Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

PENDEKATAN ADLERIAN

(Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tekik-Teknik Konseling)

Disusun oleh :

1. Desta Cahya (2111080022)


2. Ilma Fadila (2111080044)
3. Prasetyo Atmojo (2111080080)

Dosen Pengampu :

Tika Febriyani, M.Pd

BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan
syafa’atnya di akhirat.

Tidak lupa, Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas kelas.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini,
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yaitu khususnya kepada dosen
pengampu mata kuliah Teknik-Teknik Konseling kami yang telah membimbing dalam menulis
makalah ini. Demikian, semoga makalah kami dapat bermanfaat, sekian dan terima kasih.

Bandar Lampung, 24 April 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................4
PEMBAHASAN..............................................................................................................................4
A. Pandangan tentang Manusia.................................................................................................4
B. Konsep Dasar........................................................................................................................7
C. Proses Konseling..................................................................................................................9
D. Tahap-Tahap Konseling......................................................................................................10
E. Tujuan Konseling................................................................................................................18
F. Peran dan Fungsi Konselor.................................................................................................18
G. Teknik-teknik Konseling....................................................................................................18
BAB III..........................................................................................................................................30
PENUTUP.....................................................................................................................................30
A. Kesimpulan.........................................................................................................................30
B. Saran...................................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................32

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lumongga menjelaskan bahwa pendekatan realitas merupakan salah satu
model pendekatan konseling yang sistemnya berfokus pada tingkah laku sekarang.
Konseling realitas adalah pendekatan konseling dengan bentuk modifikasi tingkah
laku, yang mana modifikasi tingkah laku ini difokuskan pada perasaan dan
tingkah laku saat ini serta mengarahkan konseli untuk fokus perubahan yang
membuatnya mampu keluar dari permasalahannya.Pada masa ini, terdapat banyak
perubahan dan perkembangan yang terjadi seperti halnya teknologi dan
komunikasi.Sejalan dengan itu, bimbingan dan konseling memiliki beberapa
model pendekatan kontemporer.Salah satu pendekatan kontemporer tersebut adalah
SFBT (Solution Focused Brief Therapy). Pendekatan SFBT yang dinilai mampu
mencerminkan beberapa gagasann dasar tentang perubahan, interaksi, dan
pencapaian tujuan.SFBT berpandanga bahwa individu memiliki sumber daya yang
diperlukan dalam menyelesaikan masalahnya sehingga individu dinilai berpotensi
untuk menentukan tujuan hidupnya sendiri.1
Pendekatan Realita berfokus pada melihat bagaimana seseorang mendapatkan
atau mencapai kebutuhannya sesuai dengan prinsip Responsibility, Right, Reality.
Manusia terlahir dengan lima kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan bertahan (survival),
kebutuhan mencintai dan memiliki (love and belonging), kebutuhan kekuasaan (power),
kebutuhan kebebasan (freedom/independence), dan kebutuhan kesenangan (fun).
Kebutuhan-kebutuhan tersebut bersifat universal. Pola pemenuhan kebutuhan tersebut
unik pada setiap individu, tetapi kebutuhan tersebut merupakan sumber motivator bagi
setiap individu. Semua perilaku manusia dibentuk oleh tindakan (acting), pikiran
(thinking), perasaan (feeling) dan kondisi fisiologis (physiology). Perilaku manusia
berasal dari dalam diri; karenanya manusia harus bertanggungjawab atas segala
1
Yodi Fitradi Potabuga, “PENDEKATAN REALITAS DAN SOLUTION FOCUSED BRIEF THERAPYDALAM BIMBINGAN
KONSELING ISLAM,” al-Tazkiah 9 (2020): 41.

1
perilakunya. Terkait implementasi pendekatan realita dalam local wisdom, pada dasarnya
individu selalu bertindak untuk memenuhi kebutuhannya, maka tindakan tersebut dapat
dikategorikan pada dua identitas, yaitu identitas gagal dan identitas berhasil (Hansen,
Stevic & Warner, 1982). Kecenderungan identitas berhasil maupun gagal dalam
memenuhi kebutuhan dapat dilihat dari 3 kriteria, yaitu tanggung jawab (responsibility),
realitas (reality), dan norma (right). Responsibility merupakan kemampuan seseorang
untuk memenuhi kebutuhannya tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Reality
merupakan kesediaan individu untuk menerima konsekuensi logis dan alamiah dari suatu
perilaku. Right merupakan nilai atau norma patokan sebagai pembanding untuk
menentukan apakah suatu perilaku benar atau salah. Individu memiliki pola identitas
berhasil jika dalam upaya memenuhi kebutuhan dasarnya senantiasa selaras dengan
kriteria 3 R, tetapi jika diubah.2

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, permasalahan dalam makalah ini
adalah:
1. Bagaimana pandangan tentang manusia jika dilihat dari pendekatan realitas?
2. Bagaimana konsep dasar pendekatan realitas?
3. Bagaimana proses konseling pada pendekatan realitas?
4. Bagaimana tahap-tahap konseling pada pendekatan realitas?
5. Bagaimana tujuan konseling pendekatan realitas?
6. Bagaiamana peran dan fungsi konselor?
7. Bagaimana teknik-teknik konseling pada pendekatan realitas?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini yaitu:
1. Untuk mengetahui dan memahami pandangan tentang manusia jika dilihat dari
pendekatan realitas.
2. Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar pendekatan realitas.
2
Nurul Wahyu Hidayati, “Implementasi Pendekatan Realita Dalam Local Wisdom,” Prosiding SNBK (Seminar
Nasional Bimbingan dan Konseling) 2 (2018): 235.

2
3. Untuk mengetahui dan memahami proses konseling pada pendekatan realitas.
4. Untuk mengetahui dan memahami tahap-tahap konseling pada pendekatan realitas.
5. Untuk mengetahui dan memahami tujuan konseling pendekatan realitas.
6. Untuk mengetahui dan memahami peran dan fungsi konselor.
7. Untuk mengetahui dan memahami teknik-teknik konseling pada pendekatan realitas.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pandangan tentang Manusia


Glasser percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang secara
konstan (terus-menerus) hadir sepanjang rentang kehidupannya dan harus dipenuhi.
Ketika seseorang mengalami masalah, hal tersebut disebabkan oleh satu faktor, yaitu
terhambatnya seseorang dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya. Keterhambatan
tersebut pada dasarnya karena penyangkalan terhadap realita, yaitu kecenderungan
seseorang untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan. Mengacu pada teori
hirarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow, Glasser mendasari pandangannya
tentang kebutuhan manusia untuk dicintai dan mencintai, dan kebutuhan untuk merasa
berharga bagi orang lain.3
Secara lebih rinci, Glasser menjelaskan kebutuhan-kebutuhan dasar psiko- logis
manusia, meliputi:
1. Cinta (Belonging/Love)
Salah satu kebutuhan psikologis manusia adalah kebutuhannya untuk merasa
memiliki dan terlibat atau melibatkan diri dengan orang lain. Kebutuhan ini disebut
Glasser sebagai identity society, yang menekankan pentingnya hubungan personal.
Beberapa aktivitas yang menunjukkan kebutuhan ini antara lain: persahabatan, acara
perkumpulan tertentu, dan keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan. Kebutuhan
ini oleh Glasser dibagi dalam tiga bentuk: social belonging, work belonging, dan
family belonging.
2. Kekuatan (Power)
Kebutuhan akan kekuasaan (power) meliputi kebutuhan untuk berprestasi, merasa
berharga, dan mendapatkan pengakuan. Kebutuhan ini biasanya diekspresikan
melalui kompetisi dengan orang-orang di sekitar kita, memimpin, mengorganisir,

3
Gentina. dkk Komalasari, Teori Dan Teknik Konseling, Cetakan pe. (Jakarta Barat: PT Indeks, 2011), 236.

4
menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, menjadi tempat bertanya atau meminta
pendapat bagi orang lain, melontarkan ide atau gagasan dan sebagainya.
3. Kesenangan (Fun)
Merupakan kebutuhan untuk merasa senang, bahagia. Pada anak-anak, terlihat
dalam aktivitas bermain. Kebutuhan ini muncul sejak dini, kemudian terus
berkembang hingga dewasa. Misalnya, berlibur untuk menghilangkan kepenatan,
bersantai, melucu, humor, dan sebagainya.
4. Kebebasan (Freedom)
Kebebasan (freedom) merupakan kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau
kemerdekaan dan tidak bergantung pada orang lain, misalnya membuat pilihan (aktif
pada organisasi kemahasiswaan), memutuskan akan melanjutkan studi pada jurusan
apa, bergerak, dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut bersifat universal, tetapi dipenuhi dengan cara yang unik oleh masing-masing
manusia ((keinginan). Glasser memiliki pandangan yang optimis tentang kemampuan
da- sar manusia, yaitu kemampuan untuk belajar memenuhi kebutuhannya dan
menjadi orang yang bertanggung jawab. Tingkah laku yang bertanggung jawab
merupakan upaya manusia mengontrol lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dan
menghadapi realita yang dialami dalam kehidupannya.4

Ketika seseorang berhasil memenuhi kebutuhannya, menurut Glasser orang tersebut


mencapai identitas sukses. Ini terkait dengan konsep perkembangan kepribadian yang
sehat, yang ditandai dengan berfungsinya individu dalam memenuhi kebutuhan
psikologisnya secara tepat. Dalam proses pembentukan identitas, individu
mengembangkan keterlibatan secara emosional dengan orang lain. Individu perlu
merasakan bahwa orang lain memberi perhatian kepadanya dan berpikir bahwa dirinya
memiliki arti. Proses ini berlangsung sejak bayi. Bagi anak-anak, interaksi dengan
orangtua (ibu) atau orang dewasa lain, membuat anak belajar merasakan keterlibatan
orang lain, kedekatan, kehangatan psikologis, dan ikatan emosional. Dari pengalaman
tersebut, anak belajar bagaimana menerima dan memberi kasih sayang, dan belajar
bahwa dirinya memiliki arti bagi orang lain dan orang lain juga berarti bagi dirinya.5
4
Ibid.
5
Ibid., 238.

5
Bila sejak kecil anak tidak merasakan bagaimana menerima dan memberi kasih
sayang, pada tahapan kehidupan berikutnya, ia mengalami kesulitan da- lam mencintai,
memberi kasih sayang atau belajar bagaimana ia berarti bagi dirinya juga bagi orang lain.
Jika kebutuhan psikologisnya sejak awal tidak terpenuhi, maka seseorang tidak
mendapatkan pengalaman belajar bagaimana memenuhi kebutuhan psikologis dirinya
atau orang lain. Belajar bagaimana bertingkah laku yang bertanggung jawab merupakan
hal yang sangat penting bagi perkembangan anak untuk mencapai "identitas sukses".
Anak memperoleh "identitas sukses"nya dengan terlibat pada berbagai aktivitas yang
memenuhi kebutuhannya melalui interaksi dengan orangtua yang bertanggung jawab,
yaitu yang menunjukkan keterlibatan dalam pengasuhan anaknya dengan menjadi model,
melatih kedisiplinan, dan mencintai, dan sebagainya.6
Bila sejak kecil anak tidak merasakan bagaimana menerima dan memberi kasih
sayang, pada tahapan kehidupan berikutnya, ia mengalami kesulitan dalam mencintai,
memberi kasih sayang atau belajar bagaimana ia berarti bagi dirinya juga bagi orang lain.
Jika kebutuhan psikologisnya sejak awal tidak terpenuhi, maka seseorang tidak
mendapatkan pengalaman belajar bagaimana memenuhi kebutuhan psikologis dirinya
atau orang lain. Belajar bagaimana bertingkah laku yang bertanggung jawab merupakan
hal yang sangat penting bagi perkembangan anak untuk mencapai "identitas sukses".
Anak memperoleh "identitas sukses"nya dengan terlibat pada berbagai aktivitas yang
memenuhi kebutuhannya melalui interaksi dengan orangtua yang bertanggung jawab,
yaitu yang menunjukkan keterlibatan dalam pengasuhan anaknya dengan menjadi model,
melatih kedisiplinan, dan mencintai, dan sebagainya.7

Dapat dirumuskan, pandangan Glasser tentang manusia adalah sebagai berikut:


1. Setiap individu bertanggung jawab terhadap kehidupannya.
2. Tingkah laku seseorang merupakan upaya mengontrol lingkungan untuk
memenuhi kebutuhannya.
3. Individu ditantang untuk menghadapi realita tanpa mempedulikan kejadian-
kejadian di masa lalu, serta tidak memberi perhatian pada sikap dan motivasi di
bawah sadar
6
Ibid.
7
Ibid., 239.

6
4. Setiap orang memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu pada masa kini.8

B. Konsep Dasar
Pada dasarnya setiap individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan dan ke-
inginannya, di mana kebutuhan bersifat universal pada semua individu, sementara
keinginan bersifat unik pada masing-masing individu. Ketika seseorang dapat memenuhi
apa yang diinginkan, kebutuhan tersebut terpuaskan. Tetapi, jika apa yang diperoleh tidak
sesuai dengan keinginan, maka orang akan frustrasi, dan pada akhirnya akan terus
memunculkan perilaku baru sampai keinginannya terpuaskan. Artinya, ketika timbul
perbedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang diperoleh, membuat individu
terus memunculkan perilaku-pe rilaku yang spesifik. Jadi, perilaku yang dimunculkan
adalah bertujuan, yaitu dibentuk untuk mengatasi hambatan antara apa yang diinginkan
dengan apa yang diperoleh, atau muncul karena dipilih oleh individu.9
Perilaku manusia, merupakan perilaku total (total behavior), terdiri dari doing,
thinking, feeling dan psysiology. Oleh karena perilaku yang dimunculkan adalah
bertujuan dan dipilih sendiri, maka Glasser menyebutnya dengan teori kontrol.
1. Teori kontrol
Penerimaan terhadap realita, menurut Glasser harus tercermin dalam perilaku total
(total behavior) yang mengandung empat komponen, yaitu: berbuat (doing), berpikir
(thinking), merasakan (feeling), dan menunjukkan respon-respon fisiologis
(physiology). Konsep perilaku total membandingkan bagaimana individu berfungsi
sebagaimana mobil berfungsi.seperti halnya keempat roda mobil membawa arah
mobil berjalan, demikian halnya keempat komponen dari total behavior tersebut
menetapkan arah hidup individu.
Glasser dalam Corey (1991:524) menjelaskan bahwa secara langsung mengubah
cara kita merasakan terpisah dari apa yang kita lakukan dan pikirkan, merupakan hal
yang sangat sulit dilakukan. Meskipun demikian, kita memiliki kemampuan untuk
mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan apapun yang nanti mungkin bisa kita
rasakan. Oleh karena itu, kunci untuk mengubah suatu perilaku total terletak pada

8
Ibid.
9
Ibid.

7
pemilihan untuk mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan. Sementara itu, reaksi
emosi dan respon fisiologis termasuk dalam proses tersebut.
Bagaimana individu bertindak dan berpikir dianalogikan sebagai fungsi roda
depan, sedangkan perasaan dan fisiologis mewakili fungsi roda belakang. Mesin
kendaraan diibaratkan sebagai kebutuhan-kebutuhan individu, dan setir yang
dikendalikan merupakan gambaran keinginan untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan
tersebut. Sebagaimana kendaraan roda empat, jelas kontrol utama berada di bagian
roda depan, sehingga tindakan dan pikiranlah yang berperan dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan individu.
Ketika seseorang berhasil memenuhi kebutuhannya, menurur Glasser orang
tersebut mencapai identitas sukses. Pencapaian identitas sukses ini terikat pada
konsep 3R, yaitu keadaan di mana individu dapat menerima kondisi yang
dihadapinya, dicapai dengan menunjukkan total behavior (perilaku total). yakni
melakukan sesuatu (doing), berpikir (thingking), merasakan (feeling), dan
menunjukkan respons fisiologis (physiology) secara bertanggungjawab
(responsibility), sesuai realita (reality), dan benar (right).10

2. Konsep 3R
Konsep ini digambarkan Glasser dalam Bassin (1976:83-85) sebagai berikut:
a. Responsibility (tanggung jawab)
Adalah kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhannya tanpa harus
me rugikan orang lain.
b. Reality (kenyataan)
Adalah kenyataan yang akan menjadi tantangan bagi individu untuk
memenuhi kebutuhannya. Setiap individu harus memahami bahwa ada dunia
nyata, di mana mereka harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam rangka
mengatasi masalahnya. Realita yang dimaksud adalah sesuatu yang tersusun
dari kenyataan yang ada dan apa adanya.
c. Right (kebenaran)

10
Ibid., 240.

8
Merupakan ukuran atau norma-norma yang diterima secara umum,
sehingga tingkah laku dapat diperbandingkan. Individu yang melakukan hal
ini mampu mengevaluasi diri sendiri bila melakukan sesuatu melalui
perbandingan tersebut dan ia merasa nyaman bila mampu bertingkah laku
dalam tata cara yang diterima secara umum.11

C. Proses Konseling
Pendekatan ini melihat konseling sebagai proses rasional yang menekankan pada
perilaku sekarang dan saat ini. Artinya, konseli ditekankan untuk me lihat perilakunya
yang dapat diamati daripada motif-motif bawah sadarnya. Dengan demikian, konseli
dapat mengevaluasi apakah perilakunya tersebut cukup efektif dalam memenuhi
kebutuhannya atau tidak. Jika dirasa perilaku- perilaku yang ditampilkan tidak membuat
konseli merasa puas, maka konselor mengarahkan konseli untuk melihat peluang-peluang
yang dapat dilakukan dengan merencanakan tindakan yang lebih bertanggung jawab.
Perilaku yang bertanggung jawab merupakan perilaku-perilaku yang sesuai dengan
kenyataan yang dihadapi, oleh Glasser disebut sebagai penerimaan terhadap realita.
Dengan demikian, dapat membantu konseli mengatasi tekanan tekanan dan permasala-
han yang dialaminya.12
Menurut Glasser, hal-hal yang membawa perubahan sikap dari penolakan ke
penerimaan realitas yang terjadi selama proses konseling adalah (Corey, 1991:533-536):
1. Konseli dapat mengeksplorasi keinginan, kebutuhan, dan apa yang di- persepsikan
tentang kondisi yang dihadapinya. Di sini konseli terdorong untuk mengenali dan
mendefinisikan apa yang mereka inginkan untuk me- menuhi kebutuhannya. Setelah
mengetahui apa yang diinginkan, konseli lalu mengevaluasi apakah yang ia lakukan
selama ini memenuhi kebutuhan kebutuan tersebut.
2. Konseli fokus pada perilaku sekarang tanpa terpaku pada permasalahan masa lalu.
Tahap ini merupakan kesadaran konseli untuk memahami bah- wa kondisi yang
dialaminya bukanlah hal yang bisa dipungkiri. Kemudi an mereka mulai menentukan

11
Ibid., 241.
12
Ibid., 242.

9
alternatif apa saja yang harus dilakukan. Di sini konseli mengubah perilaku totalnya,
tidak hanya sikap dan perasaan, namun yang diutamakan adalah tindakan dan pikiran.
3. Konseli mau mengevaluasi perilakunya, merupakan kondisi di mana konseli membuat
penilaian tentang apa yang telah ia lakukan terhadap dirinya ber- dasarkan sistem
nilai yang berlaku di masyarakat. Apakah yang dilakukan dapat menolong dirinya
atau sebaliknya, apakah hal itu bermanfaat, sudah- kah sesuai dengan aturan, dan
apakah realistis atau dapat dicapai. Mereka menilai kualitas perilakunya, sebab tanpa
penilaian pada diri sendiri, peru bahan akan sulit terjadi. Evaluasi ini mencakup
seluruh komponen perilaku total.
4. Konseli mulai menetapkan perubahan yang dikehendakinya dan komitmen terhadap
apa yang telah direncanakan. Rencana-rencana yang ditetapkan harus sesuai dengan
kemampuan konseli, bersifat konkrit atau jelas pada bagian mana dari perilakunya
yang akan diubah, realistis dan melibatkan perbuatan positif. Rencana itu juga harus
dilakukan dengan segera dan berulang-ulang.13

D. Tahap-Tahap Konseling
Proses konseling dalam Pendekatan realitas berpedoman pada dua unsur utama,
yaitu penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi
pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada konseli. Secara praktis,
mengemukakan delapan tahap dalam Konseling Realita.14

Tahap 1: Konselor Menujukkan Keterlibatan dengan Konseli (Be Friend)


Pada tahap ini, konselor mengawali pertemuan dengan bersikap otentik, hangat,
dan menaruh perhatian pada hubungan yang sedang dibangun. Konselor harus dapat
melibatkan diri kepada konseli dengan memperlihatkan sikap hangat dan ramah.
Hubungan yang terbangun antara konselor dan konseli sangat penting. sebab konseli akan
terbuka dan bersedia menjalani proses konseling jika dia merasa bahwa konselornya
terlibat, bersahabat, dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, penerimaan yang positif adalah
sangat esensial agar proses koseling berjalan efektif.15
13
Ibid., 243.
14
Ibid.
15
Ibid., 244.

10
Menunjukkan keterlibatan dengan konseli dapat ditunjukkan dengan pe- rilaku
attending. Perilaku ini tampak dalam kontak mata (menatap konseli), ekspresi wajah
(menunjukkan minatnya tanpa dibuat-buat), duduk dengan sikap terbuka (agak maju ke
depan dan tidak bersandar), poros tubuh agak condong dan diarahkan ke konseli),
melakukan respon refleksi, memperhatikan perilaku nonverbal konseli, dan melakukan
respons parafrase.16
Selain itu, konselor perlu menunjukkan sikap bersahabat. Pada tahap awal,
umumnya konseli menunjukkan tidak membutuhkan bantuan konselor, terlebih bila
konseli tidak datang dengan sukarela. Meskipun konseli menunjukkan ketidaksenangan,
marah, atau bersikap yang tidak berkenan, dan sebagainya, konselor harus tetap
menunjukkan sikap ramah dan sopan, tetap tenang, dan ti- dak mengintimidasi konseli.
Kalimat yang diungkapkan konselor harus menun jukkan bahwa konselor bersahabat
dengan konseli. Respon yang diungkapkan juga tidak mengekspresikan apa yang sedang
dilakukan oleh konseli pada saat itu, tetapi menunjukkan kekuatan dan fleksibilitas
konseli, bukan kelemahan dan kekakuan konseli. Mengapa? Karena pada dasarnya
konseli bukan sedang marah kepada konselor. Oleh karena itu, respon konselor harus
mengandung muatan bahwa ia sedang menyampaikan terkadang marah bukanlah sebuah
ke- salahan, sebab dalam keadaan tertentu, marah kadang menjadi pilihan. Berikut adalah
contoh respons konselor yang menunjukkan sikap di atas.17

Konseli: "Sebenarnya saya tidak perlu bantuan ibu, saya sudah tahu apa yang akan ibu
sarankan kepada saya. Percuma lah bu, buang. buang waktu saja. Lagipula selama ini
juga tidak ada yang peduli dengan saya..."

Konselor: "Saya bisa membantu Anda kalau Anda bersedia mendiskusikan hal tersebut
dengan saya."

Konselor juga perlu menunjukkan bahwa ia bertekad membantu konseli.


Konseling realita selalu berpedoman bahwa perilaku total (total behavior) hampir selalu

16
Ibid.
17
Ibid.

11
dipilih. Karenanya, tingkah laku yang lebih efisien dan lebih membantu diperlukan bagi
konseli yang sedang menghadapi masalah.

Konseli: "Ibu pasti mengira bahwa depresi yang saya alami hanya ber- sifat sementara..."

Konselor: "Tidak pernah terpikir dalam benak saya Anda akan mengalami hal itu
selamanya."18

Keterlibatan dengan konseli juga dapat ditunjukkan dengan sikap antusias.


Konseli akan merasa bahwa ia benar-benar akan dibantu oleh konselor apabila konselor
selalu menunjukkan sikap antusias. Sikap antusias juga menggambarkan pandangan
konselor yang optimis terhadap koseli. Selain itu, sikap antusias menunjukkan bahwa
konselor benar-benar terlibat dan mau melibatkan diri dalam proses konseling.19
Hal yang penting sekali dalam proses konseling, konselor juga harus bersikap
genuine. Melalui proses konseling, konseli belajar bahwa mental yang sehat dan
kehidupan akan menjadi lebih baik jika relasi antar manusia didasari saling keterbukaan
dan apa adanya daripada bersikap pura-pura dan manipulasi. Oleh karena itu, bersikap
jujur dan berterus terang dengan konseli juga sangat penting.20
Konselor juga tidak menghakimi konseli atau tidak memberi penilaian atas apa
yang telah dilakukan konseli. Dengan demikian, konselor dapat me mahami apapun yang
telah dilakukan konseli, merupakan pilihan terbaik yang dilakukannya pada saat itu.
Dalam konteks ini, biasanya konseli berharap konselor akan mendiskusikan kegagalan
perilaku yang dialaminya, misal me- ngenai kebiasaan konseli mengkonsumsi narkoba,
masalah yang dialami kon- seli di masa lampau, dan sebagainya. Sebaliknya, konselor
lebih cenderung mendiskusikan keberhasilan konseli. Hal ini berarti konselor mengajak
konseli untuk melihat kebutuhan lain yang ada dalam dirinya daripada berkutat pada
permasalahan yang dialami yang pada dasarnya bersifat sementara. Meskipun pada

18
Ibid., 245.
19
Ibid.
20
Ibid., 246.

12
tahap-tahap konseling selanjutnya, konseli akan dihadapkan pada pokok permasalahan
yang sedang dialaminya.21

Konseli: "Sudah satu tahun ini saya mengenal putaw dan merasa tenang setelah
mengkonsumsinya."

Konselor: "Kapan terakhir kali Anda pernah tidak menggunakan putaw dan tetap merasa
tenang?"22

Tahap 2: Fokus pada Perilaku Sekarang


Setelah konseli dapat melibatkan diri kepada konselor, maka konselor me
nanyakan kepada konseli apa yang akan dilakukannya sekarang. Tahap kedua ini
merupakan eksplorasi diri bagi konseli. Konseli mengungkapkan ketidak- nyamanan
yang ia rasakan dalam menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli
mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi
tersebut. Secara rinci, tahap ini meliputi:

1. Eksplorasi "picture album" (keinginan), kebutuhan, dan persepsi.


2. Menanyakan keinginan-keinginan konseli.23

Konselor: "Saya akan membantu Anda jika Anda bersedia mendiskusikan apa yang
sedang Anda alami."

Konseli: "Saya baik-baik saja kok."

Konselor: "Saya juga berharap seperti itu, tapi mungkin ada yang ingin Anda sampaikan
dengan kedatangan Anda ke sini."

21
Ibid.
22
Ibid.
23
Ibid., 247.

13
Konseli: "Sudah satu tahun belakangan saya mengenal putaw dan merasa tenang setelah
mengkonsumsinya."

Konselor: "Apa yang Anda inginkan dengan mengkonsumsi putaw?"

Konseli: "Kondisi keluarga membuat saya tertekan dan saya memperoleh ketenangan
dengan mengkonsumsi putaw."24

3. Menanyakan apa yang benar-benar diinginkan konseli

Konselor: "Jadi, Anda menginginkan ketenangan? Ketenangan yang ba gaimana yang


Anda inginkan?"

Konseli: "Saya pusing setiap hari mendengar pertengkaran orangtua saya."

Konselor: "Kamu ingin orangtuamu tidak selalu bertengkar?"

Konseli: "ya..."

Konselor: "Apa lagi yang benar-benar kamu inginkan?"25

4. Menanyakan apa yang terpikir oleh konseli tentang yang diinginkan orang lain dari
dirinya dan menanyakan bagaimana konseli melihat hal tersebut

Konselor: "Apa yang diinginkan orangtua dari Anda?"

Konseli: "Mereka ingin saya menjadi anak yang penurut, padahal saya begini karena
mereka cuma sibuk bertengkar, tidak pernah memperhatikan saya..."

24
Ibid.
25
Ibid., 248.

14
Pada tahap kedua ini juga konselor perlu mengatakan kepada konseli apa yang
dapat dilakukan konselor, yang diinginkan konselor dari konseli, dan bagaimana konselor
melihat situasi tersebut, kemudian membuat komitmen un- tuk konseling.26

Tahap 3: Mengeksplorasi Total Behavior Konseli


Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu: konselor menanyakan
secara spesifik apa saja yang dilakukan konseli; cara pandang dalam Konseling Realita,
akar permasalahan konseli bersumber pada perilakunya (doing), bukan pada perasaannya.
Misal, konseli mengungkapkan setiap kali menghadapi ujian ia mengalami kecemasan
yang luar biasa. Dalam pandangan Konseling Realita, yang harus diatasi bukan
kecemasan konseli, tetapi hal-hal apa saja yang telah dilakukannya untuk menghadapi
ujian.27

Tahap 4: Konseli Menilai Diri Sendiri atau Melakukan Evaluasi


Memasuki tahap keempat, konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan
perilakunya itu didasari oleh keyakinan bahwa hal itu baik baginya. Fungsi konselor tidak
untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk
menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi,
apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.28
Pada tahap ini, respon-respon konselor di antaranya menanyakan apakah yang
dilakukan konseli dapat membantunya keluar dari permasalahan atau sebaliknya.
Konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh
keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai benar
atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat
ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu
dengan pilihannya tersebut. Kemudian bertanya kepada konseli apakah pilihan
perilakunya dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan konseli saat ini, menanyakan
apakah konseli akan tetap pada pilihannya, apakah hal tersebut merupakan perilaku yang
dapat diterima, apakah realistis, apakah benar-benar dapat mengatasi masalahnya, apakah

26
Ibid.
27
Ibid., 249.
28
Ibid.

15
keinginan konseli realistis atau dapat terjadi dicapai, bagaimana konsel memandang
pilihan perilakunya, sehingga konseli dapat menilai apakah hal tersebut cukup
membantunya, dan menanyakan komitmen konseli untuk meng ikuti proses konseling.29

Tahap 5: Merencanakan Tindakan yang Bertanggungjawab


Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak menyelesaikan
masalah, dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat
perencanaan tindakan yang lebih bertanggung jawab. Rencana yang disusun sifatnya
spesifik dan konkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseli untuk keluar dari
permasalahan yang sedang dihadapinya.30

Tahap 6: Membuat Komitmen


Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya
bersama konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.31

Tahap 7: Tidak Menerima Permintaan Maaf atau Alasan Konseli


Konseli akan bertemu kembali dengan konselor pada batas waktu yang telah
disepakati bersama. Pada tahap ini konselor menanyakan perkembangan per ubahan
perilaku konseli. Apabila konseli tidak atau belum berhasil melakukan apa yang telah
direncanakannya, permintaan maaf konseli atas kegagalannya tidak untuk dipenuhi
konselor. Sebaliknya, konselor mengajak konseli untuk melihat kembali rencana tersebut
dan mengevaluasinya mengapa konseli tidak berhasil. Konselor selanjutnya membantu
konseli merencanakan kembali hal-hal yang belum berhasil ia lakukan. Pada tahap ini
sebaiknya konselor menghindari pertanyaan dengan kata "Mengapa sebab
kecenderungannya konseli akan bersikap defensif dan mecari-cari alasan.32
Kondisi Pada waktu yang telah disepakati (dua minggu setelah sesi sebelumnya),
konseli datang menemui konselor. Dalam proses konseling ia bercerita bahwa dalam

29
Ibid.
30
Ibid., 250.
31
Ibid.
32
Ibid.

16
waktu dua minggu ini ia tetap cemas ketika jam pelajaran matematika karena tidak da pat
menjawab soal-soal latihan yang diberikan guru.33

1. Contoh respons yang salah

Konseli: "Saya tetap merasa cemas saat pelajaran matematika, pelajaran-

nya sulit..."

Konselor: "Mengapa kamu merasa sulit?"

Konseli: "Saya tidak pernah sempat untuk belajar karena PR saya banyak

Bu..."

2. Contoh respons yang benar

Konseli: "Saya tetap merasa cemas saat pelajaran matematika, pelajaran- nya sulit..."

Konselor: "Kamu bisa menceritakan kepada saya hal-hal yang menghambat kamu tetap
merasa sulit?"

Pada tahap ini, konselor juga tidak memberikan hukuman, mengkritik, dan
berdebat, tetapi hadapkan konseli pada konsekuensi. Menurut Glasser, mem- berikan
hukuman mengurangi keterlibatan konseli dan menyebabkan is merasa lebih gagal. Saat
konseli belum berhasil melakukan perubahan, hal itu merupakan pilihannya dan ia akan
merasakan konsekuensi dari tindakannya. Konselor memberi pemahaman pada konseli,
bahwa kondisinya akan membaik jika ia bersedia melakukan perbaikan itu. Selain itu,
konselor jangan mudah me- nyerah. Proses konseling yang efektif antara lain ditunjukkan
dengan seberapa besar kegigihan konselor untuk membantu konseli. Ada kalanya konseli

33
Ibid., 251.

17
meng- harapkan konselor menyerah dengan bersikap pasif, tidak kooperatif, marah, atau
apatis, namun pada tahap inilah konselor dapat menunjukkan bahwa ia benar-benar
terlibat dan ingin membantu konseli mengatasi permasalahannya. Kegigihan konselor
dapat memotivasi konseli untuk bersama-sama memecahkan masalah.34

Tahap 8: Tindak Lanjut


Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi
perkembangan yang dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika tu- juan yang
telah ditetapkan belum tercapai.35

E. Tujuan Konseling
Layanan konseling ini bertujuan membantu konseli mencapai identitas berhasil.
Konseli yang mengetahui identitasnya, akan mengetahui langkah-langkah apa yang akan
ia lakukan di masa yang akan datang dengan segala konsekuensinya. Bersama-sama
konselor, konseli dihadapkan kembali pada kenyataan hidup, sehingga dapat memahami
dan mampu menghadapi realitas.36

F. Peran dan Fungsi Konselor


Fungsi konselor dalam pendekatan realitas adalah melibatkan diri dengan konsel
bersikap direktif dan didaktik, yaitu berperan seperti guru yang mengarahkan dan dapat
saja mengkonfrontasi, sehingga konseli mampu menghadapi ke- nyataan. Di sini, terapis
sebagai fasilitator yang membantu kunseli agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri
secara realistis.37

G. Teknik-teknik Konseling
1. Praktek Terapi Realitas

34
Ibid., 252.
35
Ibid.
36
Ibid.
37
Ibid., 253.

18
Praktik terapi realitas paling baik dapat dikonseptualisasikan sebagai siklus
konseling, yang terdiri dari dua komponen utama: (1) menciptakan lingkungan
konseling dan (2) menerapkan prosedur khusus yang mengarah pada perubahan
perilaku. Seni konseling adalah menjalin komponen-komponen ini bersama-sama
dengan cara yang mengarah klien untuk mengevaluasi kehidupan mereka dan
memutuskan untuk bergerak ke arah yang lebih efektif.38
Bagaimana komponen-komponen ini berbaur dalam proses konseling? Siklus dari
konseling dimulai dengan menciptakan hubungan kerja dengan klien, yaitu dijelaskan
pada bagian sebelumnya. Proses berlangsung melalui eksplorasi keinginan,
kebutuhan, dan persepsi klien. Klien mengeksplorasi perilaku total mereka dan
membuat evaluasi sendiri tentang seberapa efektif mereka dalam mendapatkan apa
mereka ingin. Jika klien memutuskan untuk mencoba perilaku baru, mereka membuat
rencana yang akan memimpin untuk berubah, dan mereka berkomitmen pada rencana
tersebut. Siklus konseling termasuk menindaklanjuti seberapa baik kinerja klien dan
menawarkan konsultasi lebih lanjut sesuai kebutuhan.39
Penting untuk diingat bahwa meskipun konsepnya mungkin tampak sederhana
seperti yang disajikan di sini, untuk dapat menerjemahkannya ke dalam praktik
terapeutik yang sebenarnya membutuhkan keterampilan dan kreativitas yang tinggi.
Meskipun prinsip akan harus sama bila digunakan oleh konselor mana pun yang
bersertifikat terapi realitas, cara penerapannya bervariasi tergantung pada konselor
gaya dan karakteristik pribadi. Prinsip-prinsip ini diterapkan secara progresif cara,
tetapi mereka tidak boleh dianggap sebagai kategori diskrit dan kaku. Itu seni
mempraktikkan terapi realitas melibatkan lebih dari sekadar mengikuti prosedur
dengan cara buku masak langkah demi langkah. Meskipun prosedur ini dijelaskan
dalam sederhana, bahasa bebas jargon, mereka dapat menjadi tantangan untuk
diterapkan. Konseling bukanlah metode sederhana yang diterapkan dalam hal yang
sama cara dengan setiap klien. Dengan teori pilihan di latar belakang praktik,
konselor menyesuaikan konseling dengan apa yang disajikan klien. Meskipun

38
Gerald Corey, Theory and Practice of Counseling & Psychotherapy, ed. Christina Ganim, Eighth Edi. (Belmont:
Thomson Higher Education, 2009), 323.
39
Ibid.

19
konselor siap untuk bekerja dengan cara yang berarti bagi klien, pindahlah menuju
hubungan yang memuaskan tetap di latar depan.40
Robert Wubbolding adalah terapis realitas yang telah memperluas praktiknya
terapi realitas (sistem WDEP) untuk menerapkan dan mengajarkan terapi realitas.
Selama bertahun-tahun ia telah memainkan peran utama dalam pengembangan terapi
realitas. Saya sangat menghargai kontribusi Wubbolding untuk mengajarkan terapi
realitas dan membuat konsep prosedur terapi. Ide-idenya ditampilkan teori pilihan
praktis dan dapat digunakan oleh konselor, dan sistemnya menyediakan dasar untuk
mengkonseptualisasikan dan menerapkan teori. Meskipun terapis realitas beroperasi
dalam semangat teori pilihan, mereka berlatih dalam keunikan mereka sendiri cara
dan mengembangkan gaya terapeutik individu mereka sendiri. 41
2. Lingkungan Konseling
Praktek terapi realitas bersandar pada asumsi bahwa dukungan dan lingkungan
yang menantang memungkinkan klien untuk mulai membuat perubahan hidup.
Hubungan terapeutik adalah dasar untuk praktik yang efektif; jika ini kurang, ada
sedikit harapan bahwa sistem dapat berhasil diimplementasikan. Konselor yang
berharap untuk menciptakan aliansi terapeutik berusaha untuk menghindari perilaku
seperti itu seperti berdebat, menyerang, menuduh, merendahkan, memerintah,
mengkritik, mencari kesalahan, memaksa, mendorong alasan, menyimpan dendam,
menanamkan rasa takut, dan menyerah dengan mudah (Wubbolding, 2008a). Dalam
waktu singkat, klien umumnya mulai menghargai lingkungan teori pilihan yang
peduli, menerima, dan tidak memaksa. Dia dari lingkungan yang agak konfrontatif
namun selalu tidak mengkritik, tidak menyalahkan, tidak mengeluh, peduli inilah
klien belajar untuk menciptakan lingkungan yang memuaskan yang mengarah pada
hubungan yang sukses. Dalam suasana tanpa paksaan ini, klien merasa bebas untuk
menjadi kreatif dan mulai mencoba perilaku baru.42
3. Prosedur yang Mengarah pada Perubahan
Menurut Glasser (1992), prosedur yang mengarah pada perubahan didasarkan
pada asumsi bahwa manusia termotivasi untuk berubah (1) ketika mereka yakin

40
Ibid.
41
Ibid.
42
Ibid., 324.

20
bahwa perilaku mereka saat ini tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan dan (2)
ketika mereka percaya bahwa mereka dapat memilih perilaku lain yang akan
mendekatkan mereka terhadap apa yang mereka inginkan.43
Terapis realitas memulai dengan menanyakan klien apa yang mereka inginkan
dari terapi.Terapis mengeluarkan misteri dan ketidakpastian dari proses terapi.
Mereka juga menanyakan tentang pilihan yang dibuat klien dalam hubungan mereka.
Dalam kebanyakan kasus, ada hubungan besar yang tidak memuaskan, dan klien
biasanya tidak percaya bahwa mereka memiliki pilihan atas apa yang sedang terjadi
di sini, hubungan. Pada awalnya klien mungkin menyangkal hal ini. Misalnya, klien
mungkin berkata, “Saya depresi. Depresi saya adalah masalahnya. Mengapa Anda
berbicara tentang hubungan saya?” Klien sering tidak ingin berbicara tentang masalah
sebenarnya, yaitu hubungan yang tidak memuaskan atau kekurangannya.44
Pada sesi pertama seorang terapis yang terampil mencari dan mendefinisikan
keinginan dari klien. Terapis juga mencari kunci hubungan saat ini yang tidak
memuaskan biasanya dengan pasangan, anak, orang tua, atau majikan. Terapis
mungkin menanyakan, "Perilaku siapa yang dapat Anda kendalikan?" Pertanyaan ini
mungkin perlu ditanyakan beberapa kali selama beberapa sesi berikutnya untuk
menghadapi penolakan klien melihat tingkah lakunya sendiri. Penekanannya adalah
pada mendorong klien untuk fokus pada apa yang dapat mereka kendalikan. Ketika
klien mulai menyadari bahwa mereka hanya dapat mengendalikan perilaku mereka
sendiri, terapi sedang berlangsung. Terapi lainnya berfokus pada bagaimana klien
dapat membuat pilihan yang lebih baik. Ada lebih banyak pilihan yang tersedia
daripada yang disadari klien, dan terapis mengeksplorasi kemungkinan pilihan ini.
Klien mungkin terjebak dalam kesengsaraan, menyalahkan, dan masa lalu, tetapi
mereka dapat memilih untuk berubah—bahkan jika orang lain di masa lalu hubungan
tidak berubah. Wubbolding (2007a) menyatakan bahwa klien dapat belajar bahwa
mereka tidak bergantung pada belas kasihan orang lain, bukan korban, dan bahwa
mereka memiliki berbagai pilihan terbuka untuk mereka.45

43
Ibid.
44
Ibid.
45
Ibid.

21
Terapis realitas mengeksplorasi prinsip teori pilihan dengan klien, membantu
klien mengidentifikasi kebutuhan dasar, menemukan dunia kualitas klien, dan
akhirnya, membantu klien memahami bahwa mereka memilih perilaku total yang
menjadi milik mereka, gejala. Dalam setiap contoh ketika klien membuat perubahan,
itu adalah pilihan mereka. Dengan bantuan terapis, klien belajar membuat pilihan
yang lebih baik daripada yang mereka lakukan saat mereka sendiri. Melalui teori
pilihan, klien memperoleh dan mempertahankan hubungan yang sukses.46
4. Sistem "WDEP".
Akronim WDEP digunakan untuk menjelaskan prosedur utama dalam praktik
terapi realitas. Sistem terapi realitas WDEP dapat digambarkan sebagai "efektif,
praktis, dapat digunakan, berbasis teori, lintas budaya, dan didasarkan pada universal
prinsip-prinsip manusia” (Wubbolding, 2007a, hal. 204). Sistem WDEP bisa
digunakan untuk membantu klien mengeksplorasi keinginan mereka, kemungkinan
hal yang dapat mereka lakukan, peluang untuk evaluasi diri, dan merancang rencana
untuk perbaikan. Setiap huruf mengacu pada sekelompok strategi: W = keinginan dan
kebutuhan; D = arah dan perbuatan; E = evaluasi diri; dan P = perencanaan. Strategi
ini dirancang untuk mempromosikan perubahan. Mari kita lihat masing-masing lebih
detail.47
a. Keinginan (Menjelajahi Keinginan, Kebutuhan, Dan Persepsi)
Terapis realitas membantu klien dalam menemukan keinginan dan harapan
mereka. Semua keinginan berhubungan terhadap lima kebutuhan dasar. Mereka
bertanya, "Apa yang kamu inginkan?" Melalui terapis pertanyaan terampil, klien
dibantu dalam mendefinisikan apa yang mereka inginkan dari proses konseling
dan dari dunia di sekitar mereka. Hal ini berguna bagi klien untuk mendefinisikan
apa yang mereka harapkan dan inginkan dari konselor dan dari diri mereka
sendiri. Bagian dari konseling terdiri dari menjelajahi "album gambar", atau dunia
kualitas, klien dan bagaimana perilaku mereka ditujukan untuk menggerakkan
persepsi mereka tentang dunia luar lebih dekat dengan dunia keinginan batin
mereka. Klien diberi kesempatan untuk menjelajahi setiap aspek kehidupan
mereka, termasuk apa yang mereka inginkan dari keluarga, teman, dan pekerjaan
46
Ibid., 325.
47
Ibid.

22
mereka. Selanjutnya, ini eksplorasi keinginan, kebutuhan, dan persepsi harus terus
berlanjut sepanjang proses konseling saat gambaran klien berubah.48
Berikut adalah beberapa pertanyaan berguna untuk membantu klien
menunjukkan dengan tepat apa yang mereka inginkan:
1) Jika Anda adalah orang yang Anda inginkan, orang seperti apa yang Anda
inginkan Anda menjadi?
2) Akan seperti apa keluarga Anda jika keinginan Anda dan keinginan mereka
sesuai?
3) Apa yang akan Anda lakukan jika Anda hidup seperti yang Anda inginkan?
4) Apakah Anda benar-benar ingin mengubah hidup Anda?
5) Apa yang Anda inginkan yang tampaknya tidak Anda peroleh dari
kehidupan?
6) Menurut Anda apa yang menghentikan Anda membuat perubahan yang Anda
inginkan?
Garis pertanyaan ini mengatur panggung untuk menerapkan prosedur lain
dalam kenyataan terapi. Merupakan seni bagi konselor untuk mengetahui
pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana cara bertanya kepada mereka, dan
kapan harus bertanya kepada mereka.49

b. Arah dan Lakukan


Terapi realitas menekankan perilaku saat ini dan sekarang prihatin dengan
peristiwa masa lalu hanya sejauh mereka mempengaruhi bagaimana klien
berperilaku sekarang. Fokus pada masa kini ditandai dengan pertanyaan yang
begitu sering ditanya oleh terapis realitas: "Apa yang kamu lakukan?" Meskipun
masalah berakar di masa lalu, klien perlu belajar bagaimana menghadapinya di
masa lalu hadir dengan belajar cara yang lebih baik untuk mendapatkan apa yang
mereka inginkan. Masa lalu dapat didiskusikan jika hal itu akan membantu klien
merencanakan hari esok yang lebih baik. Terapis tantangannya adalah membantu
klien membuat lebih banyak pilihan yang memuaskan kebutuhan.50

48
Ibid.
49
Ibid.
50
Ibid., 326.

23
Di awal konseling, penting untuk mendiskusikan dengan klien arah
keseluruhan hidup mereka, termasuk ke mana mereka akan pergi dan ke mana
mereka membawa perilaku mereka. Eksplorasi ini merupakan awal untuk evaluasi
selanjutnya apakah itu arah yang diinginkan. Terapis memegang cermin di depan
klien dan bertanya, "Apa yang Anda lihat sendiri sekarang dan di masa depan?"
Sering dibutuhkan beberapa waktu agar refleksi ini menjadi lebih jelas bagi klien
sehingga mereka bisa secara verbal mengungkapkan persepsi mereka.51
Terapi realitas berfokus pada mendapatkan kesadaran dan mengubah total
saat ini perilaku. Untuk mencapai hal ini, terapis realitas fokus pada pertanyaan
seperti ini: "Kamu sedang apa sekarang?" "Apa yang sebenarnya kamu lakukan
minggu lalu?" "apakah Anda ingin melakukan hal yang berbeda dalam seminggu
terakhir ini?” “Apa yang menghentikanmu dari melakukannya?” “apa yang kamu
katakan ingin kamu lakukan?" "Apa yang akan Anda lakukan besok?".52
Mendengarkan klien berbicara tentang perasaan bisa menjadi produktif,
tetapi hanya jika itu terkait dengan apa yang mereka lakukan. Ketika lampu
darurat di mobil dasbor menyala, pengemudi diberi tahu bahwa ada yang tidak
beres dan itu tindakan segera diperlukan untuk memperbaiki masalah. Dengan
cara yang sama, kapan klien berbicara tentang perasaan bermasalah, sebagian
besar terapis realitas menegaskan dan mengakui perasaan ini. Alih-alih berfokus
terutama pada perasaan ini, namun, terapis realitas mendorong klien untuk
mengambil tindakan dengan mengubah apa yang mereka lakukan dan pikirkan.
Lebih mudah untuk mengubah apa yang kita lakukan dan berpikir daripada
mengubah perasaan kita. Menurut Glasser (1992), apa yang kita lakukan mudah
dilihat dan tidak mungkin disangkal dan berfungsi sebagaimana mestinya fokus
dalam terapi. Dari perspektif teori pilihan, diskusi berpusat pada perasaan, tanpa
menghubungkannya secara kuat dengan apa yang dilakukan dan dipikirkan orang,
adalah kontraproduktif.53
c. Evaluasi

51
Ibid.
52
Ibid.
53
Ibid.

24
Inti dari terapi realitas, seperti yang telah kita lihat, adalah meminta klien
untuk melakukannya lakukan evaluasi diri berikut: "Apakah perilaku Anda saat
ini memiliki peluang yang masuk akal untuk mendapatkan apa yang Anda
inginkan sekarang, dan apakah itu akan membawa Anda ke arah yang Anda
inginkan?" Secara khusus, evaluasi melibatkan pemeriksaan klien arah perilaku,
tindakan spesifik, keinginan, persepsi, arah baru, dan rencana. Menurut
Wubbolding, klien sering menyajikan masalah dengan hubungan yang signifikan,
yang merupakan akar dari banyak ketidakpuasan mereka. Konselor dapat
membantu klien mengevaluasi perilaku mereka dengan mengajukan pertanyaan
ini: “Apakah perilaku Anda saat ini membawa Anda lebih dekat kepada orang-
orang yang penting bagi Anda atau apakah itu membuat Anda semakin terpisah?
Melalui terampil bertanya, konselor membantu klien mengevaluasi perilaku
mereka saat ini dan arah yang dibawanya. 54 Wubbolding menyarankan pertanyaan
seperti ini:
1) Apakah yang Anda lakukan membantu atau menyakiti Anda?
2) Apakah yang Anda lakukan sekarang adalah yang ingin Anda lakukan?
3) Apakah perilaku Anda berhasil untuk Anda?
4) Apakah ada kesesuaian yang sehat antara apa yang Anda lakukan dan apa
yang Anda meyakini untuk lakukan?
5) Apakah yang Anda lakukan melanggar aturan?
6) Apakah yang Anda inginkan realistis atau dapat dicapai?
7) Apakah itu membantu Anda untuk melihatnya seperti itu?
8) Seberapa besar komitmen Anda terhadap proses terapeutik dan perubahan
kehidupan Anda?
9) Setelah dengan hati-hati memeriksa apa yang Anda inginkan, apakah itu
tampak terbaik bagi kepentingan Anda dan untuk kepentingan terbaik orang
lain?55

Meminta klien untuk mengevaluasi setiap komponen perilaku total mereka


adalah tugas utama dalam terapi realitas. Adalah tugas konselor untuk membuat

54
Ibid.
55
Ibid., 327.

25
klien mengevaluasi kualitas tindakan mereka dan untuk membantu mereka
membuat pilihan yang efektif. Individu tidak akan berubah sampai mereka
pertama kali memutuskan bahwa perubahan akan lebih menguntungkan. Tanpa
penilaian diri yang jujur, kecil kemungkinan klien akan berubah.56

Terapis realitas tanpa henti dalam upaya mereka untuk membantu klien
melakukan evaluasi diri secara eksplisit setiap komponen perilaku. Ketika terapis
bertanya kepada klien yang depresi apakah perilaku ini membantu dalam jangka
panjang, mereka memperkenalkan ide pilihan kepada klien. Proses evaluasi
terhadap komponen tindakan, pemikiran, perasaan, dan fisiologis dari perilaku
total berada dalam lingkup tanggung jawab klien.57

Terapis realitas mungkin mengarahkan dengan klien tertentu di awal


perlakuan. Hal ini dilakukan untuk membantu klien mengenali bahwa beberapa
perilaku tidak efektif. Dalam bekerja dengan klien yang mengalami krisis,
misalnya, kadang-kadang perlu untuk menyarankan secara lugas apa yang akan
berhasil dan apa yang tidak. klien lain, seperti pecandu alkohol dan anak-anak
pecandu alkohol, membutuhkan arahan sejak dini pengobatan, karena mereka
sering tidak memiliki perilaku berpikir dalam sistem kontrol mereka untuk dapat
membuat evaluasi yang konsisten ketika hidup mereka benar-benar di luar
kendali efektif. Klien-klien ini cenderung memiliki gambar buram dan, kadang-
kadang, begitu tidak menyadari apa yang mereka inginkan atau apakah keinginan
mereka realistis. Saat mereka tumbuh dan terus berinteraksi dengan konselor,
mereka belajar membuat evaluasi dengan lebih sedikit dan sedikit bantuan dari
konselor.58

d. Perencanaan dan Tindakan


Banyak pekerjaan konseling yang signifikan proses melibatkan membantu
klien mengidentifikasi cara-cara spesifik untuk memenuhi keinginan mereka dan
kebutuhan. Begitu klien menentukan apa yang ingin mereka ubah, mereka
umumnya siap untuk mengeksplorasi perilaku lain yang mungkin dan
56
Ibid.
57
Ibid.
58
Ibid.

26
merumuskan rencana tindakan. Itu proses membuat dan melaksanakan rencana
memungkinkan orang untuk mulai mendapatkan kontrol yang efektif atas
kehidupan mereka. Jika rencana itu tidak berhasil, karena alasan apa pun,
konselor dan klien bekerja sama untuk menyusun rencana yang berbeda. Rencana
memberikan klien titik awal, pijakan hidup, tetapi rencana dapat dimodifikasi
sesuai kebutuhan.59
Sepanjang fase perencanaan ini, konselor terus mendesak klien untuk
bersedia menerima konsekuensi atas pilihan dan tindakannya sendiri. Wubbolding
membahas peran sentral perencanaan dan komitmen. Puncak dari siklus konseling
terletak pada rencana tindakan. Dia menggunakan akronim SAMIC3 untuk
menangkap inti dari rencana yang baik: sederhana, dapat dicapai, terukur,
langsung, terkendali oleh perencana, berkomitmen, dan dilakukan secara terus
menerus. Wubbolding berpendapat bahwa klien mendapatkan kontrol yang lebih
efektif atas hidup mereka dengan rencana yang memiliki karakteristik berikut:
1) Rencana tersebut berada dalam batas motivasi dan kapasitas klien. Konselor
yang terampil membantu klien mengidentifikasi rencana yang melibatkan
imbalan pemenuhan kebutuhan yang lebih besar. Klien mungkin ditanya,
“Rencana apa yang bisa Anda buat sekarang yang akan menghasilkan
kehidupan yang lebih memuaskan?”
2) Rencana yang baik itu sederhana dan mudah dimengerti. Meskipun mereka
perlu spesifik, konkret, dan terukur, rencana harus fleksibel dan terbuka revisi
karena klien mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang perilaku
tertentu mereka ingin berubah.
3) Rencana tersebut melibatkan rangkaian tindakan yang positif, dan dinyatakan
dalam bentuk apa yang klien bersedia lakukan. Bahkan rencana kecil dapat
membantu klien mengambil langkah signifikan menuju perubahan yang
mereka inginkan.
4) Konselor mendorong klien untuk mengembangkan rencana yang dapat mereka
lakukan terlepas dari apa yang orang lain lakukan. Rencana yang bergantung

59
Ibid.

27
pada orang lain memimpin klien untuk merasakan bahwa mereka tidak
mengemudikan kapal mereka sendiri tetapi berada di belas kasihan lautan.
5) Rencana yang efektif bersifat berulang dan, idealnya, dilakukan setiap hari.
6) Rencana dilakukan sesegera mungkin. Konselor dapat mengajukan
pertanyaan, “Apa yang ingin Anda lakukan hari ini untuk mulai mengubah
hidup Anda?”
7) Rencana melibatkan aktivitas yang berpusat pada proses. Misalnya, klien
dapat merencanakan untuk melakukan salah satu dari yang berikut: melamar
pekerjaan, menulis surat kepada teman, mengambil kelas yoga, ganti makanan
bergizi dengan junk food, sediakan 2 jam seminggu untuk bekerja sukarela,
atau berlibur yang mereka inginkan.
8) Sebelum klien melaksanakan rencana mereka, ada baiknya mereka
mengevaluasinya dengan terapis mereka untuk menentukan apakah itu
realistis dan dapat dicapai dan apakah itu berkaitan dengan apa yang mereka
butuhkan dan inginkan. Setelah rencana telah dilakukan dalam kehidupan
nyata, akan berguna untuk mengevaluasinya kembali dan membuat revisi
yang mungkin diperlukan.
9) Untuk membantu klien berkomitmen pada rencana mereka, hal ini berguna
bagi mereka tegaskan secara tertulis.60

Resolusi dan rencana kosong kecuali ada komitmen untuk melaksanakannya


keluar. Terserah klien untuk menentukan bagaimana membawa rencana mereka di
luar batasan dunia terapi dan ke dunia sehari-hari. Terapi yang efektif dapat
menjadi katalis yang mengarah pada kehidupan mandiri dan bertanggung jawab.61

Meminta klien untuk menentukan apa yang mereka inginkan untuk diri
mereka sendiri, membuat evaluasi diri, dan menindaklanjuti dengan rencana
tindakan termasuk membantu mereka dalam menentukan seberapa intens mereka
bersedia bekerja untuk mencapai perubahan yang mereka inginkan. Komitmen
bukanlah masalah semua atau tidak sama sekali; itu ada dalam derajat.
Wubbolding berpendapat bahwa penting bagi seorang terapis untuk berekspresi
60
Ibid., 328.
61
Ibid.

28
kekhawatiran tentang tingkat komitmen klien, atau seberapa banyak mereka
bersedia bekerja untuk membawa perubahan. Ini berkomunikasi secara implisit
kepada klien bahwa mereka memiliki dalam diri mereka kekuatan untuk
mengambil alih hidup mereka. Ini penting bahwa klien yang enggan membuat
komitmen dibantu untuk mengungkapkannya dan mengeksplorasi ketakutan
mereka akan kegagalan. Klien dibantu oleh terapis yang tidak mudah menyerah
percaya pada kemampuan mereka untuk membuat pilihan yang lebih baik, bahkan
jika mereka melakukannya tidak selalu berhasil dalam menyelesaikan rencana
mereka.62

62
Ibid.

29
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Glasser, setiap individu memiliki kebutuhan psikologis yang se cara
konstan hadir sepanjang rentang kehidupan dan harus dipenuhi, dan individu mengalami
permasalahan psikologis karena ia terhambat dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Keterhambatan pemenuhan kebutuhann psikologis pada dasarnya karena penyangkalan
terhadap realitas, yaitu kecenderungan seseorang untuk menghindari hal-hal yang tidak
menyenangkan. Dalam pendekatan realitas, penerimaan terhadap realita dapat dicapai de
ngan melakukan sesuatu yang realistis (reality), bertanggungjawab (res ponsibility), dan
benar (right), dikenal dengan istilah 3R. Konsep 3R harus tercermin dalam keseluruhan
perilaku konseli (total behavior), meliputi tindakan (doing), pikiran (thinking), perasaan
(feeling), dan respons-respons fisiologisnya (physiology).
Perilaku total (total behavior) individu dianalogikan seperti berfungsinya
kendaraan roda empat. Seperti halnya keempat roda mobil membawa arah Pandangan
Glasser tentang manusia adalah: setiap individu bertanggung jawab terhadap
kehidupannya, tingkah laku seseorang merupakan upaya mengontrol lingkungan untuk
memenuhi kebutuhannya, individu ditantang untuk menghadapi realita tanpa
mempedulikan kejadian-kejadian di masa lalu, serta tidak memberi perhatian pada sikap
dan motivasi di bawah sadar, dan setiap orang memiliki kemampuan untuk melakukan
sesuatu pada masa kini.
Kebutuhan dasar manusia menurut Glasse meliputi kebutuhannya untuk merasa
memiliki dan terlibat atau melibatkan diri dengan orang lain, kebutuhan akan power,
kebutuhan untuk merasa senang, bahagia, dan kebutuhan untuk merasakan
kebebasan/kemerdekaan dan tidak bergantung pada orang lain. Perkembangan
kepribadian yang sehar ditandai dengan berfungsinya individu dalam memenuhi
kebutuhan psikologisnya secara tepat. Gasser menyebutnya dengan istilah "identitas
berhasil" dan "identitas gagal".

30
Konseling ini bertujuan membantu individu mencapai identitas berhasil, yaitu
individu yang mengetahui langkah-langkah apa yang akan ia lakukan di masa yang akan
datang dengan segala konsekuensinya. Bersama-sama konselor, konseli dihadapkan
kembali pada kenyataan hidup, sehingga dapat memahami dan mampu menghadapi
realita.

B. Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah
diatas terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis nanti
akan segera perbaikan susunan makalah itu dengan mengguanakan pedoman dari
beberapa sumber dan kritik yang bias membangun dari para pembaca.

31
DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. Theory and Practice of Counseling & Psychotherapy. Edited by Christina Ganim.
Eighth Edi. Belmont: Thomson Higher Education, 2009.
Hidayati, Nurul Wahyu. “Implementasi Pendekatan Realita Dalam Local Wisdom.” Prosiding
SNBK (Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling) 2 (2018): 234 – 240.
Komalasari, Gentina. dkk. Teori Dan Teknik Konseling. Cetakan pe. Jakarta Barat: PT Indeks,
2011.
Potabuga, Yodi Fitradi. “Pendekatan Realitas Dan Solution Focused Brief Therapy dalam
Bimbingan Konseling Islam.” al-Tazkiah 9 (2020): 40–55.

32

Anda mungkin juga menyukai