Anda di halaman 1dari 13

PSIKOTERAPI

MAKALAH TERAPI REALITAS


Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah psikoterapi

Dosen Pembina : Aprilia Mega Rosdiana, M.Si

Disusun oleh :

Wildatul Chotimah (18410168)


Alvina Anggraini (18410187)
Ayu Annisa Ismira Ningrum (18410229)
Wanda Amalia Putri Widiarto (18410231)

KELAS F

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis dan tim panjatkan kehadirat Allah SWT. karena limpahan rahmat
dan hidayahnya-lah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam juga tak lupa
kami haturkan pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. yang telah menuntun kita dari
zaman yang gelap gulita menuju ke zaman yang terang benderang seperti saat ini.
Dalam proses penulisan makalah ini, kami telah mendapat banyak tantangan tetapi
berkat dukungan dan bimbingan dari orang-orang disekitar kami, baik itu dosen, orang tua,
kakak pembimbing, maupun teman, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Tentunya masih ada banyak kekurangan dalam makalah ini, tapi kami sangat berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Malang, Oktober 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI
Halaman Cover.........................................................................................................................1
Kata Pengantar.........................................................................................................................2
Daftar Isi...................................................................................................................................3
Bab I Pendahuluan……..........................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................4
C. Tujuan..............................................................................................................4
Bab II Pembahasan..................................................................................................................5
A. Konsep Dasar Terapi Realitas........................................................................5
B. Ciri-Ciri Terapi Realitas….............................................................................5
C. Tujuan Terapi Realitas...................................................................................7
D. Teknik Terapi Realitas...................................................................................7
E. Proses Konseling Terapi Realitas..................................................................9
F. Peran Konselor dalam Terapi Realitas.......................................................10
Bab III Penutup......................................................................................................................12
A. Kesimpulan....................................................................................................12
B. Saran...............................................................................................................12
Daftar pustaka........................................................................................................................13

3
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Perilaku dan motivasi yang ditunjukan setiap individu menunjukan bentuk
kepuasan kebutuhan manusia yang harus dipertanggung jawabkan. Hal ini disebabkan
karena individu tersebut telah memilih perilaku yang dilakukannya. Kenyataan yang
tidak selalu sama dengan yang diharapkan individu menuntut individu untuk mampu
menghadapi realitas dan memutuskan untuk tidak mengulangi perilaku di masa lalu
dengan melakukan atau memilih perilaku yang berfokus pada masa depan.
Kemungkinan individu mengalami kesulitan dalam mengubah perilaku yang berfokus
pada masa depan dan tidak menyalahkan perilaku yang diambil pada masa lalu
sehingga membutuhkan orang lain sebagai pendukung yang mengarahkan perubahan
perilaku tersebut dalam proses konseling.
Seorang terapis atau konselor membantu individu dalam merencanakan
perilaku yang spesifik dengan adanya komitmen untuk melaksanakan rencan-rencana
tersebut. hal ini berkaitan dengan identitas diri. Identitas diri sangat berperan dalam
memenuhi kebutuhan sosial individu melalui interaksi baik dengan diri sendiri
maupun dengan orang lain. Perubahan-perubahan perilaku mengikuti perubahan
identitas diri karena individu mengubah kebiasaan-kebiasaan untuk menjadi individu
yang lebih baik yang berfokus pada masa depan.
Bentuk terapi konseling yang dilakukan untuk mengubah perilaku yang
berfokus pada masa depan disebut terapi realitas olrh William Glasser. Proses terapi
realitas tersebut terapis berperan sebagai guru atau model agar klien mampu
menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhannya tanpa merugikan diri sendiri dan
orang lain. Oleh karena itu, pada makalah ini penulis ingin memaparkan terapi realitas
lebih mendalam dimana terapi realitas memfokuskan klien dapat memahami serta
menerima kemampuan dan batasan dalam dirinya.

b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar teori realitas?
2. Apa saja ciri-ciri terapi realitas?
3. Apa tujuan terapi realitas?
4. Bagaimana teknik pada terapi realitas?
5. Bagaimana proses konseling terapi realitas?
6. Apa saja peran konselor terapi realitas?

c. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar pada terapi realitas
2. Untuk mengetahui ciri-ciri terapi realitas
3. Untuk mengetahui tujuan terapi realitas
4. Untuk mengetahui teknik pada terapi realitas
5. Untuk mengetahui proses konseling terapi realitas
6. Untuk mengetahui peran konselor terapi realitas

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Terapi Realitas


Terapi Realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku
sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan
klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri
ataupun orang lain. Inti Terapi Realitas adalah penerimaan tanggung jawab
pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Glasser
mengembangkan Terapi Realitas dari keyakinannya bahwa psikiatri
konvensional sebagian besar berlandaskan asumsi-asumsi yang keliru. Terapi
Realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang
dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai suatu “identitas
keberhasilan”, dapat diterapkan psikoterapi, konseling, pengajaran, kerja
kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga, perkembangan
masyarakat
Terapi Realitas adalah suatu bentuk modifikasi tingkah laku karena,
dalam penerapan-penerapan institusionalnya, merupakan tipe pengondisian
operan yang tidak ketat. Salah satu sebab mengapa Glasser meraih popularitas
adalah keberhasilannya dalam menerjemahkan sejumlah konsep modifikasi
tingkah laku ke dalam model praktik yang relatif sederhana dan tidak berbelit-
belit.
Terapi Realitas berlandaskan premis bahwa ada suatu kebutuhan
psikologis tunggal yang hadir sepanjang hidup, yaitu kebutuhan akan identitas
yang mencakup suatu kebutuhan untuk merasakan keunikan, keterpisahan, dan
ketersendirian. Kebutuhan akan identitas menyebabkan dinamika-dinamika
tingkah laku, dipandang sebagai universal pada semua kebudayaan.
Menurut Terapi Realitas, akan sangat berguna apabila menganggap
identitas dalam pengertian “identitas keberhasilan” lawan “identitas
kegagalan”. Dalam pembentukan identitas, masing-masing dari kita
mengembangkan keterlibatan dengan orang lain dan dengan bayangan diri,
yang dengannya kita merasa relatif berhasil atau tidak berhasil.
Maka jelaslah bahwa Terapi Realitas tidak berpijak pada filsafat
deterministik tentang manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa manusia
adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini menyiratkan bahwa
konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya, orang
menjadi apa yang telah ditetapkannya.

B. Ciri-ciri Terapi Realitas


Terdapat delapan ciri-ciri terapi realitas, yaitu
1. Menolak adanya konsep penyakit mental

5
Menurut Glasser dalam Corey (2013), adanya gangguan tingkah laku
spesifik merupakan akibat dari ketidak bertanggung jawaban. Glesser
memaparkan bahwa gangguan mental berkaitan dengan tingkah laku yang
tidak bertanggung jawab dan kesehatan mental berkaitan dengan perilaku
yang bertanggung jawab. Hal ini menunjukkan bahwa terapi realitas
merupakan pendekatan yang tidak berkaitan dengan diagnosis psikologis.
2. Berfokus pada tingkah laku sekarang
Terapi realitas menekankan kesadaran mengubah tingkah laku bukan
mengubah sikap karena perubahan tingkah laku memengaruhi perubahan
sikap individu.
3. Berfokus pada masa sekarang atau saat ini
Pendekatan terapis realitas berfokus pada masa sekarang karena masa lalu
tidak dapat diubah. Terapis terbuka mengetahui aspek kehidupan klien
seperti ketakutan, harapan, dan nilai-nilainya. Terapis tidak hanya
memperhatikan masalah dan penyebabnya melainkan menekankan potensi,
kekuatan, keberhasilan, serta kualitas positif dari klien.
4. Menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai
Terapi realitas mendorong klien untuk menilai kualitas tingkah lakunya
berkaitan kegagalan yang dialami klien sehingga klien sadar dan mampu
melakukan perubahan positif.
5. Tidak menekankan transferensi
Pada terapi realitas, terapis tidak memerankan sebagai orang terdekat klien
tetapi sebagai diri sendiri dan membantu memenuhi kebutuhan klien
melalui hubungan personal yang tulus.
6. Menekankan aspek-aspek kesadaran
Terapi realitas menolak teori psikoanalisis yang menekankan
ketidaksadaran sebagai bentuk prasyarat perubahan kepribadian karena
mengelak suatu permasalahan berkaitan dengan ketidaktanggung jawaban
dan memaafkan tindakan menghindari kenyataan. Sedangkan terapi
realitas menekankan kesalahan yang dilakukan oleh klien hingga
mengalami kegagalan dan merencanakan tingkah laku yang positif secara
realitas dan bertanggung jawab.
7. Terapi realitas menghapus hukuman
Glasser dalam Corey (2013), menyatakan bahwa ketidak efektifan
menggunakan hukuman sebagai cara mengubah tingkah laku karena dapat
merusak hubungan antara terapis dan klien. Glasser membiarkan klien
mengalami konsekuensi tingkah lakunya dan meminta klien untuk mencari
penyebab konsekuensi tersebut sehingga mampu merencanakan apa yang
harus dilakukan kedepannya.
8. Menekankan tanggung jawab
Menurut Glasser dalam Corey (2013), menyatakan bahwa belajar
tanggung jawab merupakan proses belajar seumur hidup selain itu
mengajarkan tanggung jawab adalah inti dari konsep terapi realitas. Oleh

6
karena itu, terapi realitas bukan proses penyembuhan (healing process)
melainkan proses pengajaran (theaching process).

C. Tujuan Terapi Realitas


Sama dengan kebanyakan tujuan psikoterapi, tujuan umum terapi realitas
adalah membantu seseorang untuk mencapai otonomi. Pada dasarnya, otonomi
adalah kematangan yang diperlukan bagi kemampuan seseorang untuk
mengganti dukungan lingkungan dengan dukungan internal. Terapi realitas
membantu orang-orang dalam menentukan dan memperjelas tujuan-tujuan
mereka. Tujuan utama dari terapi realitas adalah membantu klien menjadi
rasional dan memiliki mental yang kuat, serta menyadari bahwa dia
mempunyai pilihan dalam memperlakukan diri sendiri dan orang lain. Selain
yang telah disebutkan diatas, ada beberapa tujuan terapi realitas, yaitu:
1. Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat
menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2. Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul
segala risiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya
dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3. Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
4. Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian
kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai
adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5. Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran
sendiri.

D. Teknik-Teknik Terapi Realitas


1. Questioning
Menurut Wubbolding (1988), teknik pertanyaan ini dapat
membantu terapis untuk memasuki dunia klien, mendapatkan data-data
yang diperlukan, memberikan informasi kepada klien, dan membantu
klien untuk mengontrol dirinya secara efektif. Terapis juga dapat
mengajukan pertanyaan dengan cara yang berbeda agar tidak terkesan
kaku dan monoton. Wubbolding (1998, hal. 163) juga percaya bahwa
pertanyaan dapat memberikan informasi dengan cara yang cerdik.
Misalnya, dalam bertanya pada klien, “Apa yang ingin kamu lakukan
malam ini untuk mengubah hidupmu menjadi lebih baik?”, informasi
telah tersedia. Tersedia pula pesan implisit: “Kamu harus mengontrol
hidupmu dan rencana terdekat akan membantumu mengatur hidupmu
lebih baik.” Pertanyaan memberi klien pilihan dan melalui pilihan,
klien mengontrol dirinya untuk mengubah hidupnya. Wubbolding
(1996) memperingatkan terapis untuk tidak terlalu sering bertanya
namun juga mengkombinasikannya dengan mendengarkan klien secara
aktif dan reflektif, saling berbagi persepsi dan pertanyaan lainnya.

7
2. Being Positive
Terapis realitas berfokus terhadap apa yang klien dapat
lakukan. Kesempatan diambil untuk menguatkan perilaku positif dan
perencanaan konstruktif. Pernyataan positif dibuat untuk pernyataan
mengenai penderitaan dan keluhan. Contohnya, bila klien berkata,
“Aku marah dengan apa yang Mary katakan hari ini,” terapis realitas
jangan membalas dengan, “Apakah hal ini sudah lama terjadi
padamu?” atau “Kamu merasa marah karena Mary tidak
memperlakukanmu dengan baik.” Terapis realitas sebaiknya membalas
“Apa yang akan kamu lakukan agar tidak marah lagi pada Mary?”
Terkait positif, terdapat dua kualitas yakni melihat segalanya sebagai
manfaat dan mengkomunikasikan harapan. Terapis realitas seringkali
bekerja dengan mantan pelanggar, penyalahguna narkoba dan lainnya.
Sangat penting untuk menekankan pada klien bahwa masih ada
harapan untuk masa depan mereka.
3. Metaphors
Memperhatikan dan menggunakan bahasa klien dapat
membantu dalam komunikasi dan pemahaman terhadap klien.
Misalnya jika klien berkata, “Ketika ia pergi, rasanya seperti atap
runtuh menjatuhi tubuhku”, terapis dapat membalas, “Bagaimana
rasanya ketika atapnya menjatuhi tubuhmu?”. Intinya adalah terapis
ikut berbicara dengan gaya persepsi personal klien.
4. Humor
Untuk mendukung sikap ramah yang terapis kembangkan pada
klien, adanya humor sangat sesuai. Terapis kadang memiliki
kesempatan untuk tertawa pada dirinya sendiri yang juga mendorong
klien melakukan hal yang sama. Hal ini akan menghilangkan tekanan
dari kekecewaan klien bila suatu rencana tidak terlaksana. Ketika
terapis dan klien dapat berbagi lelucon, terjadilah kesetaraan
kedudukan dan bertukar kebutuhan (kesenangan). Namun tentu saja
humor yang baik tidak dapat dipaksakan.
5. Confrontation
Pada teknik konfrontasi, terapis dapat tetap bersikap positif
dalam menyikapi alasan klien. Tidak menerima alasannya adalah salah
satu bentuk konfrontasi. Terapis tidak mengkritisi atau menentang
klien namun melanjutkan pekerjaan untuk mengeksplor perilaku
keseluruhan dan menyusun rencana yang efektif. Misalnya ketika Alan
berkata “Aku tidak akan bertemu dengan siapapun minggu ini. Aku
rasa itu tidak akan mengubah apapun,” terapis dapat membalas “Kamu
mengatakan tadi bahwa kamu kesepian dan ingin berteman. Sepertinya
ini penting untukmu.”
6. Paradoxical Technique
Teknik ini dilakukan dengan memberi instruksi yang
berlawanan pada klien. Misalnya, klien yang terobsesi untuk tidak

8
melakukan kesalahan apapun selama bekerja akan diinstruksikan untuk
membuat sebuah kesalahan. Bila klien mencoba melakukannya, berarti
klien telah berhenti mengontrol masalahnya untuk muncul. Sedangkan
bila klien menolak saran terapis, berarti perilaku tersebut memang
dikontrol. Teknik ini tidak terduga dan kadang sulit untuk dilakukan.

E. Proses Konseling Terapi Realitas


a) Keterlibatan
Keterlibatan untuk membangun hubungan dengan klien diyakini
menjadi faktor yang paling penting dalam semua jenis terapi. Tanpa
hubungan ini, langkah-langkah lainnya tidak akan efektif. Hal ini juga
dikenal sebagai pengembangkan hubungan yang baik dengan klien
(Glasser, 1981).
b) WDEP Model
Penggunaan akronim telah membantu dalam mengatur konsep untuk
praktek dalam setting terapi (misalnya REBT, DASAR-ID)
(Wubbolding, 2011). Model WDEP menyediakan kerangka kerja
untuk mengatur sesi terapi dan untuk membantu dokter mengingat
konsep Choice Theory dalam pekerjaan mereka (Wubbolding, 2000).
1. W=ingin (menjelajahi keinginan, kebutuhan, dan persepsi) "Apa
yang kamu inginkan?" Adalah pertanyaan utama terapis realitas yang
meminta kepada klien. Terapis membantu klien untuk memeriksa
“Quality World” dan 'bagaimana perilaku mereka ditujukan untuk
pindah ke persepsi mereka tentang dunia luar yang lebih terbuka
kepada keinginan batin mereka'’(Corey,2005). 2. D=Petunjuk/Arah
dan Melakukan. Terapi realitas menekankan perilaku saat ini dan oleh
karena itu, mengajukan pertanyaan, Apa yang kamu lakukan sekarang?
Apa yang kamu lakukan selama seminggu yang lalu? Apa yang akan
ingin kamu lakukan secara berbeda dengan minggu lalu? Apa berhenti
dari melakukan apa yang Anda katakan ingin lakukan? Bahkan jika
sebagian besar masalah berakar di masa lalu, masa lalu hanya dibahas
jika membantu untuk merencanakan hari esok yang lebih baik. 3. E =
evaluasi. Inti dari terapi realitas, sebagaimana telah kita lihat, adalah
meminta klien untuk membuat evaluasi berikut: "Apakah perilaku
Anda sekarang memiliki kesempatan yang layak untuk mendapatkan
apa yang Anda inginkan sekarang, dan itu akan membawa Anda ke
tujuan yang ingin anda pergi?". Proses evaluasi dianggap penting bagi
keberhasilan terapi ( Corey, 2005). 4. P=perencanaan dan komitmen.
Pertama apakah klien telah mengidentifikasi apa yang dia ingin ubah ,
disini ada kebutuhan untuk mengembangkan rencana dari beberapa
macam aksi. Jika rencana tidak berjalan maka dapat diganti dengan
yang lain. Kekakuan adalah dilarang di terapi realitas, fleksibilitas
adalah suatu kebajikan yang diperlukan. Wubbolding menggunakan
SAMIC3 singkatan untuk menjelaskan karakteristik rencana yang baik:

9
Simple (sederhana) mudah dimengerti, Attainable (dapat dicapai) klien
harus mampu melakukan apa yang ditentukan, Measurable (terukur)
segera (harus dilakukan sesegera mungkin), Involving melibatkan klien
C 3 : controlled (dikendalikan oleh perencana) committed (komitmen
untuk melakukan) continuously practiced (terus dipraktekkan)
(Corey,2005).
c) Mengevaluasi Perilaku Saat Ini
Terapis harus menekankan “ di sini “ dan “ sekarang” dengan klien,
berfokus pada perilaku dan sikap saat ini. Terapis meminta klien untuk
membuat pertimbangan nilai terhadap perilakunya saat ini. Dalam
banyak kasus terapis harus menekankan pada klien untuk menelaah
akibat dari perilakunya, tetapi hal ini penting bahwa penilaian dibuat
oleh klien bukan oleh terapis. Menurut glasser, hal ini penting bagi
klien untuk merasakan bahwa dia sedang dalam kontrol hidupnya
sendiri (Glasser, W. (1985).
d) Perencanaan Perilaku yang Tepat (Memungkinkan)
Merencanakan beberapa perilaku yang mungkin untuk bekerja lebih
baik. Klien mungkin perlu beberapa saran dan dorongan dari terapis,
tapi itu membantu jika rencana itu sendiri datangnya dari klien. Dalam
banyak kasus, masalah klien adalah hasil dari hubungan yang buruk
dengan seseorang, dan sejak klien tidak bisa mengubah perilaku
terhadap siapapun orang lain, terapis tersebut akan fokus pada hal-hal
yang klien bisa lakukan (Glasser,1985).
e) Komitmen pada Rencana
Komitmen pada rencana Peserta harus membuat komitmen untuk
melaksanakan rencana. Hal ini penting karena banyak klien akan
melaksanakan sesuatu untuk terapis, dimana mereka mengerjakan tidak
untuk mereka sendiri. Dalam beberapa kasus ini dapat membantu
untuk membuat komitmen dengan menulis (Glasser, 1980).
f) Tidak Ada Alasan, Tidak Ada Hukuman. Tidak Pernah Menyerah
Jika tidak ada hukuman, maka tidak ada alasan untuk menerima alasan
(Catatan bahwa hukuman dapat menjadi tidak efektif dengan klien
yang berencana untuk gagal) (Glasser, 1980).

F. Peran Konselor Terapi Realitas


Konselor berperan sebagai:
1. Motivator, yang mendorong konseli untuk: (a) menerima dan
memperoleh keadaan nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan
yang ingin dicapainya; dan (b) merangsang klien untuk mampu
mengambil keputusan sendiri, sehingga klien tidak menjadi individu
yang hidup selalu dalam ketergantungan yang dapat menyulitkan
dirinya sendiri.

10
2. Penyalur tanggung jawab, (a) keputusan terakhir berada di tangan
konseli; (b) konseli sadar bertanggung jawab dan objektif serta
realistik dalam menilai perilakunya sendiri.
3. Moralist; yang memegang peranan untuk menentukan kedudukan nilai
dari tingkah laku yang dinyatakan kliennya. Konselor akan memberi
pujian apabila konseli bertanggung jawab atas perilakunya, sebaliknya
akan memberi celaan bila tidak dapat bertanggung jawab terhadap
perilakunya.
4. Guru; yang berusaha mendidik konseli agar memperoleh berbagai
pengalaman dalam mencapai harapannya.
5. Pengikat janji (contractor); artinya peranan konselor punya batas-batas
kewenangan, baik berupa limit waktu, ruang lingkup kehidupan
konseli yang dapat dijalani maupun akibat yang ditimbulkannya.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Terapi Realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku
sekarang. Terapi Realitas adalah suatu bentuk modifikasi tingkah laku karena,
dalam penerapan-penerapan institusionalnya, merupakan tipe pengondisian operan
yang tidak ketat. Terapi Realitas berlandaskan premis bahwa ada suatu kebutuhan
psikologis tunggal yang hadir sepanjang hidup, yaitu kebutuhan akan identitas
yang mencakup suatu kebutuhan untuk merasakan keunikan, keterpisahan, dan
ketersendirian. Kebutuhan akan identitas menyebabkan dinamika-dinamika
tingkah laku, dipandang sebagai universal pada semua kebudayaan. Menurut
Terapi Realitas, akan sangat berguna apabila menganggap identitas dalam
pengertian “identitas keberhasilan” lawan “identitas kegagalan”. Dalam
pembentukan identitas, masing-masing dari kita mengembangkan keterlibatan
dengan orang lain dan dengan bayangan diri, yang dengannya kita merasa relatif
berhasil atau tidak berhasil.

Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari terapi realitas adalah jangka


waktu terapinya yang relatif pendek dan berurusan dengan masalah-masalah
tingkah laku sadar. Salah satu kekurangan terapi realitas adalah tidak memberikan
penerangan atau penekanan yang cukup pada dinamika-dinamika tak sadar dan
pada masa lampau individu sebagai salah satu determinan dari tingkah lakunya
sekarang laku sekarang.

B. Saran
Setelah mempelajari mengenai terapi realitas, diharapkan kita yang
merupakan calon-calon seorang konselor dapat memiliki wawasan yang luas.
Sehingga dalam pelaksanaan bimbingan konseling kita bisa menjalankan tugas
sesuai dengan teknik-teknik yang ada. Dan juga saran penulis bagi penulis
selanjutnya yang akan menyusun makalah dengan tema yang serupa agar lebih
memperhatikan tiap materi yang berkaitan dengan tema juga sumber-sumber yang
akan dipakai baik itu buku, jurnal, atau skripsi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Corey, G. (2013). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT. Refika
Aditama

Susilawati, L. P. et al. (2017). Bahan Ajar Materi Kuliah Psikoterapi I. Program Studi
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/9bce2706cd103e0013badd14
8d3f51f3.pdf diakses 9 Oktober 2020.

13

Anda mungkin juga menyukai