Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KONSELING REALITAS
(KOREAL)
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan dalam Konseling

Dosen Pengampu
Dr. Marjohan, M.Pd., Kons

Oleh:
Cici Wulandari (18006008)
Lucy Febria Ningsih (18006034)
Millenia (18006040)
Siti Hanifah(18006055)

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan
hidayahnya sehingga kelompok dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang
berjudul “Konseling Realitas “ dengan lancar.
Harapan kelompok semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kelompok dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Dalam pembuatan
makalah ini, kelompok mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada
kesempatan ini kelompok mengucapkan terima kasih kepada dosen Dr. Marjohan,
M.Pd., Kons. sebagai pengampu mata kuliah Pendekatan dalan Konseling dan juga
kawan-kawan yang membantu kelompok sehingga pembuatan makalah ini dapat
terselesaikan.
Akhir kata, Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan kelompok pada khususnya, kelompok menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu kelompok menerima
saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan.

Padang, 25 April 2020

Kelompok

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................2
A.Latar Belakang................................................................................................2
B.Rumusan Masalah...........................................................................................2
C.Tujuan Penulisan.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................4
A.Pandangan Filosofis Konseling Realitas..........................................................4
B.Konsep-konsep Pokok......................................................................................4
C.Teori Pilihan Sebagai Dasar Konseling Realitas.............................................6
D.Konseling Kelompok CTRT (Choise Theory Reality Therapy)......................9
E.Karakteristik Pendekatan Konseling Realitas..............................................10
F.Aplikasi Model Konseling..............................................................................13
G.Kelebihan dan KeterbatasanKonseling Realitas...........................................16
BAB III PENUTUP.........................................................................................................18
A.Kesimpulan....................................................................................................18
B.Saran..............................................................................................................18
KEPUSTAKAAN.............................................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Model konseling realitas di rumuskan oleh Wiliam Glasser, dengan lebih
berorientasi pada pengubahan tingkah laku klien melalui proses latihan. Ukuran
dari suatu tingkah laku salah suai atau betul suai amat tergantung dari bagaimana
tingkah laku itu sesuai dengan norma, bertanggung jawab dan berada dalam
kenyataan. Penyebab tingkah laku lebih banyak disebabkan oleh bagaimana
pengasuhan oleh orang tua, khususnya melalui cinta, disiplin, keteladanan dan
tanggung jawab (Taufik, 2017).
Oleh karena itu, dalam makalah kelompok akan membahas lebih rinci
mengenai konseling dengan pendekatan konseling realitas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yaitu:
1. Bagaimana pandanngan filosofis konseling realitas?
2. Bagaimana konsep pokok konseling realitas?
3. Bagaimana teori pilihan dasar konseling realitas?
4. Apa maksud dari konseling kelompok CTRT?
5. Apa karakteristik model konseling realistik?
6. Bagaimana aplikasi konseling realitas?
7. Apa saja kelebihan dan keterbatasan konseling realitas?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan bagaimana pandanngan filosofis konseling realitas?
2. Mendeskripsikanbagaimana konsep pokok konseling realitas?
3. Mendeskripsikan bagaimana teori pilihan dasar konseling realitas?
4. Mendeskripsikan apa maksud dari konseling kelompok CTRT?
5. Mendeskripsikan apa karakteristik model konseling realistik?

1
6. Mendeskripsikan bagaimana aplikasi konseling realitas?
7. Mendeskripsikan apa saja kelebihan dan keterbatasan konseling realitas?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Filosofis Konseling Realitas
Glasser (Taufik, 2017) meyakini bahwa motivasi tingkah laku semua
manusia didasarkan pada dua kebutuhan yaitu kebutuhan fisiologis dan
kebutuhan psikologis, Kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, udara segar
dan seks yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia. Sedangkan
kebutuhan psikologis terdiri dari dua jenis yaitu kebutuhan untuk mencintai dan
dicintai serta kebutuhan merasa berharga baik bagi dirinya sendiri maupun orang
lain. Lagi pula Glasser, (Hansen, dkk dalam Taufik, 2017) menyadari bahwa bila
tindakan seorang manusia dalam misalnya memberi dan menerima cinta dan
merasa berharga bagi dirinya sendiri dan orang lain, maka tingkah lakunya
adalah benar dan bermoral. Dua kebutuhan dasar psikologis ini tergabung dalam
satu kebutuhan yang disebutnya sebagai identitas. Pendekatan konseling Realitas
berpandangan, identitas sebagai bagian tersendiri, dan persyaratan dasar dari
keberadaan semua umat manusia.
Lebih lanjut Corey (Taufik, 2017), menguraikan bahwa kebutuhan-
kebutuhan yang esensi mengacu pada keadaan di sini, yaitu meliputi kebutuhan
untuk dicintai dan mencintai, kebutuhan untuk merasa berharga, kebutuhan untuk
memiliki hidup senang, dan kebutuhan untuk bebas dap mengontrol nasib.
Dengan demikian apabila seseorang tidak mampu memenuhi rentangan
kebutuhan dasarnya tersebut, maka mereka cenderung sering kali kembali kepada
bentuk-bentuk tingkah laku yang bersifat negatif.
B. Konsep-konsep Pokok
Menurut Hansen, dkk (Taufik, 2017), pada dasarnya terdapat dua konsep
pokok yang menjadi inti dari pendekatan Realitas yaitu:
1. Right, Reality dan Responsibility
Secara umum tingkah laku yang mencerminkan "success identity"
adalah yang diwarnai oleh Right, reality dan responsibility. Right adalah
kebenaran dari tingkah laku seseorang dengan standar norma yang berlaku

3
baik itu norma agama, hukum adat dan sebagainya. Orang yang mencuri,
korupsi, tidak bersih dan menyontek telah berada di luar kebenaran. Reality
adalah kenyataan, yaitu individu bertingkah laku sesuai dengan kenyataan
yang ada. Bentuk tingkah laku yang tidak Realitas, misalnya gosip, isu,
prasangka, dugaan, rasionalisasi dan sebagainya. Sedangkan responsibility
atau bertanggung jawab yaitu tingkah laku individu dalam memenuhi
kebutuhannya dengan menggunakan cara yang tidak merugikan orang lain,
Orang tua yang mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kebutuhan
anaknya, para pegawai yang sering terlambat, para remaja yang kecanduan
Obat bius, siswa yang melakukan tawuran, dan orang yang suka "jajan"
adalah ,contoh-contoh dari tingkah laku yang tidak bertanggungjawab.
Tanggung jawab, terdiri dari belajar bagaimana secara realistik
memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis dasar dan esensi. Dengan
konseling, konselor mengajar orang untuk menerima tanggung jawab,
menunjukkan bahwa mereka bukan korban dari keadaan tetapi hasil dari
keputusan dan perbuatan mereka. Dalam banyak cara pendekatan, Glasser
didasarkan pada eksistensial dan premis penomenologis. la beranggapan
bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk memilih tujuan-tujuannya dan
mengarahkannya dalam hidup. Bila orang membuat pilihan yang melanggar
kebebasan orang lain, maka tingkah laku mereka itu adalah tidak bertanggung
jawab. Esensinya adalah klien-klien belajar bagaimana mencapai kebebasan,
dimana kegiatannya itu tidak mengganggu orang lain.
2. Identitas Keberhasilan (success identity) dan Identitas Kegagalan (failure
identity)
Dalam proses perkembangan hidup seorang individu, terdapat
kecenderungan dalam dirinya untuk menganut suatu perasaan yang disebut
dengan “success identity” atau identitas keberhasilan dan "failure identity"
atau identitas kegagalan. Adapun yang menjadi tujuan konseling dengan
memakai pendekatan konseling Realitas ialah membantu orang mencapai
identitas keberhasilan. Orang yang mempunyai identitas keberhasilan, melihat

4
dirinya sebagai orang yang sanggup memberi dan menerima cinta, perasaan
dimana mereka berarti bagi orang lain, merasa diri berharga, merasa
dibutuhkan orang lain, dan memenuhi kebutuhannya dengan menggunakan
cara-cara yang tidak mengorbankan orang lain.
Orang yang mempunyai identitas kegagalan, mereka melihat dirinya
tidak dicintai, ditolak) tidak diinginkan, tidak dapat intim dengan orang lain,
tidak berkompeten, tidak memiliki komitmen dan umumnya tidak berdaya.
Secara khusus, individu dengan identitas kegagalan menghadapi suatu
tantangan hidup dengan keputusasaan, dan sering tidak dapat menyelesaikan
secara baik keadaan diri (self-fulfilling). Keadaan ini merupakan perkiraan dan
sebagai petunjuk lebih lanjut dari kehilangan kesuksesan, yang pada
gilirannya mendorong munculnya pandangan negatif terhadap diri sendiri dan
akhirnya orang melihat dirinya sebagai gagal atau putus asa dalam kehidupan.
Pendekatan konseling Realitas beranggapan bahwa kita pada akhirnya
menentukan diri, membuat keputusan yang tepat perlu diambil, sistem ini
dirancang Untuk mengajar orang apa yang dapat mereka praktikkan untuk
mengubah tingkah laku guna membantu mengurangi identitas kegagalan dan
untuk mengembangkan tingkah laku baru guna memperoleh identitas
keberhasilan.
C. Teori Pilihan Sebagai Dasar Konseling Realitas
Teori Pilihan merupakan teori yang membahas bagaimana manusia itu
bertingkah laku yang berdasarkan keinginan dari dalam diri individu dan
dunia realitas yang terwujud. Individu mengalami masalah apabila mereka
tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan. Di sinilah berawalnya peranan
Konseling. Pelaksanaan Konseling yang baik adalah apabila didasarkan pada
penggunaan teori, Terapi Realitas merupakan aplikasi terhadap teori pilihan.
Dalam Terapi Realitas, strategi WDEP (want, direction/doing, evaluation,
and planning), digunakan untuk membantu klien, Tegasnya seorang Konselor
harus memahami Teori Pilihan untuk memahami mengapa manusia

5
berkasalah dan clapat menggunakan Terapi Realitas guna membantu individu
dan kelompok (Taufik, 2017).
Corey (Taufik, 2017) juga menyatakan bahwa peranan utama terapi
adalah untuk mengajar klien membuat pilihan yang lebih berarti sewaktu
mereka bersama dengan individu penting yang dibutuhkan dalam kehidupan
mereka. Teori pilihan menjelaskan bagaimana memilih cara untuk bertingkah
laku yang dapat memperbaiki hubungan. Mengajarkan klien Teori Pilihan
juga merupakan salah satu bagian dalam Terapi Realitas.
Menurut Glasser (1984, 1998, 2001) pengguna Teori Pilihan
hendaklah memahami kebutuhan dasar individu yang meliputi kebutuhan
fisiologis dan psikologis. Kebutuhan fisiologis meliputi kebutuhan untuk
keberlangsungan hidup manusia (survival) yaitu menjelaskan aspek
kepentingan biologis individu terhadap makanan, air, tempat berlindung dan
seks. Manusia juga berusaha untuk memuaskan empat jenis kebutuhan
psikologis yaitu kebutuhan untuk berkuasa. (power), rasa memiliki
(belonging), kebebasan (freedom), dan kegembiraan (fun) (Ahmad Jazimin
dalam Taufik, 2017). Teori pilihan yang dirumuskan oleh William Glnsser
menekankan konsep lima kebutuhan dasar manusia yaitu kelangsungan hidup,
kasih sayang, dan rasa memiliki, berkuasa, kebebasan, dan kegembiraan
(Sommers-Flanangan dalam Taufik, 2017). Setiap manusia secara genetiknya
dikaruniai motivasi untuk memenuhi kebutuhan ini dengan tujuan untuk
menghindari "kesakitan" jika mereka gagal untuk memenuhinya (Fall, dalam
Taufik, 2017). Selain daripada itu Fall (Taufik, 2017) juga menyatakan bahwa
walaupun kebutuhan ini terkontrol, manusia juga berkeinginan agar semua
kebutuhan dirinya untuk memperoleh kesenangan dan kegembiraan. Oleh
karena itu, manusia harus bertanggungjawab terhadap pilihan yang ada guna
menuju ke arah perkembangan kepribadian sukses.
Teori Pilihan menekankan bahwa tingkah laku individu berasal
sepenuhnya dari “dunia da!am" individu itu sendiri, Dunia luaran tidak
memberi kesan pada diri individu, apabila individu mengutamakan kebutuhan

6
mereka sendiri, Fall (Taufik, 2017), menyatakan bahwa individu sejak
dilahirkan mempunyai potensi untuk menangani kebutuhan-kebutuhan
terhadap kehendak khusus yaitu individu, objek, atau keadaan yang
diinginkan dalam berusaha untuk memenuhi satu atau lebih kebutuhan, dan
untuk memperoleh kebutuhan ini melalui keseluruhan kehidupan.
Setiap orang mempunyai cara yang berbeda dalam memenuhi
kebutuhan dasar mereka. Berdasarkan pertimbangan setiap individu, akan
berupaya untuk memilih kebutuhan-kebutuhan mana yang ingin untuk
dipenuhinya. Tingkah laku dapat diwujudkannya setelah individu memilih
kebutuhan yang ingin dipenuhi itu.
Menurut Glasser (Taufik, 2017), konflik dapat timbul apabila apa yang
diinginkan (quality word), tidak sama dengan apa yang didapatkannya
(perceived word). Klien akan membuat pilihan berdasarkan kenikmatan
(pleasure) dan hal yang menyakitkan (painful) melalui perbandingan
(comparingplace) yang terwujud dalam dirinya. Masalah ini akan
mempengaruhi keseluruhan diri individu yang meliputi aspek tingkah laku,
pemikiran, perasaan dan fisik. Keseluruhan tingkah laku inilah yang akan
menyumbang kepada identitas sukses dan identitas gagal. Kepribadian gagal
terbentuk apabila individu gagal memenuhi prinsip kebutuhan dasarnya secara
bertanggungjawab. Kepribadian gagal biasanya kecewa dengan kehidupan
dan senantiasa menafikan kegagalan yang mereka hadapi untuk mengurangi
kesakitan yang dirasakannya, Akibat kekecewaan dan putus asa tadi,
kepribadian akan memilih simptom negatif dan akhirnya mengalami tingkah
Iaku yang tidak efektif. Individu dengan identitas gagal ini akan melarikan
diri dari tanggung jawab setelah emosi dan pemikirannya terganggu (Glasser,
1965; 1998 dan 2000). Maka, di sinilah besarnya peranan Konselor yang
menggunakan Terapi Realitas untuk membantu individu yang mengalami
identitas gagal tersebut.

7
D. Konseling Kelompok CTRT (Choise Theory Reality Therapy)
Dalam Konseling kelompok yang menggunakan CTRT, Konselor
membantu anggota kelompok menghadapi realitas kehidupan yang
sebenarnya. Menurut Glasser (Corey dalamm Taufik, 2017) teori mengajar
manusia untuk mendapat kontrol dalam hidup dengan efektif apabila mereka
menyadari dan menerima tanggung jawab tingkah laku yang mereka pilih dan
membuat pilihan agar lebih baik. Klien sendiri yang menentukan tujuan hidup
secara bebas dan tidak bergantung kepada orang Iain. Konselor membantu
anggota kelompok untuk memahami bahwa mereka mempunyai kendali
secara tidak langsung atas perasaan mereka melalui memilih, bertindak dan
berpikir.
Terapi Realitas dapat dikonsepkan sebagai lingkungan Konseling yang
mengandung dua komponen yaitu menciptakan lingkungan konseling dan
mengimplementasi prosedur khusus yang membawa kepada perubahan dalam
tingkah laku, sesi Konseling kelompok menggunakan teori realitas dapat
mengurangi tingkah laku dengan cara membawa klien untuk menilai
kehidupan mereka dan memutuskan untuk bergerak kepada tingkah laku yang
lebih efektif. Terapi Realitas mempunyai satu set prosedur yaitu sistem
WDEP yang membantu ke arah perubahan (Taufik, 2017).
Menurut anggota CTRT, lingkungan Konseling dapat bercirikan
murni, benar, akrab, mengambil peran dan bertanggungjawab, Kepercayaan
dan keakraban (rapport) dimantapkan dengan mendengar apa yang
disampaikan oleh klien dalam kelompok. Ciri yang ada pada klien
menunjukkan Konselor Percaya bahwa klien mempunyai nilai pribadi,
kecakapan dan kemampuan untuk sukses serta tingkah laku
bertanggungjawab. Dalam sesi Konseling kelompok realitas, Konselor melihat
"dunia" anggota kelompok dari sudut pandang anggota kelompok sendiri
melalui hubungan yang akrab dan erat antara Konselor dan anggota
kelompok. Apabila hubungan antar anggota kelompok, dan Konselor dengan

8
anggota kelompok, akan dapat menilai apa yang mereka inginkan dari
keseluruhan tingkah laku yang mereka pilih (Taufik, 2017).
Konseling kelompok menggunakan model CTRT) yaitu mengajar
anggota kelompok tentang nilai-nilai, dan menerima tanggung jawab atas
mengubah keseluruhan tingkah laku. Anggota kelompok yang membuat
pilihan untuk berubah, namun tidak mengikut rencana yang dibuat untuk
berubah. Hal ini menunjukkan anggota kelompok merencanakan untuk gagal.
Anggota Terapi Realitas mengandaikan bahwa hukuman tidak berarti untuk
perubahan tingkah laku. Sebaliknya, anggota kelompok terasa ditantang oleh
Konselor untuk melihat kesan dari tingkah lakunya. Cara yang dijalankan
dalam Terapi Realitas adalah mendidik klien untuk bertanggung jawab
terhadap berbagai keputusan yang sudah diambilnya (Taufik, 2017).
Menurut ahli Terapi Realitas, prosedur ke arah perubahan didasarkan
pada anggapan, bahwa manusia mampu untuk apabila anggota kelompok
nyaman dengan tingkah laku saat ini, dan tidak membawa kepada apa yang
mereka inginkan. Apabila anggota kelompok percaya dapat memilih tingkah
laku lain yang membawa mereka menjadi lebih baik, Intervensi yang spesifik
digunakan dalam teori realitas berdasarkan hubungan yang dapat dipercaya
dan dijelaskan oleh lingkungan. Prosedur yang ditentukan adalah formula
yang menggunakan akronim WDEP sebagai kata yang menjelaskan aplikasi
teori realitas, Setiap perkataan merujuk kepada strategi yaitu (Taufik, 2017):
W = want, Needs and Perception (Kehendak, kebutuhan dan persepsi)
D= Direction and Doing ( melakukan)
S= Self-Evaluation (Penilaian diri)
P =Planing and Commitment (Rencana dan komitmen)
E. Karakteristik Pendekatan Konseling Realitas
1. Menolak model medis
Pendekatan konseling Realitas menolak konsep pskiatrik konvensional
dari sakit mental dan praktek diagnosis psikologis. Praktik psikodiagnosis
memberi label individu sebagai psikotik, sosiopath atau apapun. Bagi

9
konseling Realitas hal ini relatif tak berguna-lebih buruk lagi hal ini
memungkinkan seseorang mengartikan dimana mereka dapat menyangkal
tanggung jawab terhadap kegagalan yang dihadapinya, Glasser berpikiran,
bahwa kesehatan mental adalah sejajar dengan tanggung jawab seseorang
dalam memenuhi kebutuhan atau dorongan, dan sakit mental adalah terjadi
apabila orang tidak dapat mengontrol dunia dalam memuaskan
kebutuhannya, Psikosis dapat dikatakan sebagai "aktivitas gila" yang mana
dia tidak dapat mengontrol dengan baik diri dunianya, yang psikotik adalah
orang yang memiliki keyakinan dan salah bekerja dengan dunia nyata, yang
mereka terima sebagai menyakitkan dan mereka berpikir bahwa mereka
tidak akan dapat menanganinya. Umumnya individu yang psikotik, asyik
dengan dunia pribadi mereka, memiliki kekacauan persepsi dan pikiran, dan
mereka memiliki sedikit hasrat untuk menangani dunia nyatanya (Taufik,
2017).
2. Penekanan Pada Saat Sekarang
Teori psikodinamik menekankan pengaruh masa lalu, khususnya pada
pengalaman klien masa kanak-kanak. Pendekatan konseling Realitas
menekankan pada isi tingkah laku, dan perhatiannya pada masa lalu hanya
sepanjang bagaimana masa Ialu itu dapat mempengaruhi tingkah laku klien
sekarang. Fokusnya pada masa sekarang, adalah ciri dari pertanyaan yang
sering dikemukakan konselor "apa yang dapat dilakukan sekarang". Glasser
(Taufik, 2017) mengemukakan bahwa penekanan pada masa sekarang
tidaklah menunjukkan bahwa konseling Realitas menolak anggapan bahwa
masalah-masalah berakar pada masa lalu, bila segala sesuatu yang dilakukan
orang adalah berhubungan dengan masa lalunya.
Perlu dicatat bahwa masa lalu didiskusikan jika dapat membantu klien
merencanakan yang terbaik untuk masa yang akan datang. Bila masa lalu
dijelajahi, maka penekanannya hendaklah pada kesuksesan, tidak pada
kesengsaraan. Suatu pertanyaan dapat muncul dalam hal ini yaitu : apakah
harus dihindari melihat kembali kegagalan masa lalu. Jawabannya adalah kita

10
upaya penanganan pada masa sekarang, untuk itu kita tidak membutuhkan
melihat pada masa lalu (Taufik, 2017).
3. Mementingkan Aspek Nilai
Tidak sebagaimana pendekatan terapeutik konvensional, konseling
Realitas menekankan pentingnya klien dihadapkan pada isu-isu tingkah laku
yang benar dan yang salah, tingkah laku yang konstruktif dan yang merusak.
Tugas konselor adalah mengonfrontasikan klien-klien dengan akibat-akibat
dari tingkah laku itu pada mereka untuk mempertimbangkan kualitas dari
perbuatan mereka. Menurut Glasser (Taufik, 2017), jika klien melihat secara
jujur tentang tingkah laku mereka dan membuat pertimbangan tentang itu,
mereka dapat melihat apa yang telah mereka kerjakan itu berkontribusi
terhadap kegagalan. Memang, kecuali kalau klien akhirnya
mempertimbangkan tingkah laku yang didapat, mereka tidak akan merubah.
Pendeknya, konselor mendorong klien-kliennya untuk mempertimbangkan
nilai tentang kualitas tingkah laku mereka untuk berikut menentukan apa
yang berkontribusi bagi kegagalan mereka dan perubahan apa yang dapat
dilakukan untuk meraih kesuksesan.
4. Tidak Menekankan Transferensi
Berlawanan dengan teori-teori psikodinamik yang berpandangan
bahwa hubungan transferensi adalah inti dari proses terapeutik, konseling
Realitas melihat transference sebagai tidak penting. Glasser (Taufik, 2017)
puas bahwa orang tidak mencari suatu kilas balik dari ketidaksuksesan dalam
masa lalu mereka, dari mencari pemuasan hubungan interpersonal sekarang
pendekatan konseling Realitas memerlukan hubungan antara konselor dan
klien Glasser mengatakan "kita berhubungan dengan klien sebagai diri kita
tidak sebagai figur transferen", Tambahan juga bahwa konseling Realitas
melihat tranferen yang dapat mendorong cara konselor untuk
menyembunyikan pribadi dan yang dapat mencegah keterbukaan antara klien
dan konselor. Selama kegiatan konseling, bisa terjadi ketergantungan yang
dalam pada konselor pada suatu waktu. Karena itu klien didorong untuk

11
menjadi tidak tergantung yang pada akhirnya melalui treatmen, mereka akan
mampu menanganinya secara efektif dan memelihara realitas.
5. Pendekatan Pada Faktor Kesadaran
Sebagaimana konsep transferen, peranan ketidak-sadaran sedikit
menjadi perhatian konseling Realitas dan dilihat sebagai hal yang sering kali
merugikan proses terapeutik. Glasser (Taufik, 2017) mengatakan "penekanan
pada ketidaksadaran menyimpang dari isu utama yaitu dari tanggung jawab
pasien dan memberikan dia maaf untuk menghindari kenyataan”. Di pihak
lain, Glasser (Taufik, 2017) mengemukakan bahwa walaupun pemahaman
barangkali menarik, tetapi hal itu penting bagi pengubahan tingkah laku. Bila
perubahan dalam tingkah laku didasarkan pada pertimbangan yang penting
bagi proses terapeutik, kekusutan dalam ketidaksadaran adalah dengan jelas
dipertimbangkan bagi suatu aktivitas yang tidak dapat dijalankan.
F. Aplikasi Model Konseling
1. Tujuan Konseling
Tujuan utama dari konseling Realitas adalah mengajar seseorang
dengan cara-cara terbaik untuk memenuhi kebutuhannya dan membantu
mereka secara efektif memperoleh apa yang diinginkan dalam hidup, Glasser
(Corey dalam Taufik, 2017) mengatakan: “saya ingin mengajar seseorang
bagaimana dia mengontrol tingkah laku, tetapi juga menilai dan
meningkatkan persepsi dan dunia internal mereka". Secara khusus, Corey
(Taufik, 2017) merumuskan tujuan konseling kelompok Realitas sebagai
berikut:
a. Membimbing para klien ke arah belajar realistik dan tingkah laku yang
bertanggung jawab dan mengembangkan suatu "identitas keberhasilan".
b. Untuk membantu klien membuat pertimbangan nilai tentang tingkah
laku-tingkah laku mereka dan memusatkan suatu rencana untuk
mengubah tingkah laku yang tidak tepat.
2. Proses dan Teknik Konseling

12
Taufik (2012: 226) menjelaskan bahwa dalam proses konseling perlu
ditekankan bahwa hanya klien sendiri yang dapat membuat dirinya bahagia
dan hanya apabila ia mau menghadapi kenyataan dan bertanggung jawab pada
dirinya sendiri. Konselor harus dapat menciptakan suasana yang hangat dan
memahami lingkungan, serta meyakinkan klien bahwa ia mempunyai
kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Glasser dan Wubbolding (dalam Corey, 2009) merumuskan prosedur
tersebut dalam sebuah akronim WDEP (wants, direction and doing,
evaluation, and planning).
a. Wants (mengeksplorasi keinginan, kebutuhan, dan persepsi) Pertanyaan
yang dilontarkan kepada klien adalah “apa yang diinginkannya?”. Dalam
prosesnya klien didorong untuk mengenali, mendefinisikan, dan
mendefinisikan ulang harapan yang diinginkan klien. Eksplorasi ini
berlangsung secara kontinu selama proses konseling sejalan dengan
perubahan yang dialami klien.
b. Direction and doing Pertanyaan yang dikemukakan terapis pada tahap ini
adalah “apa yang dilakukan klien”. Meskipun masalah yang dihadapinya
sekarang berkaitan dengan kehidupan sebelumnya, namun klien harus
belajar untuk mengatasi masalah mereka sekarang dengan mempelajari
cara terbaik untuk mencapai keinginan mereka. Masa lalu didiskusikan
jika hal itu membantu klien untuk membuat perencanaan yang lebih baik
dimasa sekarang dan akan datang. Di awal konseling juga sangat penting
untuk mendiskusikan arah kehidupan klien secara keseluruhan, termasuk
apa tujuan mereka dimasa yang akan datang dan apa yang mereka
lakukan untuk mencapainya.
c. Evaluation Selanjutnya klien juga diminta untuk mengevaluasi perilaku
mereka dalam kaitannya dengan tujuan yang mereka inginkan. dapat
dilakukan dengan menanyakan apakah perilaku mereka sekarang dapat
membantu untuk mencapai harapan atau tujuan yang diinginkannya,
apakah perilaku yang ditampilkan cukup realistis, atau apakah pikiran,

13
perasaan, dan tindakan mereka sejalan atau tidak. Dalam hal ini terapis
melakukan konfrontasi antara perilaku yang ditampilkan dengan
konsekuensi yang diperoleh, kemudian menilai kualitas tindakan mereka.
Melalui proses ini klien melakukan self-assessment yang membantu
mereka untuk bersedia melakukanperubahan.
d. Planning and commitment Ketika klien sudah menentukan apa yang harus
mereka rubah, maka umumnya mereka lebih siap untuk mengeksplorasi
alternatif perilaku lain yang dapat dilakukan dan membuat perencanaan.
Dengan membuat perencanaan bersama dengan konselor, maka
diharapkan klien dapat memiliki komitmen untuk melaksanakan rencana
yang telah dibuatnya. Meski demikian ketika klien belum menunjukkan
komitmennya maka konselor mengingatkan akan tanggung jawab.
terhadap tindakan dan pilihannya.
3. Suasana Konseling
Situasi konseling adalah situasi belajar. Glesser tidak mengemukakan
teknik-teknik khusus. Dia hanya mengemukakan prinsip-prinsip umum yang
digunakan secara fleksibel oleh konselor dalam upaya klien memenuhi
kebutuhannya. Glesser dan Zunin (dalam Hanser dkk, 1997) mengemukakan
8 prinsip yang perlu diperhatikan selama dia menyelenggarakan konseling,
yaitu :
a. Mementingkan Hubungan Personal
b. Berfokus Pada Tingkah Laku Tidak Pada Perasaan
c. Berfokus Pada Masa Sekarang
d. Mempertimbangkan Nilai
e. Membuat Perencanaan
f. Terikat Pada Komitmen
g. Tidak Mema’afkan atau Menerima Alasan
h. Penghapusan Hukuman

14
G. Kelebihan dan KeterbatasanKonseling Realitas
1. Kelebihan
Karakteristik pendekatan konseling realitas secara khusus menekankan
pada akuntabilitas. Misalnya apabila partisipan kelompok menunjukkan
hasrat untuk mengubahtingkah laku tertentu, pemimpin menantang anggota
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang perlu dilakukan secara
pribadi fakta menunjukkan memang anggota, dan tidak pemimpin yang
menilai tingkah laku mereka dan memutuskan perilaku apa yang mereka
ingin ubah.
Salah satu keputusan yang mempengaruhi pengubahan tingkah laku,
pendekatan konseling Realitas menyediakan struktur bagi anggota dengan
membuat rencana-rencana khusus dan membuat kontrak, menjalankannya
dan menilai tingkat keberhasilan mereka dalam mengubah tingkah laku.
Prosedur kerja konseling ini berorientasi-aksi yang berguna membantu
membawa anggota-anggota pada apa yang mereka pelajari dalam kelompok
ke dalam kehidupan sehari-hari.
Aspek lain dari pendekatan konseling realitas yang disokong Corey
(1985) termasuk ide-idenya yang tidak menerima alasan dari gagalnya
pelaksanaan kontrak dan menghindari hukuman atau menyalahkan. Jika
orang telah gagal dengan suatu rencana yang telah dibuat, maka adalah
penting didiskusikan dengan mereka apakah cara-cara mereka kurang tepat,
barangkali tujuan-tujuan mereka tidak realistik atau ada ketidakcocokan
antara apa yang mereka katakan ingin diubah dengan apa yang mereka benar-
benar ingin ubah.
2. Keterbatasan
Beberapa hal yang menjadu objek kritikan pendekatan konseling
realitas bahwa dianggap terlalu sederhana dan dangkal. Diakui bahwa kritik
pendekatan konseling realitas pada daerah ini. Glasser juga menyetujui
bahwa 8 tahap dari pendekatan ini adalah sederhana dan jelas lebih
menekankan pada praktek dan tidak ada materi yang sederhana.

15
Keterbatasan lain yang dilihat oleh Gerald Corey (1985) ialah
kecenderungan untuk membantu dengan mengabaikan masa lalu klien secara
ekstrim, walaupun benar bahwa fokus pada masa lalu dapat merupakan
penghindaran dari tanggungjawab sekarang, maka meniadakan peranan masa
lalu dapat dengan mudah menjadi petunjuk bagi suatu pandangan yang
dangkal dan upaya perbaikan untuk masalah-masalah yang dianggap penting.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terapi Realitas dapat dikonsepkan sebagai lingkungan Konseling yang
mengandung dua komponen yaitu menciptakan lingkungan konseling dan
mengimplementasi prosedur khusus yang membawa kepada perubahan dalam
tingkah laku, sesi Konseling kelompok menggunakan teori realitas dapat
mengurangi tingkah laku dengan cara membawa klien untuk menilai kehidupan
mereka dan memutuskan untuk bergerak kepada tingkah laku yang lebih efektif.
Terapi Realitas mempunyai satu set prosedur yaitu sistem WDEP yang
membantu ke arah perubahan
Terapi realitas tampaknya sangat cocok bagi intervensi-intervensi singkat
dalam situasi-situasi konseling krisis dan bagi penanganan para remaja dan
orang-orang dewasa penghuni lembaga-lembaga untuk tingkah laku kriminal.
Secara realistis, penggunaan psikoterapi jangka panjang yang mengeksprolasi
dinamika-dinamika tak sadar dan masa lampau seseorang pada situasi-situasi dan
tipe orang-orang tersebut diatas sangan terbatas. Glasser mengembangkan
pendekatannya karena keyakinannya bahwa prosedur-prosedur psikonalitik tidak
berhasil bagi populasi itu. Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari terapi
realitas tampaknya adalah jangka waktunya yang relatif pendek dan berurusan
dengan masalah-masalah tingkah laku sadar.
B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan kita semua dan bagi konselor semoga ini dapat menjadi acuan atau
referensi dan dapat menerapkan KOREAL ini dalam pemberialan layanan
dengan pendekatan teknik-teknik yang ada.

17
KEPUSTAKAAN
Corey, G. (2009). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Rafika.
Aditama.
Taufik. (2012). Empati: Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo
Taufik. (2017). Pendekatan dalam Konseling. Padang: Jurusan BK FIP UNP

18

Anda mungkin juga menyukai