Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH TEORI BELAJAR BEHAVIORISME

Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran

Mata Kuliah: Belajar dan Pembelajaran

Dosen Pengampu:

1. Dr. Herpratiwi, M.Pd.


2. Dian Utami, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh:

Nova Arum Palupi

NPM. 2113034045

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya Saya dapat
menyelesaikan Makalah dengan judul “Teori Belajar Behaviorisme” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun dengan harapan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai
teori behaviorisme dalam proses belajar dan pembelajaran. Pada kesempatan ini, Saya
mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Herpratiwi, M.Pd. dan Ibu Dian Utami, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pengampu
mata kuliah Belajar dan Pembelajaran.
2. Kedua orang tua Saya, yang telah memberikan semangat dan kasih sayang.
3. Rekan-rekan mahasiswa-mahasiswi semester 2 (dua) yang telah membantu dalam
berjalannya perkuliahan.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik
dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Harapan Saya,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi Saya pribadi dan pembaca.

Bandar Lampung, 26 Februari 2022

Nova Arum Palupi

NPM. 2113034045

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... i

DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 2

1.3 Tujuan.............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 3

2.1 Definisi Teori Belajar Behaviorisme............................................................... 3

2.2 Definisi Belajar Menurut Pandangan Teori Behaviorisme............................. 14

2.3 Tujuan Teori Belajar Behaviorisme................................................................ 15

2.4 Prinsip Teori Belajar Behaviorisme................................................................ 16

2.5 Ciri-ciri Teori Belajar Behaviorisme.............................................................. 18

2.6 Kekurangan dan Kelebihan Teori Belajar Behaviorism................................. 18

2.7 Analisis Tentang Teori Belajar Behavioristik................................................ 20

2.8 Pengaplikasian Teori Belajar Behaviorisme Dalam Pembelajaran................ 21

2.9 Pendekatan Behaviorisme dalam Perumusan Kebijakan Pendidikan............. 24

2.9 Pengembangan Perilaku Perspektif Teori Belajar Behaviorisme................... 29

BAB III PENUTUP........................................................................................................ 34

3.1 Kesimpulan..................................................................................................... 34

3.2 Saran............................................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Belajar dan pembelajaran merupakan topik yang tetap menarik ketika mengkaji
ilmu-ilmu perilaku. Bagaiman sebenarnya proses belajar itu dapat berlangsung dan
bagaimana pembelajaran seharusnya dilakukan, ini merupakan hal yang menarik bagi
pendidik, guru, orang tua, konselor, dan orang-orang yang bergerak dalam pengelolaan
perilaku. Jika belajar merupakan suatu kegiatan yang bersifat rumit dan kompleks,
maka pembelajaran menjadi lebih kompleks dan rumit karena tujuan pembelajaran
adalah untuk memacu (merangsang) dan memicu (menumbuhkan) terjadi kegiatan
belajar. Dengan demikian, hasil belajar merupakan tujuan dan pembelajaran dari sarana
untuk mencapai tujuan tersebut.

Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk
suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi
bersikap benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Belajar tidak
hanya sekedar memetakan pengetahuan atau informasi yang disampaikan. Namun
bagaimana melibatkan individu secara aktif membuat atau pun merevisi hasil belajar
yang diterimanya menjadi suatu pengalamaan yang bermanfaat bagi pribadinya.

Pembelajaran merupakan suatu sistim yang membantu individu belajar dan


berinteraksi dengan sumber belajar dan lingkungan. Teori adalah seperangkat azaz yang
tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu dalam dunia nyata. Teori merupakan
seperangkat preposisi yang didalamnya memuat tentang ide, konsep, prosedur dan
prinsip yang terdiri dari satu atau lebih variable yang saling berhubungan satu sama
lainnya dan dapat dipelajari, dianalisis dan diuji serta dibuktikan kebenarannya. Dari
dua pendapat diatas Teori adalah seperangkat azaz tentang kejadian-kejadian yang
didalamnnya memuat ide, konsep, prosedur dan prinsip yang dapat dipelajari, dianalisis
dan diuji kebenarannya.

1
Teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian
kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran
yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Teori belajar selalu bertolak dari
sudut pandang psikologi belajar. Untuk itu dalam pemahasan ini penyusun akan
mengulas mengenai teori belajar yang berhubungan dengan psikologi yang berpijak
pada pandaangan behaviorisme dan aplikasinya dalam pembelajaran.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan teori belajar Behaviorisme?


2. Apa definisi belajar menurut pandangan teori Behaviorisme?
3. Apa tujuan teori belajar Behaviorisme?
4. Apa prinsip teori belajar Behaviorisme?
5. Apa ciri-ciri teori belajar Behaviorisme?
6. Apa kekurangan dan kelebihan teori belajar Behaviorisme?
7. Bagaimana analisis tentang teori belajar Behaviorisme?
8. Bagaimana pengaplikasian teori belajar Behaviorisme dalam pembelajaran?
9. Bagaimana pendekatan Behaviorisme dalam perumusan kebijakan pendidikan?
10. Bagaimana pengembangan perilaku perspektif teori belajar Behaviorisme?

1.3 Tujuan

1. Mendeskripsikan definisi teori belajar Behaviorisme.


2. Mendeskripsikan definisi belajar menurut pandangan teori Behaviorisme.
3. Mendeskripsikan tujuan teori belajar Behaviorisme.
4. Mendeskripsikan prinsip teori belajar Behaviorisme.
5. Mendeskripsikan ciri-ciri teori belajar Behaviorisme.
6. Mendeskripsikan kekurangan dan kelebihan teori belajar Behaviorisme.
7. Mendeskripsikan analisis tentang teori belajar Behaviorisme.
8. Mendeskripsikan pengaplikasian teori belajar Behaviorisme dalam pembelajaran.
9. Mengetahui pendekatan Behaviorisme dalam perumusan kebijakan pendidikan.
10. Mengetahui pengembangan perilaku perspektif teori belajar Behaviorisme.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Teori Belajar Behaviorisme


Menurut Wikipedia, Behaviorisme atau Aliran Perilaku (juga disebut
Perspektif Belajar) adalah filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi
bahwa semua yang dilakukan organisme termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan
dapat dan harus dianggap sebagai perilaku. Aliran ini berpendapat bahwa perilaku
demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat peristiwa fisiologis internal
atau konstrak hipotetis seperti pikiran. Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori
harus memiliki dasar yang bisa diamati tetapi tidak ada perbedaan antara proses yang
dapat diamati secara publik (seperti tindakan) dengan proses yang diamati secara
pribadi (seperti pikiran dan perasaan). Teori Behavioristik adalah teori yang
mempelajari perilaku manusia. Perspektif behavioral berfokus pada peran dari belajar
dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan terjadi melalui rangsangan berdasarkan
(stimulus) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respons) hukum-hukum
mekanistik. Asumsi dasar mengenai tingkah laku menurut teori ini adalah bahwa
tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan, bisa diramalkan, dan bisa ditentukan.
Menurut teori ini, seseorang terlibat dalam tingkah laku tertentu karena mereka telah
mempelajarinya, melalui pengalaman-pengalaman terdahulu, menghubungkan
tingkah laku tersebut dengan hadiah. Seseorang menghentikan suatu tingkah laku,
mungkin karena tingkah laku tersebut belum diberi hadiah atau telah mendapat
hukuman. Karena semua tingkah laku yang baik bermanfaat ataupun yang merusak,
merupakan tingkah laku yang dipelajari. Dalam belajar siswa seharusnya dibimbing
untuk aktif bergerak, mencari, mengumpulkan, menganalisis, dan menyimpulkan
dengan pemikirannya sendiri dan bantuan orang dewasa lainnya berdasarkan
pengalaman belajarnya. Inilah yang disebut belajar dengan pendekatan inkuiri
terbimbing.

Pendekatan psikologi ini mengutamakan pengamatan tingkah laku dalam


mempelajari individu dan bukan mengamati bagian dalam tubuh atau mencermati
penilaian orang tentang penasarannya. Behaviorisme menginginkan psikologi sebagai

3
pengetahuan yang ilmiah, yang dapat diamati secara obyektif. Data yang didapat dari
observasi diri dan intropeksi diri dianggap tidak obyektif. Teori Belajar behaviorisme
adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari
interaksi antara stimulus dan respon. teori behaviorisme merupakan sebuah teori yang
dicetuskan oleh Gage dan Berliner. Kemudian teori ini berkembang menjadi aliran
psikologi belajar yang berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behaviorisme. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori behaviorisme dengan model hubungan stimulus responnya,


mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku
tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila
dikenai hukuman. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat
menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting
adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.

Stimulus adalah segala hal yang diberikan oleh guru kepada pelajar,
sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak
dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon.
Oleh karena itu sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan sesuatu yang diterima
oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat perubahan
tingkah laku tersebut terjadi atau tidak. Jika ingin menelaah kejiwaan manusia,
amatilah perilaku yang muncul, maka akan memperoleh data yang dapat
dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Jadi, behaviorisme sebenarnya adalah sebuah
kelompok teori yang memiliki kesamaan dalam mencermati dan menelaah perilaku
manusia yang menyebar di berbagai wilayah, selain Amerika teori ini berkembang di
daratan Inggris, Perancis, dan Rusia. Tokoh-tokoh yang terkenal dalam teori ini
meliputi E.L.Thorndike, I.P.Pavlov, B.F.Skinner, J.B.Watson, dll. Teori belajar dalam
pandangan behaviorisme adalah sebagai berikut.

4
1. Edward Lee Thorndike (1874 – 1949)
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera atau
suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk
mengaktifkan organisme untuk bereaksi atau berbuat. Sedangkan respon adalah
reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan (akibat adanya rangsangan). Jadi
perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang
dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran
behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan
bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike
ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000). Menurut Thorndike,
belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-
peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Eksperimen kucing lapar
yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai
hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih
respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials)
dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar
adalah “trial and error learning atau selecting and connecting lerning” dan
berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu, teori belajar yang
dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar
koneksionisme atau teori asosiasi.

Ada tiga hukum belajar yang utama, yakni (1) hukum efek; (2) hukum
latihan dan (3) hukum kesiapan (Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan
bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon. Thorndike mengemukakan
bahwaterjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum
berikut:
1) Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme
memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku
tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung
diperkuat.

5
2) Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku
diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
3) Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung
diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika
akibatnya tidak memuaskan.

2. Ivan Petrovich Pavlov (1849 – 1936)


Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses
yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, di mana
perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara
berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Mula-mula ia
menunjukkan makanan (unconditioned stimulus) kepada anjing yang sedang
kelaparan dan mengeluarkan air liur (unconditioned response). Kemudian Pavlov
membunyilkan bel yang (conditioned stimulus) yang diteruskan dengan
pemberian makanan (unconditioned stimulus) kepada anjing (unconditioned
response). Selanjutnya, dalam penelitian Pavlov, yang terjadi adalah ketika bel
mulai dibunyikan maka pada saat yang sama anjing mengeluarkan air liurnya.
Anjing merespon bel tersebut dengan air liur meskipun tanpa adanya makanan.
Classical conditioning telah terjadi. Pebelajar (anjing) mengenali hubungan antara
unconditioned stimulus (makanan) dengan conditional stimulus (bel)
(Kusmintardjo dan Mantja, 2011).

Urutan kejadian melalui percobaan terhadap anjing:


1) US (unconditioned stimulus) = stimulus asli atau netral: Stimulus tidak
dikondisikan yaitu stimulus yang langsung menimbulkan respon, misalnya
daging dapat merangsang anjing untuk mengeluarkan air liur.
2) UR (unconditioned respons): disebut perilaku responden (respondent
behavior) respon tak bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya
US, yaitu air liur anjing keluar karena anjing melihat daging.
3) CS (conditioning stimulus): stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang tidak
dapat langsung menimbulkan respon. Agar dapat menimbulkan respon perlu
dipasangkan dengan US secara terus-menerus agar menimbulkan respon.
Misalnya bunyi bel akan menyebabkan anjing mengeluarkan air liur jika selalu
dipasangkan dengan daging.
6
4) CR (conditioning respons): respons bersyarat, yaitu rerspon yang muncul
dengan hadirnya CS, Misalnya: air liur anjing keluar karena anjing mendengar
bel.

Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasan dapat


diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami (UCS = Unconditional
Stimulus = Stimulus yang tidak dikondisikan) dapat digantikan oleh bunyi
lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan (CS = Conditional Stimulus =
Stimulus yang dikondisikan). Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing
keluar sebagai respon yang dikondisikan. Dengan menerapkan strategi Pavlov
ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami
dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang
diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh
stimulus yang berasal dari luar dirinya.

3. Burrhus Frederic Skinner (1904 – 1990)


Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih
mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep
belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan
antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya,
yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima
seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan
saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon
yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya
perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu, dalam memahami tingkah laku seseorang
secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan
lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai
konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga
mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai
alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah.
Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Prinsip-prinsip utama pandangan Skinner:
7
1) Descriptive behaviorism, pendekatan eksperimental yang sistematis pada
perilaku yang spesifik untuk mendapatkan hubungan S-R. Pendekatannya
induktif. Dalam hal ini pengaruh Watson jelas terlihat.
2) Empty organism, menolak adanya proses internal pada individu.
3) Menolak menggunakan metode statistikal, mendasarkan pengetahuannya pada
subyek tunggal atau subyek yang sedikit namun dengan manipulasi
eksperimental yang terkontrol dan sistematis.

Konsep-konsep utama:
1. Proses operant conditioning:
a. Memilah perilaku menjadi respondent behavior dan operant behavior.
Respondent terjadi pada kondisioning klasik, dimana reinforcement
mendahului UCR/CR. Dalam kondisi sehari-hari yang lebih sering terjadi
adalah operant behavior dimana reinforcement terjadi setelah respons.
b. Positive dan negative reinforcers (kehadirannya PR menguatkan perilaku
yang muncul, sedangkan justru ketidakhadiran NR yang akan menguatkan
perilaku).
c. Extinction: hilangnya perilaku akibat dari dihilangkannya reinforcers.
d. Schedules of reinforcement, berbagai variasi dalam penjadwalan
pemberian reinforcement dapat meningkatkan perilaku namun dalam kadar
peningkatan dan intensitas yang berbeda-beda (Lundin, 1991).
e. Discrimination: organisme dapat diajarkan untuk berespon hanya pada
suatu stimulus dan tidak pada stimulus lainnya.
f. Secondary reinforcement, adalah stimulus yang sudah melalui proses
pemasangan/kondisioning dengan reinforcer asli sehingga akhirnya bisa
mendapatkan efek reinforcement sendiri.
g. Aversive conditioning, proses kondisioning dengan melibatkan suasana
tidak menyenangkan. Hal ini dilakukan dengan punishment. Reaksi
organisme adalah escape atau avoidance.

2. Behavior Modification
Behavior Modification adalah penerapan dari teori Skinner, sering juga
disebut sebagai behavior therapy. Merupakan penerapan dari shaping
(pembentukan TL bertahap), penggunaan positive reinforcement secara
8
selektif, dan extinction. Pendekatan ini banyak diterapkan untuk mengatasi
gangguan perilaku. Kritik terhadap Skinner:
a. Pendekatannya yang lebih bersifat deskriptif dan kurang analitis dianggap
kurang valid sebagai sebuah teori.
b. Validitas dari kesimpulan yang diambilnya yang merupakan generalisasi
berlebihan dari satu konteks perilaku kepada hampir seluruh perilaku
umum.
c. Pandangan ‘empty organism’ mengundang kritik dari pendukung aspek
biologis dan psikologi kognitif yang percaya pada kondisi internal
mansuia, entah itu berupa proses biologis atau proses mental.

Manajemen kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk


memodifikasi perilaku (behavior modification) antara lain dengan proses
penguatan (reinforcement) yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang
diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat.
Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah suatu proses
penguatan perilaku operan (penguatan positif atau negatif) yang dapat
mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang
sesuai dengan keinginan. Perilaku operan adalah perilaku yang dipancarkan
secara spontan dan bebas Skinner membuat eksperiment sebagai berikut:
dalam laboratorium. Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam
kotak yang disebut ”Skinner box” yang sudah dilengkapi dengan berbagai
peralatan, yaitu tombol, alat pembeli makanan, penampung makanan, lampu
yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik. Karena
dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari makanan.
Selama tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia
menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara
bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini
disebut shaping.

Unsur terpenting adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah


pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat
bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu
penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus,
9
dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu sedangkan
penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang.
Beberapa prinsip belajar Skinner antara lain (Kusmintardjo dan Mantja, 2011):
a. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah
dibetulkan, jika benar diberi penguat.
b. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
c. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
d. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
e. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk ini
lingkungan perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
f. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya
hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforcer.
g. Dalam pembelajaran, digunakan shaping.

Beberapa kekeliruan dalam penerapan teori, Skinner adalah penggunaan


hukuman sebagai salah satu cara untuk mendiskripsikan siswa. Menurut
Skinner hukuman yang baik adalah anak merasakan sendiri konsekuensi dari
perbuatannya misalnya anak perlu mengalami sendiri kesalahan dan
merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verba maupun fisik
seperti: kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada
siswa. Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif juga terjadi di dalam
situasi pendidikan seperti penggunaan rangking juara di kelas yang
mengharuskan anak menguasai semua mata pelajaran. Sebaliknya setiap anak
diberi penguatan sesuai dengan kemampun yang diperlihatkan sehingga dalam
satu kelas terdapat banyak penghargaan sesuai dengan prestasi yang
ditunjukkan para siswa; misalnya: penghargaan di bidang bahasa, matematika,
fisika, menyanyi, menari, atau olahraga.

4. Edwin Ray Guthrie (1886 – 1959)


Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti yaitu Contiguity
dapat diartikan sebagai rangkaian peristiwa, hal-hal atau benda-benda yang terus
saling berkait antara satu dengan lainnya. Teori ini dikembangkan oleh Edwin Ray
Guthrie (1886-1956). Guthrie menegaskan bahwa kombinasi stimulus yang
muncul bersamaan dengan satu gerakan tertentu, sehingga belajar adalah
10
konsekuensi dari asosiasi antara stimulus dan respon tertentu (Hitipew, 2009).
Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk
menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak
hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta
didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon
bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus
respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari.
Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin
diabaikan oleh anak.

5. John Watson (1878-1958)


Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan
respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati
(observable) dan dapat diukur. Jadi, walaupun dia mengakui adanya perubahan-
perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia
menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena
tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya
tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat
diamati dan diukur.

Setelah memperoleh gelar master dalam bidang bahasa (Latin dan Yunani),
matematika, dan filsafat di tahun 1900, ia menempuh pendidikan di University of
Chicago. Minat awalnya adalah pada filsafat, sebelum beralih ke psikologi karena
pengaruh Angell. Dalam karyanya ini Watson menetapkan dasar konsep utama
dari aliran behaviorisme:

11
1. Psikologi adalah cabang eksperimental dari natural science. Posisinya setara
dengan ilmu kimia dan fisika sehingga introspeksi tidak punya tempat di
dalamnya.
2. Sejauh ini psikologi gagal dalam usahanya membuktikan jati diri sebagai
natural science. Salah satu halangannya adalah keputusan untuk menjadikan
bidang kesadaran sebagai obyek psikologi.
3. Obyek studi psikologi yang sebenarnya adalah perilaku nyata.

6. Clark L. Hull (1884-1952)


Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon
untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori
evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi
tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan
hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan
kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral
dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam
belajar hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang
akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku
juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Gredler,
1991).

Prinsip-prinsip utama teorinya:


1. Reinforcement adalah faktor penting dalam belajar yang harus ada. Namun
fungsi reinforcement bagi Hull lebih sebagai drive reduction daripada satisfied
factor.
2. Dalam mempelajari hubungan S-R yang diperlu dikaji adalah peranan dari
intervening variable (atau yang juga dikenal sebagai unsur O (organisme).
Faktor O adalah kondisi internal dan sesuatu yang disimpulkan (inferred),
efeknya dapat dilihat pada faktor R yang berupa output. Karena pandangan ini
Hull dikritik karena bukan behaviorisme sejati.
3. Proses belajar baru terjadi setelah keseimbangan biologis terjadi. Di sini
tampak pengaruh teori Darwin yang mementingkan adaptasi biologis
organisme.

12
Hypothetico-deductive theory adalah teori belajar yang dikembangkan Hull
dengan menggunakan metode deduktif. Hull percaya bahwa pengembangan ilmu
psikologi harus didasarkan pada teori dan tidak semata-mata berdasarkan
fenomena individual (induktif). Teori ini terdiri dari beberapa postulat yang
menjelaskan pemikirannya tentang aktivitas otak, reinforcement, habit, reaksi
potensial, dan lain sebagainya (Lundin, 1991). Sumbangan utama Hull adalah
pada ketajaman teorinya yang detil, ditunjang dengan hasil-hasil eksperimen yang
cermat dan ekstensif. Akibatnya ide Hull banyak dirujuk oleh para ahli
behavioristik lainnya dan dikembangkan.

7. Albert Bandura (1925)


Bandura lahir di Canada, memperoleh gelar Ph. D dari University of Iowa dan
kemudian mengajar di Stanford University. Sebagai seorang behaviorist, Bandura
menekankan teorinya pada proses belajar tentang respon lingkungan. Oleh
karenanya teorinya disebut teori belajar sosial, atau modeling. Prinsipnya adalah
perilaku merupakan hasil interaksi resiprokal antara pengaruh tingkah laku,
koginitif dan lingkungan. Singkatnya, Bandura menekankan pada proses modeling
sebagai sebuah proses belajar.

Inti utama dalam teori ini adalah bahwa dalam belajar tidak hanya ada
reinforcement dan punishment saja, namun menyangkut perasaan dan pikiran.
Teori belajar sosial menyatakan tentang pentingnya manusia dalam proses belajar,
yang disebutnya dengan sebutan proses kognitif. Faktor-faktor yang berproses
dalam belajar observasi adalah: 1) perhatian, mencakup peristiwa peniruan
dankarakteristik pengamat; 2) penyimpanan atau proses mengingat, mencakup
kode pengkodean simbolik; 3) reproduksi motorik, mencakup kemampuan fisik,
kemampuan meniru, keakuratan umpan balik; 4) motivasi, mencakup dorongan
dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri (Kusmintardjo dan Mantja, 2011).
Teori utama:
1. Observational learning atau modeling adalah faktor penting dalam proses
belajar manusia.
2. Dalam proses modeling, konsep reinforcement yang dikenal adalah vicarious
reinforcement, reinforcement yang terjadi pada orang lain dapat memperkuat
perilaku individu. Self-reinforcement, individu dapat memperoleh
13
reinforcement dari dalam dirinya sendiri, tanpa selalu harus ada orang dari luar
yang memberinya reinforcement.
3. Menekankan pada self-regulatory learning process, seperti self-judgement,
self-control, dan lain sebagainya.
4. Memperkenalkan konsep penundaan self-reinforcement demi kepuasan yang
lebih tinggi di masa depan.

2.2 Definisi Belajar Menurut Pandangan Teori Behaviorisme


Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam
belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati
adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus)
dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Para penganut teori behaviorisme meyakini bahwa manusia sangat


dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya yang memberikan
pengalaman-pengalaman tertentu kepadanya. Behaviorisme menekankan pada apa
yang dapat dilihat, yaitu tingkah laku, dan kurang memperhatikan apa yang terjadi di
dalam pikiran karena tidak dapat dilihat. Skinner beranggapan bahwa perilaku
manusia yang dapat diamati secara langsung adalah akibat konsekuensi dari perbuatan
sebelumnya (Semiawan, 2002:3). Menurut aliran psikologi ini proses belajar lebih
dianggap sebagai suatu proses yang bersifat mekanistik dan otomatik tanpa
membicarakan apa yang terjadi selama itu didalam diri siswa yang belajar.
Sebagaimana pada kebanyakan aliran psikologi belajar lainnya, behaviorisme juga

14
melihat bahwa belajar adalah merupakan perubahan tingkah laku. Ciri yang paling
mendasar dari aliran ini adalah bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi adalah
berdasarkan paradigma S-R (Stimulus Respon), yaitu suatu proses yang memberikan
respon tertentu terhadap sesuatu yang datang dari luar. Proses S-R ini terdiri dari
beberapa unsur dorongan (drive).

Pertama, seseorang merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu dan terdorong


untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kedua, rangsangan atau stimulus kepada
seseorang diberikan stimulus yang akan menyebabkannya memberikan respons.
Ketiga, adalah respons, di mana seseeorang akan memberikan reaksi atau respons
terhadap stimulus yang diterimanya dengan melakukan suatu tindakan yang dapat
diamati. Keempat, unsur penguatan atau reinforcement, yang perlu diberikan kepada
seseorang agar ia merasakan adanya kebutuhan untuk memberikan respons lagi.
Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal
kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi
antara stimulus dan respon. Seseorang telah belajar apabilaia telah dapat
menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Menurut teori ini yang terpenting adalah
masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa
respons. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu
hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Mengajar menurut pandangan ini yaitu memindahkan pengetahuan ke orang yang
belajar bukan menggali makna. Peserta didik diharapkan memiliki pemahaman yang
sama dengan pengajar terhadap pengetahuan yang dipelajari.

2.3 Tujuan Teori Belajar Behaviorisme

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada


penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke
keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga

15
aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi
menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru,
hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi
belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan
evaluasi pada kemampuan siswa secara individual. Adapun tujuan pembelajaran teori
behaviorisme antara lain:

1. Berkomunikasi atau transfer perilaku adalah penggambar pengetahuan


dankecakapan peserta didik, tidak mempertimbagka proses mental.
2. Pengajaran adalah untuk memeproleh keinginan respon dari peserta didik yang
dimunculkan dari stimulus.
3. Peserta didik harus mengenali bagaimana mendapatka respon sebaik mungkin
pada kondisi respon diciptakan.
4. Peserta didik memperoleh kecakapan berbeda.

2.4 Prinsip Teori Belajar Behaviorisme

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1)


Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3)
Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in
Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984). Teknik
Behaviorisme telah digunakan dalam pendidikan untuk waktu yang lama untuk
mendorong perilaku yang diinginkan dan untuk mencegah perilaku yang tidak
diinginkan.

a. Stimulus dan Respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa
misalnya alat peraga, gambar atau charta tertentu dalam rangka membantu
belajarnya. Sedangkan respons adalah reaksi siswa terhadap stimulus yang telah
diberikan oleh guru tersebut, reaksi ini haruslah dapat diamati dan diukur.

16
b. Reinforcement (penguatan). Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat
perilaku disebut penguatan (reinforcement) sedangkan konsekuensi yang tidak
menyenangkan akan memperlemah perilaku disebut dengan hukuman
(punishment). Jenis-jenis penguatan adalah sebagai berikut.
1) Penguatan positif dan negative
Pemberian stimulus positif yang diikuti respon disebut penguatan
positif. Sedangkan mengganti peristiwa yang dinilai negatif untuk
memperkuat perilaku disebut penguatan negatif.

2) Penguatan primer dan sekunder


Penguat primer adalah penguatan yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan fisik. Sedangkan penguatan sekunder adalah penguatan yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan non fisik.

3) Kesegeraan memberi penguatan (immediacy)


Penguatan hendaknya diberikan segera setelah perilaku muncul karena
akan menimbulkan perubahan perilaku yang jauh lebih baik dari pada
pemberian penguatan yang diulur-ulur waktunya.

4) Pembentukan perilaku (Shapping)


Menurut skinner untuk membentuk perilaku seseorang diperlukan langkah-
langkah berikut:
a) Mengurai perilaku yang akan dibentuk menjadi tahapan-tahapan yang
lebih rinci.
b) Menentukan penguatan yang akan digunakan.
c) Penguatan terus diberikan apabila muncul perilaku yang semakin dekat
dengan perilaku yang akan dibentuk.

5) Kepunahan (Extinction)
Kepunahan akan terjadi apabila respon yang telah terbentuk tidak
mendapatkan penguatan lagi dalam waktu tertentu.

17
2.5 Ciri-ciri Teori Belajar Behaviorisme

Teori belajar behavioristik mempunyai ciri-ciri mendasar yang dapat diamati.


Ciri yang pertama yaitu aliran ini mempelajari perbuatan manusia bukan dari
kesadarannya, melainkan mengamati perbuatan dan tingkah laku yang berdasarkan
kenyataan. Pengalaman-pengalaman batin di kesampingkan serta gerak-gerak pada
badan yang dipelajari sehingga behaviorisme adalah ilmu jiwa tanpa jiwa. Ciri kedua
yaitu segala perbuatan dikembalikan kepada refleks. Behaviorisme mencari unsur-
unsur yang paling sederhana yakni perbuatan-perbuatan bukan kesadaran yang
dinamakan refleks. Refleks adalah reaksi yang tidak disadari terhadap suatu
pengarang. Manusia dianggap sesuatu yang kompleks refleks atau suatu mesin. Ciri
ke tiga yaitu behaviorisme berpendapat bahwa pada waktu dilahirkan semua orang
adalah sama. Menurut behaviorisme pendidikan adalah maha kuasa, manusia hanya
makhluk yang berkembang karena kebiasaan-kebiasaan, dan pendidikan dapat
mempengaruhi reflek keinginan hati (Ahmadi dalam Nahar, 2016: 68). Sejalan
dengan hal tersebut, Sukmadinata (dalam Sagala 2007: 42) menyatakan “Ada
beberapa ciri dari rumpun teori behavioristik yaitu mengutamakan unsur-unsur atau
bagian-bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peran lingkungan,
mementingkan reaksi atau respon, dan menakankan pentingnya latihan”.

Berdasarkan ciri-ciri teori behavioristik yang telah dipaparkan tersebut dapat


ditarik kesimpulan bahwa teori ini memandang manusia lebih kepada aspek jasmaniah
dan sebagai makhluk hidup yang pasif dan dikuasai oleh stimulus-stimulus yang ada
di lingkungannya sebagai hasil latihan.

2.6 Kekurangan dan Kelebihan Teori Belajar Behaviorisme

Kelebihan Teori Behavioristik: (1) Membisakan guru untuk bersikap jeli dan
peka terhadap situasi dan kondisi belajar. (2) Guru tidak membiasakan memberikan
ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika murid menemukan kesulitan
baru ditanyakan pada guru yang bersangkutan. (3) Mampu membentuk suatu prilaku
yang diinginkan mendapatkan pengakuan positif dan prilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negative yang didasari pada prilaku yang tampak. (4) Dengan

18
melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat mengoptimalkan
bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika anak sudah mahir
dalam satu bidang tertentu, akan lebih dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan
pengulangan yang berkesinambungan tersebut dan lebih optimal. (5) Bahan pelajaran
yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang kompleks dengan
tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan
pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu menghasilakan suatu prilaku yang
konsisten terhadap bidang tertentu. (6) Dapat mengganti stimulus yang satu dengan
stimuls yang lainnya dan seterusnya sampai respons yang diinginkan muncul. (7)
Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan
pembiasaan yang mengandung unsure-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan.
(8) Teori behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih membutuhkan
dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru,
dan suka dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.

Kekurangan Teori Behavioristik: (1) Sebuah konsekwensi untuk menyusun


bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap. (2) Tidak setiap pelajaran dapat
menggunakan metode ini. (3) Murid berperan sebagai pendengar dalam proses
pembelajaran dan menghafalkan apa di dengar dan di pandang sebagai cara belajar
yang efektif. (4) Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh
behavioristik justru dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan
siswa. (5) Murid dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi
oleh penguatan yang diberikan oleh guru. (6) Murid hanya mendengarkan dengan
tertib penjelsan dari guru dan mendengarkan apa yang didengar dan dipandang
sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatf siswa terhadap suatu permasalahan
yang muncul secara temporer tidak bisa diselesaikan oleh siswa. (7) Cenderung
mengarahakan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak produktif,
dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif. (8) Pembelajaran siswa yang
berpusat pada guru (teacher cenceredlearning) bersifat mekanistik dan hanya
berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. (9) Penerapan metode yang
salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang tidak
menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai center, otoriter, komunikasi
berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.

19
2.7 Analisis Tentang Teori Belajar Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan


tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka
behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan
menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu.
Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai
yang komplek (Suparno, 1997).

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu


menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar
hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa,
walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak
dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman
penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda,
juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan
behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati.
Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang
mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,


konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh yang
mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang dilukiskan
teori behavioristik. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik
memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran.

20
Namun apa yang Teori Behaviorisme mereka sebut dengan penguat negatif (negative
reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar.


Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:

a. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.


b. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari
jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
c. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah
dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat
mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk
daripada kesalahan yang diperbuatnya. Skinner lebih percaya kepada apa yang
disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman.
Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus)
agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan
penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama
menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan
kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman
harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia
melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini
mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut
penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif
(positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun
bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah
mengurangi agar memperkuat respons.

2.8 Pengaplikasian Teori Belajar Behaviorisme Dalam Pembelajaran

Aliran psikologi belajar yang sangat besar memengaruhi arah pengembangan


teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik. Menurut Budiningsih, (2005) dari semua teori pendukung tingkah laku,

21
teori Behaviorisme skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan
teori belajar. Beberapa program pembelajaran menggunakan sistem stimulus dan
respon yang diwujudkan dalam program-program pembelajaran yang disertai oleh
perangkat penguatan (reinforcement). Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Istilah-istilah seperti
hubungan stimulus respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil yang
tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat,
reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting
dalam teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek
pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan
pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-
Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi,
pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement
atau hukuman masih sering dilakukan.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari


beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behvioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif,
pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar
adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind
atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan
dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pengetahuan yang Teori Behaviorisme diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 2006).

22
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai
objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh
karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan
menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai
oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada
hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable
kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Guru yang menggunakan paradigma
behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran yang sudah siap sehingga tujuan
pembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak
hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun hierarki
dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan
diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu
perilaku yang diinginkan. Metode ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan
yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan,
spontanitas, kelenturan, daya tahan, contohnya percakapan bahasa asing, mengetik,
menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga
cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi
orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang
dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang


memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi
dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka karena teori
behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang
jelas Teori Behaviorisme dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan
disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang

23
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai
dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di
luar diri siswa (Degeng, 2006). Kesimpulan mengenai kekurangan secara umum
metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistik
dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya
mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat
otoriter.

2.9 Pendekatan Behaviorisme dalam Perumusan Kebijakan Pendidikan

Tujuan pembelajaran menurut teori behaviorisme ditekankan pada


penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada keterampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian
ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga
aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi
menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru,
hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi
belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan
evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.

Pendidikan akan tercapai apabila pihak pendidik dan terdidik memahami teori
pendidikan, tentu saja teori yang dipakai tidak bisa berdiri sendiri, tetapi satu dengan
yang lain akan saling melengkapi, sehingga dapat menggunakan teori tersebut sesuai
yang dibutuhkan saat itu. Pengaruh berbagai macam teori pendidikan dalam

24
penentuan kebijakan tentu saja tidak dapat dibantah lagi, termasuk pengaruh teori
behaviorisme dalam penentuan kebijakan pendidikan di Indonesia. Berikut sebagian
kebijakan yang bisa dikaitkan dengan konsep filosofi behaviorisme, yang diantaranya
adalah:

1. Pendidikan adalah suatu proses untuk pembentukan perilaku

Tertuang secara jelas dalam tujuan pendidikan nasional. Menurut para


behavioris, manusia diprogram untuk bertindak dalam cara-cara tertentu oleh
lingkungannya. Jika benar akan diberi hadiah oleh alam dan bila salah akan
dihukum oleh alam. Tindakan yang diberi hadiah cenderung diulang, sedangkan
yang dihukum cenderung dihilangkan. Oleh sebab itu, perilaku dapat dibentuk
dengan memanipulasi proses penghargaan dan hukuman tersebut. Tugas dari
pendidikan adalah untuk menciptakan lingkungan belajar yang mengarah pada
perilaku yang diinginkan. Sekolah dipandang sebagai cara untuk merancang suatu
budaya.

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional, UU No. 20 tahun 2003 tentang


sisdiknas Menyatakan bahwa “Pendidikan nasional berperan mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Standar Sarana
Prasarana, Pasal 45 ayat 1 bahwa “Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual,
sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.

2. Proses belajar Behavioristik mengutamakan tentang bagaimana memberikan


stimulus yang tepat dan pembentukan kebiasaan melalui proses latihan dan
pengulangan untuk menghasilkan respon yang diiharapkan

Proses pencarian stimulus yang tepat ini tertuang secara jelas dalam sebuah
kebijakan yang dinamakan kurikulum. Kurikulum di artikan sebagai program

25
pendidikan yang disediakan sekolah atau lembaga pendidikan bagi siswa.
Berdasarkan program tersebut siswa melakukan berbagai macam kegiatan belajar
sehingga mendorong perkembangan dan pertumbuhan sesuai tujuan pendidikan
yang diharapkan. Kurikulum penganut behavioris mengutamakan proses
pembentukan kebiasaan melalui proses latihan dan pengulangan. Kurikulum ini
sangat cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan
dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi, suka meniru dan senang dengan
bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian. Kurikulum
behavioris juga masih diterapkan dalam ilmu-ilmu yang membutuhkan unsur
kecepatan, reflek, daya tahan dan lain sebagainya contohnya seperti menari,
mengetik, menggunakan komputer dan lain sebagainya.

Kebijakan lain yang juga diwarnai oleh teori ini adalah kebijakan tentang
adanya kurikulum khusus untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan siswa yang
bersifat pembiasaan dan kecakapan kecakapan tertentu misalnya kurikulum SMK
tentu saja lebih banyak menekankan pada latihan daripada proses pencarian ilmu
secara mandiri. Hal-hal tersebut antara lain tercakup dalam kebijakan-kebijakan
seperti di bawah ini:

1. Permin Dik Nas No. 16-17 dan 18 Tahun 2007


a. Bab III, pasal 13 ayat:
a) Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajad,
SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajad, SMK/MAK atau
bentuk lain yang sederajad dapat memasukkan pendidikan kecakapan
hidup.
b) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud ayat 1 mencakup
kecakapan pribadi, sosial, akademik dan kecakapan vokasional.
c) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1,2,
dapat merupakan bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran
agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan, dan kepribadian, ilmu
pengetahuan dan teknologi, pendidikan estetika, pendidikan jasmani,
olahraga dan kesehatan.
d) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud ayat 1,2,3 dapat
diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau
dari satuan pendidikan nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.

26
b. BAB IV. Standar Proses. Pasal 19 ayat:
a) Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup
bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat
dan perkembangan fisik serta psikologi peserta didik.
b) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dalam proses
pembelajaran pendidikan memberikan keteladanan.
c) Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran,
pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan
pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses
pembelajaran yang efektif dan efisien.

3. Peran guru adalah untuk menciptakan lingkungan yang efektif

Elemen utama pendidikan yang telah hilang di kebanyakan lingkungan adalah


penghargaan yang positif. Pendidikan tradisional yang mempunyai guru yang
tradisional pula, masih sering menggunakan bentuk terapi kontrol yang negative
seperti hukuman. Seiring dengan kemajuan dunia pendidikan, guru diharapkan
mampu memberikan sebuah stimulus yang sesuai dengan kondisi anak dan
kondisi lingkungan yang ada saat ini. Seorang guru yang mempunyai kualifikasi
keilmuan dan pedagogis yang cukup tentunya mampu memberikan stimulus yang
tepat agar bisa menimbulkan respon yang positif dari siswa. Dalam pasal 42 ayat 1
UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas dikemukakan bahwa pendidik harus
memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan
mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Demikian pula yang terdapat pada
permendiknas no. 16/2007 tentang standar kompetensi guru.

Merujuk dari pasal tersebut terlihat bahwa proses pendidikan di Indonesia


masih terlihat dijiwai oleh paham behaviorisme yang mengutamakan keefektifan
pemberian stimulus oleh seorang yang berkualifikasi. Dengan kualifikasi guru
yang memadai ini diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif
agar siswa dapat memberikan respon yang sesuai.

27
4. Sistem evaluasi behavoristik menekankan pada respon pasif, keterampilan secara
terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test.

Teori behavioristik menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara


individual, biasanya dalam bentuk evaluasi yang menuntut satu jawaban yang
”benar” sesuai dengan keinginan guru atau keinginan ”kunci”. Evaluasi belajar
dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya
dilakukan setelah kegiatan pembelajaran. Kebijakan berkaitan dengan pandangan
ini tentu saja masih sangat dekat dalam kehidupan pendidikan kita, misalnya
dengan adanya test tengah semester, test akhir semester, bahkan sampai kebijakan
Ujian Nasional. Semua instrumen dari penilaian ini selalu dalam bentuk pilihan
yang menunjuk pada satu jawaban yang paling benar walaupun ada pertanyaan
yang menuntut jawaban sikap.

Lebih-lebih dalam Ujian Nasional yang sampai saat ini masih banyak
dipertanyakan tentang pelaksanaannya juga sangat kental dengan suasana
behaviorisme. Seperti yang tercantum dalam Pasal 66 PP 19 tahun 2005 tentang
(1) Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir c
bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata
pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi
dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. (2) Ujian nasional dilakukan secara
obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. (3) Ujian nasional diadakan sekurang-
kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran.

Pada hakekatnya teori behavioristik ini masih sangat kental terasa dalam setiap
kebijakan pendidikan, terutama di Indonesia. Hampir semua kebijakan pendidikan
yang ada selalu menekankan pada pembentukan perilaku dan pemberian stimulus
yang cocok untuk mencapai perilaku yang diinginkan. Walaupun teori ini sarat
dengan kritikan, namun banyak dalam hal tertentu masih diperlukan, khususnya
dalam mempelajari aspek-aspek yang bersifat tetap dan permanen dengan tujuan
belajar yang telah dirumuskan secara ketat.

28
Tentu saja paparan diatas tidak bisa mewakili seberapa besar paham behavioris ini
memengaruhi pendidikan yang ada di Indonesia, karena penerapan teori ini kadang
berkaitan dengan teori yang lain dalam mewarnai satu kebijakan sehingga sulit
mendefinisi suatu kebijakan itu lebih cenderung ke arah teori yang mana. Penerapan
teori pendidikan eklektik merupakan solusi yang dirasa paling sesuai saat ini, dengan
meniadakan kekurangan dari satu teori dan menutupinya menggunakan teori yang lain
diharapkan proses pendidikan yang terjadi akan lebih sempurna.

2.10 Pengembangan Perilaku Perspektif Teori Belajar Behaviorisme

2.10.1 Prosedur-prosedur Pengembangan Tingkah Laku Baru

Di samping penggunaan reinforcement untuk memperkuat tingkah


laku, ada dua metode lain yang penting untuk mengembangkan pola tingkah
laku baru yakni shaping dan modelling.

1. Shaping
Kebanyakan yang diajarkan di sekolah adalah urutan tingkah laku yang
kompleks, bukan hanya “simple response”. Tingkah laku yang kompleks
ini dapat diajarkan melalui proses “shaping” atau “successive
approximations” (menguatkan komponen-komponen respon final dalam
usaha mengarahkan subyek kepada respon final tersebut), beberapa
tingkah laku yang mendekati respon tersekolahnal. Bila guru membimbing
siswa menuju pencapaian tujuan dengan memberikan reinforcement pada
langkah-langkah menuju keberhasilan, maka guru itu menggunakan teknik
yang disebut shaping. Reinforcement dan extinction merupakan alat agar
terbentuknya tingkah laku operant baru. Adapun langkah perbaikan
tingkah laku belajar murid antara lain:
a) Datang di kelas pada waktunya.
b) Berpartisipasi dalam belajar dan merespon guru.
c) Menunjukkan hasil-hasil tes dengan baik.
d) Mengerjakan pokerjaan rumah.
e) Penyempurnaan.

29
Hasil dari lima komponen untuk memperbaiki tingkah laku
menunjukkan bahwa kehadiran masuk sekolah bertambah setelah beberapa
bulan. Yang lebih penting lagi ialah para siswa menjadi lebih bisa bekerja
sama di kelas dan menggunakan waktu belajar mereka lebih efektif.

2. Modelling
Modelling adalah suatu bentuk belajar yang dapat diterangkan secara
tepat oleh classical conditioning maupun oleh operant conditioning. Dalam
modelling, seorang individu belajar menyaksikan tingkah laku orang lain
sebagai model. Tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui
modeling atau imitasi, sehingga kadangkadang disebut belajar dengan
pengajaran langsung. Pola bahasa, gaya pakaian, dan musik dipelajari
dengan mengamati tingkah laku orang lain. Modelling dapat terjadi, baik
dengan “direct reinforcement” maupun dengan “vicarious reinforcement”.
Misal, seseorang yang menjadi idola kita menawarkan produk tertentu di
layar TV. Kita akan merasa senang jika bisa memakai produk serupa.
Sangat mungkin kita belajar meniru karena di-reinforced untuk
melakukannya. Hampir sebagian besar anak mempunyai pengalaman
belajar pertama termasuk reinforcement langsung dengan meniru model
(orang tuanya). Hal yang biasa jika kita mendengar bahwa anak kita
dengan bangga mengatakan, bahwa dia telah mengerjakan sebagaimana
yang telah dikerjakan orang tuanya.

Modelling juga dapat dipakai untuk mengajarkan keterampilan-


keterampilan akademis dan motorik. Salah satu contoh ketika membaca
sebuah wacana di kelas oleh guru yakni dengan kadang-kadang tertawa
terbahak-bahak, tersenyum, mengerutkan dahi dan sebagainya, untuk
membangkitkan minat anak terhadap buku itu. Modelling bisa diterapkan
di sekolah dengan mengambil guru maupun orang lain atau anak lain yang
sebaya sebagai model dari suatu tingkah laku, mungkin pelajaran akidah
akhlak, Qur’an Hadits, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan lain-lain.
Berkaitan dengan pengajaran keterampilan motorik dan akademis. Misal,

30
siswa diajak ke suatu tempat di mana terdapat sesuatu yang bisa ditiru oleh
anak atau menghadirkan model tersebut ke dalam kelas/sekolah.

2.10.2 Prosedur-prosedur Pengendalian atau Perbaikan Tingkah Laku.

1. Memperkuat Tingkah Laku Bersaing


Dalam usaha merubah tingkah laku yang tak diinginkan diadakan
penguatan tingkah laku yang diinginkan misalnya dengan kegiatan-
kegiatan kerjasama, membaca dan bekerja di satu meja untuk mengatasi
kelakuan-kelakuan menentang, melamun, dan hilir mudik. Misalnya,
sekelompok siswa memperlihatkan tingkah laku yang tidak diinginkan,
yaitu menarik rambut, mengabaikan perintah guru, berkelahi, berjalan
sekeliling kelas. Sesudah menerapkan aturan-aturan kelas kepada siswa,
guru melupakan atau mengabaikan tingkah laku siswa yang mengacau dan
memuji tingkah laku siswa yang memberi kesempatan guru untuk
mengajar. Dalam beberapa waktu, social reinforcement untuk tingkah laku
yang tepat mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan.

2. Ekstingsi
Ekstingsi ialah proses di mana suatu operant yang telah terbentuk tidak
mendapat reinforcement lagi. Ekstingsi dilakukan dengan
membuat/meniadakan peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku. Ekstingsi
dapat dipakai bersama-sama dengan metode lain seperti “modelling dan
social reinforcement”. Misalnya, Ana salah seorang siswi kelas tiga selalu
mengacungkan tangan ketika guru meminta para siswa untuk menjawab
pertanyaan. Tetapi guru tidak memberikan perhatian pada Ana yang ingin
menjawab pertanyaan gurunya tersebut. Suatu ketika Ana tidak mau lagi
mengacungkan tangan ketika guru meminta para siswa untuk menjawab
pertanyannya meskipun ia bisa menjawabnya. Guru-guru sering
mengalami kesulitan mengadakan ekstingsi karena mereka harus belajar
mengabaikan “misbehaviors” tertentu. Tentu saja ada jenis-jenis tingkah
laku yang tidak dapat diabaikan oleh guru-guru terutama tingkah laku yang
menyinggung perasaan murid-murid. Ekstingsi berlangsung terutama jika

31
reinforcement adalah perhatian. Apabila murid memperhatikan ke sana ke
mari, maka perubahan interaksi guru murid akan menghentikan tingkah
laku murid tersebut.

3. Satiasi
Satiasi adalah suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan
perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. Contoh:
seorang ayah yang memergoki anak kecilnya merokok menyuruh anak
merokok sampai habis satu pak sehingga anak itu bosan. Jika tingkah laku
yang diulang berbeda dengan tingkah laku yang tidak diinginkan maka
satiasi tidak tepat. Tepat adalah menerapkan metode disiplin seperti
menulis 100 kali. Guru sebaiknya mencoba memperkuat tingkah laku yang
tepat untuk menggantikan tingkah laku yang tidak diinginkan.

4. Perubahan Lingkungan Stimuli


Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi
stimuli yang mempengaruhi tingkah laku itu. Jika murid terganggu oleh
suara gaduh di luar kelas, ketukan jendela dapat menghentikan gangguan
itu. Jika suatu tugas yang sulit mengecewakan murid, maka guru dapat
mengganti dengan tugas yang kurang begitu sulit. Jika di kelas ada dua
orang murid yang termenung saja, guru dapat menghampiri atau duduk di
dekat mereka.

5. Hukuman
Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya diterapkan di
kelas dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tak
diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan
reinforcement. Hukuman menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan
murid, sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh
murid. Bukti menunjukkan, bahwa hukuman atas kelakuan murid yang tak
pantas lebih efektif daripada tidak menghukum. Ada dua bentuk hukuman:
a. Pemberian stimulus derita, misalnya: bentakan, cemoohan, atau
ancaman.

32
b. Pembatalan perlakuan positif, misalnya: mengambil kembali suatu
mainan atau mencegah anak untuk bermain-main bersama
temantemannya.

Harus kita ingat dalam memberikan hukuman, bahwa hukuman sering


tidak disetujui oleh kelompok teman sebaya. Sia-sialah guru menghukum
seorang anak jika teman–temannya kelihatan tidak setuju terhadap hukuman
itu. Hukuman hendaknya dilaksanakan Iangsung, secara kalem, disertai
reinforcement dan konsisten.

33
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menurut Wikipedia, Behaviorisme atau Aliran Perilaku (juga disebut


Perspektif Belajar) adalah filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi
bahwa semua yang dilakukan organisme termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan
dapat dan harus dianggap sebagai perilaku. Aliran ini berpendapat bahwa perilaku
demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat peristiwa fisiologis internal
atau konstrak hipotetis seperti pikiran.

Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai


hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam
belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
tersebut.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada


penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke
keseluruhan.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1)


Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3)
Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in
Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984). Teknik
Behaviorisme telah digunakan dalam pendidikan untuk waktu yang lama untuk
mendorong perilaku yang diinginkan dan untuk mencegah perilaku yang tidak
diinginkan.

34
Teori belajar behavioristik mempunyai ciri-ciri mendasar yang dapat diamati.
Ciri yang pertama yaitu aliran ini mempelajari perbuatan manusia bukan dari
kesadarannya, melainkan mengamati perbuatan dan tingkah laku yang berdasarkan
kenyataan. Pengalaman-pengalaman batin di kesampingkan serta gerak-gerak pada
badan yang dipelajari sehingga behaviorisme adalah ilmu jiwa tanpa jiwa. Ciri kedua
yaitu segala perbuatan dikembalikan kepada refleks. Behaviorisme mencari unsur-
unsur yang paling sederhana yakni perbuatan-perbuatan bukan kesadaran yang
dinamakan refleks. Refleks adalah reaksi yang tidak disadari terhadap suatu
pengarang. Manusia dianggap sesuatu yang kompleks refleks atau suatu mesin. Ciri
ke tiga yaitu behaviorisme berpendapat bahwa pada waktu dilahirkan semua orang
adalah sama.

Kelebihan teori Behavioristik antara lain: (1) Membisakan guru untuk


bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi belajar. (2) Guru tidak
membiasakan memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika
murid menemukan kesulitan baru ditanyakan pada guru yang bersangkutan. (3)
Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan pengakuan positif
dan prilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative yang didasari pada
prilaku yang tampak dan lain sebagainya. Sementara itu kekurangan teori
Behavioristik antara lain: (1) Sebuah konsekwensi untuk menyusun bahan pelajaran
dalam bentuk yang sudah siap. (2) Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metode
ini. (3) Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan
menghafalkan apa di dengar dan di pandang sebagai cara belajar yang efektif dan lain
sebagainya.

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan


tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka
behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan
menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu.
Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai
yang komplek (Suparno, 1997).

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari


beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa,

35
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behvioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif,
pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar
adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind
atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan
dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pengetahuan yang Teori Behaviorisme diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 2006).

Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas


belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada
ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran
dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi menekankan pada respon pasif,
ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test.
Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab
secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan
pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara
individual.

Prosedur-prosedur pengendalian atau perbaikan tingkah laku pada teori


Behaviorisme terdapat beberapa prosedur antara lain:

1. Memperkuat Tingkah Laku Bersaing


2. Ekstingsi
3. Satiasi
4. Perubahan Lingkungan Stimuli
5. Hukuman

36
3.2 Saran

Penyusun berharap agar teori belajar yang digunakan dalam proses


pembelajaran di Indonesia sesuai dengan karakter, watak, dan kemampuan para
peserta didik. Agar proses pembelajaran dapat terlaksana dengan baik dan ilmu yang
disampaikan kepada peserta didik dapat tersampaikan. Selain itu, peserta didik dapat
mengembangkan potensi atau kemampuan di dalam diri mereka dengan maksimal dan
akhirnya dapat memajukan pendidikan di negara Indonesia.

Penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran dibutuhkan untuk perbaikan makalah
selanjutnya.

37
DAFTAR PUSTAKA

 Wikipedia. 2021. “Behaviorisme”


https://id.wikipedia.org/wiki/Behaviorisme#:~:text=Behaviorisme%20atau
%20Aliran%20Perilaku%20(juga,dan%20harus%20dianggap%20sebagai
%20perilaku.
Diakses pada tanggal 25 Februari 2022 pada pukul 19.04 WIB
 Mari Berbagi Info. 2015. “Makalah Behaviorisme dan Pembelajaran”
http://doubleddodewii.blogspot.com/2015/03/makalah-behaviorisme.html
Diakses pada tanggal 25 Februari 2022 pada pukul 19.16 WIB
 Bang Egon. 2021. “Makalah Teori Belajar Behaviorisme”
https://www.academia.edu/35615999/
MAKALAH_TEORI_BELAJAR_BEHAVIORISME
Diakses pada tanggal 25 Februari 2022 pada pukul 19.43 WIB
 Serelicious. 2021. “Teori Belajar Behavioristik – Pengertian, Prinsip, Ciri-Ciri,
Contoh”
https://www.quipper.com/id/blog/info-guru/teori-belajar-behavioristik/
Diakses pada tanggal 25 Februari 2022 pada pukul 20.03 WIB
 Mohammad Syamsul. 2019. “TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN
IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN”
https://cdngbelajar.simpkb.id/s3/p3k/Pedagogi/Artikel/
TEORI_BELAJAR_BEHAVIORISTIK_DAN_IMPLIKAS.pdf
Diakses pada tanggal 26 Februari 2022 pada pukul 18.46 WIB
 A.M Irfan Taufan. 2020. “Theory of Behaviorism”
https://www.researchgate.net/profile/AmirfanAsfar/publication/
331233871_TEORI_BEHAVIORISME_Theory_of_Behaviorism/links/
5c6da922a6fdcc404ec18291/TEORI-BEHAVIORISME-Theory-of-Behaviorism.pdf
Diakses pada tanggal 26 Februari 2022 pada pukul 18.13 WIB
 Rizky Amalia. 2021. “Teori Behavioristik”
https://core.ac.uk/download/pdf/151573599.pdf
Diakses pada tanggal 26 Februari 2022 pada pukul 20.09 WIB

38

Anda mungkin juga menyukai