Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENDEKATAN ADLERIAN

(Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tekik-Teknik Konseling)

Disusun oleh :

1. Desta Cahya (2111080022)


2. Ilma Fadila (2111080044)
3. Prasetyo Atmojo (2111080080)

Dosen Pengampu :

Tika Febriyani, M.Pd

BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan
syafa’atnya di akhirat.

Tidak lupa, Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas kelas.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini,
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yaitu khususnya kepada dosen
pengampu mata kuliah Teknik-Teknik Konseling kami yang telah membimbing dalam menulis
makalah ini. Demikian, semoga makalah kami dapat bermanfaat, sekian dan terima kasih.

Bandar Lampung, 06 Maret 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................2
C. Tujuan Penulisa...............................................................................................................................2
BAB II.........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. Pandangan tentang Manusia............................................................................................................3
B. Konsep Dasar Pedekatan Adlerian...................................................................................................3
C. Tujuan Konseling..........................................................................................................................12
D. Peran dan Fungsi Konselor............................................................................................................13
E. Tahap-Tahap Konseling.................................................................................................................15
F. Teknik-Teknik Konseling.............................................................................................................18
BAB III......................................................................................................................................................21
PENUTUP.................................................................................................................................................21
A. Kesimpulan....................................................................................................................................21
B. Saran..............................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendekatan Adlerian berfokus pada membantu klien untuk lebih memahami
bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri, orang lain, dan kehidupan
dan untuk lebih menghargai kekuatan dan aset mereka sambil menghindari
persepsi dan perilaku kontraproduktif yang mengarah pada pengembangan dan
pemeliharaan perilaku simtomatik dalam hidup mereka. Praktisi Adlerian tidak
terikat oleh serangkaian teknik yang ditentukan. Sebaliknya, mereka mungkin
menggunakan berbagai strategi dan teknik, terkadang disebut sebagai
eklektisisme teknis, yang disesuaikan dengan kebutuhan unik klien mereka.
Konsep minat sosial, yang merupakan kriteria Adler untuk kesehatan mental,
memberikan arahan lebih lanjut untuk evaluasi interventron terapeutik dari
proses terapi. Gemeinschaftsgefuhl, artinya “komunitas perasaan" dalam
bahasa Jerman asli, melibatkan rasa memiliki, menjadi bagian dari aliran umat
manusia dan terhubung dengan sesama manusia; kepentingan sosial
memberlakukan perasaan komunitas ini, dan itu dapat dilihat dalam kontribusi
satu membuat masyarakat melalui persahabatan, pekerjaan, dan kerja sama
dengan orang lain. Orang dengan kepentingan sosial berfungsi atas dasar
kesetaraan sosial dan saling menghargai dengan orang lain. Kriteria penting
yang menentukan kesehatan relatif atau patologi dari setiap perilaku adalah
masalah kegunaannya bagi orang lain dan komunitas sosial yang lebih besar.
Prosedur terapeutik yang biasa digunakan oleh terapis Adlerian untuk
memfasilitasi pertumbuhan dan perubahan meliputi dorongan, konfrontasi,
pelabelan ulang, restrukturisasi kognitif, humor, intervensi paradoks,
interpretasi, tugas pekerjaan rumah, dan mengajarkan keterampilan perilaku
baru. Adlerian menekankan pendekatan terapi yang demokratis dan kolaboratif,
dan klien serta terapis biasanya mendiskusikan dan memutuskan semua proses

1
yang mengarah ke dan termasuk penghentian. Penekanan pada penyelararasan
tujuan memberikan kerangka acuan umum untuk menilai hasil terapi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, permasalahan dalam makalah ini
adalah:
1. Bagaimana pandangan tentang manusia jika dilihat dari pendekatan adlerian?
2. Bagaimana konsep dasar pendekatan adlerian?
3. Bagaimana tujuan konseling pendekatan adlerian?
4. Bagaiamana peran dan fungsi konselor?
5. Bagaimana tahap-tahap konseling pada pendekatan adlerian?
6. Bagaimana teknik-teknik konseling pada pendekatan adlerian?

C. Tujuan Penulisa
Tujuan dari penulisan ini yaitu:
1. Untuk mengetahui dan memahami pandangan manusia jika dilihat dari pendekatan
adlerian.
2. Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar pendekatan adlerian
3. Untuk mengetahui dan memahami tujuan konseling pendekatan adlerian.
4. Untuk mengetahui dan memahami peran dan fungsi konselor.
5. Untuk mengetahui dan memahami tahap-tahap konseling pada pendekatan adlerian.
6. Untuk mengetahui dan memahami teknik-teknik konseling pada pendekatan adlerian.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pandangan tentang Manusia


Adler bersikap optimistik tentang hakikat manusia. Dia meyakini bahwa pada dasamy
manusia itu positif dan mampu menentukan dirinya sendiri. Pandangannya ini dipeng ruhi
oleh perkembangan gerakan humanistik dalam psikologi, yang berpandanga bahwa manusia
itu mulia dan berharga. Adler juga berpendapat bahwa tingkah lak individu holistik, saling
terkait, teleologis, yaitu memiliki tujuan dan diarahkan kepada tujuan tersebut; serta
penomenologis, sebab tingkah laku seseorang itu dapat dipaham dengan baik dari kerangka
pemikirannya.1 Terapi Adlerian menggunakan pendekatan holistik dan sosioteleologis, yang
berdasar kepada psikologi individual. Psikologi individua memiliki beberapa asumsi tentang
hakikat manusia, yaitu sebagai berikut:
1. Manusia tidak menyadari tujun-tujuannya, dan kekuatan-kekuatan untuk mencapa tujuan
tersebut.
2. Manusia tidak dapat dibag-bagi ke dalam bagian-bagian mental yang terpisah Dalam kata
lain, manusia bersifat holistik (utuh)
3. Manusia bersifat sosial, artinya bahwa perilaku dia hanya dapat dipahami secara
Komprehensif, apabila dikaitkan dengan lingkungannya.
4. Manusia berperilaku karena didorong oleh tujuannya teleologist. Tujuan merupakan
bawaan sosialnya, dan pengungkapan kepribadiannya.2

B. Konsep Dasar Pedekatan Adlerian


1. Inferiority Feelings: The Source of Human Striving
Inferiority feelings atau perasaan rendah diri merupakan kondisi yang normal dari
semu orang, sebagai sumber dari usaha manusia, dan kekuatan yang menentukan tingkah

1
Syamsu Yusuf LN, Konseling Individual Konsep Dasar Dan Pendekatan, cetakan ke. (Bandung: PT Refika Aditama,
2016), 130.
2
Ibid.

3
laku. Adler meyakini bahwa perasaan inferior senantiasa hadir dan merupakan kekuatan
yang memotivasi tingkah laku, Inferioritas bukan pertanda kelemahan atau abnormalitas.
Pertumbuhan atau perkembangan individu merupakan hasil dari usaha-usahanya untuk
mengkompensasi (compensate) inferioritasnya, baik secara nyata maupun imajinasi.3
Dalam menjalani kehidupnya, individu senantiasa didorong oleh kebutuhan untuk
mengatasi perasaan rendah diri (sense of inferiority) dan berjuang untuk meningkatkan
tingkat perkembangannya yang lebih tinggi. Proses ini terjadi sejak kanak-kanak. Dia
memiliki badan yang kecil dan lemah, sehingga hidupnya sangat terganturig kepada
orang dewasa. Adler meyakini bahwa anak menyadari orang tuanya sebagai orang yang
berkuasa dan sangat kuat, dan dia tak berdaya untuk menolak kekuasaan atau kekuatan
cangtounya tersebut Dalarepa akongembangkan perasaan inferioritasnya.4
Meskipun pengalaman inferioritas ini berlaku bagi setiap anak, tetapi keadaan ini
tidaklah ditentukan oleh faktor genetika. Inferioritas berkembang lebih dipengaruhi oleh
fungsi lingkungan yang relatif sama bagi anak, dalam hal bahwa dia lemah dan
tergantung kepada lingkungannya (orang tuanya). Ketika anak tidak dapat melakukan
kompensasi perasaan rendah dirinya, maka berkembang pada dirinya inferiority
complex, yaitu suatu kondisi yang berkembang ketika seseorang tidak dapat
mengkompensasi perasaan rendah dirinya secara normal. Individu yang memiliki
inferiority complex memiliki opini yang picik tentang dirinya, merasa tak berdaya, dan
tidak dapat mengatasi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Adler menamai kondisi ini
dengan inability to solve life's problems. Inferiority complex berkembang melalui tiga
cara, yaitu: (1) organic interiority: rendah diri karena tubuh fisik, (2) spoiling:
memanjakan, dan (3) neglect: pengabaian, atau kurang perhatian. Adler memberikan
contoh tentang anak yang secara fisiknya lemah, dia akan berusaha mengembangkan
kemampuan superioritasnya dalam bidang atletik. Anak yang dimanja kurang memiliki
social interest dan tidak sabaran. Dia tidak belajar bagaimana menunggu apa yang
diinginkannya, dan dia juga tidak pernah belajar mengatasi masalah atau menyesuaikan
diri dengan kebutuhan orang lain. Ketika dihadapkan dengan berbagai kesulitan, anak
yang dimanja merasa yakın bahwa dia memiliki beberapa kekurangan pribadi yang
merintanginya, sehingga akhirnya berkembang inferiority complex dalam dirinya. Begitu
3
Ibid., 131.
4
Ibid.

4
juga anak yang diabaikan, kurang mendapat perhatian, kurang disayangi, ditolaki,
dimusuhi, atau tidak diinginkan, akan berkembang dalam dirinya inferiority complex.5
Faktor lain yang menyebabkan perasaan rendah diri dikemukakan oleh Raymod J.
Corsini adalah sebagai berikut.
a. Adanya diskrepansi (pertentangan atau perbedaan) antara self dengan ideal self,
seperti: "saya pendek, saya harus menjadi tinggi".
b. Budaya yang menempatkan derajat pria di atas wanita. Dalam kondisi seperti ini,
kaum wanita akan merasa rendah diri, karena dirinya tidak memiliki hak istimewa
seperti kaum pria. Mungkin kaum wanita akan mengatakan: "kami kaum wanita;
kami harus berjuang untuk menjadi sederajat dengan kaum pria”.
c. Kurang kongruennya (sesuai) antara keyakinan dalam konsep diri dengan yang ada
dalam lingkungannya. Seseorang mungkin mengatakan: "saya lemah dan berdaya,
dan kehidupan ini sangat berbahaya.
d. Pertentangan antara konsep diri dengan keyakinan etika. Seperti seseorang
mengatakan: "orang itu harus selalu berkata benar, tetapi saya suka berbohong”.6
2. Striving for Superiority or Perfection
Striving for Superiority merupakan dorongan ke arah kesempurnaan yang memot
setiap individu. Adler menyatakan bahwa striving for superiority ini merupakan fakta
fundamental dalam kehidupan. Superiority merupakan tujuan akhir ke arah mana kita
berjuang. Yang dimaksud Adler dengan superiority adalah dorongan ke arah
kesempurnaan (perfection). Kata perfection berasal dari kata latin, yang berarti "to
comples” atau "to finish". Dengan demikian, striving for superiority adalah suatu usaha
agar diri kita sempurna, yaitu menjadikan diri kita utuh. Kesempurnaan atau keutuhan
adalah tujuan yang diorientasikan ke masa depan. Adler berpendapat bahwa motivasi
manusia adalah harapan-harapannya terhadap masa depan. Sementara Freud berpendapat
baha tingkah laku manusia ditentukan oleh masa lalu (instink dan pengalaman masa
anak).7
Terkait dengan tujuan akhir ini. Adler mengenalkan konsep finalism, akhir
kehidupan, dan kebutuhan untuk bergerak ke arahnya. Tujuan yang manusia perjuangkan

5
Ibid.
6
Ibid., 132.
7
Ibid.

5
tidak bersifat aktual, tetapi potensial. Dengan kata lain, manusia memperjuangkan cita-
cita idealnya (ideals) yang eksis dalam subjektivitasnya. Adler meyakini bahwa tujuan
itu bersifat fiksi atau cita-cita yang imajiner, yang tidak dapat diuji dalam kenyataan.
Manusia hidup dipengaruhi oleh keyakinannya. Keyakinan itu mempengaruhi cara-cara
manusia mempersepsi sesuatu dan berinteraksi dengan orang lain. Contohnya jika kita
meyakini bahwa perilaku tertentu kita di dunia ini akan dibalas dengan pahala di surga,
maka kita akan senantiasa berperilaku sesuai dengan keyakinan tersebut Kepercayaan
terhadap adanya surga tidak berdasar kepada kenyataan, tetapi surga itu nyata bagi orang
yang meyakininya.8
Terkait dengan kata finalism ini, selanjutnya Adler memformulasikannya ke
dalam konsep fictional finalism. Ide-ide fiksi ini membimbing tingkah laku manusia
untuk berjuang mencapai kesempurnaan atau kehidupan yang utuh. Adler
mengemukakan bahwa formulasi yang sangat baik dari ide-ide yang dikembangkan oleh
manusia adalah konsep Tuhan.9
Striving for superiority bukan untuk mereduksi ketegangan, tetapi untuk mencap
kesempurnaan. Dalam mewujudkannya perlu dilakukan oleh individu itu sendiri, juga
oleh masayarakat. Adler memandang bahwa individu dan masyarakat bersifat interelasi
dan interdependensi. Individu dalam hidupnya harus berfungsi secara konstruktif deng
orang lain demi mencapai kebahagiaan bersama.10
3. Style of Life
Tujuan akhir dari semua kita adalah superioritas atau kesempurnaan, tetapi kita
mencoba untuk meraih tujuan tersebut melalui berbagai tingkah laku yang spesifik,
Masing-masing kita mengekspresikan perjuangan itu beragam. Setiap kita
mengembangkan pola karakteristik. perilaku, dan kebiasaan yang unik. Keunikan Pola
karakter inilah yang oleh Adler disebut style of life.11
style of life, atau lifestyle, plan of life, strategy for living, road map of life, atau
gaya hidup ini merupakan struktur karakter yang unik atau pola tingkah laku dan
karakteristik pribadi yang dengannya setiap individu berjuang mencapai kesempurnaan.

8
Ibid.
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid., 133.

6
Dapat juga diartikan sebagai konsep diri dan konsep tentang kehidupan yang
memberikan arahan atau pola yang pasti dalam berperilaku.12
Untuk memahami bagaimana gaya hidup berkembang, kita perlu menelaah
kembali konsep interioritas dan kompensasi. Perasaan rendah diri berkembang mulai
pada masa anak, yang memotivasinya untuk mengkompensasi ketakberdayaan dan
ketergan tungannya. Dalam upaya melakukan kompensasi ini, anak-anak memperoleh
satu perangkat tingkah laku. Contohnya, anak yang sakit-sakitan berjuang untuk
mengem- bangkan kekuatan fisiknya dengan olah raga lari atau meningkatkan berat
badannya. Tingkah laku tersebut menjadi bagian dari gaya hidupnya, sebagai suatu pola
tingkah laku yang dirancang untuk mengkompensasi satu perasaan interioritasnya.13
Segala sesuatu yang kita lakukan adalah dibentuk oleh gaya hidup kita yang unik.
Gaya hidup dipelajari dari interaksi sosial yang terjadi pada tahun-tahuan awal
kehidupan dimasa kanak-kanak), Menurut Adler, gaya hidup menguat pada usia empat
atau lima tahun, yang sulit diubah setelah usia itu. Gaya hidup menjadi kerangka kerja
untuk tingkah laku berikutnya. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa gaya
hidup dipengaruhi oleh interaksi sosial, khususnya urutan kelahiran seseorang dalam
keluarga. dan juga hubungan anak dan orang tua. Contohnya, sikap pengabaian
merupakan salah satu kondisi yang dapat mengembangkan inferiority complex. Anak
yang diabaikan memiliki perasaan rendah diri dalam mengatasi tuntutan hidupnya, dan
memiliki perasaan tidak percaya dan sikap permusuhan kepada orang lain. Keadaan
tersebut melahirkan gaya hidup untuk membalas dendam, bersikap ini terhadap
keberhasilan orang lain, dan mengambil segala sesuatu yang dirasakan sebagai
miliknya.14
Pendapat Adler bahwa gaya hidup sangat ditentukan oleh hubungan sosial pada
masa kecil, sama dengan pendapat Freud tentang peranan usia lima tahun pertama
terhadap pembentukan kepribadian. Untuk mengatasi dilema ini, Adler mengajukan
konsep creative power of self (kekuatan untuk mengkreasi atau mengembangkan gaya
hidup yang tepat). Adler meyakini bahwa gaya hidup itu diciptakan atau dikreasi oleh
hidup yang tepat atau yang sesuai, sebagai hasil dari abilitas dan pengalaman yang

12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid.

7
individu, termasuk kepribadian. Individu memiliki kebebasan untuk mengkreasi gaya
diperolehnya, baik melalui genetika maupun lingkungan sosial.15
Adler mendeskripsikan macam-macam masalah yang semua individu me dapinya.
Dia mengelompokkan masalah tersebut ke dalam tiga kategori, yaitu:Ma perilaku
terhadap orang lain, masalah okupasi, dan masalah cinta. Dia mengajukan empat gaya
hidup (styles of life) individu untuk mengatasi masalah tersebut16, yaitu berikut:
a. Tipe Dominan
Tipe dominan adalah tipe orang yang kurang memiliki kesadaran sosial, atau
menghargai orang lain. Perilaku ekstrim dari tipe ini adalah (1) menyerang lain, (2)
bertindak sadis, nakal, atau sosiopatologis.
b. Tipe Tergantung
Tipe tergantung adalah tipe orang yang selalu mengharap untuk menerima kepa
(pemberian atau bantuan dari orang lain, sehingga dirinya tergantung kepada orang
lain tersebut.
c. Tipe Menghindar
Tipe menghindar adalah tipe orang yang tidak mau mencoba untuk mengha
masalah kehidupan, Dengan menolak kesulitan, berarti dia terhindar dari
kemungkinan gagal.
d. Tipe Sosial
Tipe sosial adalah tipe orang yang mau bekerja sama dengan orang lain, dan betu
sesuai dengan kebutuhannya. Orang seperti ini mengatasi masalah dalam kerangk
perkembangan yang sehat dari interes sosialnya.17
Tiga tipe pertama tidak disiapkan untuk menghadapi atau mengatasi masal
masalah kehidupan sehari-hari. Mereka tidak dapat bekerja sama dengan orang la dan
terjadi perbenturan antara gaya hidupnya dengan dunia nyata, yang pada giliranny
menghasilkan tingkah laku abnormal, yang diwujudkan dalam neurosis dan psiko
Mereka itu kurang memiliki interes sosial (lack of social interest).18

15
Ibid.
16
Ibid., 134.
17
Ibid.
18
Ibid.

8
4. Social Interest
Adler mengartikan social interest atau community interest sebagai potensi (sifat)
hawa individu untuk berkooperasi dengan orang lain dalam rangka mencapai tujuan-t
personal dan sosial. Menurut dia, tidak ada seorang pun yang terlepas dari orang atau
dari kewajiban terhadap orang lain. Sejak awal kehidupan, individu telah berkum dalam
lingkungan keluarga, suku bangsa, dan bangsa. Kehidupan sosial atau masya sangatlah
penting bagi individu untuk perlindungan dan perjuangan, berkooperasi dan menyatakan
interes sosialnya. Individu harus berkooperasi dengan masyarakat dan berkontribusi
terhadap masyarakat, dalam rangka mewujudkan tujuan dirinya dan tujuan masyarakat. 19
Seorang bayi yang baru lahir berada dalam situasi yang membutuhkan kooperasi
(baca bantuan orang lain). Bantuan pertama datang dari ibu, kemudian dari para anggota
keluarga, orang lain, atau dari pihak sekolah. Adler mengemukakan tentang pentingnya
peranan ibu, sebagai orang pertama yang melakukan kontak dengan bayi. Melalui
perlakuannya terhadap anak, ibu dapat mengembangkan interes sosial anak, atau
sebaliknya, merintangi perkembangannya. Tetapi pengaruh perlakuan ibu itu tergantung
juga kepada bagaimana anak menafsirkan perlakuan tersebut (hal ini terkait dengan
pendapat Adler tentang creative power of the self).20
Ibu berperan untuk mengajar anak tentang kooperasi, persahabatan, dan
keberanian. Anak yang memiliki sikap baik terhadap orang lain, dia akan memiliki
keberanian untuk mencoba mengatasi tuntutan hidupnya. Individu yang tidak
berkembang perasaan atau interes sosialnya akan menjadi neurotik atau bahkan
kriminal.21
Pada awal karimnya, Adler berpendapat bahwa manusia didorong oleh nafsu
kekua saan (lust of power) dan dominasinya. Dalam beberapa waktu lamanya, Adler
berjuang untuk mengokohkan pendapatnya sesuai dengan pendapat Freud. Namun
setelah berpisah dengan Freud, dia mengajukan pendapatnya, bahwa manusia lebih

19
Ibid.
20
Ibid., 135.
21
Ibid.

9
dimotivasi oleh interes sosialnya, kemudian oleh kebutuhan kekuasaan dan
dominannya.22

5. Birth Order (Urutan kelahiran)


Salah satu kontribusi Adler adalah gagasannya tentang urutan kelahiran sebagai
suatu keadaan yang mempengaruhi anak. Walaupun saudara kandung memiliki orang tua
yang sama dan hidup dalam rumah yang sama, mereka tidak memiliki lingkungan sosial
yang identik. Terkait dengan urutan kelahiran ini. Adler mengklasifikasikannya ke dalam
empat urutan, yaitu: anak yang lahir pertama, anak yang lahir kedua, anak bungsu, dan
anak tunggal.23
a. Anak yang lahir pertama
Anak yang lahir pertama berada dalam situasi yang unik dan menimbulkan
iri hati. Pada umumnya orang tua sangat bergembira menyambut kelahiran
anak pertama ini, dan mereka mengorbankan banyak waktu dan mencurahkan
perhatian, dan kasih sayangnya untuk bayi yang baru lahir. Orang tua
menerimanya dengan sepenuh hati dan tidak membagi perhatiannya. Hasilnya,
anak merasa bahagia, dan merasa aman sampai anak yang kedua lahir.
Dengan demikian, anak mendapat curahan kasih sayang, dan perhatian dari
orang tua, tidak lama, karena dia harus turun tahta (dethroned) pada saat anak
kedua lahir. Adler meyakini bahwa anak yang lahir pertama akan merasa
shock dengan terjadinya perubahan status dalam keluarga, setelah kelahiran
anak kedua. Kondisi ini mengembangkan sikap dan perilaku yang kurang baik
pada diri anak, seperti : (1) keras kepala. (2) destruktif, (3) menolak untuk
makan, (4) suka memukul karena marah, (5) berorientasi kemasa lalu, suka
bernostalgia, (6) pesimis menghadapi masa depan. (7) suka menunjukkan
kekuatan kepada adiknya, (8) senang memelihara aturan atau otoritas, (9)
pengatur yang baik, (10) cermat/teliti terhadap hal-hal yang mendetail, dan
(11) konservatif dalam bersikap.24
b. Anak yang lahir kedua

22
Ibid.
23
Ibid.
24
Ibid.

10
Anak ini adalah yang menyebabkan perubahan secara tiba-tiba dalam
kehidupan and pertama, dia juga berada dalam situasi yang unik. Dia tidak
pernah mengalami poss yang penuh, seperti yang dialami anak pertama.
Apabila lahir kembali anak berikutnya anak kedua tidak akan merasa terebut
tahta atau supremasinya, seperti dirasakan anak pertama. Anak yang lahir
kedua tidak sendirian, dia mempunyai teman bermai yaitu anak yang lahir
pertama (sulung), dia menjadikan anak sulung ini (kakak kandung nyai
sebagai contoh atau model dalam bertingkah laku, atau sebagai sumber
kompetis Anak yang lahir kedua berjuang untuk menyusul atau mengungguli
kakaknya, sepert dalam perkembangan bahasa dan motorik. Biasanya anak
kedua mulai dapat berbicara pada usia yang lebih awal dari kakaknya. Anak
kedua memiliki sikap optimis terhadap masa depan, senang berkompetisi, dan
ambisius.25
c. Anak bungsu
Anak bungsu tidak mengalami shock, karena terganggu kedudukannya,
bahkan dia sering menjadi anak kesayangan keluarga. Anak bungsu ini
cenderung tergantung dan lemah daya juangnya.26
d. Anak tunggal
Anak tunggal ini tidak pernah kehilangan posisi kedudukan dan
kekuasaannya, dan dia menjadi pusat perhatian orang tua. Dia memiliki waktu
yang lebih lama untuk bersama dengan keluarga, dibandingkan dengan anak
yang memiliki saudara kandung Dia mengalami kematangan yang lebih cepat
dalam mewujudkan sikap dan perilaku orang dewasa. Namun dia akan mudah
mengalami kesulitan, apabila berada di luar rumah, seperti di sekolah, karena
dia tidak lagi menjadi pusat perhatian, dan tidak memiliki pengalaman untuk
berkompetisi dengan orang lain. Apabila mereka tidak mendapat pengakuan
atau perhatian, maka mereka akan merasa kecewa.27

25
Ibid., 136.
26
Ibid.
27
Ibid.

11
C. Tujuan Konseling
Tujuan utama konseling Adlerian adalah mengembangkan social interest konseli. Secara
rinci tujuan konseling itu dikemukakan sebagai berikut:
a. Memelihara interes sosial;
b. Mengurangi perasaan-perasaan rendah diri, mengatasi rasa takut, mengenal kemam-
puan diri dan memanfaatkannya;
c. Mengubah gaya hidup, yaitu yang terkait dengan persepsi dan tujuan yang keliru;
d. Mengubah motivasi atau nilai-nilai yang keliru:
e. Mendorong konseli untuk meyakini kesamaan derajat dirinya dengan orang lain;
f. Membantu konseli agar menjadi orang yang dapat memberikan kontribusi terhadap
orang lain (mensejahterakan orang lain).28

Senada dengan pendapat di atas, Mardi Kay Fallon mengemukakan bahwa tujuan
konseling Adlerian adalah membantu siswa (konseli) mengembangkan (1) kemampuan
untuk hidup bersama orang lain dengan cara-cara yang lebih sehat, (2) kesadaran diri, dan
(3) kemampuan mengubah asumsi dan tujuan hidupnya yang keliru.29

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dalam proses konseling, konseli dibantu untuk
memahami nilai-nilai sosial, dan mengubah nilai-nilai sosial yang keliru. Konseling
memberikan reedukasi kepada konseli, agar mampu menghilangkan persepsinya yang
salah, dan memberikan orientasi kembali (reorientation) tentang motivasinya. Ide-ide
yang salah dan tujuan yang tidak realistik merupakan sumber yang mematahkan
semangat konseli, sehingga dia perlu dibantu agar memperoleh wawasan yang dapat
melakukan perubahan terhadap kekeliruannya. Melalui wawasan yang diperolehnya,
konseli dapat menyesuaikan diri dengan tujuan, sikap dan konsep dirinya. Melalui
reedukasi juga, konseli belajar cara-cara baru untuk bertindak (berperilaku), merasa
bahwa dirinya berharga, menghilangkan perasaan inferior, mengidentifikasi kekeliruan-
nya dalam berpikir dan berperilaku, mengoreksi diri sendiri, dan berperilaku secara lebih
tepat.30

28
Ibid., 139
29
Ibid., 139.
30
Ibid.

12
D. Peran dan Fungsi Konselor
Menyajikan peta struktural untuk aliran terapi yang kami adaptasi dari pendekatan
holistik Dreikurs untuk psikoterapi. "Kami menggunakan kata flow untuk menunjukkan
gerakan yang cair dan dinamis, gerakan yang menghindari langkah atau tahapan
mekanistik”. Memang, tidak ada apa pun dalam pengaturan alur sesi yang tidak dapat diatur
ulang agar sesuai dengan kebutuhan klien atau sesi terapi. Bertemu orang kontak pertama
yang kita lakukan dengan klien mungkin melalui telepon atau melalui rujukan. Kami
menyadari bahwa datang ke terapi dapat menjadi tantangan, dan kami ingin memfasilitasi
transisi yang lancar. Kami ingin klien merasa diterima. Sementara kekhawatiran klien sering
dilatih dan cenderung muncul dengan cepat, terapis singkat Adlerian awalnya berfokus pada
klien sebagai pribadi. Melalui rasa saling menghormati, minat yang tulus, dan bahkan daya
tarik, kami berharap klien akan merasakan kehadiran kami sepenuhnya. Kehadiran ini,
kontak nyata dengan klien, didukung bahkan dalam beberapa menit pertama terapi dengan
menggunakan panca indera kita. Apa yang dilihat, didengar, dan dialami terapis, mungkin
dalam sentuhan jabat tangan, sangatlah penting.
Wawancara subyektif hadir sepenuhnya memberi klien dukungan yang diperlukan untuk
menceritakan kisah uniknya. Empati, minat, dan daya tarik memungkinkan terapis untuk
mengikuti klien secara dekat, bertahan dengan pertanyaan atau perkembangan paling
menarik berikutnya. Konsentrasi pada hal berikutnya ini membawa fokus pada wawancara
dan mendorong kedalaman pengungkapan dan pemahaman antara konselor dan klien.
Seorang klien yang dapat dengan jelas mengartikulasikan apa yang penting baginya telah
mulai mengendalikan diri dan kehidupan, Menjelang akhir bagian wawancara ini, terapis
singkat Adlerian bertanya: "Apakah ada hal lain yang menurut Anda harus saya ketahui?
untuk memahami Anda dan kekhawatiran Anda?Selama wawancara subyektif, pola motivasi
dan perilaku dalam kehidupan seseorang mulai muncul. Pada awalnya untuk sementara,
konselor Adlerian mulai berhipotesis tentang apa yang berhasil untuk klien. Bagaimana pola
dalam kehidupan seseorang mencerminkan aturan interaksi individu? Bagaimana pola dan
aturan secara langsung berkontribusi untuk mempertahankan masalah yang sedang
diidentifikasi? Dan dengan cara apa keprihatinan yang disebutkan itu benar-benar menjadi
solusi terbaik seseorang saat ini untuk tuntutan hidup?"Pertanyaan" Berdasarkan formulasi
"Pertanyaan" Dreikurs, orang Adler berusaha membedakan gejala atau masalah organik dari

13
yang psikogenik. Awalnya diutarakan oleh Adler10 dan kemudian dibingkai ulang oleh
Drei-kurs, Pertanyaannya adalah: "Apa yang akan Anda lakukan, apa yang akan berubah,
jika Anda tidak memiliki gejala atau masalah ini?" atau "Bagaimana hidup Anda akan
berbeda jika Anda tidak memiliki masalah, kekhawatiran, atau masalah ini?" Ketika
jawabannya adalah: "Tidak ada yang berbeda, kecuali gejalanya akan hilang," maka kami
menduga masalahnya mungkin fisiologis atau organik-bahkan jika itu menyamar sebagai
keluhan psikologis. Ketika klien menunjukkan bahwa kehidupan, pekerjaan, persahabatan,
atau hubungan keluarga akan membaik, kami segera menduga bahwa masalah tersebut
bertujuan untuk membantu klien mundur dari tantangan tugas-tugas kehidupan ini.
Wawancara objektif pada dasarnya adalah penilaian gaya hidup klien. Kami ingin
membuat gambaran holistik individu, termasuk informasi tentang kapan masalah atau
kekhawatiran dimulai, peristiwa pemicu, riwayat kesehatan, pengobatan sekarang atau masa
lalu, riwayat sosial, dan alasan orang tersebut mencari terapi. Namun, aspek terpenting dari
wawancara objektif dimulai dengan karya sistemik awal Adler: investigasi konstelasi
keluarga; tugas hidup persahabatan, pekerjaan, dan keintiman; dan ingatan awal. Masing-
masing bidang penyelidikan ini akan menghasilkan kisah hidup yang, secara bersama-sama,
menghasilkan pola hidup dan penanganan: Mereka "memahami" kekhawatiran klien.
Mendengarkan interpretasi klien tentang tempat yang dia tempati dalam keluarga juga
membantu kita memahami pengertian tempat klien secara keseluruhan di dunia. Pengalaman
individu tentang tuntutan atau tugas hidup memungkinkan kita untuk mengungkap kekuatan
klien, kelemahan yang dirasakan, dan yang paling penting, gaya koping. Kenangan awal
mengungkapkan keyakinan seseorang tentang diri, orang lain, kehidupan, dunia dan,
kadang-kadang, bahkan keyakinan etis. Mereka juga dapat mengungkapkan sikap klien
dalam kaitannya dengan hubungan terapeutik dan terapis. Mengungkapkan Tujuan dan
Tujuan Adlerians memperkenalkan tujuan dan tujuan sebagai bagian dari dialog yang
bermakna tentang gejala, perilaku, perasaan, nilai, dan keyakinan. Sebagian besar sasaran
dan tujuan berfungsi di luar kesadaran klien pada tingkat tidak sadar. Untuk membuat tujuan
sadar dan eksplisit berarti sudah mengubah proses klien. Perilaku diberlakukan dalam
keterlibatan sosial, dan menilai hasil interaksi sosial adalah cara paling pasti untuk
merumuskan hipotesis atau tebakan tentang motivasi individu. Ketika pengungkapan seperti

14
itu mengikuti dari "kejelasan fokus" yang diperoleh dalam wawancara subyektif dan
obyektif, mereka sering menimbulkan refleks pengenalan pada orang tersebut.

E. Tahap-Tahap Konseling
Konseling Adlerian terdiri atas empat tahap atau fase (Corey, 2009: 176-178; Ray
Colledge, 2002:32: Robert L. Gibson/Marianne H. Mitchell, 1986: 111-112; Raymond J.
Corsini, tt.: 75). Masing-masing fase memiliki tujuannya sendiri. Keempat fase itu adalah
membangun dan memelihara hubungan baik dengan konseli; analisis dan assessment.
mendiagnosis, atau menemukan, mengungkap, menganalisis dinamika-dinamika konseli
(seperti gaya hidup, dan tujuan hidupnya); menginterpretasi insight; dan memfasilitasi
reorientasi konseli. Secara rinci ke empat fase tersebut dijelaskan sebagai berikut. 31
1. Membangun dan memelihara hubungan baik (establishing good relationship) dengan
konseli.
Suatu hubungan terapeutik yang baik adalah yang diwarnai oleh sikap
persahabatan dan dalam posisi yang sederajat. Terapis atau konselor dengan konseli
duduk berhadapan menduduki kursi yang sama tingkatnya. Para konselor Adlerian pada
saat berhadapan dengan konseli tidak disekat dengan meja, karena dengan adanya meja
mengesankan adanya jarak dan keterpisahan antara konselor dengan konseli, dan
keadaan ini dapill menyebabkan rusaknya suasana psikologis.32
Pada tahap ini, konselor membangun hubungan dengan konseli melalui
wawancara yang isinya dapat membantu konseli agar merasa nyaman, merasa diterima,
dan merasa dihargai. Melalui wawancara ini juga konseli didorong untuk menjelaskan
tujuan atau kebutuhannya datang ke konselor.33
Proses hubungan yang baik akan menambah nilai pendidikan bagi konseli. Bagi
beberapa konseli hubungan dalam konseling ini merupakan pengalaman pertama dalam
hubungan interpersonal yang baik, hubungan yang kooperatif, dan saling menghargai
dan mempercayai. Konseli belajar bahwa hubungan yang baik atau yang buruk itu tidak
begitu saja terjadi, tetapi merupakan hasil dari upaya manusia. Dia juga belajar bahwa
hubungan interpersonal yang tidak baik adalah hasil dari adanya persepsi yang keliru

31
Ibid., 140.
32
Ibid.
33
Ibid., 141.

15
(misperceptions), kesimpulan yang tidak akurat (inaccurate conclusions), dan antisipasi
yang tidak benar dalam kaitannya dengan gaya hidup.34
Pada tahap ini ada tujuan yang ingin diperoleh, yaitu membangun saling mem-
percayai (mutual trust) dan kerja sama konselor dengan konseli, serta menetapkan tujuan
konseli. Trust merupakan dasar bagi kerja sama konselor dengan konseli ke arah
pencapaian tujuan yang diharapkan. Ada tiga teknik untuk membangun hubungan yang
positif, yaitu sebagai berikut.
a. Menggunakan keterampilan mendengarkan.
Dinkmeyer & Sperry (Corey, 2009) mengemukakan bahwa keterampilan mende-
ngarkan yang efektif sangat perlu untuk membangun saling percaya dan saling
menghargai.
b. Menaruh respek dan memberikan harapan.
Nystul (Corey, 2009) mengemukakan bahwa konselor dapat mengembangkan
motivasi klien untuk terlibat dalam konseling dengan cara menaruh respek dan
memberikan harapan kepada klien.
c. Pemberian dorongan.
Teknik ini dapat membantu klien belajar meyakini kemampuan dirinya.35

2. Menemukan, mengungkap, atau menganalisis dinamika-dinamika konseli (seperti gaya


hidup, dan tujuan hidupnya)
Diagnostik, analisis atau investigasi dinamika-dinamika konseli terbagi kepada
dua bagian. Pertama, konselor memahami gaya hidup konseli; dan kedua, konselor ber-
maksud memahami bagaimana gaya hidup konseli berpengaruh terhadap fungsi-fungsi
kehidupan konseli dengan sikap respek terhadap tugas-tugas hidupnya. Banyak konseli
dengan gaya hidupnya yang tidak tepat mengembangkan masalah dalam menghadapi
situasi yang ekstrim atau tidak dapat ditoleransi, sehingga mereka tidak dapat
melepaskan atau mengatasinya. Untuk menganalisis gaya hidup konseli, konselor dapat
memahaminya dari cara duduk: penampilan diri dan cara berpakaian; apa yang
dikatakan, dan bagaimana dia mengatakannya; atau acara berkomunikasinya.36

34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid.

16
Untuk menganalisis gaya hidup konseli dapat ditempuh dengan mengekal ingatan
konseli tentang konstelasi keluarganya yang terkait dengan kondisi-ko yang berpengaruh
kepada pembentukan gaya hidupnya. Di sini dieksplorasi tentang posisi (seperti dalam
urutan kelahiran) konseli dalam keluarga, persepsi tentang ora tuanya, persepsi tentang
hubungan dengan saudara kandungnya, dan bagaimana di menyesuaikan dirinya dalam
lingkungan keluarga, sekolah, atau teman sebaya.37

3. Pengembangan Insight
Insight menurut Adler adalah pemahaman yang diterjemahkan ke dalam kegiatan
atau perbuatan yang konstruktif. Insight merefleksikan pemahaman konseli terhadap
hakika tingkah lakunya yang bertujuan, persepsinya yang keliru, dan pemahamannya
tentang peranan dalam hidupnya. Para terapis atau konselor Adlerian memfasilitasi
perkem bangan insight konseli melalui interpretasi, Konselor menginterpretasikan
komunikas mimpi, fantasi, tingkah laku, dan transaksi interpersonal konseli. Melalui
interpretasi konselor memberikan "cermin kepada konseli, sehingga dia dapat memahami
bagai mana dia mengatasi kehidupan. Konselor dapat menghubungkan masa lalu dengan
masa sekarang konseli, tetapi semata-mata untuk menunjukkan kesinambungan tentang
gaya hidupnya yang tidak adaptif (maladaptive life-style), bukan untuk menjelaskan
hubungan kausalitas.38
Pada tahap ini, konselor juga menginterpretasikan ikhtisar ingatan-ingatan atau
memori masa lalu konseli (summary of early recollection). Pengungkapan ikhtisar
ingatan-ingatan masa lalu, dan sejarah hidup konseli, dapat menggambarkan tentang
kekeliruan dasar (basic mistakes) konseli dalam cara berpikir atau mensikapi diri dan
kehidupan. Kekeliruan dasar itu diklasifikasikan kedalam kategori (1) Overgenera
lizations, seperti ungkapan "semua orang adalah musuh", atau "hidup ini penuh dengan
bahaya": (2) False or impossible goals of security, seperti ungkapan "saya harus
menyenangi setiap orang: (3) Misperceptions of life and life's demands, seperti ungkapan
"hidup ini tidak pernah memberi aku istirahat", atau "hidup ini susah"; (4) Minimization
or denial of one's worth, seperti ungkapan "saya bodoh", "saya hanya sebagai ibu rumah

37
Ibid., 142.
38
Ibid.

17
tangga": dan (5) Faulty values, seperti ungkapan "jadilah yang pertama, bahkan jika
kamu harus melangkahi orang lain".39
Pengembangan insight ini dapat ditempuh juga melalui teknik konfrontasi.
Konfron tasi ini dikonsepsikan sebagai proses pemberian bantuan konselor kepada
konseli, aga menyadari diskrepansi antara (1) perilaku dengan keyakinan, (2) perasaan
dengan cara konseli mengkomunikasikannya kepada orang lain, dan (3) insight dengan
perilakunya. Shulman mengemukakan cara mengkonfrontasi konseli, yaitu: (1)
mengkonfrontasi konseli dengan pandangan subjektifnya, (2) mengkonfrontasi konseli
dengan keyakinan-keyakinannya yang keliru (3) mengkonfrontasi konseli dengan tujuan-
tujuan pribadinya, dan (4) mengkonfrontasi konseli dengan perilakunya yang
destruktif.40
4. Memfasilitasi reorientasi konseli
Pada tahap akhir ini, konselor membantu konseli untuk melakukan orientasi baru
tentang motivasi atau minat sosialnya, dan merancang tujuan hidupnya yang realistik.
Konselor mendorong konseli untuk bergerak dari situasi "intellectual insight" ke sikap
dan perilaku aktual yang lebih sehat. Di sini konselor memberikan dukungan dan arahan
kepada konseli untuk terus berusaha mengubah pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang
tidak sehat, dengan cara-cara yang wajar, sehingga memberikan kepuasan, baik bagi
dirinya maupun orang lain.41

F. Teknik-Teknik Konseling
Ada empat teknik konseling Adlerian, yaitu: assessment, socratic questioning, guided
and eidetic imagery, dan role playing.
1. Assessment
Assessment yaitu proses pengumpulan informasi tentang konseli/konseli melalui
questioner. Informasi yang dikumpulkan itu meliputi aspek-aspek (1) deskripsi
gejala- gejala masalah dan faktor penyebabnya; (2) keberfungsian (peranan) konseli
dalam hubungannya dengan keluarga, teman bermain/sekolah, kolega kerja, dan
suami/ istri; (3) keluarga konseli (dinamika dan konstelasi), (4) masalah kesehatan,
39
Ibid., 141.
40
Ibid., 142.
41
Ibid., 143.

18
termasuk penggunaan alkohol, dan obat-obatan; dan (5) terapi atau konseling
sebelumnya, dan sikap konseli terhadap konselor.42
2. Socratic questioning
Socratic questioning yaitu teknik pertanyaan-pertanyaan Sokrates sebagai bidan
yang melahirkan ide-ide baru. Dalam hal ini, konselor berupaya untuk membidani
lahimya pendekatan-pendekatan baru dalam kehidupan konseli. Konselor berperan
sebagai "cothinker” (yang membantu konseli berpikir), bukan seorang ahli (expert)
yang serba bisa. Karakteristik pertanyaan Sokrates adalah (1) memungkinkan konseli
memperoleh wawasan melalui serangkaian pertanyaan; (2) gayanya yang ramah,
sopan, dan diplomatik; (3) penuh persahabatan; (4) pada tahap pertama dilakukan
pengumpulan informasi, klarifikasi makna, dan eksplorasi perasaan; (5) pada tahap
pertengahan diajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkap perasaan, cara
berpikir, dan tujuan-tujuan yang tidak disadari; (6) dampak perasaan, cara berpikir
atau tujuan terhadap kehidupan pribadi dan sosial, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang: (7) melahirkan dan mengevaluasi pilihan-pilihan baru; dan (8) pada
tahap akhir, pertanyaan yang diajukan itu membimbing konseli untuk bertanggung
jawab dalam mengambil keputusan.43
3. Guided and eidetic imagery
Yang dimaksud eidetic imagery yaitu jelas (vivid) tetapi tidak nyata (unreal),
terutama ingatan-ingatan masa kecil. Proses konseling melahirkan perasaan-perasaan
baru konseli, dan konseli mungkin memerlukan tindakan lebih lanjut untuk
mengungkap atau mengubah perasaan-perasaan tersebut. Teknik ini membantu
konseli untuk mengungkap emosinya yang tersembunyi. Teknik ini juga digunakan
untuk mengungkap imajinasi-imajinasi simbolik tentang manusia atau situasi yang
membangkitkan emosi yang sangat kuat. Konseli mungkin memiliki perasaan dan
imajinasi yang negatif tentang anggota keluarga. Melalui teknik ini, konseli dibantu
untuk menyembuhkan perasaan benci, rasa bersalah, dan rasa takut.44
4. Role playing

42
Ibid., 147.
43
Ibid.
44
Yusuf LN, Konseling Individual Konsep Dasar Dan Pendekatan, 148.

19
Konseli mungkin kehilangan pengalaman yang sangat berharga bagi dirinya,
seperti kasih sayang dari orang tuanya. Teknik ini dimaksudkan untuk mengatasi
defisiensi (kekurangan) ini. Melalui teknik ini, konseli berlatih tingkah-tingkah baru
di bawah supervisi konselor.45

Para terapis (konselor) Adlerian mendasarkan pendekatan terapinya kepada pandangan


hakikat manusia sebagai sosioteleologis yang utuh. Para konselor harus memiliki interes
sosial dan harus memanfaatkan keterampilannya untuk membangun masyarakat yang ideal.
Konselor harus membantu konseli dalam suasana kesejajaran dan hubungan yang
kooperatif.46

45
Ibid.
46
Ibid.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat di ambil kesimpulan bahwasannya
konseling Adlerian merupakan proses reedukasi bagi konseli dalam upaya mengubah
persepsi dan nilai-nilai sosialnya yang tidak benar, serta memperbarui orientasi motivasi-
nya. Gagasan atau pemikiran yang keliru, dan tujuan yang tidak realistik merupakan
sumber masalah konseli. Konseling pada dasarnya adalah upaya bantuan agar konseli
memperoleh insight atau wawasan yang mencerahkan untuk mengubah masalah tersebut,
sehingga konseli memiliki kemampuan untuk berpikir yang benar dan merancang tujuan
hidup yang realistik. Di samping itu, melalui konseling Adlerian, konseli dibantu untuk
mengembangkan perasaan equality with other people dan mau bekerja sama atau
berkooperasi dengan orang lain, dalam rangka membangun kesejah- teraan hidup
bersama.

B. Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah
diatas terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis nanti
akan segera perbaikan susunan makalah itu dengan mengguanakan pedoman dari
beberapa sumber dan kritik yang bias membangun dari para pembaca.

21
DAFTAR PUSTAKA

Yusuf LN, Syamsu. Konseling Individual Konsep Dasar Dan Pendekatan. Cetakan ke. Bandung:
PT Refika Aditama, 2016.

22

Anda mungkin juga menyukai