Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KONSELING BEHAVIORAL (TINGKAH LAKU)

TEKNIK LABORATORIUM KONSELING II

Dosen Pengampu :
Drs. Akmal Sutja, M. Pd.
Rully Andi Yaksa, S.Pd, M.Pd.
Muhammad Hamdi, S. Pd., M. Pd.

Disusun Oleh :
Kelompok 9
Kelas R-002

Nur Aliza A1E120031


Putri Tri Rizki A1E120056
Muhammad Rai Farhan A1E120071

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Makalah Konseling
Behavioral”. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat
nanti.

Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Rully Andi


Yaksa, S.Pd., M.Pd beserta tim dosen pengampu mata kuliah ‘Teknik Laboratorium
Konseling II’ yang sudah memberikan kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan tugas
ini.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Jambi, Februari 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang Masalah..............................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................4
2.1 Sejarah Konseling Behavioral.........................................................................................4
2.2 Konsep Dasar Konseling Behavioral................................................................................8
2.3 Pandangan tentang Manusia.............................................................................................9
2.4. Teknik-Teknik Konseling Behavioral...........................................................................10
2.5 Prosedur Konseling Behavioral.....................................................................................12
BAB III.................................................................................................................................14
PENUTUP............................................................................................................................14
3. 1 Kesimpulan....................................................................................................................14
3.2 Saran...............................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia memulai kehidupannya dan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan


interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang akan membentuk kepribadian.
Perilaku seseorang ditentukan oleh intensitas dan beragamnya jenis penguatan
(reinforcement) yang diterima dalam situasi hidupnya. Pendekatan behavior di dalam
proses konseling membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan
lingkungan. Pendekatan Behaviorisme memandang bahwa poin penting dari pendekatan
ini yaitu perilaku yang di munculkan oleh seseorang. Pendekatan behaviorisme melihat
segala bentuk masalah yang ada daldm diri seseorang berasala dari tingkah laku yang ada
pada diri manusia tanpa mengaitkan terhadap konsepsi-konsepsi mengenai kesadaran dan
mentalitas.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana perkembangan dari konseling behavioral ?


1.2.2 Bagaimana konsep konseling behavioral?
1.2.3 Bagaimana konsep hakikat manusia dalam teori behavioral?
1.2.4 Bagaimana teknik serta prosedur pelaksanaan konseling behavioral ?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Memahami konsep konseling behavioral


1.3.2 Memahami sejarah perkembangan konseling behavioral
1.3.3 Memahami hakikat manusia dalam teori behavioral
1.3.4 Memahami teknik dan prosedur pelaksanaan konseling behavioral
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Konseling Behavioral

Penggunaan istilah konseling perilaku pertama kali dikemukakan oleh Krumboltz.


Menurut Krumboltz & Thoresen (1969) konseling perilaku sebagai proses membantu
individu untuk belajar bagaimana menyelesaikan permasalahan interpersonal,
emosional dan pengambilan keputusan. Pendekatan perilaku dalam konseling
menghasilkan suatu asumsi dasar bahwa hampir semua masalah adalah masalah dalam
belajar (Krumboltz, 1966). Menurut Krumboltz (1966) karakteristik konseling perilaku
meliputi hal-hal berikut (a) Konseling merupakan proses pendidikan, (b) Metode
asesmen, tujuan, dan teknik konseling dirakit atas dasar karakteristik konseli secara
individu dan Metodologi ilmiah. Konseling perilaku dikenali dengan sudut pandang dan
prosedur yang beragam, tetapi para praktisi berfokus pada perilaku yang dapat
diobservasi, determinan perilaku yang jelas, pengalaman pembelajaran untuk
mendorong perubahan dan asesmen dan evaluasi yang teliti (Kazdin, 2001).

Pendekatan behavioral muncul akibat adanya penolakan terhadap aliran strukturalisme.


Pendekatan strukturalisme berpendapat bahwa mental, pikiran dan perasaan hendaknya
ditemukan terlebih dahulu bila perilaku manusia ingin dipahami, maka munculah teori
introspeksi. Pendekatan behaviorisme tidak sependapat dengan teori yang
dikembangkan oleh alairan strukturalisme ini, karena menurut pendekatan behaviorist
metode introspeksi tidak dapat menghasilkan data yang objektif, karena kesadaran
menurut para behaviorist adalah sesuatu yang Dubios, yaitu sesuatu yang tidak dapat
diobservasi secara langsung, secara nyata (Walgito,2002:53).

Dalam pendekatan behavioral, konseling dipandang sebagai penggunaan berbagai


prosedur yang sistematis oleh konselor dan konseli untuk mencapai perubahan yang
relevan dengan tujuan yang diinginkan. Tentu saja, tujuan tersebut berdasarkan pada
pencapaian pemecahan masalah yang dihadapi oleh konseli. Konseling perilaku
dikembangkan oleh empat ahli dengan alirannya masing-masing yang meliputi (a)
Pavlov dengan aliran clasical conditioning, (b) B.F Skinner dengan aliran operant
conditioning (c) Bandura dan Walters dengan aliran social learning dan (d) Watson
dengan aliran cognitive behavior therapy. Masing- masing aliran memiliki cara yang
berbeda dalam memandang individu dan mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh
individu (Corey, 2015). Kemunculan behavior cognitive bersama-sama dengan teori
belajar sosial menampilkan terapi perilaku kontemporer mainstream. Di mana kognitif
berperan sentral dalam memahami dan memperlakukan masalah perilaku dan emosi
(Craske, 2010).

Pendekatan ini menawarkan bermacam-macam metode yang berorientasi aksi untuk


membantu individu mengubah yang mereka pikirkan dan lakukan. Perkembangan
konseling perilaku pada masa kini cenderung diintegrasikan dengan pendekatab
kognitif (Benjamin.,dkk, 2011). Akhir tahun 1990, Association for Advencement of
Behavior Therapy mengklaim telah memiliki jumlah anggota sebanyak 4.300 orang dan
50 jurnal terapi dan konseling perilaku serta banyak sorotan lainnya ditemukan di
sebagian besar belahan dunia (Forand, 2011). Pada saat ini kaum behavioris menilai
bahwa seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar, yang bermakna bahwa perubahan
perilaku organisme sebagai pengaruh dari lingkungan (Verkaaik.,.dkk, 2011).

Pendekatan Behaviorisme memandang bahwa poin penting dari pendekatan ini yaitu
perilaku yang di munculkan oleh seseorang. Pendekatan behaviorisme melihat segala
bentuk masalah yang ada daldm diri seseorang berasala dari tingkah laku yang ada pada
diri manusia tanpa mengaitkan terhadap konsepsi-konsepsi mengenai kesadaran dan
mentalitas. Pendekatan behaviorisme di Rusia merupakan penekatan yang lahir dan
dipelopori oleh Ivan Pavlov, namun pada waktu yang bisa dikatakan hampir bersamaan
di Amerika behaviorisme muncul dengan salah satu tokoh utamanya John B. Watson.
Berikut ini beberapa ahli behavior:

Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)

Ivan Petrovich Pavlov yang bisa di panggil pavlov merupakan warga yang berasal dari
Rusia dan melahirkan sebuah teori yaitu pengkondisian klasik (classical conditioning).
Pada waktu itu pavlov mencoba mengembangkan sebuah eksperimennya menggunakan
anjing sebagai bagian dari penelitian. Pengkondisian yang dikembangkan oleh Pavlov
menjelasakan bahwa dari hasil ekperimen menunjukan bahwa rangsangan secara
berulang-ulang ditambah dengan unsur penguat maka akan mengahsilkan suatu reaksi.
Menurut Pavlov dalam Walgito (2002: 53) aktivitas organisme dapat dibedakan atas:

(1) Aktivitas yang bersifat reflektif,

(2) Aktivitas yang disadari.

Pendekatan Psikologi yang sudah diciptakan oleh Ivan P Pavlov dikenal dengan
sebutan psikologi reflek (psychoreflexiologi), yaitu pendekatan yang lebih menekankan
kepada kepada berbagai hal yang berbentuk perilaku yang sifatnya reflek. Edward Lee
Thorndike (1874-1949) Thorndike lahir di Williamsburg tahun 1874, salah satu hasil
karyanya yang viral yaitu penelitian mengenai psikologi binatang serta teori belajar
Trial and error. Konsep yang dikembangkan oleh Thorndike lebih menekankan kepada
aspek fungsional perilaku yaitu proses mental dan perilaku seseorang tehadap terhadap
lingkungannya. Mendasarkan pada konsep yang ada maka Thorndike dipandang
sebagai tokoh lebih bersifat fungsional, berbeda dengan Pavlov yang behaviorist
asosiatif. Eksperimennya Thorndike menetapkan tiga macam hukum yang dikenal
dengan hukum primer dalam hal belajar, berikut tiga hukum yang dimaksud

1. Hukum Kesiapsediaan the law of readiness

2. Hukum Latihan The Law of exercise

3. Hukum efek The Law of efect

The law of readiness, adalah salah satu faktor penting dalam belajar. Sesorang harus
memiliki kesiapan dan kesediaan, kesiapan dan kesediaan akan menentukan hasil
belajar apakah baik atau buruk.. Sedangkan the law of exercise mempunyai dua hal
penting yaitu hukum kegunaan (the law of use) yaitu hukum yang menyatkan bahwa
hubungan antara stimulus dan respon menjadi semakin kuat jika sering digunakan. The
law of disuse merupakan hukum yang lebih menekankan kepada hubungan antara
stimulus dan respons yang menjadi lemah jika tidak dilakukan latihan. The law of
effect lebih menitikberatkan kepada penguatan atau memperlemah hubungan stimulus
dan respons tergantung kepada hasil dari respons yang bersangkutan.

Burrhus Frederic Skinner (1904-1990)

Skinner merupakan tokoh dalam bidang pengkondisian operan (operant condisioning),


pengkondisian operan sebagai temuan yang berharaga bagi Skinner, untuk bisa
menguasai pengkondisian operan ini maka kita harus memahami perilaku operan dan
perilaku respons.

Perilaku respons; perilaku respons adalah perilaku alami, perilaku ini merupakan hasil
langsung antara respons dan stimulus, perilaku ini bersifat reflektif. Perilaku ini sama
dengan istilah aktivitas reflektif dalam pengkondisian klasik yang dikembangkan oleh
Pavlov. Perilaku operan; berbeda dengan perilaku respon, perilaku ini sifatnya spontan,
perilaku yang ada terbentuk bukan karena stimulus akan tetapi muncul karena
organisme itu sendiri. Pengkondisian operan menekankan kepada hadiah atau (reward).
Perilaku akan muncul kembali ketika mendapatkan imbalan (reward), dan imbalan atau
reinforcement stimulus akan memicu banyaknya respon yang akan muncul. Hukum
dasar pengkondisian operan yaitu ketika ada satu operan yang disertai dengan
penguatan rangsangan, maka respon akan semakin bertambah. reinforcement stimuli
dapat bersifat positif atau negative. Penguatan perangsang
John Broadus Watson (1878-1958)

Watson berpendapat bahwa psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku.
Behaviorisme dapat memprediksi reaksi dari satu hal mengenai kondisi yang memicu
dan sebaliknya. Inti behaviorisme yaitu memprediksi dan mengontrol perilaku. Watson
mengemukakan pandangan behavioristiknya yang membantah pandangan
strukturalisme dan fungsionalisme tentang kesadaran. Menurut Watson perilaku yang
dipelajari adalah perilaku yang dapat diamati, bukan kesadaran, karena kesadaran
adalah sesuatu yang dubios. Metode-metode yang dikembangkan oleh Watson lebih
menekankan kepada kajian tentang binatang dan anak-anak, seperti sebuah kajian yang
dilakukan dalam pengkondisian (pobia) rasa takut pada anak-anak. Tahun 1960,
Stanford University psikolog Albert Bandura ilmu mengembangkan dan meneliti teori
belajar sosial yang mencakup prinsip prinsip pengkondisian klasik dan operan sosial
(pemodelan dan imitasi) dan kognitif (pikiran, gambar, dan harapan) faktor dalam
pembelajaran (Bandura, 1977, 1986). Pujosuwarno (1993: 79-80) istilah konseling
behavior pertama kali digunakan oleh lindzey pada tahun 1954, yang kemudian sering
dikenalkan oleh lazarus tahun 1985. Istilah ini lebih dikenal di inggris, sedang di
amerika serikat lebih dikenal dengan behavior modifikasi.

2.2 Konsep Dasar Konseling Behavioral

Konseling behavioral didasarkan pada prinsip dan prosedur metode ilmiah. Prinsip
eksperimen berasal dari pembelajaran yang bersifat tersusun rapi dan diterapkan untuk
membantu orang dalam mengubah perilaku yang tidak sesuai dengan diri mereka. Ciri-
ciri yang nampak dan sebagai pembeda antara yang satu dengan yang lain yaitu adalah
kepatuhan sistematis agar mereka dapat menyesuaikan dan menilai kembali secara
empiris. Transaksi konseling perilaku dengan masalah saat ini konseli dan faktor yang
mempengaruhi mereka, sebagai lawan dari analisis tentang kemungkinan determinan
sejarah. Penekanan pada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi fungsi ini dan apa
faktor-faktor yang dapat digunakan untuk memodifikasi kinerja. Konseli yang terlibat
dalam pendekatan behaviorisme diharapkan dapat mengasumsikan peran yang jelas dan
nyata untuk menangani masalah mereka. Konseli dalam pendekatan ini diharapkan
dapat mempellajari perilaku baru yang bersifat adaptif sehingga bisa diterapkan untuk
menggantikan perilaku yang tidak sesuai atau maladaptif.

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa perubahan dapat berlangsung tanpa wawasan


dinamika yang mendasarinya. Konselor perilaku beroperasi pada premis bahwa
perubahan perilaku dapat terjadi sebelum atau bersamaan dengan pemahaman diri
sendiri, dan bahwa perubahan perilaku juga dapat menyebabkan peningkatan tingkat
selfunderstanding.

Fokusnya adalah pada menilai perilaku terbuka dan rahasia secara langsung,
mengidentifikasi masalah, dan mengevaluasi perubahan.

Intervensi perilaku secara individual disesuaikan dengan masalah

spesifik yang dialami oleh konseli agar bisa terobati.

Behavior berbeda dengan pendekatan lainya, behavior ditandai oleh:

(a) memfokuskan kepada tingkah laku yang tampak, dan spesifik (b) kecemasan akan
menetukan perlakuan yang diberikan, (c) prosedur perlakuan khas sesuai dengan
masalah, dan (d) memprediksikan hasil dari konseling yang dilaksanakan. Dari hal
tersebut dapat diketahui bahwa konseling behavior mempunyai ciri-ciri khusus
diantaranya yaitu: Proses konseling mendasarkan pada prinsip dan prosedur metode.

Ciri-ciri konseling behavioral yaitu kebanyakan perilaku manusia dipelajari dan karena
itu dapat dirubah, perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat
membantu dalam mengubah perilaku-perilaku yang relevan, Prosedur prosedur
konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku klien
dengan mengubah lingkungannya, keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari
perubahan dalam perilaku-perilaku khusus diluar wawancara prosedur-prosedur
konseling, prosedur-prosedur konseling tidak statis, tetap atau ditentukan sebelumnya,
tetapi dapat secara khusus didisain untuk membantu memecahkan masalah khusus
(Surya, 2003).

2.3 Pandangan tentang Manusia

Berdasarkan pada hakikat manusia, teori dan pendekatan behavior ini menganggap
bahwa pada dasarnya manusia bersifat mekanistik atau merespon kepada lingkungan
dengan kontrol yang terbatas, hidup dalam alam deterministik dan sedikit berperan
aktif dalam menentukan martabatnya. Manusia memulai kehidupannya dan
memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola
perilaku yang akan membentuk kepribadian. Perilaku seseorang ditentukan oleh
intensitas dan beragamnya jenis penguatan (reinforcement) yang diterima dalam situasi
hidupnya. Pendekatan behavior di dalam proses konseling membatasi perilaku sebagai
fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilku yang dapat diamati
merupakan suatu kepedulian dari konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan
konseling. Dalam konsep behavior, perilaku manusia merupakan hasil belajar yang
dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasikan kondisi-kondisi belajar. Di
mana proses konseling merupakan suatu proses atau pengalaman belajar untuk
membentuk konseli mengubah perilakunya sehingga dapat memecahkan masalahnya.
Dalam konsep behaviorisme modern, perilaku manusia dipandang dalam mekanisme
dan pendekatan ilmiah yang diimplikasikan pada pendekatan secara sistematis dan
terstruktur dalam proses konseling. Manusia tidak diasumsikan secara deterministik
tetapi merupakan hasil dari pengkondisian sosio kultural. Trend baru dalam
behaviorisme adalah diberinya peluang kebebasan dan menambah keterampilan konseli
untuk memiliki lebih banyak opsi dalam melakukan respon.

Secara filosofis behaviorisme meletakkan manusia dalam kutub yang berlawanan,


namun pandangan modern menjelaskan bahwa faktor lingkungan memiliki kekuatan
alamiah bagi manusia dalam stimulus-respon, sesuai dengan konsep social learning
theory dari Albert Bandura. Konsep ini menghilangkan pandangan manusia secara
mekanistik dan deterministik bahkan dalam tulisan Thoresen dan Coates, behaviorisme
modern merupakan perpaduan antara behavioral-humanistic approaches.

2.4 Teknik-Teknik Konseling Behavioral

Menurut Corey (2005), bahwa teknik konseling behavioral terbagi atas yaitu atihan
asertif, teknik ini digunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk
menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak dan benar. Desensitisasi sistematis,
merupakan teknik konseling behavioral yang memfokuskan bantuan untuk
menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk
rileks. Pengkondisian Aversi, teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan
kebiasaan buruk, Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan
secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki
kemunculannya, Teknik modeling, teknik ini dapat digunakan untuk membentuk
tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk,
Covert Sensitization, teknik ini dapat digunakan untuk merawat tingkah laku yang
menyenangkan klien tapi menyimpang. Thought Stopping, teknik ini dapat digunakan
untuk klien yang sangat cemas.

Adapun Teknik-teknik dalam Konseling Behavioral didasarkan pada penghapusan


respon yang telah dipelajari (yang membentuk pola tingkah laku) terhadap perangsang,
dengan demikian respon-respon yang baru akan dapat dibentuk, di antaranya yaitu:

1. Latihan Asertif Latihan asertif adalah salah satu dari sekian banyak topik yang
tergolong populer dalam terapi perilaku. Berguna untuk menjelaskan perkataan asertif,
dapat dilakukan melalui uraian pengertian perilaku asertif. Perilaku asertif adalah
perilaku antar perorangan yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran
dan perasaan.perilaku asertif ditandai oleh kesesuaian sosial dan sesseorang yang
berperilaku asertif mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain (Gunarsa
dan Yulia, 2003: 70). Cara yang digunakan dalam latihan asertif adalah dengan
permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kecil kelompok
diterapkan untuk latihan asertif ini (Latipun, 2003: 85).

2. Desentsitisasi Sistematis Desensititasi sistematis merupakan teknik konseling


behavioral yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan konseli dari ketegangan
yang dialami dengan cara mengajarkan konseli untuk rileks. Teknik ini merupakan
tekni relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif
biasanya berupa kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan
perilaku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang
tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Cara yang digunakan dalam
keadaan dengan stimulus yang menimbulkan kecemasan dipasangkan dengan stimulus
yang menimbulkan keadaan santai. Dipasangkan secara berulang-ulang sehingga
stimulus menimbulkan kecemasan hilang secara berangsur-angsur.

3. Terapi Implosif

Terapi implosif dikembangkan berdasarkan atas asumsi bahwa seseorang yang secara
berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi
yang menakutkan teryata tidak muncul, maka kecemasan akan menghilang. Dalam
situasi konseling secara berulang-ulang membayangkan stimulus sumber kecemasan
dan konsekuensi yang diharapkan ternyata tidak muncul, akhirnya stimulus yang
mengancam tidak memiliki kekuatan dan neurobotiknya menjadi hilang.

4. Pengkondisian Aversi

Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan konseli agar mengamati respon pada
stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak
menyenagkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya
perilaku yang tidak dikehendaki kemunculanya, pengkondisian ini diharapkan
terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak
menyenangkan.jadi terapi aversi ini menahan perilaku yang maladatif dan individu
berkesempatan untuk memperoleh perilaku alternative yang adatif.

5. Kontrak Perilaku Kontrak perilaku didasarkan atas pandangan bahwa membantu


konseli untuk membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan memperoleh ganjaran
tertentu sesuai dengan kontrak yang disepakati. Dalam hal ini individu mengantisipasi
perubahan perilaku mereka atas dasar persetujuan bahwa beberapa konsekuensi akan
muncul. Kontrak perilaku menurut Latipun (2003: 92-95) adalah persetujuan antara dua
orang atau lebih untuk mengubah perilaku tertentu pada konseli. Konselor dapat
memilih perilaku dimunculkan sesuai dengan kesepakatan, ganjaran dapat diberikan
kepada konseli. Dalam terapi ini ganjaran positif terhadap perilaku yang dibentuk lebih
dipentingkan dari pada pemberian hukuman jika kontrak perilaku tidak berhasil.

Konselor behavioral memiliki peran yang sangat penting dalam membantu klien.
Wolpe (dalam Latifun, 2001) mengemukakan peran yang harus dilakukan konselor,
yaitu bersikap menerima, mencoba memahami klien dan apa yang dikemukakannya.
Dalam hal ini menciptakan iklim yang baik adalah sangat penting untuk mempermudah
melakukan modifikasi perilaku. Konselor lebih berperan sebagai guru yang membantu
klien melakukan teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah, tujuan
yang hendak dicapai

2.5 Prosedur Konseling Behavioral

Ivey (1987) menjelaskan bahwa dalam pendekatan behavior hal yang penting untuk
mengawali konseling adalah mengembangkan kehangatan, empati dan hubungan
supportive. Corey (2005) menjelaskan bahwa proses konseling yang terbangun dalam
pendekatan behavioristik terdiri dari empat hal yaitu ;

(1) tujuan terapis diarahkan pada memformulasikan tujuan secara spesifik, jelas, konkrit,
dimengerti dan diterima oleh konseli dan konselor,

(2) peran dan fungsi konselor/terapis adalah mengembangkan keterampilan


menyimpulkan, reflection, clarification, dan open-ended questioning,

(3) kesadaran konseli dalam melakukan terapi dan partisipasi konselor ketika proses
terapi berlangsung akan memberikan pengalaman positif pada konseli dalam terapi, dan

(4) memberi kesempatan pada konseli karena kerjasama dan harapan positif dari konseli
akan membuat hubungan terapis lebih efektif. Sedangkan menurut Ivey, et.al (1987);
Ivey (1987) menjelaskan bahwa kesuksesan dalam melakukan konseling dengan
pendekatan behavioristik didasarkan pada ; (1) hubungan antara konselor dengan
konseli, (2) operasionalisasi perilaku (making the behavior concrete and observable), (3)
analisis fungsional (the A-B-Cs of behavior), dan (4) menetapkan tujuan perubahan
perilaku (making the goals concrete). Woolfe dan Dryden (1998) menegaskan bahwa
dalam kerangka hubungan antara konselor-konseli secara bersama-sama harus konsisten
dalam hal, pertama; konseli diharapkan untuk memiliki perhatian positif (minat),
kompetensi (pengalaman) dan aktivitas (bimbingan), kedua; konselor tetap konsisten
dalam perhatian positif, self-disclosure (engagement) dan kooperatif (berorientasi pada
tujuan konseli).

Bagian dari proses konseling yang tidak dapat ditinggalkan adalah proses asesmen.
Dalam behavioral proses ini dapat dilakukan dengan memakai instrumen asesmen, self-
report, behavior rating scales, format self monitoring, teknik observasi sederhana.
Perangkat instrumen tersebut merupakan bagian dari upaya behavioral konseling,
sedangkan teknik-teknik behavioral yang dapat digunakan adalah :

1. Teknik operant conditioning, prinsip-prinsip kunci dalam behavioral adalah penguatan


positif, penguatan negatif, extinction, hukuman positif dan hukuman negatif (Corey,
2005; Ivey, 1987; Lynn, 1985; Carlton, 1971).

2. Model asesmen fungsional, merupakan blueprint bagi konselor dalam memberikan


intervensi yang diperlukan oleh konseli. Langkah-langkah yang disiapkan konselor
dilakukan tahap demi tahap dalam memberikan perlakuan (Corey, 2005).

3. Relaxation training and related methods, adalah teknik yang dipakai untuk melatih
konseli agar melakukan relaksasi. Dalam pelaksanaannya konselor dapat memodifikasi
teknik ini dengan systematic desentisization, asertion training, self management
programs. Teknik ini tepat digunakan untuk terapi-terapi klinis (Corey, 2005; Ivey,
1987; Carlton, 1971).

4. Systematic desentisization merupakan teknik yang tepat untuk terapi bagi konseli yang
mengalami phobia, anorexia nervosa, depresi, obsesif, kompulsif, gangguan body image
(Corey, 2005; Ivey, 1987; Lynn, 1985; Carlton, 1971).

5. Exposure therapies. Variasi dari exposure therapies adalan in vivio desentisization dan
flooding, teknik terapi ini dengan memaksimalkan kecemasan/ketakutan konseli (Corey,
2005; Lynn and Garske, 1985).

6. Eye movement desentisization and reprocessing, didesain dalam membantu konseli


yang mengalami post traumatic stress disorder (Corey, 2005).

7. Assertion training, metode ini didasarkan pada prinsip-prinsip terapi kognitif perilaku.
Ditujukan bagi konseli yang tidak dapat mengungkapkan ketegasan dalam dirinya
(Corey, 2005; Lynn, 1985).

8. Self-management programs and self-directed behavior, terapi bagi konseli untuk


membantu terlibat dalam mengatur dan mengontrol dirinya (Corey, 2005).
9. Multimodal therapy; clinical behavior therapy dikembangkan dengan berdasar pada
pendekatan secara holistic dari teori belajar sosial dan terapi kognitif kemudian sering
disebut dengan technical eclecticism (Corey, 2005).

Teori kognitif perilaku merupakan kelanjutan dari hasil eksperimen yang dirintis Skinner
dan Pavlov. Dalam model ini konseli diajak untuk dapat mengubah tingkah laku baru
dengan terapi- terapi emosi dan kognitif, modifikasi teori kognitif perilaku dari
sebelumnya teori behavior terletak pada peranan emosi dan kognisi yang turut menjadi
penyebab timbulnya perilaku salah

Dalam konseling behavioral langkah-langkah konseling yaitu assessment goal setting


yaitu perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut konselor
dan klien mendefinisikan masalah yang dihadapi klien., klien mengkhususkan perubahan
positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling, konselor dan klien mendiskusikan
tujuan yang telah ditetapkan mengenai apakah tujuan itu realisti, kemungkinan
manfaatnya, kemungkinan kerugiannya, konselor dan klien membuat keputusan apakah
melanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan
dilaksanakan,mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan
referal, teknik implementasi, menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang
digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling,
evaluasi termination, melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah
dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling, feedback,
memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meningkatkan
proses konseling.

Kemampuan konselor dalam menggunakan pendekatan dalam proses konseling


merupakan sebagian dari kompetensi yang harus dimiliki, karena sebagai seorang helper
tidak bijaksana jika dalam suatu proses konselig yang memungkinkan dipakainya
berbagai pendekatan, seorang konselor hanya mengaplikasikan satu pendeaktan. Corey
(1988) menekankan pentingya eklektik konseling yang merupakan orientasi teoritis
dalam melakukan proses konseling.
BAB III

PENUTUP

3. 1 Kesimpulan

Dalam proses konseling, pendekatan behavior merupakan suatu proses di mana konselor
membantu konseli untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional dan
keputusan tertentu yang bertujuan ada perubahan perilaku pada konseli. Pemecahan
masalah dan kesulitannya dengan keterlibatan penuh dari konselor. Pendekatan
behavioristik dalam konseling dipengaruhi oleh ; kelebihan dan perilaku konseli, jenis
problematika, jenis penguatan yang dilakukan dan orang lain yang memiliki arti tertentu
bagi kehidupan konseli dalam perubahan perilakuknya. Dalam pelaksanaannya,
pendekatan behavioristik memiliki kontribusi yang cukup berarti dalam konseling dan
psikoterapi. Pendekatan dalam layanan konseling merupakan suatu strategi untuk
memberikan intervensi kepada konseli. Tujuan yang akan dicapai adalah perubahan pada
konseli yang memungkinkan konseli untuk dapat menerima diri (self-acceptance),
memahami diri (self- understanding), menyadari diri (self-awareness), mengarahkan diri
(self-directing), dan aktualisasi diri (self-actualitation). Dalam proses konseling, dimensi
perubahan merupakan tujuan yang akan dicapai oleh konseli-konselor.

3.2 Saran

 Peran yang harus dilakukan konselor, yaitu bersikap menerima, mencoba memahami
konseli dan apa yang dikemukakan tanpa menilai atau mengkirtiknya.konselor lebih
berperan sebagai guru yang membantu konseli melakukan teknik-teknik modifikasi
perilaku yang sesuai dengan masalah, tujuan yang hendak dicapaI dengan
mengimplementasikan seperangkat prinsip atau prosedur yang meliputi pemantauan diri
(self monitoring), reinforcement yang positif (self reward), perjanjian dengan diri
sendiri (self contracting), penguasaan terhadap ransangan (stimulus control) dan
merupakan keterkaitan antara teknik cognitive, behavior, serta affective dengan susunan
sistematis berdasarkan kaidah pendekatan cognitive behavior therapy, digunakan untuk
meningkatkan keterampilan dalam proses pembelajaran yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Corey G. (2005) Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.

Habsy, Bakhruddin. 2021 Panorama teori-Teori Konseling Modern dan Post-Modern.


Malang: MNC Publishing

Sanyata, Sigit. 2012. Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam Konseling. Jurnal
Paradigma. ISSN 1907-297X

Suwanto, Insan. 2016. Konseling Behavioral dengan Teknik Self-Manageement. ISSN :


2477-5916 e-ISSN : 2477-8370

Anda mungkin juga menyukai