Anda di halaman 1dari 23

KOMPETENSI KONSELOR LUAR SEKOLAH/KOMUNITAS

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika dan Profesi
Bimbingan dan Konseling
Dosen Pengampu: Dr. Aam Imadudin, M. Pd.

Oleh :
Kelompok 4
Almi Nurul Qolbi C1986201040
Eka Rahmawati C1986201004
Nura Nur Afrilianti C1986201043
Rifqi Nurul Iqbal Pirizqi C1986201042
Siti Ayu Lestari C1986201021
Yunika Dwi Agustinus C1986201113

BK5A
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat serta
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, yang berjudul
“kompetensi konselor luar sekolah/komunitas”. Penyusunan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Etika dan Profesi
Bimbingan dan Konseling
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan
akhir zaman, Nabi Muhammad SAW. Semoga Allah SWT, melimpahkan rahmat
kepada beliau, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti sunnahnya.,
Kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dan memberi masukan serta mendukung dalam penulisan makalah ini sehingga
selesai tepat pada waktunya. Semoga dibalas oleh Allah SWT, dengan ganjaran
yang berlimpah.
Dalam penulisan makalah ini penulisan merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan, mengingat akan kemampuan yang dimiiki penulis. Untuk itu kritik
dan saran sangat diharapkan dem penyempurnaan pembuatan makalahini. Akhir
kata kami ucapkan terima kasih, semoga Allah SWT selalu melipahkan rahmatnya
kepada kita semua.

Tasikmalaya, 15 Novermber 2021

Penyusun,

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Dasar Pemikiran....................................................................................................1
B. Tujuan....................................................................................................................1
C. Rumusan................................................................................................................2
D. Sistematika dan Metode Penulisan........................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Etika dan Profesi..................................................................................3
B. Perlunya Etika dan Kode Etik Profesi...................................................................3
C. Etik Hukum dan Konseling...................................................................................4
D. Prinsip-Prinsip Etis dalam Profesi Konseling.......................................................4
E. Kode Etik Profesi Konselor...................................................................................4
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bidang Garapan Konselor Luar Sekolah...............................................................3
B. Standar Kompetensi Konselor Luar Sekolah/Komunitas......................................4
C. Batas Profesional Konselor Luar Sekolah.............................................................4
BAB III KESIMPULAN
A. Kesimpulan..........................................................................................................19
B. Saran....................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Dasar pemikiran
Dalam rangka membangun manusia Indonesia yang seutuhnya,
pengembangan layanan bimbingan dan konseling bagi masyarakat merupakan
sarana dan wahana yang sangat baik untuk pembinaan sumber daya manusia.
Bimbingan dan konseling yang keberadaannya semakin dibutuhkan dalam
masyarakat merupakan suatu badan yang mempunyai fungsi sangat penting.
Dengan kata lain bimbingan dan konseling mempunyai peran dalam
mencarikan jalan keluar dari setiap kesulitan yang dihadapi masyarakat dalam
usaha mengembangkan potensinya. Bimbingan dan konseling berfungsi untuk
membantu kelancaran dan kesuksesan kehidupan seseorang, artinya dengan
adanya bimbingan dan konseling di masyarakat secara intensif akan memberi
dampak baik secara langsung maupun secara tidak langsung yang akhirnya
akan kembali pada keberhasilan orang tersebut.
Pelayanan Bimbingan dan Konseling dilaksanakan dari manusia untuk
manusia dan oleh manusia (Prayitno, 1994). Proses Bimbingan danKonseling
seperti itu melibatkan manusia dan kemanusiaan sebagai totalitasyang
menyangkut potensi-potensi dan kecenderungan-
kecenderungannya,Perkembangannya dinamika kehidupannya, permasalahan-
permasalahannyadan interaksi dinamis antar berbagai unsur yang ada. Maka
untuk dapattercapainya pelayanan Bimbingan dan Konseling dibutuhkan
pemahamanterkait pelayanan-pelayanan yang ada dalam pelayanan
Bimbingan danKonseling. Pelayanan Bimbingan dan Konseling
diselenggarakan terhadapsasaran layanan baik secara individu maupun
kelompok
Bimbingan dan konseling menjadi faktor penting untuk membantu
masyarakat dalam mengembangkan potensi maupun menyelesaikan
masalahnya. Bimbingan dan konseling, tidak hanya dibutuhkan para siswa
siswa di lingkungan sekolah, tetapi masyarakat di luar sekolah juga
membutuhkan layanan dan konseling. Akan tetapi, pada kenyataannya, tidak
banyak masyarakat yang mengetahui dan memanfaatkan layanan bimbingan
dan konseling. Ada beberapa bidang garapan bimbingan dan konseling di luar
sekolah, diantaranya bidang keluarga, rehabilitasi, komunitas, dan kesehatan.
B. Tujuan
Berdasarkan rumusan pembahasan didapatkan tujuan penulisa makalah
sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Etika dan Profesi
2. Untuk Mengetahui Perlunya Etika dan Kode Etik Profesi
3. Untuk Mengetahui Etik, Hukum dan Konseling
4. Untuk Mengetahui Prinsip-prinsip Etis dalam Profesi Konseling

1
5. Untuk Mengetahui Kode Etik Profesi Konselor
6. Untuk Mengetahui Bidang Garapan Konselor Luar Sekolah
7. Untuk Mengetahui Standar Kompetensi Konselor Luar Sekolah/Komunitas
8. Untuk Mengetahui Batasan Professional Konselor Luar Sekolah
C. Rumusan
Berdasarkan dasar pemikiran diatas didapatkan rumusan pembahasan yang
akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Etika dan Profesi
2. Perlunya Etika dan Kode Etik Profesi
3. Etik, Hukum dan Konseling
4. Prinsip-prinsip Etis dalam Profesi Konseling
5. Kode Etik Profesi Konselor
6. Bidang garapan konselor luar sekolah
7. Standar kompetensi konselor luar sekolah/komunitas
8. Batasan professional konselor luar sekolah
D. Sistematika dn metode penulisan
1. BAB I Pendahuluan
a. Dasar pemikiran
b. Tujuan
c. Rumusan
d. Sistematika dan metode penulisan
2. BAB II
a. Etika dan Profesi
b. Perlunya Etika dan Kode Etik Profesi
c. Etik, Hukum dan Konseling
d. Prinsip-prinsip Etis dalam Profesi Konseling
e. Kode Etik Profesi Konselor
3. BAB III
a. Hasil
b. Pembahsan
c. Simpulan
4. Daftar Pustaka

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Etika dan Profesi
Kata “etika” dalam bahasa Inggris “ethics” artinya ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak; hal tingkah laku dan kesusilaan.
Dalam bahasa Yunani kuno “Ethos” berarti timbul dari kebiasaan adalah
cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi
studi mengenai standar dan penilaian moral.1 Namun dalam bahasa
Indonesia etik dan etika diartikan berbeda. Kata “etik” mempunyai dua arti
yaitu 1) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak; 2) nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Sementara etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Arti etika telah banyak dikemukakan beberapa ahli berikut.
Pertama, etika adalah bagian dari filsafat yang mengajarkankeseluruhan
budi (baik dan buruk)3; Kedua, etika adalah filsafat tentang nilai,
kesusilaan, tentang baik dan buruk, juga merupakan pengetahuan tentang
nilai-nilai itu sendiri4; Ketiga, etika ialah studi tentang tingkah laku
manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya sebagaimana adanya,
tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan dari seluruh tingkah-laku
manusia. Keempat, etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan
mana yang buruk dan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh
yang dapat diketahui oleh akal pikiran Kata profesi diartikan sebagai
bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan,
kejuruan, dan sebagainya) tertentu8. Kata profesi dalam bahasa Inggris
yaitu ”profession” yang memiliki beberapa arti yaitu: 1) pekerjaan tertentu
yang mensyaratkan pendidikan pada perguruan tinggi (misal sarjana
hukum, dokter, arsitek, konselor dan sebagainya) 2) pernyataan;
pengakuan9; Pendapat lain dikemukakan George dalam Daryl Koehn,
profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk
menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan keahlian.10
Sedangkan kata profesional merupakan kata sifat dari profesi yang artinya
1) ahli; 2) berkenaan dengan bayaran. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang memerlukan keahlian tertentu
yang diperoleh melalui pendidikan tertentu dan mendapat pengakuan serta
pembayaran dari pekerjaan tersebut.
B. Perlunya Etika dan Kode Etik Profesi
Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa etika perlu13.
Pertama, tidak ada kesatuan tatanan normatif msehingga kita berhadapan
dengan banyak pandangan moral yang sering saling bertentangan. Dalam
situasi demikian kita sering bingung, tatanan norma dan pandangan moral

3
mana yang harus diikuti. Untuk mencapai suatu pendirian dalam
pergolakan pandangan-pandangan moral tersebut, etika diperlukan. Kedua,
etika diperlukan untuk membantu kita agar tidak kehilangan orientasi
dalam situasi transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya
tradisional ke modern dan dapat menangkap makna hakiki dari perubahan
nilai-nilai serta mampu mengambil sikap yang dapat dipertanggung
jawabkan. Ketiga, etika dapat membuat kita sanggup untuk menghadapi
ideologi baru secara kritis dan objektif serta untuk membentuk penilaian
C. Etik, Hukum dan Konseling
Konseling sejatinya merupakan hubungan membantu (helping
relationship) yang dilakukan oleh tenaga profesional terlatih dalam bidang
konseling. Proses konseling dibangun dengan menciptakan hubungan
komunikasi mendalam antara klien (konseli) dan konselor. Hubungan
mendalam dapat tercipta secara bertahap terutama jika antara konselor dan
konseli belum saling kenal. Oleh karenanya, diperlukan beberapa kali
pertemuan untuk sampai pada hubungan komunikasi yang mendalam.
Dalam prakteknya, hubungan membantu ini tidak selalu berjalan mulus.
Ada banyak persoalan, baik yang menyangkut masalah etik maupun
masalah hukum yang terkadang keduanya tidak selalu sejalan. Sependapat
dengan Gladding bahwa etik dan hukum merupakan dua cara berfikir yang
berbeda. Dalam bukunya, Gladding menunjukkan bahwa pengacara dan
konselor cenderung dengan cara yang berbeda. Ke dua profesi dalam
spesialisasi tersebut menghabiskan sebagian besar kehidupannya dalam
dua budaya yang berbeda dan mendasarkan praktik mereka pada cara
pandang yang unik. Untuk alasan inilah, ada “alasan kuat untuk
mempertimbangkan konseling dan sistem legal dari perspektif lintas
budaya” (Rowley & MacDonald, 2001, p.425).
D. Prinsip-prinsip Etis dalam Profesi Konseling
Konselor profesional akan memperhatikan kinerjanya untuk selalu
mengutamakan kesejahteraan konseli dan kepercayaan masyarakat. Sistem
nilai yang diyakini konselor merupakan penentu dalam perilaku etis.
Prinsip-prinsip etis yang didasarkan kepada nilai-nilai sosial dalam profesi
konseling antara lain:
1. Tanggung jawab; konselor memiliki tanggung jawab untuk
melakukan performa dan standar layanan profesi yang terbaik.
2. Kompetensi; konselor perlu memelihara standar kompetensi profesi
yang terbaik.
3. Standar moral dan legal; publik akan sangat peka terhadap kualitas
layanan yang diberikan para konselor.
4. Kerahasiaan; melindungi infomasi konseli dari pihak yang tidak
semestinya.
5. Kesejahteraan konseli; konselor menghormati dan melindungi

4
E. Kode Etik Profesi Konselor
1. Subyek Kode Etik Profesi
Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan
landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung
tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia. Pertanyaannya, apakah orang
yang bertugas memberi layanan bimbingan dan konseling namun
belum atau tidak menjadi anggota ABKIN berarti tidak perlu
mengamalkan kode etik? Apakah kode etik hanya wajib dipatuhi oleh
anggota dan pengurus organisasi profesi bimbingan dan konseling
(ABKIN) saja? Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dimulai
dari penjelasan kata “anggota” ABKIN. Dalam Anggaran Rumah
Tangga ABKIN Bab III diatur tentang keanggotaan. Ada tiga
keanggotaan ABKIN yaitu anggota biasa (bab III Pasal 4); anggota
luar biasa (Bab III pasal 5); dan anggota kehormatan (Bab III pasal 5).
Jika dicermati penjelasan ketiga keanggotaan ABKIN tersebut dapat
disimpulkan bahwa setiap individu yang mempunyai ijazah di bidang
bimbingan dan konseling dan atau sedang mengikuti pendidikan
bidang bimbingan dan konseling, serta menjalankan tugas/jabatan
yang berhubungan dengan bimbingan dan konseling baik dalam seting
pendidikan maupun seting masyarakat wajib mematuhi kode etik
profesi bimbingan dan konseling.
2. Dasar Kode Etik Profesi Konselor
Dasar kode etik profesi bimbingan dan konseling Indonesia yaitu
panca sila dan tuntutan profesi. Panca sila dijadikan dasar kode etik
mengingat bahwa profesi bimbingan dan konseling merupakan usaha
pelayanan terhadap sesama manusia dalam rangka ikut membina
warga negara Indonesia yang bertanggung jawab. Hal itu selaras
dengan pengertian Bimbingan dan konseling merupakan proses
bantuan psikologis dan kemanusiaan kepada yang dibimbing (konseli)
agar ia dapat berkembang secara optimal, yaitu mampu memahami
diri, mengarahkan diri, dan mengaktualisasikan diri sesuai tahap
perkembangan, sifat-sifat, potensi yang dimiliki dan latar belakang
kehidupan serta lingkungannya sehingga tercapai kebahagian dalam
kehidupannya. Sedangkan tuntutan profesi dijadikan dasar kode etik
karena layanan profesi bimbingan dan konseling mengacu pada
kebutuhan dan kebahagiaan konseli sesuai dengan norma-norma yang
berlaku.
Kode etik profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia terdiri dari
lima bab yaitu bab satu pendahuluan, bab dua tentang Kualifikasi dan
Kegiatan Profesional Konselor, bab tiga tentang Hubungan
Kelembagaan, bab empat tentang Praktek Mandiri dan Laporan

5
Kepada Pihak Lain dan bab lima tentang Ketaatan Profesi. Naskah
lengkap kode etik profesi Bimbingan dan Konseling lihat lampiran
3. Keterbatasan dan Pengembangan Kode Etik
Kode etik konseling yang pertama dibuat oleh American
Counseling Association (ACA) (selanjutnya, American Personnel and
Guidance Association, atau APGA) berdasarkan kode etik American
Counseling Association yang asli (Allen, 1986). Kode etik awal dari
ACA ini digagas oleh Donald Super dan disetujui pada tahun 1961
(Herlihy & Corey, 2006). Sejak saat itu, peraturan ini direvisi secara
periodik (tahun 1974, 1981, 1988, 1995, dan 2005). Kode etik ACA
yang terakhir lebih komprehensif dari hasil sebelumnya. Hasil revisi
kode etik ACA terakhir ini menunjukkan bahwa konseling telah
berkembang menjadi sebuah ilmu yang matang. Dalam kode etik
ACA ada delapan bagian judul topik.
Semuanya mengandung materi yang hampir sama dengan yang
terdapat dalam banyak kode etik lainnya (Merrill Education, 2007),
tetapi ditujukan untuk profesi konseling. Bagian pertama berisi
hubungan konseling termasuk tanggung jawab konselor profesional
pada konseli dan kesejahteraan mereka seperti peranan dan hubungan
dengan konseli dan penggunaan teknologi dalam konseling. Bagian ini
juga mendiskusikan cara-cara untuk mengatasi beberapa subyek
bermasalah seperti upah, pertukaran, pelimpahan dan pemutusan.
Sebagai contoh, dalam bagian ini, ACA menjelaskan bahwa sebelum
memulai konseling (pelayanan) harus dilakukan pemeriksaan secara
seksama tentang hubungan seksual atau romantis antara konselor dan
mantan konselinya; dan hubungan semacam ini dilarang untuk lima
tahun ke depansejak kontak profesional terakhir.

6
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
B. Pembahsan
1 Bidang Garapan konselor luar sekolah
a. Keluarga
1) Pengertian dan fungsinya
Keluarga diartikan sebagai kelompok orang yang ada
hubungan darah atau perkawinan. Orang orang yang termasuk
keluarga ialah ibu, bapak dan anak-anaknya. Sekelompok manusia
ini (ibu, bapak dan anak-anak mereka) disebut keluarga nuklir
(nuclear family) atau keluarga inti. Disamping itu ada pula yang
disebut keluarga luas (extended family) yang mencakup semua
orang yang berketurunan daripada kakek-nenek yang sama,
termasuk keturunan masing-masing istri dan suami (Widjaja,
1986:5).
Disinilah manusia mulai mengenal dirinya sebagai makhluk
individu sekaligus sebagai makhluk sosial di masyarakatnya.
Perilaku individu sebagai anggota masyarakat banyak dibentuk dan
dipengaruhi oleh keluarganya sebagai lembaga pertama dan utama
dalam kehidupannya oleh adanya kerjasama ekonomi dan
mempunyai fungsi untuk berkembang biak, mensosialisasi atau
mendidik anak, dan menolong serta melindungi yang lemah
khususnya merawat orang-orang tua mereka yang telah jompo.
Demikian pentingnya fungsi keluarga sebagai peletak dasar
kepribadian anak, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk
menciptakan harmonisasi kehidupan suatu keluarga.
2) Tipologi Keluarga Modern
Pada masyarakat modern dewasa ini yang tampak di
perkotaan, keluarga terbagi dalam tiga kelas yaitu (1) keluarga
pada masyarakat bawah, yakni keluarga yang berorientasi kepada
pemenuhan kebutuhan dasar. Bapak, ibu dan anak membantu
keluarga sebagai suatu keharusan. Hal ini banyak tercermin dalam
keluarga buruh, rumah kecil dan banyak tekanan hidup. Akibatnya
terjadi disfungsi dalam pendidikan dan kasih sayang anak seperti
kurangnya otoritas orang tua dan menurunnya kontak emosional
antar anak dan orang tua terutama ibu; (2) keluarga pada
masyarakat kelas menengah, yang biasanya dicirikan oleh tingkat
pendidikan yang sudah lebih tinggi dan adanya inner oriented
dimana ibu di rumah dan ayahlah yang bekerja di luar rumah. Tipe
keluarga ini disebut bourgeois family yang menempatkan

7
pendidikan anak sebagai aspek penting dalam sebuah keluarga; (3)
keluarga pada kelas menengah atas, yakni keluarga yang
bercirikan kedua orang tua berpendidikan tinggi dan lebih
individualistik. Para istri mempunyai banyak kebutuhan aktualisasi
diri sehingga berorientasi keluar baik dalam pekerjaan maupun
pergaulan dengan menyesuaikan diri dengan pola yang dituntut
masyarakat, seperti ke kafe, main golf dan lainnya yang dapat
terlihat modern. Akibatnya anak-anak terpisah dari orang tua dan
memperoleh figur pengganti seperti baby sitter, guru, perawat dan
lain-llain (Megawangi, 1998:3). Inilah yang disebut sebagai
generasi hipermodernitas atau akhir dari posmodernisme.
3) Konsep Konseling Keluarga
Family counseling atau konseling keluarga adalah upaya
bantuan yang diberikan kepada individu anggota keluarga melalui
sistem keluarga (pembenahan komunikasi keluarga) agar
potensinya berkembang seoptimal mungkin dan masalahnya dapat
diatasi atas dasar kemauan membantu dari semua anggota keluarga
berdasarkan kerelaan dan kecintaan terhadap keluarga (Willis,
2008). Menurut Golden dan Sherwood (dalam, Latipun, 2001)
konseling keluarga adalah metode yang dirancang dan difokuskan
pada keluarga dalam usaha untuk membantu memecahkan masalah
perilaku klien. Sehingga konseling keluarga merupkan proses
bantuan yang diberikan kepada individu anggota keluarga dalam
memecahkan masalah kelurga yang dihadapinya.
4) Tujuan Konseling Keluarga
Tujuan konseling keluarga secara umum adalah menurut
Glick dan Kessler (dalam Latipun, 2001) adalah menfasilitasi
komunikasi pikiran dan perasaan antar anggota keluarga,
mengubah gangguan dan ketidakfleksibelan peran dan kondisi,
memberikan pelayanan sebagai model dan pendidikan peran
tertentu yang ditunjukan kepada anggota keluarga. Selain itu secara
umum konseling keluarga menurut Willis(2008) yaitu membantu
anggota-anggota keluarga belajar dan menghargai secara emosional
bahwa dinamika keluarga adalah kait-mengait di antara anggota
keluarga, untuk membantu anggota keluarga agar menyadari
tentang fakta jika satu anggota keluarga bermasalah, maka akan
mempengaruhi kepada persepsi, ekspetasi, dan interaksi anggota-
anggota lain, agar tercapai keseimbangan yang akan membuat
pertumbuhan dan peningkatan setiap anggota, untuk
mengembangkan penghargaan penuh sebagai pengaruh dari
hubungan parental.

8
Secara khusus Willis (2008) Mengungkapkan
keharmonisan keluarga bertujuan untuk meningkatkan toleransi dan
dorongan anggota-anggota keluarga terhadap cara-cara yang
istimewa (idiocyncratic ways) atau keunggulan- keunggulan
anggota lain., mengembangkan toleransi terhadap anggota-anggota
keluarga yang mengalami frustasi atau kecewa, konflik, dan rasa
sedih yang terjadi karena faktor sistem keluarga atau di luar sistem
keluarga, mengembangkan motif dan potensi-potensi, setiap
anggota keluarga dengan cara mendorong (mensupport), memberi
semangat, dan mengingatatkan anggota tersebut, mengembangkan
keberhasilan persepsi diri orang tua secara realistik dan sesuai
dengan anggota-anggota lain.
b. Rehabilitasi
1) Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi, menurut pasal 1 angka 23 KUHAP adalah:
“hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang
diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau pengadilan
karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.” Rehabilitasi merupakan salah satu
bentuk dari pemidanaan yang bertujuan sebagai pemulihan atau
pengobatan. Menurut Soeparman re-habilitasi adalah fasilitas yang
sifatnya semi tertutup, maksudnya hanya orang-orang tertentu
dengan kepentingan khusus yang dapat memasuki area ini.
Rehabilitasi bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan adalah
tempat yang memberikan pelatihan ketrampilan dan pengetahuan
untuk menghindarkan diri dari narkotika.
Program rehabilitasi dilaksanakan di lembaga
pemasyarakatan narkotika Cipinang Jakarta Timur merupakan
serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas
upaya-upaya medis, bimbingan mental, psikososial, keagamaan
dan pendidikan untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri,
kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan
fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki baik fisik, mental,
sosial dan ekonomi. Program ini dilaksanakan untuk membantu
Warga Binaan terlepas dari ketergatungan narkotika dan
psikotropika, dengan rehabilitasi ini menjadikan pusat
penanggulangan terpadu dalam satu atap atau One
StopCenter(OSC). Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut di
atas diperlukan program rehabilitasi yang meliputi rehabilitasi

9
medik, psikiatrik, psikososial, dan psikoreligius sesuai dengan
definisi sehat dari WHO (1984), dan American association/APA
(1992).
Proses pelayanan dan rehabilitasi terpadu bagi
penyalahguna narkotika baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi
sosial, harus memenuhi sumber daya manusia yang memenuhi
persyaratan ataupun kriteria, karena untuk penanggulangan
penyalahguna narkotika bukan hal yang mudah, demikian
diperlukan keterampilan dan keahlian yang khusus. Dalam
pelaksanaan rehabilitasi oleh Departemen Sosial terhadap mereka
yang mengalami ketergantungan narkotika berlandaskan beberapa
peraturan, yaitu:
a) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun
1997 jo Undang-undang Nomor 35 tahun 2009
Tentang Narkotika Pasal 45, Pasal 46 ayat (1), (2),
(3), Pasal 47, ayat (1) dan (2), Pasal 48 ayat (1) dan
(2), Pasal 49 ayat (1), (2), (3), Pasal 50.
b) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2002 Tentang Badan Narkotika Nasional.
2) Tujuan Rehabilitasi
Terus meningkatnya jumlah korban penyalahguna
narkotika membuat peran terapi dan rehabilitasi bagi korban
narkotika menjadi penting dan strategis. Untuk itu bidang terapi
dan rehabilitasi diminta untuk proaktif terus mencari terobosan
agar perannya menjadi efektif. Sistem pemenjaraan yang sangat
menekankan pada unsur penjeraan dan penggunaan titik tolak
pandangannya terhadap narapidana sebagai individu, semata-mata
dipandang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasa.
Berdasarkan pengertian diatas bahwa tujuan rehabilitasi
adalah juga tujuan dari pada pembinaan. Hal ini dapat dipertegas
bahwa yang menjadi pedoman di Lapas-Lapas lain juga sama
pedoman di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika yaitu Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP dan Peraturan-
peraturan yang lain. Arti penting diperlukannya terapi dan
rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan/Rutan di sebabkan oleh
a) Dampak negatif narkoba dalam jangka panjang.
b) Peningkatan angka kematian rata-rata akibat penyakit penyerta
sebagai dampak buruk penyalahgunaan narkoba seperti TB,
HIV-AIDS dan Hevatitis.
c) Mengurangi penularan penyakit TB, HIV-AIDS dan Hevatitis.
3) Istilah “konseling rehabilitasi”

10
Yang dipergunakan dalam disertasi ini merupakan
terjemahan langsung dari “counseling rehabilitation”. Konseling
rehabilitasi adalah suatu proses sistematis yang membantu
penyandang kecacatan fisik, mental, perkembangan, kognitif, dan
emosi untuk mencapai tujuan personal, karir, dan kehidupan
mandiri dalam setting yang seintegrasi mungkin melalui penerapan
proses konseling. Proses konseling tersebut melibatkan
komunikasi, penetapan tujuan, dan pertumbuhan atau perubahan ke
arah yang lebih baik melalui self-advocacy, intervensi psikologis,
intervensi vokasional, intervensi sosial, dan intervensi behavioral.
Sejalan dengan pengertian itu, The international
Rehabilitation Counseling Consortium, sebuah kelompok yang
beranggotakan beberapa organisasi profesi yang terkait dengan
konseling rehabilitasi (Virginia Commonwealth University
Department of Rehabilitation Counseling, 2005), mendefinisikan
konselor rehabilitasi sebagai berikut: Konselor rehabilitasi adalah
konselor yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
terspesialisasi serta memiliki sikap yang dibutuhkan untuk
berkolaborasi dalam hubungan profesional dengan individu yang
menyandang kecacatan untuk mencapai tujuan personal, sosial,
psikologis dan vokasionalnya. Di samping itu, Szymanski (Parker
et al., 2004:4) mendefinisikan rehabilitation counseling sebagai
Konseling rehabilitasi adalah sebuah profesi yang membantu
individu penyandang cacat dalam beradaptasi dengan lingkungan,
dan membantu lingkungan dalam mengakomodasi kebutuhan
individu tersebut, dan mengupayakan partisipasi penuh
penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan masyarakat,
terutama dalam pekerjaan.
4) Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi
Konseling rehabilitasi adalah pendekatan yang dibatasi
waktu dan berorientasi pada outcome untuk membantu individu
penyandang kecacatan fisik, mental, dan emosional guna
memperoleh keterampilan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk
hidup, belajar, dan bekerja dalam masyarakat (Fabian &
MacDonald-Wilson - dalam Parker et al, 2004). Dalam berbagai
macam setting, konselor rehabilitasi berkolaborasi dengan klien
dalam mengidentifikasi tujuan karir dan vokasionalnya, sumber
daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut, dan
mengidentifikasi dukungan dan layanan yang tersedia di
masyarakat untuk itu.
Secara umum, ruang lingkup praktek konselor rehabilitasi
adalah membantu individu penyandang cacat mencapai tujuan

11
personal, karir dan kemandirian hidupnya dalam setting yang
seintegrasi mungkin (CRCC –dalam Parker et al., 2004). Untuk itu,
konselor rehabilitasi menggunakan berbagai metode dan teknik.
Secara spesifik, CRCC mendaftar ruang lingkuppraktek konselor
rehabilitasi itu sebagai berikut:
a) asesmen dan pengukuran;
b) diagnosis dan perencanaan treatment;
c) konseling karir/vokasional;
d) intervensi konseling individual dan kelompok yang difokuskan
untuk memfasilitasi penyesuaian diri klien pada dampak medis
dan psikososial kecacatan;
e) manajemen kasus, referral, dan koordinasi pelayanan;
f) evaluasi program dan penelitian;
g) intervensi untuk menghilangkan hambatan lingkungan fisik dan
sosial yang dapat mencegah penyandang cacat memperoleh
pekerjaan;
h) memberikan layanan konsultasi kepada para pembuat
kebijakan;
i) analisis dan pengembangan jabatan, termasuk mengakomodasi
individu untuk memenuhi tuntutan pekerjaan; dan
j) memberikan konsultasi tentang teknologi rehabilitasi.
The Virginia Commonwealth University Department of
Rehabilitation Counseling (2005) menggariskan bahwa peran
konselor rehabilitasi mencakup:
a) Mengevaluasi potensi individu untuk hidup mandiri dan
bekerja;
b) Mengatur pelaksanaan perawatan medis dan psikologis,
asesmen vokasional, pelatihan dan penempatan kerja;
c) Mewawancarai dan mengadvis individu, menggunakan
prosedur asesmen, mengevaluasi laporan medis dan psikologis,
dan berkonsultasi dengan anggota keluarga;
d) Berunding dengan dokter, psikolog dan profesional lain tentang
jenis-jenis pekerjaan yang dapat dilakukan individu;
e) Merekomendasikan layanan rehabilitasi yang tepat termasuk
pelatihan khusus untuk membantu individu penyandang cacat
menjadi lebih mandiri dan lebih siap kerja;
f) Bekerjasama dengan pengusaha untuk mengidentifikasi
dan/atau memodifikasi kesempatan kerja dan jenis pelatihan
yang memungkinkan; dan
g) Bekerjasama dengan individu, organisasi profesi dan
kelompok-kelompok advokasi untuk membahas berbagai

12
hambatan lingkungan dan sosial yang menciptakan halangan
bagi para penyandang cacat.
c. Komunitas
1) Pengertian Komunitas
Definisi Komunitas menurut para ahli Komunitas merupakan
kelompok sosial dari berbagai organisme dengan bermacam-
macam lingkungan, pada dasarnya mempunyai habitat serta
ketertarikan atau kesukaan yang sama. Di dalam komunitas,
individu-individu di dalamnya mempunyai kepercayaan, kebutuhan
resiko, sumber daya, maksud, preferensi dan berbagai hal yang
serupa atau sama. Menurut Kertajaya Hermawan (2008),
komunitasiiadalahiisekelompok manusia yang memiliki rasa peduli
satu sama lain lebih dari yang seharusnya. Dapat diartikaniibahwa
komunitas adalahiikelompok orang yang saling mendukung dan
saling membantu antara satu sama lain.
Komunitas merupakan sarana untuk mencapai positive youth
development. Konformitas pada usia remaja menjadikan
lingkungan komunitas sebagai sarana dalam pembentukan psiko-
sosial, termasuk identitas dan penanaman nilai. Remajamembawa
energi tertentu dengan relasi(pertemanan) dan dunia sosial remaja
(Silbereisen, 2007). Herrling, dan Kuperminc (1997) menyatakan
keikutsertaan remaja dalam sebuah sesama, dan menghasilkan
karya. Schoolzone merupakan salah satu komunitas di Kota
Bandung yang potensial untuk mencapai PYD. Keterlibatan remaja
dalam schoolzone idealnya menjadi media untuk. untuk saling
mengembangkan keterampilan (competence), menjadi ahli dalam
bidang keradioan (confidence), peduli terhadap isu-isu remaja
(caring), belajar menjalin relasi (connection), memunculkan nilai-
nilai positif bagi remaja (character)dan belajar untuk berkontribusi
bagi lingkungan melalui kegiatan radio (contribution). Keterlibatan
remaja yang berarti dalam komunitas school zone merupakan kunci
untuk mencapai positive youth development. Kondisi scholzone
pada studi pendahuluan mengindikasikan fungsi komunitas sebagai
media pengembangan remaja yang positif belum nampak, sehingga
perlu diberikan intervensi terhadap komunitas yang memfasilitasi
anggota schoolzone untuk berkembang dalam komunitas.
Bimbingan dan konseling komunitas adalah serangkaian
kegiatan intervensi untuk membantu komunitas dengan
memanfaatkan potensi yang ada pada anggota komunitas (Lewis &
Lewis, 1989). Program bimbingan dan konseling komunitas
membantu anggota schoolzone mengoptimalkan keterlibatan dalam
komunitas, sebagai media untuk berkembang sesuai perspektif

13
positive youth development. Komunitas didorong untuk menjadi
lingkungan yang memberi kesempatan belajar, menggunakan
keterampilan yang dimiliki sebagai partisipasi terhadap lingkungan
masyarakat lebih luas. Hasil dari keterlibtan remaja dalam
komunitas yang mendukung perkembangan ialah sosok utuh
remaja yang memiliki aspekcompetence, confidence, character,
caring, connection, dan contribution.
Bimbingan konseling komunitas yang tepat untuk
mendukung positive youth development diperoleh setelah dua
siklus tindakan pada setiap fokus intervensi. Kegiatan dalam direct
community services meliputi 10 kegiatan dalam 12 sesi pertemuan,
yang sesuai dengan situasi komunitas. Indirect community services
memiliki lima kegiatan inti untuk membentuk orientasi,
menguatkan struktur, menegaskan peran setiap pihak yang terlibat,
dan menghimpun keterlibatan lembaga radio berserta penyiar
senior. Kegiatan dalam direct client services meliputi konseling
individual sebagai pengajaran remedial, dengan mengoptimalkan
fungsi kognitif untuk memunculkan pilihan perilaku solutif.
Pelaksanaan indirect client services ialah advokasi terhadap
kesempatan anggota untuk mengembangkan diri dalam komunitas.
Konseling komunitas mempunyai awal yang khas. Istilah ini
diciptakan pada awal tahun 1970-an pertama kali oleh Amos dan
Williams. Sayangnya istilah tersebut tidak spesifik awalnya.
Bahkan di ACA sampai saat ini tidak ada divisi konseling
komunitas apapun, tetapi sebagai gantinya di dalam divisi-divisi
ACA didirikan komite dan kelompok minat di bidang konseling
komunitas. Oleh karena begitu bervariasinya pekerjaan dan
spesialisasi mereka, para pelaksana konseling tetap saja lebih
menjadi latar belakang. Inilah yang membuat definisi konseling
komunitas lebih didasarkan pada lingkungan kerja daripada oleh
proses maupun orientasi
Menurut Muzafer Sherif di dalam buku Dinamika Kelompok
(2009:36), Kelompok sosial adalah suatu kesatuan sosial yang
terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi
sosial yang cukup intensif dan teraratur, sehingga di antara individu
itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur, dan norma-norma
tertentu. Komunitas juga suatu sistem sosial yang meliputi
sejumlah struktur sosial yang tidak terlembagakan dalam bentuk
kelompok atau organisasi dalam pemenuhannya melalui hubungan
kerjasama struktural, komunitas dapat berdiri sendiri dalam
hubungannya dengan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga sosial yang lebih besar.

14
2) Ciri ciri Komunitas
Dari buku Dinamika Kelompok karya Santosa (2009:37),
ciri-ciri komunitas menurut Muzafer Sherif dan George Simmel
adalah sebagai berikut:
a) Menurut Muzafer Sherif, ciri-ciri komunitas adalah sebagai
berikut:
(1) Adanya dorongan/motif yang sama pada setiap individu
sehingga terjadi interaksi sosial sesamanya dan tertuju
dalam tujuan bersama.
(2) Adanya reaksi dan kecakapan yang berbeda di antara
individu satu dengan yang lain akibat terjadinya interaksi
social
(3) Adanya pembentukan dan penegasan struktur kelompok
yang jelas, terdiri dari peranan dan kedudukan yang
berkembang dengan sendirinya dalam rangka mencapai
tujuan bersama.
(4) Adanya penegasan dan peneguhan norma-norma
pedoman tingkah laku anggota kelompok yang mengatur
interaksi dan kegiatan anggota kelompok dalam
merealisasi tujuan kelompok.
b) Menurut George Simmel, ciri-ciri Komunitas adalah
(1) Besar kecilnya jumlah anggota kelompok social
(2) Derajat interaksi sosial dalam kelompok social
(3) Kepentingan dan wilayah
(4) Berlangsungnya suatu kepentingan
(5) Derajat organisasi
d. Kesehatan
1) Pengertian Kesehatan
Konseling kesehatan mental adalah suatu bidang antar
disiplin baik dalam sejarahnya, lingkungan praktik,
pengetahuan/skil yang dimainkan (Spruill & Fong, 1990,p.19).
Konselor kesehatan mental bekerja dalam berbagai lingkungan
termasuk pusat kesehatan mental, lembaga komunitas, rumah sakit
psikiatris, organisasi yang menangani kesehatan mental (HMi Os)
program bantuan kerja (EAPs) program peningkatan kesehatan dan
kesejahteraan (HWPs) mereka memberi konseling pada berbagai
kelompok klien, termasuk korban pemerkosaan, keluarga yang
depresi, orang-orang yang berpotensi atau cenderung untuk bunuh
diri, mereka memberi konsultasi, mendidik, dan kadang-kadang
juga mengerjakan tugas ( Hosie, West, & Mackey, 1988;
West,Hosie mackey, 1987)

15
Konselor kesehatan mental mempunyai keahlian konseling dasar
selain keahlian khusus yang berkaitan dengan kebutuhan dan minat
dari populasi tertentu atau masalah tertentu.
2) Fungsi dan Teori
Konseling kesehatan mental difokuskan pada dua masalah
utama yang memiliki dampak teoritis sebagai berikut:
a) Pencegahan dan peningkatan kesehatan mental
b) Perawatan kelainan dan disfungsi. Kedua topik akan terus
menarik perhatian karena mempertimbangkan tugas utama
konselor kesehatan mental.
2. Standar Kompetensi Konselor Luar Sekolah
a. Implementasi Konseling Multikultural Untuk Anak Jalan
Konseling multikultural dapat didefinisikan sebagai peran dan
proses membantu yang menggunakan modalitas dan definisi tujuan
konsisten dengan pengalaman hidup dan nilai budaya klien,
menyadari identitas klien sebagai bagian dari dimensi pribadi,
kelompok, dan universal, yang mendukung penggunaan strategis dan
peran spesifik budaya dan universal dalam proses terapi, serta
menyeimbangkan pentingnya individualisme dan kolektivisme dalam
asesmen, diagnosis dan treatment pada klien maupun sistem mereka
(Sue & Torino, 2005).
Dalam proses konseling multikultural untuk anak jalanan
setidaknya ada tiga pendekatan yang efektif untuk digunakan, yaitu:
a) Pendekatan universal yang menekankan keuniversalan dalam
komunitas anak jalanan tersebut.
b) Pendekatan emik (kekhususan budaya), dimana konselor fokus
pada karakteristik khas dan kebutuhan-kebutuhan komunitas
anak jalanan tersebut.
c) Pendekatan inklusif, dengan menekankan keaktifan dalam
proses konseling (Palmer and Laugngani, 2008: 156).
Dan untuk model konseling pada anak jalanan, konselor
multikultural dapat mengadopsi pendapat Palmer & Laungani (2008: 97-
109), yang mengajukan tiga model konseling multikultural, yakni:
a) Model berpusat pada budaya (culture centred model), adalah
budaya barat yang menekankan individualisme, kognitifisme,
bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur menekankan
komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan
spiritualisme. Fokus utama model ini adalah pemahaman yang
tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi keyakinan dan
menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling anak jalanan
diharapkan adanya pemahaman konselor terhadap akar budaya

16
mereka sehingga mereka dapat mengevaluasi diri masing-
masing untuk pemahaman identitas dan keunikan cara pandang
masing-masing.
b) Model integratif (integrative model), menurutnya yang
menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang
tepat terhadap pengalaman yang menjembatani individu
berkembang, baik yang disadari atau pun yang tidak disadari,
yang oleh jung (1972) diistilahkan dengan, kesadaran kolektif.
Dalam konseling anak jalanan diharapkan konselor
multikultural memiliki kemampuan mengakses nilai-nilai
budaya tradisional yang mereka miliki.
c) Model etnomedikal (ethnomedical model), konseling model ini
berorientasi pada pandangan tentang memfasilitasi dialog
terapeutik dan peningkatan sensivitas transkultural. Dalam
konseling anak jalanan, jika menggunakan model ini maka
mereka dikonsepsi sakit dalam budaya.
b. Definisi Konselor Adiksi
Konselor merupakan seorang tenaga profesional yang memberikan
bantuan kepada klien yang mengalami kesulitan atau permasalahan
yang tidak bisa diatasi sendiri dengan tujuan untuk memecahkan
permasalahan. Sedangkan konselor adiksi adalah orang yang bertugas
melaksanakan kegiatan rehabilitasi kecanduan atau ketergantungan
secara fisik dan mental terhadap suatu zat dan memiliki kompetensi di
bidang Kesehatan dan sosial yang mengkhususkan diri dalam
membantu orang dengan ketergantungan narkoba, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya.
c. Peran Konselor Adiksi
Menurut Baruth dan Robinson peran adalah apa yang diharapkan
dari posisi yang dijalani seorang konselor dan presepsi dari orang lain
terhadap posisi konselor tersebut. Artinya bahwa konselor
melaksanakan tugasnya dan kewajibannya sesuai dengan posisinya
maka dia telah menjalankan suatu peranan. Peranan konselor
dikonseptualisasikan kedalam tujuan ataupun hal yang hendak dicapai
dalam proses penyembuhan. Pandangan Wrenn, fungsi dan peran
konselor berbeda. Konsep peran ditekankan pada suatu bagian akhir
yang dituju, sedangkan fungsi menegaskan kegiatan atau aktifitas
yang ditunjukan bagi suatu peran. bahwasanya dari hasil penelitian
didapatkan peran konselor adiksi dalam menangani pecandu narkoba
sebagai berikut:
a) Melakukan Pendampingan Memperkenalkan program serta
melakukan pendampingan ketika klien mengikuti program
kegiatan yang sudah dijadwalkan.

17
b) Melakukan Assesment. Assesment sangat penting dilakukan
agar konselor mengetahui skala prioritas dari masalah klien.
Assesment yang dilakukan oleh team assessor sebelum
klien melakukan program merupakan data awal dari
konselor pendamping untuk mengetahui permasalahan
masalah klien. Assesment yang dilakukan oleh konselor
berupa wawancara yang mendalam dengan menggali
masalah adiksi klien, keadaan keluarganya, dirinya, dan
lingkungan pergaulannya.
c) Melakukan Monitoring. Monitoring adalah suatu proses
menganalisa dan memantau keadaan klien mulai dari
bangun pagi sampai tidur kembali. Agar konselor
mengetahui perkembangan setiap klien yang menjalani
program.
d) Melakukan Home Visit. Home visit dilakukan untuk
mengetahui bagaimana tanggapan keluarga klien ketika
melakukan rehabilitasi. Hal tersebut juga dilakukan untuk
memberikan pemahamn kepada orang-orang sekitar klien
untuk tidak berstigma negatif demi menunjang keberhasilan
pemulihan klien.
e) Melakukan konseling. Konseling dilakukan bertujuan untuk
membantu klien dalam memberikan solusi terhadap
masalah yang dihadapi, sehingga klien dapat kembali
tenang dan semangat dalam menjalani proses rehabilitasi.
3. Batasan Profesional Konselor Luar Sekolah
Di dalam konselor luar sekolah terdapat konseling keluarga. Disini
yang akan di bahas dari salah satu konseling di luar sekolah adalah
konseling keluarga. Dalam beberapa literatur, keluarga adalah metode
yang dirancang dan difokuskan pada keluarga dalam usaha untuk
membantu memecahkan permasalahan klien dalam keluarga. Masalah
yang muncul dalam konseling keluarga ini pada dasarnya bersifat pribadi
karena dialami oleh klien itu sendiri. Akan tetapi, konselor menganggap
permasalahan yang dialami klien tidak semata disebabkan oleh klien
sendiri, melainkan dipengaruhi oleh sistem yang terdapat dalam keluarga
klien. Sehingga keluarga diharapkan ikut serta dalam menggali dan
menyelesaikan masalah klien (Lubis, 2011). Konseling keluarga
merupakan salah satu aplikasi dari perkembangan konseling. Capuzzi
mengatakan perkembangan konseling keluarga di Amerika terjadi sejak
tahun 1950-an yang dikembangkan oleh beberapa ahli antara lain: Nathan
Ackerman, Theodore Lidz, Lyman Wynne, Murray Bowen, dan Carl
Whitaken. Tokoh-tokohtersebut pada umumnya adalah para psikiater yang
menganut paham psikoanalisis untuk mengembangkan konseling keluarga
dan perkawinan (Lubis, 2011).

18
Apabila dilihat lebih jauh, dalam konseling keluarga terdapat
pemahaman bahwa keterlibatan seluruh anggota keluarga sangat
dibutuhkan dalam konseling. Adanya dukungan keluarga ini bukan saja
bisa mendatangkan solusi yang diharapkan, tapi juga dapat menanamkan
rasa tanggung jawab setiap anggota keluarga untuk ikut terlibat dalam
memecahkan masalah bersama. Dengan kata lain, klien konseling tidak
lagi memecahkan masalahnya sendiri melainkan memperoleh dukungan
dan kerjasama yang baik dari pihak keluarganya. Pendekatan yang
melibatkan seluruh anggota keluarga ini lazim dilakukan pada Multi-
Systemic Therapy (MST), Cognitive Behaviour Therapy (CBT), Structural
Family Therapy (SFT), Experiential Family Therapy (EFT), Solution
Focused Brief Therapy (SFBT), ataupun Narrative Therapy (Evans dkk.,
2012).
Konseling keluarga, dengan demikian adalah upaya bantuan yang
diberikan kepada individu anggota keluarga melalui sistem keluarga,
terutama melalui pembenahan komunikasi keluarga, agar potensi semua
anggota keluarga dapat berkembang seoptimal mungkin. Lalu pada
gilirannya masalah yang ada juga dapat diatasi atas dasar kemauan
membantu dari semua anggota keluarga berdasarkan kerelaan dan
kecintaan terhadap keluarga. Dalam hal ini, berbagai faktor keluarga, baik
yang positif maupun yang negatif, seperti kohesi keluarga, konflik
keluarga, pola pengasuhan, kondisi lingkungan, dan lainnya, dapat
berdampak pada perkembangan anggota keluarga itu sendiri (Kelchner
dkk., 2020). Kondisi seperti inilah yang membuat konseling seringkali
dirancang sebagai metode khusus yang difokuskan pada keluarga sebagai
usaha para terapis untuk membantu memecahkan masalah perilaku klien.
Dengan demikiankonseling keluarga merupkan proses bantuan yang
diberikan kepada individu anggota keluarga dalam memecahkan masalah
keluarga yang dihadapinya (Rahayu, 2017; Evans dkk., 2012). Konseling
keluarga memandang keluarga sebagai kelompok tunggal yang tidak dapat
dipisahkan sehingga diperlukan sebagai satu kesatuan. Maksudnya adalah,
apabila salah satu anggota keluarga memiliki masalah, maka hal itu
dianggap.
Berdasarkan hasil studi literatur yang ada, dapat dipahami bahwa
pentingnya konseling keluarga adalah untuk membantu keluarga melewati
situasi-situasi krisis dalam keluarga, menemukan solusi yang tepat,
mengeluarkan potensi terbaik keluarga yang masih terpendam,
mengembangkan kemampuan bekerjasama sebagai satu keluarga, ataupun
berbagi peran dan tanggung jawab yang lebih adil. Karena itu, dalam
berbagai teknik, metode, model, atau pendekatan konseling dalam
keluarga, para terapis pada umumnya lebih berfokus pada upaya
mendorong kehadiran keluarga dalam pemecaha masalah secara bersama-
sama. Hal ini berarti suatu keluarga memerlukan pembagian peran dan
fungsi keluarga yang baik, memastikan semua kebutuhan terpenuhi, atau
menjalin komunikasi yang positif untuk penanganan persoalan secara lebih

19
efektif. Pembagian peran dan fungsi dalam keluarga ini juga tidak
otomatis menjadikan salah satu pihak lebih tinggi dibandingkan yang lain.
Ditemukan pula bahwa ketahanan keluarga dan konseling keluarga
memiliki kaitan utilitas yang bisa membantu keluarga dalam menghadapi
berbagai persoalan untuk meningkatkan ketahanannya. Meski demikian,
perlu diperhatikan bentuk konseling keluarga yang tepat, termasuk teknik,
model, dan pendekatan yang digunakan dalam konseling tersebut.
Beberapa model dan teknik konseling menunjukkan bahwa ketepatan
pemilihan konseling dan konteks klinis keluarga akan menentukan dampak
dari konseling tersebut bagi ketahanan keluarga itu sendiri.
Secara lebih khusus, hasil riset sederhana ini juga menunjukkan
bahwa berbagai bentuk terapi atau konseling untuk menangani
problematika rumah tangga, memerlukan pertimbangan-pertimbangan
seperti: (1) fleksibilitas terapi untuk beragam latar persoalan yang tidak
sama antara satu keluarga dengan lainnya; (2) sifat humanistik dari terapi
agar lebih mampu menyentuh sisi terdalam pasien dan tidak semata
terpaku pada prosedur ilmiah yang ketat; (3) keadilan dalam memandang
persoalan; dan (4) melibatkan pertimbangan konteks lokal-kultural yang
secara sistemik berdampak pada keluarga dan ketahanan keluarga itu
sendiri
C. Kesimpulan

20

Anda mungkin juga menyukai