Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

PENDEKATAN BEHAVIOR

(Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tekik-Teknik Konseling)

Disusun oleh :

1. Desta Cahya (2111080022)


2. Ilma Fadila (2111080044)
3. Prasetyo Atmojo (2111080080)

Dosen Pengampu :

Tika Febriyani, M.Pd

BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan
syafa’atnya di akhirat.

Tidak lupa, Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas kelas.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini,
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yaitu khususnya kepada dosen
pengampu mata kuliah Teknik-Teknik Konseling kami yang telah membimbing dalam menulis
makalah ini. Demikian, semoga makalah kami dapat bermanfaat, sekian dan terima kasih.

Bandar Lampung, 21 Maret 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................2
C. Tujuan penulisan...................................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
A. Pandangan tentang Manusia.................................................................................................3
B. Konsep Dasar........................................................................................................................3
C. Tujuan Konseling..................................................................................................................7
D. Peran dan Fungsi Konselor...................................................................................................8
E. Tahap-Tahap Konseling........................................................................................................8
F. Teknik-Teknik Konseling...................................................................................................11
BAB III..........................................................................................................................................39
PENUTUP.....................................................................................................................................39
A. Kesimpulan.........................................................................................................................39
B. Saran...................................................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................40

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Corey (2005) mengemukakan bahwa psikoanalisa merupakan sebuah model
pengembangan kepribadian dengan pendekatan psikoterapi. Teori Freud banyak
dikembangkan pada model konseling dan terapi psikologis, sekaligus menjadai salah satu
menu wajib dalam memahami dimensi kepribadian manusia. Bagi yang berminat di
bidang helping profession tidak merasa asing dengan konsep dan kerangka teoretik dari
Freud dan Freudian. Psikoanalisa klasik yang kemudian berkembang dalam psikoanalisa
kontemporer tetap menjadi salah satu pertimbangan konselor dan terapis dalam
menentukan pendekatan psikoanalisa modern.1
Salah satu kritik terhadap psikoanalisa adalah memandang manusia secara
deterministik sehingga dianggap melemahkan martabat kemanusiaan sebagai individu
yang penuh dinamika dan memiliki kebebasan. Perilaku deterministik disebabkan oleh
kekuatan irasional, motivasi 2 ketidaksadaran, dorongan-dorongan biologis dan insting.
Perhatian sentral psikoanalisa adalah dorongan instingtif. Perkembangan manusia
ditentukan pada masa kanak-kanak merupakan salah satu deskripsi dari pandangan
pesimisme dan pasivitas terhadap manusia. Pendekatan psikoanalisa bersifat klinis dan
mementingkan energi-energi psikis dan kurang mengakui aspek kognitif. Posisi individu
hanya ditentukan oleh model perkembangan pada masa kanak-kanak berimplikasi pada
munculnya kritik dan teori baru yang memiliki cara pandang berbeda dengan
psikoanalisa. Pada tahun 1950-an banyak eksperimen yang dilakukan oleh psikolog dan
terapis dalam upaya pengembangan potensi manusia, Salah satu temuan baru yang
didapatkan adalah menganggap pentingnya faktor belajar pada manusia, di mana untuk
memperoleh hasil belajar yang optimal diperlukan reinforcement sehingga teori ini
menekankan pada dua hal dua hal penting yaitu learning dan reinforcement serta
tercapainya suatu perubahan perilaku (behavior). Dalam perkembangan lebih lanjut teori

1
Sigit Sanyata, “Teori Dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik Dalam Konseling,” Jurnal Paradigma Vol. VII, (2012): 1.

1
ini dikenal dengan behavior therapy dalam kelompok paham behaviorisme, yang
dikembangkan melalui penelitian eksperimental.2

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, permasalahan dalam makalah ini
adalah:
1. Bagaimana pandangan tentang manusia jika dilihat dari pendekatan behavior?
2. Bagaimana konsep dasar pendekatan behavior?
3. Bagaimana tujuan konseling pendekatan behavior?
4. Bagaiamana peran dan fungsi konselor?
5. Bagaimana tahap-tahap konseling pada pendekatan behavior?
6. Bagaimana teknik-teknik konseling pada pendekatan behavior?

C. Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan ini yaitu:
1. Untuk mengetahui dan memahami pandangan manusia jika dilihat dari pendekatan
behavior.
2. Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar pendekatan behavior.
3. Untuk mengetahui dan memahami tujuan konseling pendekatan behavior.
4. Untuk mengetahui dan memahami peran dan fungsi konselor.
5. Untuk mengetahui dan memahami tahap-tahap konseling pada pendekatan behavior.
6. Untuk mengetahui dan memahami teknik-teknik konseling pada pendekatan
behavior.

2
Ibid., 2.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pandangan tentang Manusia


Pendekatan behavioral didasarkan pada pendangan ilmiah tentang tingkah laku
manusia yang menekankan pada pentingnya pendekatan sistematik dan terstruktur pada
konseling. Pendekatan behavioral berpandangan bahwa setiap tingkah laku dapat
dipelajari3. Pemandangan ini tidak bertumpu pada asumsi deterministik bahwa manusia
hanyalah produk dari kondisi sosial budaya mereka. Sebaliknya, pandangan saat ini
adalah bahwa orang tersebut produsen dan produk lingkungannya. Kecenderungan saat
ini dalam terapi perilaku adalah mengembangkan prosedur yang benar-benar memberikan
kontrol kepada klien dan dengan demikian meningkatkan jangkauan kebebasan mereka.
Terapi perilaku bertujuan untuk meningkatkan keterampilan orang sehingga mereka
memiliki lebih banyak pilihan menanggapi. Dengan mengatasi perilaku melemahkan
yang membatasi pilihan, orang lebih bebas untuk memilih dari kemungkinan yang tidak
tersedia sebelumnya, meningkat kebebasan individu. Dimungkinkan untuk membuat
kasing untuk digunakan pada metode perilaku untuk mencapai tujuan humanistik.4
Proses belajar tingkah laku adalah melalui kematangan dan belajar. Selanjutnya
tingkah laku lama dapat diganti dengan tingkah laku baru. Manusia dipandang memiliki
potensi untuk berperilaku baik atau buruk, tepat atau salah. Manusia mampu melakukan
refleksi atas tingkah lakunya sendiri, dapat mengatur serta mengontrol perilakunya dan
dapat belajar tingkahlaku baru atau dapat mempengaruhi perilaku orang lain.5

B. Konsep Dasar
Salah satu studi yang paling penting dalam perkembangan pendekatan behavioral
adalah studi yang dilakukan oleh Watson dan Rayner yang menggunakan anak sebagai

3
Gentina. Komalasari, dkk. Teori Dan Teknik Konseling, Cetakan pe. (Jakarta Barat: PT Indeks, 2011), 152.
4
Gerald Corey, Theory and Practice of Counseling & Psychotherapy, ed. Christina Ganim, Eighth Edi. (Belmont:
Thomson Higher Education, 2009), 188.
5
Komalasari, Teori Dan Teknik Konseling, 152.

3
subyek tentang rasa takut yang dipelajari (conditioned). Saran-saran penelitian ini
menjadi teknik-teknik inti dalam konseling behavioral. Penggunaan istilah behavioral
counseling pertama kali dikemukakan oleh Krumboltz dari the Standford University pada
tahun 1964. Pada dekade 1950-an pengalaman konseling merupakan filsafat hidup yang
menekankan pada segi hubungan dan setting wawancara. Dapat dikatakan bahwa
konseling kurang memperhatikan metodologi ilmiah seperti observasi dan eksperimen.
Hubungan konselor dan konseli dipandang sebagai metode konseling atau jantungnya
konseling. Pada kenyataannya, konseling membutuhkan penguasaan metode dan teknik-
teknik ilmiah yang melandasi konselor dalam merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi proses konseling.6
Ciri-ciri utama konseling behavioral yang dikemukakan oleh Krumbolti (1965)
adalah sebagai berikut:
1. Proses pendidikan
Konseling merupakan proses pendidikan. Dengan kata lain, konseling membantu
konseli mempelajari tingkah laku baru untuk memecahkan masalahnya. Konseling
menggunakan prinsip-prinsip belajar dan prosedur belajar yang efektif untuk
membentuk dasar-dasar pemberian bantuan kepada konseli.
2. Teknik dirakit secara individual.
Teknik konseling yang digunakan pada setiap konseli berbeda-beda ter- gantung
pada masalah dan karakteristik konseli. Dalam proses konseling, penentuan tujuan
konseling, proses asesmen, dan teknik-teknik dibangun oleh konseli dengan bantuan
konselor.

3. Metodologi ilmiah.
Konseling behavioral dilandasi oleh metode ilmiah dalam melakukan asesmen
dan evaluasi konseling. Konseling ini menggunakan observasi sis- tematis,
kuantifikasi data dan kontrol yang tepat.7

Pendekatan behavioral didasari oleh pandangan ilmiah tentang tingkah laku


manusia yaitu pendekatan yang sistematik dan terstruktur dalam konseling. Pandangan
6
Ibid.
7
Ibid., 153.

4
ini melihat individu sebagai produk dari kondisioning sosial, sedikit sekali melihat
potensi manusia sebagai produser lingkungan. Pada awalnya pendekatan ini hanya
mempercayai hal yang dapat diamati dan diukur sebagai sesuatu yang sah dalam
pengukuran kepribadian (radical behaviorism). Kemudian pendapat ini dikembangkan
lebih lanjut yang mulai menerima fenomena kejiwaan yang abstrak seperti id, ego, dan
ilusi (methodological behaviorism). Pendekatan ini memandang perilaku yang malasuai
(malajusted) sebagai hasil belajar dari lingkungan secara keliru.8
Konseling behavioral dikenal juga dengan modifikasi perilaku yang dapat
diartikan sebagai tindakan yang bertujuan untuk mengubar perilaku. Modifikasi perilaku
dapat pula diartikan sebagai usaha menerapkan prinsip-prinsip belajar maupun prinsip-
prinsip psikologi hasil eksperimen lain pada perilaku manusia. Menurut Wolpe,
modifikasi perilaku adalah prinsip-prinsip belajar yang telah teruji secara eksperimental
untuk mengubah perilaku yang tidak adaptif. Kebiasaan-kebiasaan yang tidak adaptif
dilemahkan dan dihilangkan, perilaku adaptif ditimbulkan dan dikukuhkan.9
Selanjutnya, terapi ini berfokus pada perilaku yang tampak dan spesifik. Dalam
konseling, tingkah laku diidentifikasi dengan cermat dan tujuan-tu- juan konseling
diuraikan dengan spesifik. Dalam konseling, konseli belajar perilaku baru dan
mengeliminasi perilaku yang maladaptif, memperkuat serta mempertahankan perilaku
yang diinginkan, dan membentuk pola tingkah laku dengan memberi ganjaran atau
reinforcement yang menyenangkan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul.
Ciri unik terapi tingkah laku adalah lebih berkonsentrasi pada proses tingkah laku yang
teramati/tampak dan spesifik, fokus pada tingkah laku kini dan sekarang. Pendekatan ini
berasumsi bahwa semua tingkah laku baik yang adaptif maupun maladaptif dapat
dipelajari. Selain itu, belajar merupakan cara efektif untuk mengubah tingkah laku
maladaptif.10

Modifikasi perilaku memiliki kelebihan dalam menangani masalah-masalah yang


dialami oleh individu, yaitu:

8
Ibid.
9
Ibid., 154.
10
Ibid.

5
1. Langkah-langkah dalam modifikasi perilaku dapat direncanakan terlebih dahulu.
Rencana ini dapat dibicarakan bersama konseli.
2. Perincian pelaksanaan dapat diubah selama treatmen disesuaikan dengan kebutuhan
konseli.
3. Bila berdasarkan evaluasi sebuah teknik gagal memberikan perubahan pada konseli,
teknik tersebut dapat diganti dengan teknik lain.
4. Teknik-teknik konseling dapat dijalaskan dan diatur secara rasional serta dapat
diprediksi dan dievaluasi secara objektif.
5. Waktu yang dibutuhkan lebih singkat.11

Dalam memahami tingkah laku, terdapat beberapa model tingkah laku yang
dipengaruhi oleh teori-teori psikologi. Model-model tingkah laku tersebut
antara lain:
1. Model psikodinamika
Yaitu, tingkah laku manusia ditentukan kehidupan dinamika intra-psikis individu
(id, ego, superego). Contohnya: id: aku mau makan sekarang, superego: jangan
lakukan itu, menurut peraturan, tidak boleh makan ketika jam pelajaran, dan ego:
sekarang harus realistis tentang ini dan melakukan pengujian realita tentang
kemungkinan pemenuhan id.
2. Model biofisik
Yaitu, tingkah laku ditentukan oleh organisasi neurologi, belajar perseptual
motor, kesiapan fisiologi, integrasi dan perkembangan sensori.
3. Model lingkungan
Yaitu, tingkah laku ditentukan oleh interaksi antara individu dan lingkungan.
Menurut pandangan sosiologi: tingkah laku ditentukan oleh pengaruh lingkungan,
sedangkan pandangan ekologi: tingkah laku ditentukan oleh hubungan antara
organisme dengan lingkungan.
4. Model tingkah laku

11
Ibid., 155.

6
Yaitu, tingkah laku dapat diobservasi dan diukur. Tingkah laku disebabkan oleh
tekanan tekanan lingkungan, asumsi: tingkah laku adalah konsekuensi dari prinsip-
prinsip penguatan (reinforcement).12

C. Tujuan Konseling
Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau modifikasi perilaku
konseli, yang di antaranya untuk:
1. Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar.
2. Penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif.
3. Memberi pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari.
4. Membantu konseli membuang respons-respons yang lama yang merusak diri atau
maladaptif dan mempelajari respons-respons yang baru yang lebih sehat dan sesuai
(adjustive).
5. Konseli belajar perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang maladaptif,
memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan
6. Penetapan tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran dilakukan bersama
antara konseli dan konselor.13

Dalam perumusan tujuan konseling, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan,
yaitu: tujuan konseling dirumuskan sesuai keinginan konseli, konselor harus bersedia
membantu konseli mencapai tujuan konseli, harus mempertimbangkan kemampuan
konseli untuk mencapai tujuan. Selain itu Cormier mengatakan bahwa konselor dan
konseli bersama-sama mengidentifikasi risiko yang berhubungan dengan tujuan dan
menilai risiko tersebut, bersama mendiskusikan kebaikan yang diperoleh dari tujuan, dan
konselor membantu konseli menjabarkan bagaimana dia akan bertindak di luar cara-cara
sebelumnya.14

12
Ibid.
13
Ibid., 156.
14
Ibid.

7
D. Peran dan Fungsi Konselor
Peran konselor dalam konseling behavioral berperan aktif, direktif dan meng
gunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan solusi dari persoalan individu. Konselor
behavioral biasanya berfungsi sebagai guru, pengarah dan ahli yang mendiagnosa tingkah
laku yang maladaptif dan menentukan prosedur yang mengatasi persoalan tingkah laku
individu. Dalam proses konseling, konseli yang menentukan tingkah laku apa (what)
yang akan diubah, sedangkan konselor menentukan cara yang digunakan untuk
mengubahnya (how).15

Selain itu, konselor juga sebagai model bagi kliennya. Bandura mengatakan
bahwa sebagian besar proses belajar terjadi melalui pengalaman langsung yang didapat
melalui observasi langsung terhadap tingkah laku orang lain. la berpendapat bahwa dasar
fundamental proses belajar tingkah laku adalah imitasi; dengan demikian, konselor
adalah model signifikan bagi kliennya.16

E. Tahap-Tahap Konseling
Tingkah laku yang bermasalah dalam konseling behavioral adalah tingkah laku
yang berlebihan (excessive) dan tingkah laku yang kurang (deficit). Tingkah laku yang
berlebihan seperti: merokok, terlalu banyak main games, dan sering memberi komentar di
kelas. Adapun tingkah laku yang deficit adalah terlambat masuk sekolah, tidak
mengerjakan tugas dan bolos sekolah. Tingkah laku excessive dirawat dengan
menggunakan teknik konseling untuk menghilangkan atau mengurangi tingkah laku,
sedangkan tingkah laku deficit diterapi dengan menggunakan teknik meningkatkan
tingkah laku.17
Konseling behavioral memiliki empat tahap yaitu: melakukan asesmen
(assessment), menentukan tujuan (goal setting), mengimplementasikan teknik (technique
implementation), dan evalusi dan mengakhiri konseling (evaluation- termination).18
1. Melakukan Asesmen (Assessment)

15
Ibid., 157.
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Ibid.

8
Tahap ini bertujuan untuk menentukan apa yang dilakukan oleh konseli pada saat
ini. Asesmen dilakukan adalah aktivitas nyata, perasaan dan pikiran kon seli. Kanfer
dan Saslow (1969) mengatakan terdapat tujuh informasi yang digali dalam asesmen,
yaitu:
a. Analisis tingkah laku yang bermasalah yang dialami konseli saat ini.
Tingkah laku yang dianalisis adalah tingkah laku yang khusus.
b. Analisis situasi yang di dalamnya masalah konseli terjadi. Analisis ini
mencoba untuk mengidentifikasi peristiwa yang mengawali tingkah laku
dan mengikutinya (antecedent dan consequence) sehubungan dengan
masalah konseli.
c. Analisis motivasional.
d. Analisis self control, yaitu tingkatan kontrol diri konseli terhadap tingkah
laku bermasalah ditelusuri atas dasar bagaimana kontrol itu dilatih dan
atas dasar kejadian-kejadian yang menentukan keberhasilan self-control.
e. Analisis hubungan sosial, yaitu orang lain yang dekat dengan kehidupan
konseli diidentifikasi juga hubungannya orang tersebut dengan konseli.
Metode yang digunakan untuk mempertahankan hubungan ini dianalisis
juga
f. Analisis lingkungan fisik-sosial budaya. Analisis ini atas dasar norma-
norma dan keterbatasan lingkungan.19

Dalam kegiatan asesmen ini konselor melakukan analisis ABC

A = Antecedent (pencetus perilaku)

B = Behavior (perilaku yang dipermasalahkan)

Tipe tingkah laku

Frekuensi tingkah laku

Durasi tingkah laku

Intensitas tingkah laku


19
Ibid., 158.

9
Data tingkah laku ini menjadi data awal (baseline data) yang akan dibandingkan
dengan data tingkah laku setelah intervensi

C = Consequence (konsekuensi atau akibat perilaku tersebut)

Contoh :

A = Terlambat bangun pagi

B = Terkambat asuk sekolah 30 menit setelah jam belajar pertama dimulai,


sebanyak 6 kali dalam sebulan.

C = Tidak mengikuti jam pelajaran jam pertama, kurang memahami materi


pelajaran pada jam pertama.

2. Menetapkan Tujuan (Goal setting)


Konselor dan konseli menentukan tujuan konseling sesuai dengan kesepakatan
bersama berdasarkan informasi yang telah disusun dan dianalisis. Burks dan Engelkes
mengemukakan bahwa fase goal setting disusun atas tiga lang- kah, yaitu: (1)
membantu konseli untuk memandang masalahnya atas dasar tujuan-tujuan yang
diinginkan, (2) memperhatikan tujuan konseli berdasarkan kemungkinan hambatan-
hambatan situasional tujuan belajar yang dapat diterima dan dapat diukur, dan (3)
memecahkan tujuan ke dalam sub-tujuan dan menyusun tujuan menjadi susunan yang
berurutan.20
3. Implementasi Teknik (Technique Implementation)
Setelah tujuan konseling dirumuskan, konselor dan konseli menentukan strategi
belajar yang terbaik untuk membantu konseli mencapai perubahan tingkah laku yang
diinginkan. Konselor dan konseli mengimplementasikan teknik- teknik konseling
sesuai dengan masalah yang dialami oleh konseli (tingkah laku excessive atau
deficit). Dalam implementasi teknik konselor membandingkan perubahan tingkah
laku antara baseline data dengan data intervensi.21
4. Evaluasi dan Pengakhiran (Evaluation - Termination)

20
Ibid., 159.
21
Ibid., 160.

10
Evaluasi konseling behavioural merupakan proses yang berkesinambungan.
Evaluasi dibuat atas dasar apa yang konseli perbuat. Tingkah laku konseli digunakan
sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas konselor dan efektivitas tertentu dari
teknik yang digunakan. Terminasi lebih dari sekadar mengakhir konseling. Terminasi
meliputi:
a. Menguji apa yang konseli lakukan terakhir.
b. Eksplorasi kemungkinan kebutuhan konseling tambahan.
c. Membantu mentransfer apa yang dipelajari dalam konseling ke tingkah laku
konseli Memberi jalan untuk memantau secara terus menerus tingkah laku
konseli.22

Selanjutnya, konselor dan konseli mengevaluasi implementasi teknik yang telah


dilakukan serta menentukan lamanya intervensi dilaksanakan sampai tingkah laku
yang diharapkan menetap.

F. Teknik-Teknik Konseling
Teknik konseling behavioral terdiri dari dua jenis, yaitu teknik untuk
meningkatkan tingkah laku dan unuk menurunkan tingkah laku. Teknik untuk
meningkatkan tingkah laku antara lain: penguatan positif, token economy, pem- bentukan
tingkah laku (shaping), pembuatan kontrak (contingency contracting), Sedangkan teknik
konseling untuk menurunkan tingkah laku adalah: penghapusan (extinction), time-out,
pembanjiran (flooding), penjenuhan (satiation), hukuman (punishment), terapi aversi
(aversive therapy), dan disensitisasi sistematis.23
1. Penguatan Positif (Positive Reinforcement)
Penguatan positif (positive reinforcement) adalah memberikan penguatan yang
menyenangkan setelah tingkah laku yang diinginkan ditampilkan yang bertujuan agar
tingkah laku yang diinginkan cenderung akan diulang, meningkat dan menetap di
masa akan datang. Reinforcement positif, yaitu peristiwa atau sesuatu yang membuat
tingkah laku yang dikehendaki berpeluang diulang karena bersifat disenangi. Dalam

22
Ibid.
23
Ibid., 161.

11
memahami penguatan positif, perlu dibedakan dengan penguatan negatif (negative
reinforcement) yaitu menghilangkan aversive stimulus (negative reinforcement) yang
biasa dilakukan agar tingkah laku yang tidak diinginkan berkurang dan tingkah laku
yang diinginkan meningkat. Reinforcement negatif, yaitu peristiwa atau sesuatu yang
membuat tingkah laku yang dikehendaki kecil peluang untuk diulang. Reinforcement
dapat bersifat tidak menyenangkan atau tidak memberi dampak pada perubahan
tingkah laku tujuan. Contoh reinforcement negatif adalah: Alice bangun tengah
malam dan menangis (aversive stimulus), ia ingin tidur bersama orangtuanya. Agar
alice berhenti menangis dan tidur, orangtuanya memperbolehkannya untuk tidur
bersama mereka. Dengan memperbolehkan Alice tidur di tempar tidur orangtuanya
me ningkatkan perilaku menangis dan tidur bersama orangtua.24

a. Prinsip-prinsip penerapan penguatan positif (reinforcement positive)


Dalam menggunakan penguatan positif, konselor perlu memperhatikan
prinsip- prinsip reinforcement agar mendapatkan hasil yang maksimal. Prinsip-
prinsip reinforcement antara lain:
1) Penguatan positif (positive reinforcement) tergantung pada penampilan
tingkah laku yang diinginkan.
2) Tingkah laku yang diinginkan diberi penguatan segera setelah tingkah laku
tersebut ditampilkan.
3) Pada tahap awal, proses perubahan tingkah laku yang diinginkan diberi
penguatan setiap kali tingkah laku tersebut ditampilkan.
4) Ketika tingkah laku yang diinginkan sudah dapat dilakukan dengan baik,
penguatan diberikan secara berkala dan pada akhirnya dihentikan.
5) Pada tahap awal, penguatan sosial selalu diikuti dengan penguatan yang
berbentuk benda.25

b. Hubungan penguatan (reinforcement) dan tingkah laku


1) Reinforcement diikuti oleh tingkah laku (Grandma's law).

24
Ibid., 162.
25
Ibid.

12
2) Tingkah laku yang diharapkan harus diberi reinforcement segera setelah
ditampilkan.
3) Reinforcement harus sesuai dan bermakna bagi individu atau kelompok
reinforcement.
4) Pujian atau hadiah yang kecil tapi banyak lebih efektif dari yang besar tapi
sedikit.26

c. Jenis-jenis penguatan (reinforcement)


Terdapat tiga jenis reinforcement yang dapat digunakan untuk modifikasi
tingkah laku, yaitu:
1) Primary reinforcer atau uncondition reinforcer, yaitu reinforcement yang
langsung dapat dinikmati misalnya makanan dan minuman.
2) Secondary reinforcer atau conditioned reinforcer. Pada umumnya tingkah laku
manusia berhubungan dengan ini, misalnya uang, senyuman, pajian, medali,
pin, hadiah, dan kehormatan.
3) Contingency reinforcement, yaitu tingkah laku tidak menyenangkan dipakai
sebagai syarat agar anak melakukan tingkah laku menyenangkan, misalnya
kerjakan dulu PR baru nonton TV. Reinforcement ini sangat efektif dalam
modifikasi tingkah laku.27
d. Penerapan penguatan positif yang efektif
Untuk menerapkan penguatan positif yang efektif, konselor perlu
mempertimbangkan beberapa syarat, di antaranya adalah:
1) Memberikan penguatan dengan segera
2) Penguatan akan memiliki efek yang lebih bermakna bila diberikan segera
setelah tingkah laku yang diinginkan dilakukan oleh konseli. Alasan p berian
penguatan dengan segera adalah untuk menghindari terdapat tingkah laku lain
yang menyela tingkah laku yang diharapkan. Dengan demikian, tujuan
pemberian penguatan terfokus pada tingkah laku yang diharapkan.
3) Memilih penguatan yang tepat Mengatur kondisi situasional
4) Menentukan kuantitas penguatan
26
Ibid., 163.
27
Ibid.

13
5) Memilih kualitas dan kebaruan penguatan
6) Memberikan sampel penguatan
7) Menangani persaingan asosiasi
8) Mengatur jadwal penguatan Mempertimbangkan efek penguatan terhadap
kelompok
9) Menangani efek kontrol kontra.28

e. Langkah-langkah pemberian penguatan (reinforcement)


Adapun langkah-langkah penerapan reinforcement positif adalah sebagai
berikut:
1) Mengumpulkan informasi tentang permasalahan melalui analisis ABC
a) Antecedent (pencetus perilaku)
b) Behavior (perilaku yang dipermasalahkan; frekuensi, intensitas, dan
durasi)
c) Consequence (akibat yang diperoleh dari perilaku tersebut)

2) Memilih perilaku target yang ingin ditingkatkan


3) Menetapkan data awal (baseline) perilaku awal
4) Menentukan reinforcement yang bermakna
5) Menetapkan jadwal pemberian reinforcement
6) Penerapan reinforcement positif.29

f. Ilustrasi kasus
1) Rika sering terlambat masuk sekolah
2) Ibu tidak berhasil mendorong Rika untuk siap lebih cepar
3) Ibu mempersiapkan hadiah dengan menyatakan "Kalau Rika siap tepat jam
6.30, akan mendapat boneka cantik."
4) Pada saat Rika siap jam 6.30, ibu memberi boneka cantik. Hal ini dilakukan
beberapa kali sampai terbentuk perilaku yang diharapkan atau target perilaku.

28
Ibid., 164.
29
Ibid.

14
5) Kelemahannya adalah bila dalam jangka waktu lama hadiah boneka
dihilangkan, anak memiliki kemungkinan akan kembali terlambat.
6) Perilaku yang muncul semata-mata karena hadiah. Hal ini merupakan prinsip
belajar Classical Conditioning Pavlov
7) Bila menggunakan prinsip operant conditioning Skinner. Reinforcement di-
berikan pada saat anak secara mandiri berperilaku yang diharapkan. Perilaku
akan cenderung menetap, karena kesadaran muncul dari diri sendiri.30

g. Jadwal pemberian penguatan


Dalam pemberian reinforcement, terdapat beberapa bentuk jadwal
pemberian reinforcement yang dibutuhkan sesuai dengan karakteristik konseli.
1) Penguat berkelanjutan (continuous reinforcement), yaitu diberikan setiap kali
tingkah laku muncul. Bila reinforcement dihentikan maka tingkah laku akan
cepat hilang.
2) Penguat berselang seling (intermittent Reinforcement), yaitu diberikan
berselang-seling yaitu:
a) interval tetap (fixed interval): reinforcement diberi berselang teratur,
misalnya setiap 5 menit. Lama-lama merpati enggan mematuk/mematuk
setelah 5 menit.
b) Interval berubah (variable interval) reinforcement diberikan dala waktu
tidak tentu, misalnya berselang 3, 4, 5, 6, dan 7 menit. Peng hapusan lebih
lambat dibanding interval tetap.
c) Perbandingan tetap (fixed ratio): reinforcement sesudah respons yang
dikehendaki muncul kesekian kalinya, misalnya setelah parukan ke 10
atau ke 12, dan seterusnya.
d) Perbandingan berubah (variable ratio): reinforcement diberi secara acak
sesudah 8, 9, 10, 11, 12 kali patukan dengan rata-rata sama dengan fixed
ratio. Penghapusan pada rasio variabel paling lambat terjadi.31

2. Kartu Berharga (Token Economy)


30
Ibid., 165.
31
Ibid., 166.

15
Kartu keluarga (token economy) merupakan teknik konseling behavioral yang
didasarkan pada prinsip operant conditioning Skinner yang termasuk di dalamnya
adalah penguatan. Token economy adalah strategi menghindari pemberian
reinforcement secara langsung, token merupakan penghargaan yang dapat ditukar
kemudian dengan berbagai barang yang diinginkan oleh konseli. Kartu berharga
(token economy) dapat diterapkan di berbagai seting dan populasi seperti dalam seting
individual, kelompok dan kelas, juga pada berbagai populasi mulai dari anak-anak
hingga orang dewasa. Token economy bertujuan untuk mengembangkan prilaku
adaptif melalui pemberian reinforcement dengan token. Ketika tingkah laku yang
diinginkan telah cenderung menetap, pemberian token dikurangi secara bertahap.32
Agrass mengatakan bahwa konselor sebaiknya memberikan variasi cadangan
reinforcement (back-up reinforces) untuk meningkatkan perilaku. Ia memberikan
catatan bahwa substansi utama token adalah target perilaku yang teridentifikasi
dengan jelas dan berbagai barang atau hak istimewa (priviledge) yang akan
didapatkan oleh konseli. Pemilihan reinforcement tergantung pada kebutuhan dan
minat konseli. Menurut Corey, token economy dapat diaplikasikan untuk membentuk
tingkah laku ketika penghargaan dan berbagai reinforcement sosial (intangible) tidak
berhasil di gunakan.33 Penggunaan token sebagai reinforcer untuk membentuk
tingkah laku memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
a. Token tidak mengurangi nilai insentif, terutama ketika kekuatan pemerolehan
(earning power) dan nilainya meningkat seiring dengan peningkatan perilaku.
b. Token dapat mengurangi penundaan antara tingkah laku yang diinginkan dengan
hadiah (reward).
c. Token dapat digunakan sebagai motivator konkrit (concrete motivator) untuk
mengubah tingkah laku tertentu.
d. Token adalah bentuk dari penguatan positif.
e. Individu memiliki kesempatan untuk menentukan bagaimana menggunakan token
yang didapatkan.
f. Token economy dapat mengarahkan ke peningkatan moral konseli dan staf.
g. Sistem token dapat memungkinkan untuk mengukur penguatan sosial.
32
Ibid., 167.
33
Ibid.

16
h. Token menjadi jembatan antara institusi dan kehidupan di luar sekolah.34

Ayllon dan Azrin mengusulkan beberapa arahan untuk program penerapan token
economy yang efektif dalam sebuah institusi, misalnya sekolah. Penerapan token
economy harus diterapkan oleh seluruh staf sekolah secara konsisten. Pada beberapa
kasus, data penelitian menunjukkan efek langsung dan memiliki kekuatan penerapan
token untuk banyak masalah tingkah laku. Selain itu, penerapan token harus memiliki
sistem yang jelas seperti tingkah laku spesifik yang diharapkan dan token yang
didapatkan, sehingga partisipas dapat mengetahui langkah-langkah yang dapat
dilakukan untuk membantu diri mereka.35

Untuk meningkatkan efektivitas token, token economy secara bertahap dikurangi


dan diganti dengan penguatan sosial, seperti pujian sebagai cara meningkatkan
motivasi internal karena kehidupan nyata individu tidak me nerapkan sistem token
economy. Selain di institusi, token economy dapat pula diterapkan di kelas dan di
rumah. Token economy dapat berbentuk hadiah dalam bentuk kartu berharga setiap
kali tingkah laku dikehendaki muncul. Misalnya memakai pakaian, makan, belajar,
mengatur tempat tidur sendiri. Reinforcement diatur dalam interval atau ratio dan
dapat divariasi dengan hukuman yaitu mengambil kembali token yang telah
didapatkan bila melakukan kesalahan. Setelah token mencapai jumlah tertentu, lalu
dapat ditukar dengan reinforcement primer yang disukai.36

a. Langkah-langkah penerapan token economy, yaitu:


Penggunaan token economy mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1) Membuat analisis ABC
2) Menetapkan target perilaku yang akan dicapai bersama konseli.
3) Penetapan besaran harga atau poin token yang sesuai dengan perilaku target.
4) Penetapan saat kapan token diberikan kepada konseli. . Menetapkan perilaku
awal program.
5) Memilih reinforcement yang sesuai bersama konseli.

34
Ibid., 168.
35
Ibid.
36
Ibid.

17
6) Memilih tipe token yang akan digunakan, misalnya: bintang, stempel, dan
kartu.
7) Mengidentifikasi pihak yang terlibat dalam program seperti staf sekolah, guru,
relawan, siswa, anggota token economy.
8) Menetapkan jumlah dan frekuensi penukaran token, misal 25-75 token
perorang, dan menurun sampai 15-30 token perhari.
9) Membuat pedoman pelaksanaan token economy (perilaku mana yang akan
diberi penguatan, bagaimana cara memberi penguatan dengan token, kapan
waktu pemberian, berapa jumlah token yang bisa diperoleh, data apa yang
harus di catar, kapan dan bagaimana data dicatat, siapa administratornya, dan
bagaimana prosedur evaluasinya).
10) Pedoman diberikan kepada konseli dan staf
11) Lakukan monitoring.37

3. Pembentukan (Shapping)
Shapping adalah membentuk tingkah laku baru yang sebelumnya belum
ditampilkan dengan memberikan reinforcement secara sistematik dan langsung setiap
kali tingkah laku ditampilkan. Tingkah laku diubah secara bertahap dengan
memperkuat unsur-unsur kecil tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-
turut sampai mendekati tingkah laku akhir. Pada anak autistik yang tingkah laku
motorik, verbal, emosional, dan sosial kurang adaptif. Konselor membentuk tingkah
laku yang lebih adaptif dengan memberi reinforcement primer maupun sekunder.38

a. Langkah-langkah penerapan shaping


Langkah-langkah pembentukan tingkah laku (shaping) adalah sebagai
berikut :
1) Membuat analisis ABC.
2) Menetapkan target perilaku spesifik yang akan dicapai bersama konseli.
3) Tentukan bersama jenis reinforcement positif yang akan digunakan.

37
Ibid., 169.
38
Ibid., 170.

18
4) Membuat perencanaan dengan membuat rahapan pencapaian perilaku mula
dari perilaku awal sampai perilaku akhir (misalnya bolos menjadi tidak
bolos).
5) Perencanaan dapat dimodifikasi selama berlangsungnya program shaping
6) Penetapan waktu pemberian reinforcement pada setiap tahap program, misal
setelah berapa kali percobaan perilaku target dalam satu tahap.39

b. Penerapan perencanaan shaping


1) Konseli harus diberitahu sebelum perencanaan dilakukan
2) Beri penguatan segera pada saat awal perilaku
3) Jangan pindah ke tahap berikut sebelum konseli menguasai perilaku pada satu
tahap.
4) Bila belum yakın penguasaan perilaku konseli, dapat digunakan aturan;
perpindahan tahap bila sudah benar 6 dari 10 percobaan.
5) Jangan terlalu sering memberi penguatan pada satu tahap, dan tidak memberi
penguatan pada tahap lainnya.
6) Kalau konseli berhenti bekerja, maka konselor dapat berpindah cepat ke tahap
berikut. Mungkin tahapan tidak tepat atau reinforcement tidak efektif.
7) Cek efektivitas penguatan.
8) Atau apakah tahapan terlalu rendah.
9) Atau perpindahan tahap terlalu cepat, sehingga harus kembali pada tahap
sebelumnya.
10) Bila untuk melanjutkan konseli mendapat kesulitan, maka dilatih ulang pada
tahap yang dirasa sulit.40

c. Faktor yang mempengaruhi efektivitas shaping


Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pembentukan tingkah laku
(shapping) antara lain:

39
Ibid.
40
Ibid., 171.

19
1) Spesifikkan perilaku akhir yang ingin dicapai. Ketepatan pemilihan perilaku
yang spesifik akan mempengaruhi ketepatan hasil.
2) Memilih perilaku awal. Hal ini bertujuan untuk menetapkan level pencapaian
awal yang dimiliki, karena program shaping bertujuan untuk mencapai
perilaku secara bertahap.
3) Memilih tahapan shaping, mulai perilaku awal bergerak ke perilaku akhir.
Contoh pada anak belajar mengucap kata daddy. Mulai dari daa-da-da- dad-
dad-ee- daddy.
a) Tidak ada pedoman yang ideal; berapa kali percobaan dari satu langkah ke
langkah berikutnya.
b) Tidak ada pedoman yang ideal; berapa banyak tahapan yang harus
digunakan pada program shaping
c) Penetapan ditentukan fleksibel sesuai kecepatan belajar konseli
4) Ketepatan jarak waktu perpindahan tahapan.
a) Perpindahan dari langkah pertama ke langkah berikutnya harus sesuai
dengan tahapan, jangan terlalu cepat dan jangan terlalu lambat. Upayakan
pindah saat perilaku sudah mantap.
b) Penetapan setiap tahapan jangan terlalu dekat/kecil jaraknya.
c) Tapi kalau terlanjur terlalu cepat pindah tahap dan perilaku yang harapkan
hilang atau tidak muncul, maka kembali ke tahap sebelumnya.41

4. Pembuatan Kontrak (Contingency Contracting)


Pembuatan kontrak adalah mengatur kondisi sehingga konseli menampilkan
tingkah laku yang diinginkan berdasarkan kontrak antara konseli dan konselor.42
a. Prinsip dasar kontrak
1) Kontrak disertai dengan penguatan.
2) Reinforcement diberikan dengan segera.
3) Kontrak harus dinegosiasikan secara terbuka dan bebas serta disepakati antara
konseli dan konselor.
4) Kontrak harus fair.
41
Ibid., 172.
42
Ibid.

20
5) Kontrak harus jelas (target tingkah laku, frekuensi, lamanya kontrak).
6) Kontrak dilaksanakan secara terintegrasi dengan program sekolah.43

b. Langkah-langkah pembuatan kontrak


1) Pilih tingkah laku yang akan diubah dengan melakukan analisis ABC.
2) Tentukan data awal (baseline data) (tingkah laku yang akan diubah).
3) Tentukan jenis penguatan yang akan diterapkan.
4) Berikan reinforcement setiap kali tingkah laku yang diinginkan ditampilkan
sesuai jadwal kontrak.
5) Berikan penguatan setiap saat tingkah laku yang ditampilkan menetap.44

5. Penokohan (Modeling)
Modeling berakar dari teori Albert Bandura dengan teori belajar sosial.
Penggunaan teknik modeling (penokohan) telah dimulai pada akhir tahun 50-an,
meliputi tokoh nyata, tokoh melalui film, tokoh imajinasi (imajiner). Beberapa istilah
yang digunakan adalah penokohan (modeling), peniruan (imitation), dan belajar
melalui pengamatan (observational learning). Penokohan istilah menunjukkan
terjadinya proses belajar melalui pengamatan (observational learning) terhadap orang
lain dan perubahan terjadi melalui peniruan. Peniruan (imitation) menunjukkan bahwa
perilaku orang lain yang diamati, yang ditiru, lebih merupakan peniruan terhadap apa
yang dilihat dan diamati. Proses belajar melalui pengamatan menunjukkan terjadinya
proses belajar setelah mengamati perilaku pada orang lain.45
Modeling merupakan belajar melalui observasi dengan menambahkan atau
mengurangi tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan
sekaligus, melibatkan proses kognitif. Terdapat beberapa tipe modeling, yaitu:
modeling tingkah laku baru yang dilakukan melalui observasi terhadap model tingkah
laku yang diterima secara sosial individu memperoleh tingkah laku baru. Modeling
mengubah tingkah laku lama yaitu dengan meniru tingkah laku model yang tidak
diterima sosial akan memperkuat/memperlemah tingkah laku tergantung tingkah laku

43
Ibid.
44
Ibid., 173.
45
Ibid., 176.

21
model itu diganjar atau dihukum. Modeling simbolik yaitu modeling melalui film dan
televisi menyajikan contoh tingkah laku, berpotensi sebagai sumber model tingkah
laku. Modeling kondisioning banyak dipakai untuk mempelajari respons emosional.
Pengamat mengobservasi model tingkah laku emosional yang mendapat penguatan.
Muncul yang sama dan ditujukan ke obyek yang ada didekatnya saat ia mengamati
model. respons emosional Contoh emosi seksual yang timbul akibat menonton film
porno dilampiaskan ke obyek yang ada di dekatnya, perkosaan atau pelecehan.46

a. Proses penting modeling


1) Perhatian, harus fokus pada model. Proses ini dipengaruhi asosiasi pengamat
dengan model, sifat model yang atraktif, arti penting tingkah laku yang
diamati bagi si pengamat.
2) Representasi, yaitu tingkah laku yang akan ditiru harus disimbolisas dalam
ingatan. Baik bentuk verbal maupun gambar dan imajinasi. Verbal
memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkah laku yang diamati,
mana yang dibuang dan mana yang dicoba lakukan. Imajinas memungkinkan
dilakukan latihan simbolik dalam pikiran.
3) Peniruan tingkah laku model, yaitu bagaimana melakukannya? Apa yang
harus dikerjakan? Apakah sudah benar? Hasil lebih pada pencapaian tujuan
belajar dan efikasi pembelajar.
4) Motivasi dan penguatan. Motivasi tinggi untuk melakukan tingkah laku model
membuat belajar menjadi efektif. Imitasi lebih kuat pada tingkah laku yang
diberi penguatan daripada dihukum.47

b. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan penokohan (modeling)


1) Ciri model seperti; usia, status sosial, jenis kelamin, keramahan, dan
kemampuan, penting dalam meningkatkan imitasi.
2) Anak lebih senang meniru model seusianya daripada model dewasa.
3) Anak cenderung meniru model yang standar prestasinya dalam
jangkanannya.
46
Ibid.
47
Ibid., 177.

22
4) Anak cenderung mengumitasi orang tuanya yang hangat dan terbuka.
Gadis lebih mengimitasi ibunya.48

c. Prinsip-prinsip modeling
1) Belajar bisa diperoleh melalui pengalaman langsung dan bisa tidak
langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut
konsekuensinya.
2) Kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan
mencontoh tingkah laku model yang ada.
3) Reaksi reaksi emosional yang terganggu bisa dihapus dengan mengamati
orang lain yang mendekati obyek atau situasi yang ditakuti tanpa
mengalami akibat menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya.
4) Pengendalian diri dipelajari melalui pengamatan atas model yang dikenai
hukuman.
5) Status kehormatan model sangat berarti.
6) Individu mengamati seorang model dan dikuatkan untuk mencontoh
tingkah laku model.
7) Modeling dapat dilakukan dengan model simbol melalui film dan alat
visual lain.
8) Pada konseling kelompok terjadi model ganda karena peserta bebas
meniru perilaku pemimpin kelompok atau peserta lain.
9) Prosedur modeling dapat menggunakan berbagai teknik dasar modifikasi
perilaku.49

Kasus yang diterapi dengan modeling antara lain: penderita fobia,


ketergantungan atau kecanduan obat-obatan, ketergantungan atau kecanduan
alkohol, gangguan kepribadian berat psikosis, kesulitan anak adaptasi di
sekolah, dan takut sekolah.50

48
Ibid.
49
Ibid., 178.
50
Ibid.

23
d. Pengaruh modeling
1) Pengambilan respons atau keterampilan baru dan memperlihatkannya
dalam perilaku baru.
2) Hilangnya respons takut setelah melihat tokoh melakukan sesuatu yang
menimbulkan rasa takut konseli, tidak berakibat buruk bahkan berakibat
positif.
3) Melalui pengamatan terhadap tokoh, seseorang terdorong untuk
melakukan sesuatu yang mungkin sudah diketahui atau dipelajari dan
tidak ada hambatan.51

e. Macam-macam penokohan
1) Penokohan nyata (live model) seperti: terapis, guru, anggota keluarga atau
tokoh yang dikagumi dijadikan model oleh konseli.
2) Penokohan simbolik (symbolic model) seperti: tokoh yang dilihat melalui
film, video atau media lain.
3) Penokohan ganda (multiple model) seperti terjadi dalam kelompok,
seorang anggota mengubah sikap dan mempelajari sikap baru setelah
mengamati anggota lain bersikap.52

f. Langkah-langkah
1) Menetapkan bentuk penokohan (live model, symbolic model, multiple
model).
2) Pada live model, pilih model yang bersahabat atau teman sebaya konseli
yang memiliki kesamaan seperti: usia, status ekonomi, dan penampilan
fisik. Hal ini penting terutama bagi anak-anak.
3) Bila mungkin gunakan lebih dari satu model.
4) Kompleksitas perilaku yang dimodelkan harus sesuai dengan tingkat
perilaku konseli.
5) Kombinasikan modeling dengan aturan, instruksi, behavioral rehearsal,
dan penguatan.
51
Ibid., 179.
52
Ibid.

24
6) Pada saat konseli memperhatikan penampilan tokoh berikan penguatan
alamiah.
7) Bila mungkin buat desain pelatihan untuk konseli menirukan model secara
tepat, sehingga akan mengarahkan konseli pada penguatan alamiah. Bila
tidak maka buat perencanaan pemberian penguatan untuk setiap peniruan
tingkah laku yang tepat.
8) Bila perilaku bersifat kompleks, maka episode modeling dilakukan mulai
dari yang paling mudah ke yang lebih sukar.
9) Skenario modeling harus dibuat realistik.
10) Melakukan pemodelan di mana tokoh menunjukkan perilaku yang menim-
balkan rasa takut bagi konseli (dengan sikap manis, perhatian, bahasa yang
lembut dan perilaku yang menyenangkan konseli).53

Tingkah laku yang dimodifikasi dengan modeling adalah agresif, merokok,


membolos, tidak mengerjakan tugas, terlambat masuk sekolah, berbicara sem-
barangan (nyeletuk), meminjam barang teman tanpa izin, fobia, dan takut.54

6. Penglolaan Diri (Self Management)


Pengelolaan diri (self management) adalah prosedur di mana individu mengatur
perilakunya sendiri. Pada teknik ini individu terlibat pada beberapa atau ke- seluruhan
komponen dasar yaitu: menentukan perilaku sasaran, memonitor perilaku tersebut,
memilih prosedur yang akan diterapkan, melaksanakan prosedur tersebut, dan
mengevaluasi efektivitas prosedur tersebut.55
Masalah-masalah yang dapatditangani dengan menggunakan teknik pengelolaan
diri (self management) diantaramnya adalah :
a. Perilaku yang tidak berkaitan dengan orang lain tetapi mengganggu orang lain
dan diri sendiri.

53
Ibid., 180.
54
Ibid.
55
Ibid.

25
b. Perilaku yang yang sering muncul tanpa diprediksi waktu kemunculannya.
sehingga kontrol dari orang lain menjadi kurang efektif. Seperti menghentikan
merokok dan diet.
c. Perilaku sasaran berbentuk verbal dan berkaitan dengan evaluasi diri dan
kontrol diri. Misalnya terlalu mengkritik diri sendiri.
d. Tanggung jawab atas perubahan atau pemeliharaan tingkah laku adalah
tanggung jawab konseli. Contohnya adalah konseli yang sedang menulis
skripsi.56

Dalam penerapan teknik pengelolaan diri (self management) tanggung jawab


keberhasilan konseling berada di tangan konseli. Konselor berperan sebagai pencetus
gagasan, fasilitator yang membantu merancang program serta motivator bagi
konseli.57

Dalam pelaksanaan pengelolaan diri biasanya diikuti dengan pengaturan


lingkungan untuk mempermudah terlaksananya pengelolaan diri. Pengaturan
lingkungan dimaksudkan untuk menghilangkan faktor penyebab (antecedent) dan
dukungan untuk perilaku yang akan dikurangi. Pengaturan lingkungan dapat berupa:

a. Mengubah lingkungan fisik sehingga perilaku yang tidak dikehendaki sulit


dan tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya orang yang suka "ngemil"
mengatur lingkungan agar tidak tersedia makanan yang memancing keingin-
an untuk "ngemil".
b. Mengubah lingkungan sosial sehingga lingkungan sosial ikut mengontrol
tingkah laku konseli.
c. Mengubah lingkungan atau kebiasaan sehingga menjadi perilaku yang tidak
dikehendaki hanya dapat dilakukan pada waktu dan tempat tertentu saja.58

a. Tahap-tahap pengelolaan diri


Pengelolaan diri biasanya dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah
sebag berikut:
56
Ibid., 181.
57
Ibid.
58
Ibid.

26
1) Tahap monitor diri atau observasi diri
Pada tahap ini konseli dengan sengaja mengamati tingkah lakunya sende
serta mencatatnya dengan teliti. Catatan ini dapat menggunakan dabe cek atau
catatan observasi kualitatif. Hal-hal yang perlu diperhatikan ol konseli dalam
mencatat tingkah laku adalah frekuensi, intensitas, dan dura tingkah laku.

2) Tahap evaluasi diri


Pada tahap ini konseli membandingkan hasil catatan tingkah laku dengan
target tingkah laku yang telah dibuat oleh konseli. Perbandingan ini bertuju
untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi program. Bila program tersebut
tidak berhasil, maka perlu ditinjau kembali program tersebut, apakah target
tingkah laku yang ditetapkan memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi, perilaku
sesuai. yang ditargetkan tidak cocok, atau penguatan yang diberikan tidak

3) Tahap pemberian penguatan, penghapusan atau hukuman


Pada tahap ini konseli mengatur dirinya sendiri, memberikan penguatan,
menghapus dan memberikan hukuman pada diri sendiri. Tahap ini merupakan
tahap yang paling sulit karena membutuhkan kemauan yang kuat dari konseli
untuk melaksanakan program yang telah dibuat secara kontinyu.59

7. Penghapusan (extinction)
Penghapusan (extinction) adalah menghentikan reinforcement pada tingkah laku
yang sebelumnya diberi reinforcement.60
a. Langkah-langkah
1) Tentukan tingkah laku yang akan dihentikan dengan analisis ABC.
2) Bila tingkah laku itu ditampilkan, guru atau orangtua diam dan tidak
memberikan indikasi bahwa guru atau orangtua melihat tingkah laku tersebut.

59
Ibid., 182.
60
Ibid.

27
3) Extincition akan lebih kuat bila dikombinasikan dengan teknik penguatan
positif.61

b. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penghapusan


1) Kontrol terhadap pemberi penguatan bagi perilaku yang akan diturunkan/
dihapuskan. Saat perilaku diabaikan jangan sampai ada orang lain yang
memberi perhatian/penguatan pada perilaku yang tidak diharapkan.
2) Penurunan perilaku dikombinasi dengan penguatan positif bagi perilaku
alternatif. Penguatan diberi secara gradual. Misalnya saat anak menangis
menjerit-jerit diabaikan, kemudian setelah anak diam menangis selama 15
detik - 25 detik - 1 menit kemudian diberi penguatan positif.
3) Lakukan pada situasi yang memaksimalkan program extinction dan me
minimalkan situasi yang memungkinkan pihak lain memperkuat perilaku
yang tidak diharapkan. Misalnya anak temper tantrum di super market akan
sulit ditenangkan dibandingkan dilakukan di rumah.
4) Memberi instruksi dengan membuat aturan. Contoh suami setiap pulang
kantor selalu mengeluh kemacetan lalu lintas. Istri mengatakan "Tono,
kemacetan terjadi setiap hari dan tidak ada yang bisa dilakukan dengan
mengeluh. Saya lebih suka bicara dengan kamu tentang hal lain. Tapi kalau
satu saat nanti kamu pulang dan komplain lagi tentang lalu lintas, saya akan
mengabaikannya". Ini perlu dilakukan beberapa kali agar benar-benar
menurun.
5) Extinction akan berlangsung cepat setelah diikuti continuous reinforcement
pemberian penguatan setiap kali perilaku diharapkan muncul. Contohnya
anak meminta perhatian saat ibu sedang bicara di telepon, ibu mengabaikan.
Begitu anak diam dan tenang, ibu langsung memperhatikan dan memberikan
apa yang dibutuhkan anak.
6) Pemberian continuous reinforcement pada extinction akan lebih cepat
menurunkan perilaku yang tidak diharapkan dibandingkan intermittent
reinforcement

61
Ibid., 183.

28
7) Extinction bisa menghasilkan perilaku agresi. Hal ini dapat diminimalisir
apabila mengkombinasi antara penghapusan (extinction) dengan penguatan
positif (positive reinforcement) bagi perilaku alternatif yang muncul.
8) Perilaku yang sudah hilang dapat muncul kembali setelah beberapa waktu.
Ini disebut spontaneous recovery. Bila hal ini terjadi maka perlu dilakukan
kembali atau dilanjutkan program penghapusan (extinction).
9) Prinsip penting dalam modifikasi tingkah laku adalah: bila ingin perilaku
muncul lebih sering maka beri dia penguatan. Bila ingin perilaku menurun
atau hilang, maka abaikanlah.62

8. Pembanjiran (Flooding)
Pembanjiran (flooding) merupakan teknik modifikasi perilaku berdasarkan prin- sip
teori yang dikemukakan oleh B. F. Skinner. Pembanjiran (Flooding) adalah
membanjiri konseli dengan situasi atau penyebab kecemasan atau tingkah laku tidak
dikehendaki, sampai konseli sadar bahwa yang dicemaskan tidak terjadi.
Pembanjiran harus dilakukan hati-hati karena mungkin akan terjadi reaksi emosi
sangat tinggi. Pembanjiran sesuai untuk menangani kasus fobia. Tujuannya untuk
menurunkan tingkat rasa takut yang ditimbulkan, dengan menggunakan stimulus yang
dikondisikan (condition stimulus) yang dimunculkan secara berulang-ulang sehingga
terjadi penurunan, tanpa memberi penguatan (reinforcement).63

a. Cara-cara penerapan pembanjiran (flooding)


Terdapat dua cara melakukan pembanjiran yang dijadikan alternatif bagi
konselor dalam menerapkan pembanjiran (flooding).
1) Invivo
Yaitu, konselor mencoba membawa konseli hadir pada situasi atau stimulus
yang menimbulkan rasa rakut dengan segera selama terapi berlangsung,
dilakukan selama 1 jam atau lebih setiap sesinya, disertai pencegahan
terhadap perilaku untuk menghindari atau lari dari situasi tersebut. Pada
kasus-kasus dengan tingkat rasa takut yang sangat tinggi, flooding dapat
62
Ibid., 184.
63
Ibid.

29
dilakukan secara bertahap. Misal takut akan ketinggian, dimulai dengan
mengajak konseli melihat ke jendela dari ruang lantai 1, lantai 2, sampai ke
lantai 10.64
2) Imajeri
Yaitu, stimulus yang menakutkan bisa dihadirkan juga dengan memba-
yangkan, konselor akan membuat gambaran situasi yang semakin me
ningkatkan rasa takut dan semakin mencemaskan. Pengalaman konseli
membayangkan tanpa disertai akibat yang dahsyat dapat menurunkan ting-
kat rasa takutnya, dan ia akan siap menghadapi situasi sebenarnya. Tetapi
berdasarkan pendapat ahli, proses mengalami langsung lebih efektif. Teknik
ini biasa digunakan untuk kasus-kasus fobia, obsesif, psikotik. Teknik
flooding dikembangkan oleh Stampfl 1975 dengan nama terapi implosif.65

b. Prosedur terapi implosif


Langkah-langkah penerapan terapi implosif adalah:
1) Pencarian stimulus yang memicu gejala.
2) Menaksir bagaimana gejala-gejala berkaitan dan bagaimana gejala-gejala
membentuk perilaku konseli.
3) Meminta konseli membayangkan sejelas-jelasnya apa yang dijabarkan tanpa
disertai celaan atas kepantasan situasi yang dihadapi.
4) Bergerak semakin dekat kepada ketakutan paling kuat yang dialami kon- seli,
dan meminta konseli untuk membayangkan apa yang paling ingin
dihindarinya.
5) Mengulang prosedur tersebut sampai kecemasan tidak muncul lagi dalam diri
konseli.66

9. Penjenuhan (satiation)
Penjenuhan (satiation) adalah varian flooding untuk self control. Kontrol diri (self
control) berasumsi bahwa tingkah laku dipengaruhi variabel eksternal. Kontrol diri

64
Ibid., 185.
65
Ibid.
66
Ibid., 186.

30
adalah bagaimana individu mengontrol variabel eksternal yang menentukan tingkah
laku. Hal ini dilakukan dengan memindahkan atau meng- hindar (removing/avoiding)
dari situasi berpengaruh buruk. Memperkuat diri (reinforce oneself) yaitu memberi
reinforcement kepada diri sendiri, terhadap "prestasi" dirinya. Janji nonton kalau
prestasi belajar baik. Self punishment yaitu menghukum diri sendiri bisa hukuman
fisik atau mengurangi hak-haknya seperti menonton TV atau membeli makanan atau
barang yang diinginkannya.67
Penjenuhan (satiation) adalah membuat diri jenuh terhadap suatu tingkah laku,
sehingga tidak lagi bersedia melakukannya. Menurunkan atau menghi langkan
tingkah laku yang tidak diinginkan dengan memberikan reinforcement yang semakin
banyak dan terus menerus, sehingga individu mera-sa puas dan tidak akan melakukan
tingkah laku yang tidak diinginkan lagi.68
Contoh :
a. Ani suka sekali makan permen, untuk menurunkan kebiasaan tersebut, ia diberi
permen sebanyak-banyaknya sampai ia tidak ingin lagi permen, karena nilai
permen sudah berkurang.
b. Agus selalu meminjam alat tulis temannya tanpa izin. Pada hari penerapan
satiation, guru mempersiapkan alat tulis di meja Agus. Setelah jam pertama, guru
memberi lagi tiga alat tulis, hal ini berlangsung sampai jam sekolah berakhir.
Pada batas tertentu, Agus tidak membutuhkan alat tulis lagi, karena nilai dari alat
tulis tersebut sudah berkurang.69

10. Hukuman (punishment)


Hukuman atau punishment merupukan intervensi operant-conditioning yang
digunakan konselor untuk mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan. Hukuman
terdiri dari stimulus yang tidak menyenangkan sebagai konsekuensi dari tingkah laku.
Skinner berkeyakinan bahwa hukuman kerap kali digunakan bukan untuk
menghilangkan tingkah laku yang tidak diinginkan tetapi hanya mengurangi

67
Ibid.
68
Ibid., 187.
69
Ibid.

31
kecenderungan tingkah laku. Ketika hukuman dihilangkan maka tingkah laku tersebut
akan muncul kembali.70
Akan tetapi, hukuman memiliki efek emosional yng negatif seperti kemarahan
dan depresi. Bila hukuman digunakan harus diiringi dengan penguatan positif. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Skinner menunjukkan bahwa penguatan positif
memberikan efek yang lebih efektif dibanding aversif dan hukuman.71

a. Hal-hal yang harus diperhatikan


Dalam pemberian punishment terdapat beberapa prinsip yang harus
diperhatikan yaitu:
1) Hukuman diberikan segera setelah perilaku yang tidak diinginkan muncul
pada satu situasi, agar individu sedikit memiliki keinginan untuk mengulang
kembali perilaku tersebut bila berada pada situasi yang sama.
2) Penerapan punishment dalam pengubahan tingkah laku, lebih kepada fungu
konsekuensi yang memberi efek penurunan perilaku.
3) Pemberian hukuman bisa dilakukan sebagai tambahan atas konsekuensi
tingkah laku (tambahan tugas) atau penghilangan sesuatu yang menyenang
kan bagi siswa (mengikuti kegiatan ekstrakurikuler diganti dengan tugas
tambahan).72

b. Efek samping emosional pemberian hukuman


1) Tingkah laku yang tidak diinginkan hanya ditekan saat ada hukuman.
2) Jika tingkah laku alternatif tidak muncul, konseli akan menarik diri.
3) Pengaruh hukuman bisa jadi digeneralisasi pada tingkah laku lain yang
berkaitan dengan tingkah laku yang dihukum. Misal anak dihukum karena
terlambat, jadi tidak suka sekolah, semua pelajaran, semua guru dan
sebagainya.73

70
Ibid.
71
Ibid.
72
Ibid., 188.
73
Ibid.

32
Terdapat tiga metode operan yang digunakan untuk mengurangi perilaku,
yaitu time-out, overcorrection dan response cost.

1) Hukuman fisik
Bentuknya bisa stimulus aversif, hukuman aversif, aversif sederhana. Jenis
hukuman aversif yaitu kejut listrik (electric shock), suara keras, diberi
amoniak, ditarik rambutnya, dan cubit yang disebut unconditioned punishers
2) Timeout
Yaitu pemberian hukuman dengan memisahkan individu dari situasi.
3) Reprimands
Stimulus verbal negatif (Jangan! Itu jelek!) diterapkan saat perilaku yang
tidak diharapkan muncul.
4) Response cost
Membebankan "biaya" apabila individu melakukan perilaku yang tidak
diharapkan, misalnya tidak boleh pinjam buku perpustakaan, dan memberi
tugas tambahan di rumah. Biasa digunakan sebagai bagian dari penerapan
token economy, dengan pengurangan atau pemotongan nilai token.74

Jenis hukuman fisik, time out, dan reprimands telah banyak digunakan
untuk mengubah perilaku agresif atau sebagai stimulasi diri anak dengan
gangguan perkembangan.

c. Time-out
Merupakan teknik menyisihkan peluang individu untuk mendapatkan
penguatan positif. Teknik ini biasa digunakan di kelas, di mana siswa yang
berperilaku tidak diharapkan diasingkan atau dipindahkan dari siswa-siswa
yang lain pada waktu yang spesifik dan terbatas. Sehingga dalam keadaan
terasing, individu tidak lagi berupaya untuk melakukan perilaku yang dapat
menarik perhatian guru maupun teman-temannya.75

74
Ibid., 189.
75
Ibid.

33
d. Tipe-tipe time out
1) Exclusionary atau ekslusi
Memindahkan individu dari situasi yang memberi peluang
mendapat pe nguatan untuk waktu singkat ke dalam ruang time out.
Lamanya waktu time out sebaiknya tidak terlalu lama. Berdasarkan hasil
penelitian, lima menit adalah waktu yang efektif dalam pemberian time
out. Kalau dalam siatuasi belajar di kelas, berarti individu dipindahkan
dari ruang kelas. Atau dipindahkan ke ruang time out tertentu (isolasi)
misalnya perpustakaan atauruang lain.76
2) Nonexclusionary
Individu dipindahkan untuk beberapa saat pada situasi dengan
sedikit penguatan. Contoh ketika siswa mengganggu kelas, tidak
diperbolehkan berpartisipasi dalam aktivitas kelas dan diabaikan oleh
guru selama beberapa saat. Setelah itu boleh kembali berpartisipasi.
Dapat disebut observational; menempatkan siswa di luar aktivitas (tidak
boleh mengikuti) tapi ia masih bisa melihat aktivitas tersebut. Contoh:
menempatkan siswa di pojok kelas atau menyuruhnya menundukkan
kepala atau tetap di tempat duduk tapi tidak boleh ikut aktivitas beberapa
saat.77

e. Langkah-langkah time out


Terdapat beberapa langkah yang dapat dijadikan acuan bagi konselor dan
guru dalam melakukan time out, yaitu:
1) Menseleksi perilaku spesifik yang akan diubah, misalnya: lompat dari
bangku.
2) Memaksimalkan kondisi untuk memunculkan perilaku alternatif,
sehingga dapat diberi penguatan saat ini dilakukan individu sebagai
pengganti peri- laku yang tidak diharapkan.

76
Ibid., 190.
77
Ibid.

34
3) Meminimalisir penyebab timbulnya perilaku yang mendapat hukuman,
dengan mengidentifikasi di awal program. Serta menghilangkan
peluang munculnya penguatan bagi perilaku yang tidak diharapkan.
4) Memilih hukuman yang efektif, dengan memastikan menghukum
segera saat perilaku tidak diharapkan muncul, dan diberikan setiap kali
perilaku tersebut muncul, dan tidak diberikan bersamaan dengan
penguatan.
5) Penerapan hukuman dilakukan dengan aturan yang jelas; beritahu
konseli semua program yang akan dilakukan, dan katakan ia akan
diberi hukuman segera setiap kali perilaku tidak diharapkan muncul,
dan akan mendapat penguatan. Hindari hukuman diberi bersamaan
dengan reinforcement, administrasikan dengan baik pemberian
hukuman.
6) Program dilakukan dengan langkah dan aturan main yang jelas,
lakukan pencatatan data, dan lakukan pemantauan.78

11. Terapi Aversi


Pada kontrol diri aversi dilakukan sendiri oleh konseli, tetapi pada terapi
pengaturan kondisi aversi dilakukan terapis. Misalnya remaja senang berkelahi,
ditunjukkan foto teman yang kesakitan, saat yang sama diberi kejutan listrik yang
menimbulkan rasa sakit. Dengan terapi aversi diharapkan terjadi proses pembalikan
reinforcement dari perasaan senang atau bangga menyakiti orang lain, menjadi
reinforcement seperti iba, takut, rasa berdosa melihat orang lain terluka dan merasa
sakit karena listrik. Stimuli yang tidak disukai (aversive stimuli) akan menciptakan
stimulus yang tidak menyenangkan bersamaan dengan stimulus yang ingin
dikontrol.79
Terapi aversi merupakan teknik yang bertujuan untuk meredakan gangguan-
gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku
78
Ibid., 191.
79
Ibid., 192.

35
simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak
diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulus aversi biasanya berupa hukuman
dengan kejutan listrik atau ramuan yang membuat mual. Kendali aversi bisa
melibatkan penarikan penguatan positif atau penggunaan hukuman. Area penggunaan
aversi adalah untuk tingkah laku maladaptif antara lain, ketergantungan alkohol, obat-
obatan, merokok, obsesi, kompulsi, berjudi, homoseksualitas, penyimpangan seksual
seperti pedofilia. Merupakan teknik utama untuk alkoholik, melalui pemberian
ramuan yang menimbulkan mual ke dalam alkohol yang diminum. Prosedur aversif
menyajikan cara-cara menahan respons maladaptif pada satu periode, sehingga ada
kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif.80
a. Hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan terapi aversi
Beberapa poin di bawah ini perlu menjadi perhatian bagi konselor dalam
me- nerapkan terapi aversi, di antaranya adalah:
1) Hukuman jangan sering digunakan, meskipun konseli menginginkannya.
Apabila masih ada alternatif baiknya digunakan cara-cara pemberian
reinforcement positif, untuk mengurangi efek samping hukuman.
2) Bila menggunakan hukuman, perumusan tingkah laku alternatif harus spesifik
dan jelas.
3) Selain itu hukuman digunakan dengan cara-cara yang tidak mengakibatkan
konseli merasa ditolak sebagai pribadi.
4) Konseli harus tahu bahwa konsekuensi aversif diasosiasikan dengan tingkah.81

b. Jenis konseling aversi


Berbagai media yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan konseling aversi
yaitu:
1) Aversi kimia, yaitu dengan memasukkan bahan kimia yang menimbulkan
mual ke dalam alkohol.
2) Kejutan listrik, yaitu dengan menggunakan 2 elektroda yang dipasang di
lengan, betis, atau jari.

80
Ibid.
81
Ibid.

36
3) Covert Sensitization, yaitu dengan meminta konseli membayangkan perilaku
maladaptif yang biasa dilakukan dan akibat negatif untuk menimbulkan rasa
menyesal atau merasa bersalah.82

12. Disensitisasi Sistematis


Disensitisasi sistematis digunakan untuk menghapus rasa cemas dan tingkah laku
menghindar. Disensitisasi sistematis dilakukan dengan menerapkan peng- kondisian
klasik yaitu dengan melemahkan kekuatan stimulus penghasil ke- cemasan, gejala
kecemasan bisa dikendalikan dan dihapus melalui penggantian stimulus. Melibatkan
teknik relaksasi. Melatih konseli untuk santai dan meng- asosiasikan keadaan santai
dengan pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau divisualisasi.83

a. Langkah-langkah
1) Analisis tingkah laku yang membangkitkan kecemasan.
2) Manyusun tingkat kecemasan.
3) Membuat daftar situasi yang memunculkan/meningkatkan taraf kecemasan
mulai dari yang paling rendah - paling tinggi.
4) Melatih relaksasi konseli yang digariskan Yacobsen dan diuraikan rinci oleh
Wolpe yaitu dengan berlatih pengenduran otot dan bagian tubuh dengan titik
berat wajah, tangan, kepala, leher, pundak, punggung, perut, dada, dan
anggota badan bagian bawah.
5) Konseli mempraktikkan 30 menit setiap hari, hingga terbiasa untuk santai
dengan cepat. Pelaksanaan desensitisasi konseli dalam santai dan mata
tertutup.
6) Meminta konseli membayangkan dirinya berada pada satu situasi yang
netral, menyenangkan, santai, nyaman, tenang. Saat konseli santai diminta
membayangkan situasi yang menimbulkan kecemasan pada tingkat yang
paling rendah.
7) Dilakukan terus secara bertahap sampai tingkat yang memunculkan rasa
cemas, dan dihentikan.
82
Ibid., 193.
83
Ibid.

37
8) Kemudian dilakukan relaksasi lagi sampai konseli santai, diminta mem-
bayangkan lagi pada situasi dengan tingkat kecemasan yang lebih tinggi dari
sebelumnya.
9) Terapi selesai apabila konseli mampu tetap santai ketika membayangkan
situasi yang sebelumnya paling menggelisahkan dan mencemaskan.
10) Cocok untuk kasus fobia, takut ujian, impotensi, frigiditas, kecemasan
neurotik, ketakutan yang digeneralisasi.84

b. Penyebab kegagalan disensitisasi sistematis


Namun, disensitisasi sistematis mungkin saja tidak berhasil dilakukan
pada beberapa konseli yang disebabkan oleh:
1) Konseli yang mengalami kesulitan dalam melakukan relaksasi
2) Tingkatan kecemasaan yang tidak relavan atau tidak tepat saat disusun
bersama konseli.
3) Ketidak memadaian dalam membayangkan. 85

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjabaran sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa pendekataan
behavior didasarkan pada pendangan ilmiah tentang tingkah laku manusia yang
menekankan pada pentingnya pendekatan sistematik dan terstruktur pada konseling.
Pendekatan behavioral berpandangan bahwa setiap tingkah laku dapat dipelajari.
Pada teknik konseling behavior terdiri dari dua jenis, yaitu teknik untuk
mmeningkatkan tingkah laku antara lain: penguatan positif, token economyy, pebentukan
tingkah laku (shapping), pembuatan kontrak, sedangkan teknik konseling untuk
menurunkan tingkh laku adalah: penghapusan (extinction), time-out, pebanjiran

84
Ibid., 194.
85
Ibid., 195.

38
(flooding), penjenuhan (satiation), hukuman (punishment), terapi aversi, dan disensitisasi
sistematis.

B. Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah
diatas terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis nanti
akan segera perbaikan susunan makalah itu dengan mengguanakan pedoman dari
beberapa sumber dan kritik yang bias membangun dari para pembaca.
A.

39
DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. Theory and Practice of Counseling & Psychotherapy. Edited by Christina Ganim. Eighth
Edi. Belmont: Thomson Higher Education, 2009.

Komalasari, Gentina. dkk. Teori Dan Teknik Konseling. Cetakan pe. Jakarta Barat: PT Indeks, 2011.

Sanyata, Sigit. “Teori Dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik Dalam Konseling.” Jurnal Paradigma Vol. VII,
(2012): 11.

40

Anda mungkin juga menyukai