadi pola
norma perilaku yang benar secara sengaja tingkah laku yang menyimpang pada diri
seharusnya diberikan kepada anak yang anak tersebut, oleh karena itu, menjaga
belajar di kelembagaan pendidikan atau pergaulan dan memilih lingkungan
sekolah. pergaulan yang baik sangat penting.

c. Faktor Sosial (Social Risk Factors) 1) 3) Media Massa


Peran MasyarakatPertumbuhan dan
perkembangan kehidupan anak dari Berbagai tayangan di televisi
lingkungan keluarga akhirnya berkembang tentang tindak kekerasan, film-film yang
ke dalam lingkugan masyarakat yang lebih berbau pornografi, sinetron yang berisi
luas. Ketidakmampuan keluarga memenuhi kehidupan bebas dapat memengaruhi
kebutuhan rohaniah anak mengakibatkan perkembangan perilaku individu. Anak-
anak mencari kebutuhan tersebut ke luar anak yang belum mempunyai konsep yang
rumah. Ini merupakan awal dari sebuah benar tentang norma-norma dan nilai-nilai
petaka masa depan individu, jika di luar sosial dalam masyarakat, sering kali
rumah anak menemukan sesuatu yang menerima mentah- mentah semua tayangan
menyimpang dari nilai dan norma sosial. itu. Penerimaan tayangan-tayangan negatif
Pola kehidupan masyarakat tertentu kadang yang ditiru mengakibatkan perilaku social
tanpa disadari oleh para warganya ternyata negative atau menyimpang.
menyimpang dari nilai dan norma sosial
yang berlaku di masyarakat umum, Mengingat dampak perilaku anti
misalnya masyarakat yang suka berjudi. sosial jika dibiarkan akan berpengaruh
Itulah yang disebut sebagai sub kebudayaan buruk terhadap kehidupan psikologis serta
menyimpang, misalnya masyarakat yang kehidupan sosial anak, maka sangat penting
sebagian besar warganya hidup adanya upaya pemecahan penanganan
mengandalkan dari usaha prostitusi, maka perilaku anti sosial khususnya pada anak
anak-anak di dalamnya akan menganggap dengan perilaku anti sosial di sekolah dasar
penyampaiannya dapat diterima oleh anak,
menghindari perilaku kekuasaan (pola asuh
E.UPAYA PEMECAHAN MASALAH autoritharian) atau perilaku mengalah (pola
PERILAKU ANTI SOSIAL PADA asuh permisif) yang ekstrim. Dalam pola
ANAK SEKOLAH DASAR asuh authorative orang tua serta keluarga
tidak memberikan disiplin yang sangat
Perkembangan sosial anak sangat keras, orang tua tidak menuntut anak untuk
dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, berlaku perfect (sempurna), tidak memaksa
baik orang tua, sanak keluarga, orang dan menginginkan disiplin ’instant’ pada
dewasa lainnya atau teman sebayanya. anak. Orang tua serta keluarga harus
Apabila lingkungan sosial tersebut memberikan pola disiplin yang konsisten.
memfasilitasi atau memberikan peluang Sehingga anak tidak ‘mencoba-coba’
terhadap perkembangan anak secara positif, untuk menolak perintah orang tua, siapa
maka anak akan dapat mencapai tahu kali ini ia berhasil untuk tidak jadi
perkembangan sosialnya secara matang. melakukan hal yang diperintahkan. Orang
Namun apabila lingkungan sosial itu tua serta keluarga harus hidup dalam kasih
kurang kondusif, seperti perlakuan sayang, memberikan teladan yang baik
orangtua yang kasar, sering memarahi, sertamampu bekerjasama dalam peran
acuh tak acuh, tidak memberikan pengasuhan pada anak dengan baik dan
bimbingan, teladan, pengajaran atau berkualitas. Selain pengasuhan authorative
pembiasaan anak dalam menerapkan Orang tua serta keluarga harus memenuhi,
norma-norma, baik agama maupun mencukupi serta menaga keadaan fisik dan
tatakrama atau budi pekerti, cenderung mental anak dengan baik. Anak jangan
menampilkan perilaku maladjustment, sampai kelelahan atau sakit, serta jaga
seperti: bersifat minder, senang mental anak agar tetap dalam kondisi baik
mendominasi orang lain, bersifat egois, sehingga emosionalnya tidak tertekan,
senang mengisolasi diri atau menyendiri, sehingga anak dapat merasakan
kurang memiliki perasaan tenggang rasa, ketenangan, kebahagiaan dan tetap
dan kurang mempedulikan norma dalam berpelilaku baik. Orang tua harus
berperilaku. Agar perilaku anti sosial pada mengajarkan anak untuk bersosialisasi
anak tidak semakin buruk maka setelah dengan berbagai latar belakang ststus sosial
mempelajari dan mengkaji faktor-faktor dan ekonomi dengan anak lain yang
penyebab perilaku anti sosial pada anak beragam, agar tidak merasa atau
sekolah dasar, upaya pemecahan antisipasi mengkelaskan diri sebagai anak yang elit
dan penanganan perilaku anti sosial pada atau sebaliknya terisolir. Orang tua serta
anak sekolah dasar harus segera dilakukan. keluarga harus menanamkan pola bahwa
dalam urutan anak dalam keluarga harus
a. Upaya Orang Tua atau Keluarga dalam saling menyayangi dan memiliki peranan
Menerapkan Pola Asuh Authorative sesuai dengan kemampuan anak. Orang tua
sebagai Pencegahan Dini Perilaku Anti harus mengontrol pergaulan anak. Jangan
Sosial biarkan hidup dalam lingkungan yang
buruk, sehingga pola tingkah laku anak
Telah kita sepakati bahwa faktor teteap terjaga dengan baik. Orang tua harus
keluarga sangat berperan dalam melatih intelegensi anak. Intelegensi anak
pembentukan perilaku anti sosial anak. yang tinggi pada umumnya tidak
Oleh karenanya agar anak tidak berperilaku mengalami kesulitan dalam bergaul,
anti sosial maka orang tua harus belajar, dan berinteraksi di masyarakat,
menerapkan pola asuh authoritative, yaitu sebaliknya anak yang intelegensinya di
menciptakan aturan yang dikombinasikan bawah normal akan mengalami berbagai
dengan cinta dan alasan yang jelas dan cara kesulitan dalam belajar di sekolah maupun
menyesuaikan diri di masyarakat. Orang membangun rasa percaya diri, semangat
tua harus mengajarkan perberbedaan pada belajar, suasana yang menyenangkan
anak laki-laki dan anak perempuan namun terlebih mampu menumbuhkan kerja sama,
harus menghargai perbedaan jenis saling menhormati sesama teman.
kelaminkelamin tersebut. Orang tua harus Berdasarkan pendapat ahli tersebut, maka
mendidik anak dengan memperhatikan usia penerapan metode belajar Kooperatif dapat
atau umur anak dimana terdapat perbedaan mewujudkan keterampilan sosial dengan
yang harus harus diketahui peranan, baik, dengan demikian perialku anti sosial
tanggung jawab sebagai anak sesuai dapat terkikis. Upaya sedari awal untuk
umurnya agar anak dapat berbuat baik pada mengembangkan sikap keterampilan sosial,
temannya, pada orang tuanya atau pada salah satunya adalah penerapan model
masyarakat. pembelajaran di kelas yang bisa
merangsang siswa untuk memiliki
b. Upaya Orang Tua atau Keluarga keterampilan sosial itu sendiri, misalnya
Membawa Anak Anti Sosial Terapi adalah model kooperatif learning. Hal ini
Perilaku Dialektikal pada Ahli Terapis dipertegas oleh pendapat Ibrahim
et,al (2007) menyatakan, Cooperatif
Jika anak sudah terlanjur Learning di kembangkan untuk mencapai
berperilaku anti sosial pada taraf melanggar setidaknya tiga tujuan pembelajaran
hukum negara, maka orang tua harus penting, yaitu : 1.) Hasil Belajar Akademik,
membawa anaknya untuk melakukan terapi 2) Penerimaan terhadap individu, 3)
gangguan kepribadian, terapi perilaku Pengembangan keterampilan sosial.
dialektikal disebut berasal dari analisa d. Upaya Guru dalam Memberi Perhatian
Teori Dialektikal : sebuah pendekatan yang Psikologi dan Perkembangan Multiple
mengombinasikan empati dan penerimaan Intelegensi Anak
yang terpusat pada klien dengan Proses pendidikan di sekolah harus
penyelesaian masalah kognitif behavioural berlangsung dengan memperhatikan
dan pelatihan keterampilan sosial yang psikologi dan sesuai perkembangan
diperkenalkan oleh Marsha Linehan(1987). multiple intelegensi anak. Anak usia
Terapi perilaku dialektika mememiliki tiga sekolah dasar mulai mengalami ketidak-
tujuan menyeluruh bagi para individu senangan berdiferensiasi di dalam rasa
ambang. malu cemas dan kecewa sedangkan
1. Mengajari mereka untuk kesenangan, berdiferensiasi ke dalam
mengubah dan mengendalikan harapan dan kasih sayang. Oleh karena itu,
memosionalitas dan perilaku ekstrem jangan sampai siswa-siswi membenci atau
mereka guru atau bidang studi tertentu, sehingga
2. Mengajari mereka untuk menoleransi bergantung pada kemampuan guru untuk
perasaan tertekan menyelenggarakan conditioning
3. Membantu mereka memercayai pikiran reinforcement aspek-aspek emosional
dan emosi mereka sendiri. tersebut. Gejala “seperti takut, cemas,
marah, sedih, iri cemburu, senang, kasih
c. Upaya Guru dalam Menerapkan Metode sayang, simpati merupakan beberapa
Pembelajaran Kooperatif. proses manifestasi dari keadaan emosional
Perilaku Anti sosial dapat ditangani pada diri seorang anak sekolah dasar.
dengan berbagai cara. Rosen, Glennie, e. Upaya Masyarakat Menumbuhkan
Dalton, Lennon & Bozick (2010: 147-148) Norma Sosial.
menyatakan bahwa perilaku anti sosial Tidak bisa dielakan bahwa kita
dapat ditangani dengan mengembangkan hidup bermasyarakat. Sejatinya masyarakat
perilaku sosial anak melalui pembelajaran dalam hal ini orang yang tinggal
kooperatif, metode ini mampu disekeliling kita adalah orang dengan
pendidikan yang baik terutama dalam Media Massa harus memberikan
memahami pendidikan, perkembangan dan tontonan dan tuntunan yang baik bagi anak,
pertumbuhan anak. Namun tentulah tidak yaitu tayangan yang tidak mengedepankan
semua masyarakat disekeliling kita unsur kekerasan fisik, kekerasan seksual,
Misalnyadalam masyarakat dapat member pelanggaran terhadap norma. Membuat
teladan pada anak sehingga anak tayangan khusus bagi anak yang sesuai
berkembang dengan peribadi yang baik. dengan perkembangan dan pertumbuhan
Upaya masyarakat dalam menumbuhkan anak juga dipandang perlu sebagai upaya
norma sosial misalnya hidup rukun, gotong permodelan pada anak nilai dan norma-
royong, bekerjasama, saling menolong. noma yang baik, misalnya tayangan yang
f. Upaya Media Massa Memberikan mengedepankan nilai senang menolong,
Tuntunan dan Tontonan yang Baik bekerja sama, atau saling membantu dan
lain sebagainya.

C. Simpulan dan Rekomendasi


1. Simpulan dengan berbagai latar belakang ststus sosial
1. Pengertian perilaku anti sosial menurut dan ekonomi, menanamkan pemahaman
Burt, Donnellan, Iacono & McGue (2011: bahwa dalam urutan anak dalam keluarga
634) berpendapat bahwa perilaku antisosial harus saling menyayangi dan memiliki
adalah sebagai perilaku-perilaku yang peranan sesuai dengan kemampuan anak
menyimpang dari norma-norma, baik serta harus mengontrol pergaulan anak.
aturan keluarga, sekolah, masyarakat, b) Sekolah (guru) menerapkan metode
maupun hukum. pembelajaran Kooperatif. Selain itu guru
2. Bentuk-bentuk perilaku anti sosial pada harus memperhatikan psikologi dan sesuai
anak sekolah dasar yaitu: perkembangan multiple intelegensi
a) Negativism anak. Jangan bertindak sebagai ‘bos’
b) Agresi atau diktator, dimana jangan memberi
c) Tingkah laku menguasai perintah langsung bila ingin apapun
3. Faktor-faktor penyebab perilaku anti dilakukan anak dengan baik. Guru harus
sosial menurut Fortin (2003: 682) menerapkan mata pelajaran di sekolah
berpendapat bahwa faktor anti sosial pada harus terintegrasi dengan penanaman
anak adalah: faktor pribadi (personal risk nilai-nilai moral dan karakter yang
factors), keluarga (family risk factors), baik. Guruharus menjadi model yang
berkaitan dengan sekolah (school-related baik dalam interaksi sosial anak. c)
risk factors) dan sosial (social risk factors). Lingkungan Sosial (masyarakat dan
4. Upaya pemecahan menangani perilaku media):
anti sosial pada siswa sekolah dasarharus 1. Masyarakat harus berperan
dilakukan oleh keluarga (orang tua), menumbuhkan norma sosial yang baik. 2.
sekolah (guru dan kepala sekolah) dan Media Massa harus memberikan tontonan
masyarakat adalah: dan tuntunan yang baik bagi anak.
a) Orang tua atau keluarga 2). Rekomendasi
menerapkan pola asuh authoritative. Tidak Peranan berbagai pihak diperlukan dalam
memberikan disiplin yang sangat keras, upaya memberikan bimbingan pada anak
tidak menuntut anak untuk berlaku perfect anti sosial di sekolah dasar, yaitu keluarga
(sempurna), memberikan pola disiplin yang (orang tua), Sekolah (guru) dan
konsisten, memberikan suasana hidup Lingkungan Sosial (masyarakat dan
dalam kasih sayang, memberi teladan yang media). Oleh karenanya Rekomendasi
baik, memenuhi, mencukupi serta menaga ditujukan pada:
keadaan fisik dan mental anak dengan baik, a). Orang tua:
mengajarkan anak untuk bersosialisasi
Orang tua agar mengkaji dan mengevaluasi
kembali bentuk pola asuh terhadap
anak,pola asuh authoritative disarankan
sebagai bentuk pola asuh yang baik.
b) Guru:
Guru agar mengkaji dan mengevaluasi pola
mendidik dan mengajar, dalam mendidik
disarankan memberi permodelan tingkah
laku serta mengintegrasikan mata pelajaran
dengan nilai-nilai karakter dan menerapkan
metode belajar kooperatif
a) Lingkungan Sosial
Masyarakat agar memberikan
permodelan tingkah laku yang baik
ditopang oleh media penyiaran publik yang
sehat (cocok) bagi anak.
Daftar Pustaka

Andi Wiramihardja, S. A. (2012). Pengantar


Psikologi Klinis. Bandung: PT Refika Muslimin, & Ibrahim. 2000. Pembelajaran
Aditama. Kooperatif. Surabaya: UNESA.

Burt, S. A., Donnellan, M. B., Iacono, W. Nasution, Wahyudin Nur. Efektivitas Strategi
G., & McGue M. (2011). Age-of-Onset or Pembelajaran
Behavioral Sub-Types? A Prospective Koperatif dan ekspositori Terhadap
Comparison of Two Approaches to Hasil Belajar Sains Ditinjau Dari Cara
Characterizing the Heterogeneity within Berpikir
Antisocial Behavior. Journal Abnormal (http://rafiud.wordpress.com/assalamualaiku
Child Psychology. 3, 633- 644 m/ciri kooperatif).
http://neweresources.pnri.go.id/llibrary.php?
id=00001. Rodkin, P.C., Farmer, T.W., Pearl, R., Van
Acker, R., Herrenkohl, T.I., Huang, B.
Fortin, Laurier. (2003). Students’ Antisocial et al.(2000). Heterogeneity of
and Aggressive Behavior: Development popular boys: Antisocial and prosocial
and Prediction. Journal of Educational configurations. A comparison of
Administration, 41(6), 669-682. social development processes leading to
http://www.emeraldinsight.com/researchregi violent behavior in late
ster. adolescencefor childhood initiators and
adolescent initiators of violence.
Hurlock Elizabeth (2001).Child DevelopmentalPsychology, 36, 14–24.
Development. New York: Mc. Graw Hill https://ntalagewang.wordpres
Book. Co. Inc. s.com/2011/02/24/pembelajaran-
kooperatif
Lier, C. V. & Vitaro, F. (2007). Onset of Supratiknya. (2012). Mengenal Perilaku
Antisocial Behavior, Affiliation with Abnormal. Yogyakarta: KANISIUS.
Deviant Friends, and Childhood
Maladjustment: A Test of The Schaefer dan Willman (1981) Anak
Childhoodand Adolescent-Onset Berkesbutuhan Khusus: Anti Sosial
Models. Development and http://kunjungisaya13.blogspot.co.id/
Psychopathology, 19, 167–185, 2012/04/anak-berkemampuan-
http://new- khusus-anti-sosial
eresources.pnri.go.id/library.php?id= Walgito. B. (2003) Psikologi Sosial (Suatu
00001. Pengantar) Yogyakarta:
Yusuf, Syamsu L.N (2004). Psikologi
Mujiono, & Dimyati. 2002. Belajar dan Perkembangan Anak dan Remaja.
Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
KEPRIBADIAN ANTISOSIAL: FOKUS PADA WHITE-COLLAR CRIME
Ivana Sajogo *
Didi Aryono Budiyono **
*Dokter, Peserta PPDS I Psikiatri Departemen/SMF Psikiatri FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya
**
Staf pengajar pada Departemen/SMF Psikiatri FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Abstrack
Antisocial patients are perhaps the most extensively studied of all those with persoality disorders, but they are
also the patients whom clinicians tend to avoid the most. They have been referred to as “psychopaths”,
“sociopaths”, and “character disorders” terms that, in psychiatry, have traditionally been equated with being
untreatable. The term psychopath has grown again in popularity in recent years as a diagnostic term that
implies particular psychodynamic and even biological features that are not captured in the DSM-IV-TR criteria
of antisocial personality disorder (ASPD). A comprehensive understanding of ASPD must begin with
recognition that biological factors clearly contribute to the etiology and pathogenesis of the disorder.
(Gabbard,2000) In practice, ASPD is often linked to criminal behaviour. White collar crime (WCC) is a subtle
crime with minimum risk to get caught and even if caught. Unfortunately, most people do not perceive it as
serious as crime against other human being such as burglary or rape. (Hare,2000)
Can they not be treated? Diagnosis and treatment often become difficult because it is related to the stigma
which give significans effect to the patient’s life with ASPD. (Rodrigo, 2010)

Key words : antisocial personality, white-collar crime

1. PENDAHULUAN
Gangguan kepribadian antisosial, awalnya menunjukkan kelompok perilaku kriminal
yang terjadi. Psikopat ditentukan oleh karakter pribadi dan perilaku sosial yang menyimpang.
Kebanyakan kriminal bukanlah psikopat, namun banyak individu yang bekerja di “bawah
bayangan hukum” tetap bebas sebagai psikopat. (Hare, 2006)
Dalam perspektif WCC tidak mudah menggambarkan suatu makna, menarik, karena
menyangkut dan menyentuh aspek yang dilihat tetapi tidak dilihat, yaitu terlibatnya individu
terhormat dalam suatu komunitas/negara. Mereka diharapkan memberi contoh dan teladan,
ternyata menjadi kapten korporasi. Jika awalnya diarahkan kepada perbuatan, dalam
perkembangan diarahkan kepada individu yang melakukan dan selanjutnya korporasi itu
sendiri. (Sahetapy, 1994)

1
2. PSIKOPAT, SOSIOPAT DAN ANTISOSIAL
Secara harafiah psikopati berarti sakit jiwa-berasal dari kata psyche, jiwa dan pathos,
penyakit. Masyarakat awam menyebutnya “gila” (Hare, 2006)
Pada tahun 1952 dalam psikiatri terjadi revisi nomenklatur kepribadian psikopatik
menjadi kepribadian sosiopatik. Tahun 1968, terminologi kepribadian sosiopatik berubah
menjadi bentuk gangguan kepribadian antisosial, yang dipakai sampai sekarang ini.
(Cleckley, 1988; Rodrigo, 2010)
Ciri-ciri psikopat menurut Psychopathic Checklist-Revised sebagai berikut: fasih
berbicara dengan daya tarik yang superfisial, merasa diri berharga, berbohong, menipu dan
manipulatif, emosi dangkal atau kurangnya rasa bersalah, kurangnya empati dan sifat tidak
berperasaan, gaya hidup parasit, rendahnya kontrol perilaku, perilaku seksual yang
sembarangan, tidak realistik, impulsif, tidak bertanggung jawab, gagal mengerjakan tanggung
jawab pribadi, relasi pernikahan yang pendek, kenakalan masa remaja, pandai dalam tindak
kriminal. (Pasanen & Lee, 2008; Blair, 2010; James, 2010)
Sosiopat hanya peduli terhadap keinginan dan kebutuhan mereka, sangat selfishness
dan egosentris. Terbanyak pada pria, meningkat juga pada wanita. Mereka memiliki
temperamen normal, beberapa bersikap agresif, tidak punya rasa takut, yang lain dikenal
sebagai manipulator. (James, 2010)

3. MEMAHAMI KEPRIBADIAN ANTISOSIAL


Banyak pembaca terkejut mengetahui beberapa sifat terbaik mereka menunjukkan ciri-
ciri kepribadian antisosial, dalam bentuk pasif, contoh Christopher Columbus. Petualangan
membuat mereka dikagumi dan disebut jantan. Mereka adalah orang yang menyukai
tantangan, menganggap orang-orang dapat menjaga diri mereka sendiri, persuasif secara
interpersonal dan enggan untuk menetap. Di masa kanak dan remaja mereka nakal,
pemberani dan kuat saat dewasa. (Millon & Davis, 2000)
Dissenting Personality (kepribadian yang kerap berselisih) mewakili varian antisosial
lingkup normal, sedikit lebih patologis. Melakukan segala hal dengan cara mereka sendiri,
mau menanggung konsekuensinya, kadang bermain-main dengan batas hukum untuk
mengejar tujuan/keinginannya. Mereka melihat diri sendiri sebagai orang merdeka,
berotonomi. Otoritas dipandang rendah. Tidak suka rutinitas sehari-hari, impulsif, tidak
bertanggung jawab, dapat memotivasi diri sendiri dan sangat kaya ide/kreatif. (Millon &
Davis, 2000)
2
Pribadi yang menderita disorder secara konsisten melanggar norma sosial melalui
aktifitas ilegal, sementara style antisosial meletakkan sistem nilai dirinya diatas nilai
kelompok. Jika pasien gangguan menggunakan berbagai bentuk kebohongan untuk mencapai
tujuannya, style pribadi antisosial sangat licin, cenderung menyiasati dan memutar fakta demi
keuntungannya tanpa harus nyata-nyata berbohong. Jika pasien gangguan terlalu impulsif
untuk mempertimbangkan konsekuensi tindakannya, style pribadi antisosial terlalu mengasihi
diri sendiri, tetapi tahu kapan ia harus menunda melakukan sesuatu demi kepuasan diri,
karena jika tidak hal itu akan melanggar norma sosial atau akan melukai diri sendiri atau
orang lain. Jika pasien gangguan mudah marah, agresif sampai berkelahi atau menyerang
berulang-ulang, style pribadi antisosial bertindak asertif dalam menciptakan kesan
kehadirannya secara fisik. Jika pasien gangguan secara sembrono mengabaikan keselamatan
dirinya dan orang lain, style antisosial melihat diri sendiri sebagai orang yang lebih resistant
terhadap risiko, tidak sembrono. Jika pasien gangguan secara konsisten tidak
bertanggungjawab terhadap pekerjaan dan kewajiban keuangannya, style pribadi antisosial
lebih suka merdeka dan menghabiskan uang untuk bersenang-senang sekarang daripada
menabung dengan bijaksana untuk masa depan. Akhirnya, jika pasien gangguan tidak
memiliki nurani/kesadaran dan merasionalisasi eksploitasi terhadap orang lain, style pribadi
antisosial secara agresif/impulsif melayani dirinya sendiri tetapi dalam batas moral, sosial dan
hukum. (Millon & Davis, 2000; Gabbard, 2005)

4. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi ASPD 2-3% populasi di Amerika. Mereka Gabbard, 2005 ditemukan di
daerah tengah kota yang miskin, banyak yang drop out dari sekolah. Populasi ASPD di
penjara kira-kira 75%. Perbandingan laki dan perempuan bervariasi dari 4:1 hingga 7,8:1.
Onset terjadinya sebelum usia 15 tahun. Pada laki-laki dapat lebih awal. (Cameron &
Rychlak, 1985; Farrington & Coid, 2003; Gabbard, 2005; Sadock & Sadock, 2007)
Antisosial dapat timbul pada perempuan. Perempuan yang menarik, menggairahkan
dengan pesona interpersonal, manipulatif sering dianggap histeria, histrionik dan borderline.
Setiap orang akan memberinya keuntungan tanpa ragu-ragu. Pola familial, 5 kali lebih sering
pada sanak saudara first degree dari laki-laki. (Gabbard, 2005; Sadock & Sadock, 2007)

3
5. ETIOLOGI
5.1 BIOLOGI
Antisosial merupakan gangguan moral brain. Area yang mengalami disfungsi adalah
amigdala, bagian sistem limbik yang berperan dalam emotional learning, aversive
conditioning, respon terhadap rasa takut dan emosi lain. Amigdala mengolah emosi
signifikan dari rangsangan eksternal, berinteraksi dengan hipokampus (tempat menyimpan
memori emosi) dan berinteraksi dengan fungsi kognitif korteks orbitofrontal dalam merespon
suatu rangsangan. Amigdala memungkinkan individu untuk belajar sesuatu (object) atau
perilaku yang baik dan buruk, sehingga sangat berperan dalam pengambilan keputusan secara
moral. Hal ini karena amigdala mempunyai hubungan timbal balik (reciprocal) dengan
korteks temporal. Oleh sebab itu individu antisosial dengan gangguan pada amigdala akan
sulit untuk bersosialisasi (Pasanen & Lee, 2008; DeLisi, 2009; Blair, 2010)
Selain amigdala, ventromedial prefrontal cortex (vmPFC) juga berperan dalam
perkembangan dan pengambilan keputusan secara moral serta mempertahankan perilaku
sosial yang dapat diterima. Informasi yang dihasilkan amigdala tidak hanya dikirim ke
temporal dan korteks visual namun dikirim juga ke vmPFC dan korteks orbitofrontal. Korteks
orbitofrontal berperan dalam mengontrol emosi dan menilai positive/negative reinforcement.
Hipoaktifitas dari amigdala dan korteks orbitofrontal, seperti juga disfungsi vmPFC
menunjukkan kepribadian yang keras kepala dan tidak berperasaan. (Pasanen & Lee, 2008;
DeLisi, 2009; Rodrigo, 2010)
Peranan serotonin, kortisol dan testosteron dalam perilaku agresi dan antisosial telah
dibuktikan. Fungsi kortisol secara fisiologis mempersiapkan individu untuk kondisi yang
sulit, membuat individu sensitif terhadap rasa takut dan melakukan penarikan diri yang tepat.
(Rodrigo, 2010)

5.2 GENETIK DAN POLA ASUH


Penelitian pada anak kembar membuktikan bahwa faktor genetik mempengaruhi
perkembangan antisosial. Angka kriminalitas 2-3 kali lebih tinggi pada kembar monozigot
dibandingkan kembar dizigot. (Gabbard, 2005)
Corley, menganalisa single nucleotide polymophism pada sampel remaja yang
berperilaku antisosial dan pecandu obat, didapatkan 2 gen yang berpengaruh yaitu CHRNA2
dan OPRM1. CHRNA2 akan mengkode pada reseptor α 2 nikotinik (mirip pada skizofrenia)

4
dan reseptor µ opiod (berperan pada penyalahgunaan zat). (Millon & Davis, 2000; Rodrigo,
2010)
Salah satu faktor risiko terburuk bagi perilaku antisosial adalah callous-unemotional
(CU) traits, digambarkan sebagai kurangnya empati, kurangnya perasaan bersalah, miskinnya
ekspresi emosi, relatif stabil dalam masa kanak-kanak sampai remaja. Kepribadian ini
menunjukkan sub-kelompok yang penting dari antisosial dan kenakalan remaja. Peneliti
behavioral genetics yakin faktor keturunan CU traits sangat kuat. Mereka menemukan gen
kekerasan dan perilaku antisosial menempati lokasi spesifik di otak. Begitu pula gen yang
mempengaruhi fungsi amigdala, meliputi gen tryptophan hydroxylase-2, gen neuropeptide Y,
dopamine catabolic enzyme catechol-O-methyltransferase dan MAO-A. (Kimonis, 2008;
DeLisi, 2009)

6. VARIASI KEPRIBADIAN ANTISOSIAL (Millon & Davis 2000)


Ragam antisosial dibawah ini, menggambarkan kombinasi gagasan yang diwariskan
langsung oleh teori evolusi.
Lima Variasi Kepribadian Antisosial

Sumber : Millon & Davis 2000, ‘The Antisocial Personality’, in Personality Disorder in Modern Life, New
York : John Wiley & Sons Inc., p.102-36
5
7. MEMAHAMI WCC (Sahetapy, 1994; Weisburd & Waring, 2001; Strade, 2002; Baker,
2004; Shuan, 2010)
Terlepas dari makna, perumusan serta ruang lingkup kejahatan korporasi, istilah yang
acapkali digunakan adalah WCC, organizational crime, organized crime, georganiseerde
misdaad, groepscriminaliteit, misdaad onderneming, business crime, syndicate crime.
Kejahatan korporasi, bukanlah suatu barang baru; yang baru adalah kemasan, bentuk serta
perwujudannya. Sifatnya dasarnya sama, bahkan dampaknya yang merugikan masyarakat
sudah dikenal sejak jaman dahulu.
Kriminologis dan sosiologis, Edwin Sutherland adalah orang pertama yang
mempopulerkan istilah “WCC” di tahun 1939. Ia menggambarkan sebuah kejahatan yang
dilakukan oleh seorang terhormat, memiliki status sosial tinggi, jaringan operasi besar dan
organisasi yang kuat. Termasuk yang dilakukan badan hukum/badan legal lainnya. Berupa
penipuan dan penggelapan pajak.
Henderson (1901), pengajar di University of Chicago telah berbicara tentang
“educated criminals”. Pemikirannya banyak dipengaruhi pemahaman religius, bahwa
pendidikan yang seharusnya menjadi dasar bangunan moral, ternyata membuka jalan untuk
pelbagai kejahatan. Edward Alsworth Ross (1907), pengajar di University of Stanford
menulis buku Sin and Society, menekankan aspek moral dan menyebut para pemimpin
korporasi yang melakukan kejahatan korporasi sebagai “criminaloid”, termasuk corporate
executives, para hakim yang korup, yang menerima uang suap (corrupt judges). Ross
menggambarkan mereka sebagai manusia serigala berbulu domba.
Paul Tappan (1911-1964), seorang doktor bidang sosiologi dan ilmu hukum,
menekanan aspek yuridis, apakah orang yang dinyatakan bersalah sudah diproses secara
hukum dan dipidana. Perbedaan menunjukkan persepsi yang bersifat gradasi, dari perbuatan
(fase pertama) ke orang (fase kedua) dan kemudian pada korporasi (fase ketiga), berikut akan
bergeser ke fase keempat yaitu faktor kolusi antara para birokrat yang berkedudukan dan
berkuasa dalam pemerintahan dengan para pimpinan korporasi.
Merujuk pada Nook Y (1993) dan Ruin JE (1996), tiga penyebab utama WCC yaitu : 1)
peluang melakukan kejahatan, 2) tekanan situasi pada individu, 3) persoalan yang
menyinggung integritas.

6
8. KEJAHATAN DAN KEPRIBADIAN (Millon & Davis, 2000; Reid, 2011)
Pada pinggir batas normal dan patologis, ditemukan orang-orang yang tidak pernah
berkonflik dengan hukum, karena mereka sangat efektif menutupi jejaknya. Orang-orang ini
memiliki kesediaan untuk menipu dan mengeksploitasi orang lain tanpa rasa bersalah, kendali
diri yang telah direncanakan dahulu seringkali membuat mereka tampak lebih sadis daripada
si antisosial. Tipe-tipe ini termasuk para industrialis dan wiraswasta yang mengambil manfaat
di area abu-abu hukum. Bagi politisi, dusta dan bermulut ganda adalah talenta yang
diperlukan untuk bertahan. Ketika terpojok, mereka memusatkan perhatian untuk meredakan
situasi dan berbohong. Mereka dengan sengaja menciptakan kebijakan publik yang begitu
kompleks sehingga aspek apapun dapat diarahkan untuk memberi kesan akan perhatian
khusus pada kejadian itu. Mereka semua adalah “premeditating antisocial” (pribadi antisosial
perencana yang telah memikirkan matang tindakan yang akan dilakukan).

9. PSIKODINAMIKA (Cameron & Rychlak, 1985; Millon & Davis, 2000)


Freud membayangkan 3 struktur dalam pikiran id, ego dan superego. Id, paling primitif
dari personality dan satu-satunya yang ada sejak lahir, bekerja berdasarkan prinsip
kesenangan. Dorongan seksual dan yang agresif harus segera direspon langsung: jika
seseorang membuatmu marah, bunuhlah.
Pertama, reward dapat diperoleh dengan mengikuti urutan tingkah laku tertentu,
misalnya, sebuah mobil baru membutuhkan uang, berarti membutuhkan perkerjaan layak,
dimana membutuhkan pendidikan/latihan tertentu. Inilah yang dikerjakan oleh “ego”. Ego
bekerja berdasarkan prinsip realitas.
Kedua, batasan pemenuhan keinginan dipaksakan oleh superego. Melalui peran model
penuh kasih tetapi tegas, anak-anak normal belajar bahwa orang lain merupakan individu
berbeda, memiliki perasaan dan kemampuan yang berbeda, tetapi sama berharganya seperti
dirinya sendiri. Dalam diri orang normal, superego yang dewasa berkembang menjadi
parental values dan larangan-larangan diinternalisasi sebagai conscience/kesadaran/hati
nurani dan ego ideal. Ego ideal terdiri dari nilai-nilai yang mengarah kepada aktualisasi diri,
apa yang seharusnya dilakukan seseorang untuk memperoleh self-esteem dan memenuhi
potensi khusus seseorang sebagai manusia.
Kepribadian antisosial mudah dimengerti dalam kerangka klasik psikoanalitis, ego
berkembang, tetapi superego tidak berkembang. Akibatnya seluruh kepribadian didominasi
oleh “id kanak-kanak“ beserta prinsip mengutamakan kesenangan. Sama seperti id tidak
7
memiliki toleransi atas rasa frustasi, pula antisosial. Mereka hanya dapat dihalangi oleh
ancaman hukuman yang konkrit.

10. DIAGNOSIS GANGGUAN KEPRIBADIAN ANTISOSIAL


Kriteria DSM-IV-TR (Gabbard, 2005; Sadock & Sadock, 2007) :
1. Terdapat pola pervasif dari sikap acuh tak acuh dan kekerasan untuk berkuasa atas orang
lain sejak 15 tahun, yang terdiri dari 3 atau lebih :
a. Gagal untuk menyesuaikan diri dengan norma sosial dan hormat pada tindakan
berdasarkan hukum, ditandai dengan berkali-kali melakukan tindakan yang
merupakan alasan ia ditahan
b. Ketidakjujuran, ditandai bohong berulang-ulang, menggunakan nama lain/menipu
c. Impulsivitas/kegagalan untuk merencanakan sesuatu
d. Mudah tersinggung, agresif, ditandai perkelahian berulang kali/penyerangan
e. Sikap acuh tak acuh yang sembrono terhadap keselamatan diri sendiri/orang lain
f. Tindakan tidak bertanggung jawab yang konsisten ditandai dengan kegagalan
berulang dalam mempertahankan perilaku bekerja yang konsisten/menghormati
kewajiban keuangan
g. Kurangnya rasa penyesalan ditandai dengan biasa saja/merasionalisasi dirinya
disakiti, dicuri, dianiaya oleh orang lain
2. Berusia minimal 18 tahun
3. Bukti terjadinya gangguan tingkah laku timbul sebelum 15 tahun
4. Timbulnya perilaku antisosial yang tidak terjadi pada keadaan skizofrenia/episode manik

12. PENATALAKSANAAN
Pengobatan biasanya dipaksakan/disertai ancaman/mungkin dikeluarkan dari
sekolah/dipecat dari pekerjaan/dihadapkan pada perceraian/dipenjarakan. Terapi
farmakologis dan terapi individual tidak efektif bagi antisosial murni. Beberapa terapis
percaya, perubahan seiring bertambahnya usia. Selama terapi, pasien-pasien ini dapat
berbohong, curang, mencuri, mengancam dan memperdaya. (Millon & Davis, 2000; Gabbard,
2005)
Antisosial dan perilaku agresif pada remaja yang menunjukkan CU trait disarankan
memakai metode terapi fisik seperti electric shock. Bila gangguan sangat berat dapat

8
dilakukan prefrontal lobotomy, topectomy dan transorbital lobotomy. (Cleckley, 1988;
Kimonis, 2008)
Salah satu terapi yang berkembang sejak akhir tahun 1970-an yaitu Multisystemic
Therapy (MST), melibatkan individu, keluarga dan lingkungan/extrafamilial (peer, sekolah,
tetangga). Pendekatannya sangat kompleks Target utama MST adalah mengurangi aktivitas
kriminal remaja, menurunkan perilaku antisosial bentuk lain seperti drug abuse, mengurangi
pengeluaran biaya dengan menurunnya penahanan.

13. PROGNOSIS
Sekali gangguan kepribadian antisosial berkembang, perjalanannya akan terus menerus,
perilaku antisosial memberat, biasanya terjadi pada remaja akhir. Prognosisnya bervariasi.
Beberapa laporan menunjukkan berkurangnya gejala pada usia tua. (Sadock & Sadock, 2007)

14. RINGKASAN
Semua psikopat adalah antisosial namun tidak semua kepribadian antisosial adalah
psikopat. (James, 2010) Faktor lingkungan memang menghasilkan perilaku agresi, tidak
adanya emosi dan sifat tidak berperasaan, namun ternyata aspek biologi memegang peran
penting. Dua area penting di otak yang berperan terhadap disfungsi psikopatik adalah
amigdala dan vmPFC. (Pasanen & Lee, 2008; DeLisi, 2009; Blair, 2010; Rodrigo, 2010)
Penggunaan pelbagai istilah atau ungkapan tidak lebih memudahkan permasalahan yang
bertalian dengan wcc. Makin diperkenalkan istilah ditambah unsur baru, maka persoalan
menjadi tambah rumit. (Sahetapy, 1994) Kepribadian dan kejahatan dihubungkan melalui 2
jalur. Pertama, secara ciri kepribadian dihubungkan dengan perilaku antisosial. Kedua,
melalui pernyataan individu yang memiliki kepribadian antisosial. (Reid, 2011) Prognosis
yang ada bervariasi. (Sadock & Sadock, 2007) Kemungkinan perubahan bertambah besar
seiring penambahan usia pasien. (Millon & Davis, 2000)

KEPUSTAKAAN
Baker JS Jr, 2004, ‘The Sociological Origins of White-Collar Crime’, in Legal Memorandum,
No.14, Published by The Heritage Foundation,
www.heritage.org/research/legalissues/lm14.cfm.

9
Blair RJR, 2010, ‘The Amygdala and Ventromedial Prefrontal Cortex in Morality and
Psychopathy’, TRENDS in Cognitive Sciences, vol.11, no.9.
http://www.sciencedirect.com.
Cameron N & Rychlak JF, 1985, ‘Personality and Substance Use Disorders’, in Personality
Development and Psychopathology A Dynamic Approach, 2nd edn, Houghton Mifflin
Company, Chicago, p.461-62.
Cleckley H, 1988, ‘Some Questions Still Without Adequate Answers’, in The Mask of
Sanity, 5th edn, CV Mosby Co, Georgia-USA, p.438.
Cleckley H, 1988, ‘An Outline of The Problem’, in The Mask of Sanity, 5th edn, CV Mosby
Co, Georgia-USA, p.11.
DeLisi M et al, 2009, ‘The Criminology of The Amygdala’, in Criminal Justice and
Behavior, 36; 1241. http://cjb.sagepub.com
Farrington DP, Coid JW, 2003, ‘Early Prevention of Adult Antisocial Behavior’. Published
by The Press Syndicate of The University of Cambridge, p1-26.
http://www.cambridge.com
Gabbard GO, 2005, ‘Cluster B Personality Disorders’, in Psychodynamic Psychiatry in
Clinical Practice, 4th edn, American Psychiatric Publishing Inc., USA, p.513-39.
Hare RD, 2006, ‘Tanpa Nurani’, dalam Aziza L (ed), PT. Graha Media Medika, Jakarta, p.1-
210.
James BL, 2010, ‘Antisocial Personality, Sociopathy and Psychopathy’, in Personality
100.com. http;//www.personalitybook.com
Kimonis ER et al, 2008, ‘Assessing Callous–Unemotional Traits in Adolescent Offenders:
Validation of the Inventory of Callous–Unemotional Traits’, International Journal of
Law and Psychiatry, 31 241–252.
Millon T & Davis R, 2000, ‘The Antisocial Personality’, in Personality Disorder in Modern
Life, John Wiley & Sons Inc., New York, p.102-36.
Multisystemic Therapy at A Glance, 2004, in MST Treatment Model,.
http://www.mstservices.com,
Pasanen A & Lee A, 2008, ‘Morality and Psychopathy’, in Cognitive Neuroscience, p.1-11.
Reid JA, 2011, ‘Crime and Personality : Personality Theory and Criminality Examined.
Student Pulse’ Academic Journal, vol. 3, issue 1. http://ww.studentpulse.com

10
Rodrigo C et al, 2010, ‘ The Antisocial Person: An Insight In To Biology Classification and
Current Evidence on Treatment’, Annals of General Psychiatry, 9:31.
http://www.annals-general-psychiatry.com/content/9/1/31.
Sadock BJ & Sadock VA, 2007, ‘Personality Disorders’, in Grebb JA, Pataki CS, Sussman N
(eds), Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry, 10th edn, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, p.798-99.
Sahetapy J, 1994, ‘Kejahatan Korporasi’, PT. Eresco, Bandung, Indonesia, p1-44.
Shuan SLH, 2010, ‘White-Collar Crime in Malaysia’, p.1-13.
Strade JK, 2002, ‘Introduction to White-Collar Crime’, in Understanding White Collar
Crime. Lexis Nexis, San Fransisco, p.1-13. http://www.lexis.com (sitasi 25 Nopember
2010).
Weisburd D, Waring E, 2001, ‘White-Collar Crime and Criminal Careers’, Published by The
Press Syndicate of The University of Cambridge, p.1-26. http://www.cambridge.com

11

Anda mungkin juga menyukai