Anda di halaman 1dari 21

KONSELING BEHAVIORAL

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS

TERSTRUKTUR MATA KULIAH MODEL-MODEL

KONSELING PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN

KONSELING

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4:

FIRDA AL ADAWIYAH F1141191018

DERMAWANTI SETYO GUSTI F1141191019

SUPITRI F1141191029

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU

PENDIDIKAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas berkat rahmat
dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dan
tanpa disertai kendala yang berarti. Tak lupa pula kami hanturkan sholawat serta
salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang hingga kini selalu menjadi
teladan dan contoh dalam bersikap.

Kami ucapkan rasa terimakasih kami kepada dosen pengampu mata kuliah
“Model-Model Konseling” yakni Prof. Dr. H. M. Asrori, M. Pd yang telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk membuat makalah ini serta
memberikan kami kesempatan untuk mempelajari secara lebih mendalam
mengenai “Konseling Behavioral”. Tidak lupa pula ucapan terimakasih kepada
rekan-rekan satu tim yang telah banyak berkontribusi dengan baik dalam
membantu merampungkan pembuatan makalah ini.

Makalah yang kami susun ini kami beri judul “Konseling Behavioral”
yang mana di dalamnya akan membahas mengenai materi-materi terkait. Seperti
sejarah perkembangannya, pandangan terhadap manusia, peran dan fungsi
konselor, tujuan konseling behavioral, teknik-teknik yang digunakan serta
aplikasinya dalam konseling. Masing-masing materi tersebut akan kami jelaskan
secara singkat dan jelas dalam makalah ini.

Kami sebagai penyusun menyadari akan banyaknya kekurangan dalam


makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca demi perbaikan di masa yang akan datang. Dan
kami selaku penyusun juga berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi
siapapun yang membacanya.

Pontianak, 1 Februari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..........................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................2
C. TUJUAN...............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3
A. SEJARAH PERKEMBANGAN KONSELING BEHAVIORISTIK...............3
B. DINAMIKA KEPRIBADIAN MANUSIA.........................................................4
C. PERAN DAN FUNGSI KONSELOR DALAM TERAPI BEHAVIORISTIK 6
D. TUJUAN TERAPI BEHAVIORISTIK..............................................................8
E. TEKNIK TERAPI BEHAVIORISTIK...............................................................9
1. Teknik-Teknik Tingkah Laku Umum............................................................9
a. Skedul Penguatan........................................................................................9
b. Shaping........................................................................................................9
c. Ekstingsi.......................................................................................................9
2. Teknik-teknik Spesifik.....................................................................................9
a. Desesnsitisasi Sistematik...........................................................................10
b. Pelatihan Asertivitas.................................................................................10
c. Time-Out....................................................................................................11
d. Implosion dan Flooding.............................................................................11
F. APLIKASI TEORI BEHAVIORISTIK DALAM KONSELING..................12
BAB III PENUTUP.......................................................................................................14
A. SIMPULAN........................................................................................................14
B. SARAN................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Menurut Farid Mashudi (2018), behaviorisme merupakan salah
satu pendekatan dalam memahami perilaku individu. Behaviorisme
memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah dan
mengabaikan aspek-aspek mental. Dia juga menambahkan bahwa
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan
perasaan inidvidu dalam belajar. Selanjutnya, Uyoh Sadulloh (2017) dalam
bukunya yang berjudul “Pengantar Filsafat Pendidikan” mengatakan
behaviorisme didasarkan pada prinsip bahwa perilaku manusia yang
diinginkan merupakan produk desain dan bukannya kebetulan. Dalam hal
ini saya dapat menyimpulkan bahwa perilaku manusia merupakan hasil
dari suatu pemberian stimulus/rangsangan dan bukanlah suatu hal yang
telah ada sebelumnya. Jadi, perilaku manusia merupakan sesuatu yang
dibentuk berdasarkan pemberian stimulus/rangsangan dari konselor. Farid
Mashudi (2018) juga mengatakan bahwa teori perubahan tingkah laku
behaviorisme merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai akibat
dari adanya interaksi antara stimulus dan respon yang pada akhirnya akan
menyebabkan klien mempunyai suatu pengalaman yang baru. Dari kedua
pendapat diatas, ternyata keduanya sama-sama mengatakan bahwasanya
tingkah laku manusia adalah hasil dari pemberian stimulus/rangsangan
kepada klien.
Adapun aspek penting dari terapi behavioristik adalah bahwa
perilaku dapat didefinisikan secara operasional, diamati dan diukur. Para
ahli behavioristik memandang bahwa gangguan tingkah laku adalah akibat
dari proses belajar yang salah. Oleh karena itu, perilaku tersebut dapat
diubah dengan mengubah lingkungan menjadi lebih positif. Perubahan
tingkah laku inilah yang kelak akan memberikan kemungkinan
dilakukannya evaluasi atas kemajuan klien secara lebih jelas.

1
Dalam hal ini, proses konseling akan berjalan dengan efektif
apabila konselor memahami dan menguasai pendekatan teoritik dalam
konseling. Pendekatan behavioristik sendiri banyak mendapat kritik dan
dukungan dalam perkembangannya. Kritik yang ditunjukkan kepada
pendekatan behavioristik difokuskan pada cara pandangnya terhadap
manusia yang kemudian berimplikasi pada teknik-teknik konseling yang
digunakan. Perkembangan pendekatan behavioristik kontemporer berusaha
untuk menempatkan manusia dalam dimensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan konsep tentang manusia pada awal kemunculannya.
Meskipun demikian, pendekatan behavioristik merupakan salah satu
pendekatan yang masih sangat dominan di pakai dalam konseling dan juga
psikoterapi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah perkembangan konseling behavoristik?
2. Bagaimana pandangan pendekatan behavioristik terhadap dinamika
kepribadian manusia?
3. Bagaimana peran dan fungsi konselor dalam pendekatan behavioristik?
4. Apa saja tujuan-tujuan dari terapi/konseling behavioristik?
5. Apa saja teknik-teknik dalam pendekatan behavioristik?
6. Bagaimana pengaplikasian pendekatan behavioristik dalam konseling?

C. TUJUAN
1. Mengetahui sejarah perkembangan konseling behavioristik.
2. Mengetahui pandangan pendekatan behavioristik terhadap dinamika
kepribadian manusia.
3. Mengetahui peran dan fungsi konselor dalam pendekatan behavioristik.
4. Mengetahui dan memahami tujuan-tujuan dari terapi/konseling
behavioristik.
5. Mengetahui dan memahami teknik-teknik dalam pendekatan
behavioristik.
6. Mengetahui dan memahami pengaplikasian pendekatan behavioristik
dalam konseling.
2
BAB II

PEMBAHASA

A. SEJARAH PERKEMBANGAN KONSELING BEHAVIORISTIK


Terapi tingkah laku (behavioristik) merupakan gabungan dari
beberapa teori belajar yang dikemukakan oleh ahli yang berbeda. Menurut
Willis (2009), terapi tingkah laku berasal dari dua konsep yang dituangkan
oleh Ivan Pavlov dan juga B. F. Skinner. Selanjutnya Latipun (2001)
menambahkan nama John Broades Watson (yang lebih dikenal dengan J.
B. Watson) setelah Pavlov dan Skinner sebagai tokoh yang
mengembangkan serta menyempurnakan prinsip-prinsip behavioristik.
Sedangkan pendiri dari psikologi behavioristik sendiri adalah J. B. Watson
pada tahun 1913. Dalam hal ini, J. B. Watson disebut sebagai pendiri
psikologi behavioristik yang utama sedangkan B. F. Skinner adalah
seorang promotor yang memperkenalkan psikologi behavioristik. Watson
terlebih dahulu yang mengklaim bahwa perilaku manusia terdiri dari
stimuli spesifik yang muncul dalam respon-respon tertentu.
Terapi behavioristik digunakan sekitar awal tahun 1960-an atas
reaksi terhadap psikoanalisis yang dianggap tidak banyak membantu
mengatasi masalah klien. Steven Jay dan Jhon. P. Garske (1985)
menyebutkan bahwa di kalangan konselor/psikolog, teori dan pendekatan
behavioristik sering disebut sebagai modifikasi perilaku (behavior
modification) dan terapi perilaku (behavior therapy). Sedangkan menurut
Carlton. E. Beck (1971), istilah ini dikenal dengan behavior therapy,
behavior counseling, reinforcement therapy, behavior modification dan
contigency management. Istilah pendekatan behavior pertama kali
digunakan oleh Lindzey pada tahun 1954 dan kemudian lebih
diperkenalkan oleh Lazarus pada tahun 1958. Istilah pendekatan tingkah
laku lebih dikenal di Inggris, sedangkan di Amerika Serikat lebih dikenal
dengan istilah behavior modification.

3
Setelah mengetahui sejarah perkembangan dari pendekatan
behavioristik, maka kita juga perlu mengetahui bagaimana sejarah dari
konseling behavioral. Perkembangan konseling dimulai sejak tahun 1896
yang dipelopori oleh Lightner Witmer dengan mendirikan sebuah klinik
psyhchological Counseling Clinic di University of Pennsylvania. Yang
kemudian disusul oleh Jesse B. Davis pada tahun 1898 yang merupakan
orang pertama yang memulai kegiatan sebagai pendidik dan konselor di
Central High School, Detroit. Perkembangan konseling masih terus
berlanjut hingga pada tahun 1930-an, E. G. Willamson menyumbangkan
teorinya mengenai konseling untuk pertama kalinya dengan menggunakan
pendekatan counselor-centered. Gagasannya tersebut kemudian dituangkan
dalam sebuah buku yang berjudul “How to Counseling Student” pada
tahun 1939. Kemudian masih berlanjut pada tahun 1940-an, Carl Rogers
melakukan beberapa perubahan dalam praktik konseling. Gagasannya ini
sangat bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan oleh Williamson
terdahulu. Apabila Williamson menggunakan pendekatan counselor-
centered dalam menangani kliennya, maka Carl Rogers menggunakan
pendekatan person-centered dalam praktiknya menagani klien.
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi perkembangan
konseling, salah satunya adalah perkembangan yang terjadi pada kajian
psikologis. Surya (1988:42) mengungkapkan bahwa kekuatan-kekuatan
tertentu dalam lapangan psikologis telah mempengaruhi berkembangnya
konseling, baik dalam konsep maupun teknik. Selain itu, aliran-aliran yang
muncul dalam lapangan psikologi juga cukup memberikan pengaruh yang
besar terhadap perkembangan konseling.

B. DINAMIKA KEPRIBADIAN MANUSIA


Menurut pendekatan behavioristik, manusia dapat memiliki
kecenderungan positif atau negatif, karena pada dasarnya kepribadian
manusia dibentuk oleh lingkungan dimana dia berada. Pendekatan
behavioristik memandang perilaku sebagai bentuk dari kepribadian yang
dimiliki oleh manusia. Perilaku dihasilkan melalui pengalaman-
pengalaman

4
individu dalam interaksinya dengan lingkungan. Dikarenakan kepribadian
manusia dibentuk oleh lingkungan, maka terkadang lingkungan yang baik
(positif) akan menghasilkan perilaku yang baik, sedangkan lingkungan
yang kurang baik justru akan menghasilkan perilaku yang kurang baik
pula. Behavioristik memandang hakikat manusia sebagai individu yang
pasif, mekanistik dan deterministik. Manusia dianggap sebagai sesuatu
yang dapat dibentuk dan diprogram sesuai dengan keinginan lingkungan
yang membentuknya. Manusia juga dianggap merupakan suatu objek yang
dapat dikendalikan dan diubah sesuai dengan keinginan orang yang ingin
mengubahnya.
Pandangan behavioristik lainnya mengatakan bahwa manusia
sejatinya memiliki kebebasan untuk memilih perilaku seseorang
berdasarkan pemahamannya sendiri. Albert Bandura merupakan salah satu
ahli yang sependapat dengan pernyataan diatas. Menurutnya, manusia
memiliki kebebasan untuk menentukan perilakunya sendiri. Albert
Bandura juga menolak keras pandangan yang menyatakan bahwa manusia
bersifat mekanistik dan deterministik, karena menurutnya manusia adalah
pribadi yang mempunyai kebebasan dalam menghadapi stimulus dari
lingkungannya dan manusia bukanlah subjek yang pasif.
Dustin & George (dikutip dari Gunarsa, 1996) mengemukakan
pandangannya tentang konsep manusia dalam pendekatan behavioristik
sebagai berikut:
1. Manusia bukanlah individu yang baik atau jahat sehingga memiliki
kemampuan untuk berperilaku baik atau jahat.
2. Manusia dapat mengkonseptualisasikan dan mengontrol perilakunya
sendiri.
3. Perilaku manusia dapat mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh
perilaku orang lain.
4. Manusia dapat memperoleh perilaku yang baru.
Pandangan inilah yang kemudian semakin menguatkan bahwa manusia
sejatinya dapat memiliki kemampuan untuk berkembang ke arah yang lebik

5
baik apabila dia berada dalam situasi lingkungan yang mendorongnya
untuk menjadi individu yang baik.
Adapun perilaku bermasalah dalam konsep behavioristik adalah
perilaku yang tidak sesuai atau tidak tepat dengan yang diharapkan oleh
lingkungan. Penetapan perilaku bermasalah mengacu pada perbedannya
dengan perilaku normal yang menekankan aspek penyesuaian diri dengan
lingkungan. Perilaku yang salah dapat ditandai dengan munculnya konflik
antara individu dengan lingkungannya. Hal inilah yang pada akhirnya
dapat menyebabkan ketidakpuasaan dan kesulitan dalam diri inidividu.

C. PERAN DAN FUNGSI KONSELOR DALAM TERAPI


BEHAVIORISTIK
Konselor dalam terapi behavioristik memegang peranan aktif dan
direktif dalam pelaksanaan proses konseling. Dalam hal ini, konselor harus
mencari pemecahan masalah yang dihadapi oleh klien. Selain itu, fungsi
utama dari seorang konselor adalah bertindak sebagai guru, pengarah,
penasehat, konsultan, fasilitator, pemberi dukungan dan mendiagnosis
tingkah laku maladaptif dari klien serta berusaha untuk mengubahnya
menjadi tingkah laku yang adaptif. (Corey, 2009)
Selain itu, fungsi seorang konselor adalah sebagai model bagi
kliennya. Menurut Albert Bandura dalam (Corey, 2009) dia mengatakan
bahwasanya proses fundamental yang paling memungkinkan seorang klien
dapat mempelajari tingkah laku baru adalah dengan melalui proses imitasi
atau percontohan. Inilah yang dimaksud bahwa seorang konselor dalam
terapi behavioristik disebut sebagai model bagi kliennya. Oleh sebab itu,
seorang konselor hendaknya mampu menunjukkan kepribadian yang
positif serta mampu menjadi contoh yang baik bagi kliennya. Terkadang,
konselor yang dijadikan sebagai model bagi kliennya dia akan berusaha
untuk mencontohkan perilaku-perilaku yang positif. Selain itu, klien yang
menganggap koselor sebagai model biasanya memandang konselor sebagai
orang yang patut ia teladani. Dan terkadang, klien akan meniru sikap, nilai
dan juga tingkah laku yang ditampilkan oleh konselor. Untuk itulah,

6
sekiranya dirasa sangat penting bagi konselor untuk menyadari peranannya
yang begitu penting dalam proses konseling sehingga dirinya sendiri tidak
memunculkan perilaku yang semestinya tidak untuk ditiru.
Krasner (dikutip dari Corey, 2009) mengatakan bahwa konselor
berperan sebagai mesin perkuatan bagi kliennya. Oleh karena itu, konselor
dalam praktiknya harus selalu memberikan penguatan positif atau negatif
untuk membentuk tingkah laku baru seorang klien. Hal ini didasarkan pada
sebuah anggapan bahwasanya peranan seorang terapis dalam terapi
behavioristik adalah memanipulasi dan mengendalikan konseling melalui
pengetahuan dan juga keterampilannya dalam menggunakan teknik-teknik
terapi. Ini artinya seorang konselor dalam terapi behavioristik memiliki
kekuatan atau kuasa untuk memberikan pengaruh dan mengendalikan
tingkah laku klien. Anggapan yang sama juga diungkapkan oleh Goodstein
(dikutip dari Corey, 2009) bahwa konselor adalah seorang pemberi
perkuatan. Dalam hal ini, konselor akan selalu menunjang perkembangan
tingkah laku klien agar dapat diterima secara sosial. Dalam hal ini, minat,
perhatian dan memahami klien adalah salah satu bentuk penguatan yang
sangat berati bagi klien.
Terapi behavoristik sejatinya memiliki prosedur kerja yang jelas,
sehingga konselor dan konseli tentunya juga memiliki peran yang jelas
pula. Hal ini menandakan bahwa untuk mencapai tujuan terapi, maka
sangat dibutuhkan kerjasama yang baik antara konselor dan klien. Selain
konselor yang mempunyai peran dan fungsi pentingnya di dalam terapi
behavioristik, ternyata dalam hal ini konseli juga turut memiliki sikap,
peran dan tugasnya dalam terapi behavioristiks, diantaranya:
1. Memiliki motivasi (keinginan) untuk berubah.
2. Memiliki kesadaran dan partisipasi dalam proses terapi, baik itu
selama sesi terapi berlangsung maupun dalam kehidupan sehari-
harinya.
3. Konseli terlibat dalam latihan perilaku dan umumnya menerima
pekerjaan rumah yang aktif seperti self monitoring perilaku
bermasalah untuk menyelesaikan antara sesi terapi.

7
4. Terus menerapkan perilaki baru setelah pengobatan resmi telah
berakhir.

D. TUJUAN TERAPI BEHAVIORISTIK


Tujuan umum dari terapi behavior adalah untuk menciptakan
suasana baru bagi setiap proses belajarnya. Teori mendasar yang ada pada
diri manusia adalah setiap tingkah laku manusia itu dipelajari, termasuk
tingkah laku maladaptif. Apabila tingkah laku tersebut tingkah laku
neurotik learned maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan) dan
tingkah laku yang baik dan efektif bisa diperoleh. Teori tingkah laku
sebenarnya terdiri atas penghapusan sikap yang tidak efektif kemudian
diganti dengan perilaku yang lebih efektif, dan juga memberikan
pengalaman-pengalaman pembelajaran didalamnya yang berisi respon-
respon yang layak dan belum dipelajari.
Tujuan adanya konseling behavior sendiri adalah untuk membantu
konseli menghilangkan respon-respon atau tingkah laku lama yang
merusak dirinya dengan mempelajari hal yang lebih baik dan sehat.
Sehingga pada dasarnya, Terapi Behavioral diarahkan pada tujuan-tujuan
memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku yang
maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang
diinginkan.
Dimana Tujuan konseling behaviour adalah mencapai kehidupan
tanpa mengalami perilaku simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami
kesulitan atau hambatan perilaku yang dapat membuat ketidakpuasan
dalam jangka panjang atau mengalami konflik dengan kehidupan sosial.
Tujuan konseling behaviour adalah untuk membantu klien membuang
respon- respon yang lama yang merusak diri dan mempelajarirespon-
respon baru yang lebih sehat.
Jadi tujuan konseling behavior adalah untuk memperoleh tingkah
laku baru, mengeliminasi perilaku yang maladaptif dan memperkuat serta
mempertahankan perilaku yang diinginkan dalam jangka waktu yang
lama. Adapun tujuan umumnya yaitu menciptakan kondisi baru untuk
belajar. Dengan asumi bahwa pembelajaran dapat memperbaiki masalah

8
perilaku.

9
E. TEKNIK TERAPI BEHAVIORISTIK
Lesmana (2005) membagi teknik terapi behavioristik dalam dua
bagian, yaitu teknik-teknik tingkah laku umum dan teknik-teknik spesifik.
Uraiannya adalah sebagai berikut.
1. Teknik-Teknik Tingkah Laku Umum
a. Skedul penguatan adalah suatu teknik pemberian penguatan pada
klien ketika tingkah laku baru yang telah selesai dipelajari
dimuculkan oleh klien. Penguatan harus dilakukan terus-menerus
sampai tingkah laku tersebut terbentuk dalam diri klien. Setelah
terbentuk, frekuensi penguatan dapat dikurangi atau dilakukan pada
saat-saat tertentu saja (tidak setiap kali perilaku baru dilakukan).
Istilah ini sering disebut juga sebagai penguatan intermiten. Hal ini
dilakukan untuk mempertahankan tingkah laku baru yang telah
terbentuk. Misalnya, klien yang mengalami kesulitan membaca akan
diberikan pujian secara terus-menerus bila berhasil membaca. Tapi
setelah ia dapat membaca, pemberian pujian harus dikurangi.
b. Shaping adalah teknik terapi yang dilakukan dengan mempelajari
tingkah laku baru secara bertahap. Konselor dapat membagi-bagi
tingkah laku yang ingin dicapai dalam beberapa unit-unit kecil.
c. Ekstingsi adalah teknik terapi berupa pengahapusan penguatan agar
tingkah laku maladaptif tidak berulang. Ini didasarkan pada
pandangan bahwa individu tidak akan bersedia melakukan sesuatu
apabila tidak mendapatkan keuntungan. Misalnya seorang anak yang
selalu menangis untuk mendapatkan yang diinginkannya. Konselor
akan bertindak tidak memberi pehatian sehingga anak tersebut tidak
akan menggunakan cara yang sama lagi untuk mendapatkan
keinginannya.

2. Teknik-teknik Spesifik
Teknik-teknik spesifik ini meliputi:
a. Desensitisasi sistematik adalah teknik yang paling sering digunakan.
Teknik ini diarahkan kepada klien untuk menampilkan respons yang
tidak konsisten dengan kecemasan. Desensitisasi sistematik

1
melibatkan teknik relaksasi dimana klien diminta untuk
menggambarkan situasi yang paling menimbulkan kecemasan
sampai titik dimana klien tidak merasa cemas. Selama relaksasi,
klien diminta untuk rileks secara fisik dan mental. Teknik ini cocok
untuk menangani kasus fobia, ketakutan menghadapi ujian,
ketakutan secara umum, kecemasan neurotik, impotensi, dan
frigiditas seksual. Selanjutnya, Wolpe (dikutip dari Corey, 2009)
menyimpulkan bahwa ada tiga penyebab teknik desensitisasi
sistematik mengalami kegagalan, yaitu:
1) Klien mengalami kesulitan dalam relaksasi yang disebabkan
karena komunikasi konselor dan klien yang tidak efektif atau
karena hambatan ekstrem yang dialami klien.
2) Tingkatan yang menyesatkan atau tidak relavan, hal ini
kemungkinan disebabkan karena penanganan tingkatan yang
keliru.
3) Klien tidak mampu membayangkan
b. Pelatihan asertivitas. Teknik ini mengajarkan klien untuk
membedakan tingkah laku agresif, pasif, dan asertif. Prosedur yang
digunakan adalah permainan peran. Teknik ini dapat membantu klien
yang mengalami kesulitan untuk menyatakan atau menegaskan diri
dihadapan orang lain. Pelatihan asertif biasanya digunakan untuk
kriteria klien sebagai berikut:
1) Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan
tersinggung.
2) Menunjukan kesopanan secara berlebihan dan selalu mendorong
orang lain untuk mendahuluinya.
3) Mengalami kesulitan untuk mengatakan “tidak”.
4) Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan repons
positif lainnya.
5) Merasa tidak memiliki hak untuk memiliki perasaan dan pikiran
sendiri.

1
Melalui teknik permainan peran, koselor akan memperlihatkan
bagaimana kelemahan klien dalam situasi nyata. Kemudian klien
akan diajarkan dan diberi penguatan untuk berani menegaskan diri
dihadapan orang lain.
c. Time-out. Merupakan teknik aversif yang sangat ringan. Apabila
tingkah laku yang tidak diharapkan muncul, maka klien akan
dipisahkan dari penguatan positif. Time-out akan lebih efektif bila
dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Misalnya lima menit.
Contoh kasus: seorang anak yang senang memukul adiknya akan
dimasukan kedalam kamar gelap selama lima menit bila terlihat
melakukan tindakan tersebut. Kerena takut akan dimasukkan ke
kamar gelap kembali, biasanya anak akan menghentikan tindakan
yang salah tersebut.
d. Implosion dam flooding. Teknik implosion mengarahkan klien
untuk membayangkan situasi stimulus yang mengancam secara
berualang- ulang. Karena dilakukan terus-menerus sementara
konsekuensi yang menakutkan tidak terjadi, maka diharapkan
kecemasan klien akan tereduksi atau terhapus. Menurut Stampfl
(dikutip dari Corey, 2009), Terapi implosion adalah teknik yang
menantang pasien untuk “menatap mimpi-mimpi buruknya”. Ia
menambahkan bahwa untuk teknik implosion sangat bagus
digunakan untuk pasien gangguan jiwa yang bearada di rumah sakit,
klien neurotik, klien psikotik, dan fobia. Sementara itu menurut
Corey (2009) flooding merupakan teknik dimana terjadi pemunculan
stimulus yang menghasilkan kecemasan secara berulang-ulang tanpa
pemberian penguatan. Klien akan membayangkan situasi dan
konselor berusaha mempertahankan kecemasan klien tersebut.
Flooding bersifat lebih ringan karena situasi yang menimbulkan
kecemasan tidak menyebabkan konsekuensi yang parah.
Selain teknik-teknik yang telah dikemukakan diatas, Corey (2009)
menambahkan beberapa teknik yang juga diterapkan dalam terapi
behavioristik. Diantaranya, adalah:

1
1. Penguatan positif, adalah teknik yang digunakan melalui pemberian
ganjaran segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Contoh-
contoh penguatan positif adalah senyuman, persetujuan, pujian, bintang
emas, mendali, uang, dan hadiah lainnya. Pemberian penguatan positif
dilakukan agar klien dapat mempertahankan tingkah laku yang telah
terbentuk.
2. Percontohan (modelling). Dalam teknik ini, klien dapat mengamati
seseorang yang dijadikan modelnya untuk berperilaku kemudian
diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model. Dalam hal ini,
koselor dapat bertindak sebagai model yang akan ditiru oleh klien.
3. Token economy. Teknik ini dapat diberikan apabila persetujuan dan
penguatan lainnya tidak memberikan kemajuan pada tingkah laku klien.
Metode ini menekankan pada penguatan yang dapat dilihat dan disentuh
oleh klien (misalnya kepingan logam) yang dapat ditukar oleh klien
dengan objek atau hak istimewa yang diinginkannya. Token economy
dapat dijadikan pemikat oleh klien untuk mencapai sesuatu. Misalnya,
pada anak pemalas, bila ia bersedia untuk menyapu rumahnya, ia akan
diberi satu logam. Bila ia berhasil mengumpulkan 10 logam, anak
tersebut akan dibelikan sepeda.

F. APLIKASI TEORI BEHAVIORISTIK DALAM KONSELING


Ivey (1987) menjelaskan bahwa dalam pendekatan behavioral yang
penting untuk mengawali konseling adalah mengembangkan kehangatan,
empati dan hubungan supportive. Corey (2005) menjelaskan bahwa proses
konseling yang terbangun dalam pendekatan behavioristik terdiri dari
empat hal yaitu: (1) tujuan terapis diarahkan pada memformulasikan
tujuan secara spesifik, jelas, konkrit, dimengerti dan diterima oleh konseli
dan konselor,
(2) peran dan fungsi konselor/terapis adalah mengembangkan
keterampilan menyimpulkan, reflection, clarification, dan open-ended
questioning, (3) kesadaran konseli dalam melakukan terapi dan partisipasi
konselor ketika proses terapi berlangsung akan memberikan pengalaman
positif pada konseli dalam terapi, dan (4) memberi kesempatan pada

1
konseli karena

1
kerjasama dan harapan positif dari konseli akan membuat hubungan
terapis lebih efektif. Sedangkan menurut Ivey, et.al (1987); Ivey (1987)
menjelaskan bahwa kesuksesan dalam melakukan konseling dengan
pendekatan behavioristik didasarkan pada beberapa hal, diantaranya:
1. Hubungan antara konselor dengan konseli
2. Operasionalisasi perilaku (making the behavior concrete and
observable)
3. Analisis fungsional (the A-B-Cs of behavior)
4. Menetapkan tujuan perubahan perilaku (making the goals concrete).
Woolfe dan Dryden (1998) menegaskan bahwa dalam kerangka
hubungan antara konselor-konseli secara bersama-sama harus konsisten
dalam hal, (1) konseli diharapkan untuk memiliki perhatian positif (minat),
kompetensi (pengalaman) dan aktivitas (bimbingan), (2) konselor tetap
konsisten dalam perhatian positif, self-disclosure (engagement) dan
kooperatif (berorientasi pada tujuan konseli). Bagian dari proses konseling
yang tidak dapat ditinggalkan adalah proses asesmen. Dalam behavioral
proses ini dapat dilakukan dengan memakai instrumen asesmen, self-
report, behavior rating scales, format self monitoring, teknik observasi
sederhana.
Corey (2005) menjelaskan bahwa proses konseling yang terbangun
dalam pendekatan behavioristik terdiri dari empat hal, yaitu:
1. Tujuan terapis diarahkan pada memformulasikan tujuan secara spesifik,
jelas, konkrit, dimengerti dan diterima oleh konseli dan konselor.
2. Peran dan fungsi konselor/terapi adalah mengembangan keterampilan
dalam menyimpulkan, reflection, clarification, dan open ended
qustioning.
3. Kesadaran konseli dalam melakukan terapi dan partisipasi konselor
ketika proses terapi berlangsung akan memberikan pengalaman yang
positif pada konseli dalam terapi.
4. Memberikan kesempatan pada konseli karena kerjasama dan harapan
positif dari konseli akan membuat hubunan terapi menjadi lebih efektif.

1
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN
Dari pembahasan yang telah kami uraikan diatas, dapat kami
simpulkan mengenai beberapa hal, diantaranya:
1. Pendiri dari psikologi behavioristik adalah John Broades Watson pada
tahun 1913. Sedangkan promotor psikologi behavioristik adalah B. F.
Skinner.
2. Terapi behavioristik digunakan sekitar awal tahun 1960-an atas reaksi
terhadap psikoanalisis yang dianggap tidak banyak membantu
mengatasi masalah klien.
3. Istilah pendekatan behavior pertama kali digunakan oleh Lindzey pada
tahun 1954 dan kemudian lebih diperkenalkan oleh Lazarus pada tahun
1958.
4. Perkembangan konseling dimulai sejak tahun 1896 yang dipelopori oleh
Lightner Witmer dengan mendirikan sebuah klinik psyhchological
Counseling Clinic di University of Pennsylvania. Yang kemudian
disusul oleh Jesse B. Davis pada tahun 1898 yang merupakan orang
pertama yang memulai kegiatan sebagai pendidik dan konselor di
Central High School, Detroit.
5. Behavioristik memandang hakikat manusia sebagai individu yang pasif,
mekanistik dan deterministik. Manusia dianggap sebagai sesuatu yang
dapat dibentuk dan diprogram sesuai dengan keinginan lingkungan
yang membentuknya. Manusia juga dianggap merupakan suatu objek
yang dapat dikendalikan dan diubah sesuai dengan keinginan orang
yang ingin mengubahnya.
6. Konselor dalam terapi behavioristik memegang peranan aktif dan
direktif dalam pelaksanaan proses konseling. fungsi utama dari seorang
konselor adalah bertindak sebagai guru, pengarah, penasehat,
konsultan, fasilitator, pemberi dukungan dan mendiagnosis tingkah laku
maladaptif

1
dari klien serta berusaha untuk mengubahnya menjadi tingkah laku
yang adaptif. (Corey, 2009)
7. Seorang konselor dalam terapi behavioristik memiliki kekuatan atau
kuasa untuk memberikan pengaruh dan mengendalikan tingkah laku
klien.
8. Tujuan adanya konseling behavior sendiri adalah untuk membantu
konseli menghilangkan respon-respon atau tingkah laku lama yang
merusak dirinya dengan mempelajari hal yang lebih baik dan sehat.
Sehingga pada dasarnya, Terapi Behavioral diarahkan pada tujuan-
tujuan memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku yang
maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang
diinginkan.
9. Ada beberapa teknik dalam terapi behavioristik, diantaranya:
a. Teknik-teknik tingkah laku umum yang meliputi: skedul penguatan,
shaping, dan ekstingsi.
b. Teknik-teknik spesifik yang meliputi: desensitisasi sistematik,
pelatihan asertivitas, time-out, dan implosion and flooding.
c. Teknik-teknik lain yang dikemukakan oleh Corey (2009) meliputi:
penguatan positif, pencontohan (modelling), dan token economy.

B. SARAN
Kami sebagai penyusun sangat menyadari bahwasanya makalah ini
masih banyak terdapat kesalahan dan masih jauh dari kata sempurna.
Tentunya, kami sebagai penyusun akan terus melakukan perbaikan-
perbaikan demi pemperbaharui informasi-informasi yang masih nampak
kurang di makalah kami dengan menggunakan sumber-sumber yang lebih
terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu,
kami sebagai penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun mengenai pembahasan makalah diatas.

1
DAFTAR PUSTAKA

Al-Nafs, Al-Irsyad. 2020. Teknik Pelaksanaan Terapi Perilaku (Behaviour).


Jurnal Bimbingan Penyuluhuan Islam. 7 (1). 32-41.

Amalia, Rizka dan Fadholi, Ahmad Nur. Teori Behavioristik. Makalah

Lubis, Namora Lumongga. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam


Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Mashudi, Farid. 2018. Psikologi Konseling. Jogjakarta: IRCiSoD.

Rahayu, Sestuningsih Margi. 2017. Konseling Keluarga Dengan Pendekatan


Behavioral: Strategi Mewujudkan Keharmonisan Dalam
Keluarga. Jurnal Ilmiah. 264-272.

Sadulloh, Uyoh. 2018. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Sanyata, Sigit. 2012. Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam


Konseling. Jurnal Paradigma. 14 (7). 1-11.

Willis, Sofyan. 2009. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.

Willis, Sofyan. 2009. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai