Anda di halaman 1dari 13

ETIKA PROFESI KONSELING DALAM SETING TRAUMATIK

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Konseling Traumatik”

Dosen Pengampu: Adif Jawadi Saputra, M.Pd., Kons

Disusun Oleh:

KELOMPOK 3

1. Apriyanti Purba 0102181006


2. Cindy Indah Sari Galingging 0102181014
3. Faradila Gusriani B. Bara 010218101
4. Fitri Hayani Dalimunthe 0102181031
5. Muhammad Zahid Mubarak 0102181015
6. Subandi 0102181008

JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabil’alamin, Puji syukur kepada Allah SWT yang telah


memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “Etika Profesi Konseling Dalam Seting Traumatik”.
Sholawat serta salam marilah kita curahkan kepada junjungan kita, Nabi besar
Muhammad SAW semoga kita mendapat syafaat beliau di akhirat kelak.

Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban kami dalam


proses perkuliahan pada mata kuliah Konseling Traumatik. Dan juga diharapkan
makalah ini dapat memberikan pemahaman kepada kita bersama tentang Etika
Profesi Konseling Dalam Seting Traumatik. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih ada kekurangan, untuk itu penulis menerima apabila
ada saran dan kritik dari pembaca, guna mengevaluasi tulisan kami agar lebih baik
lagi.

Medan, 6 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

ii

D. Etika Profesi Dalam Seting Trauma

B. Saran................................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konseling merupakan profesi yang dinamis yang berhubungan dengan kejiwaan,


perilaku serta tragedi manusia. Di masa sekarang ini, konseling tidak hanya
memberikan bimbingan untuk membantu seseorang menentukan pilihan yang
bijaksana dalam hidupnya tetapi konseling merupakan profesi yang didedikasikan
terhadap pencegahan, perkembangan, ekplorasi, pemberdayaan, perubahan dan
remediasi di dunia yang semakin kompleks ini.

Pelayanan konseling telah mendapat tempat di semua jenjang pendidikan dan


berkembang pesatnya masyarakat yang semakin maju sehingga amat luasnya
kebutuhan masyarakat yang menuntut profesi konseling untuk menyesuaikan diri
kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakat karena konseling tidak hanya dibutuhkan
dalam setting pendidikan tetapi juga dalam setting kehidupan masyarakat., oleh
karena itu pada pelaksanaan bimbingan dan konseling idealnya dilakukan oleh
seorang konselor yang telah menempuh pendidikan program sarjana bimbingan dan
konseling serta pendidikan profesi konselor (PPK).

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa pengertian etika profesi konseling ?


2. Apa tujuan dan mamfaat etika profesi konseling ?
3. Apa saja keterampilan dalam konseling traumatik ?
4. Bagaimana etika profesi dalam seting trauma?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:

1. Untuk mengetahui apa pengertian etika profesi konseling.


2. Untuk mengetahui apa tujuan dan mamfaat etika profesi konseling.
3. Untuk mengetahui apa saja keterampilan dalam konseling traumatik.
4. Untuk mengetahui agaimana etika profesi dalam seting trauma.
BAB II
PEMBAHASAN

A. ETIKA PROFESI
1. Pengertian Etika

Etika berasal dari bahasa yunani ethos dengan bentuk jamaknya yang
memiliki arti kebiasaan, etika sering dikaitakan dengan kata moral juga yang
memiliki arti yang sama yaitu kebiasaan, akan tetapi makna etika dan moral
secara luas memilki arti yang berbeda, karena etika memiliki makna yang lebih
luas daripada moral, etika bisa saja mencakup kepada motif-motif seseorang
melakukan sikap tersebut beda halnya dengan moral yang terbatas pada sikap
tindak lahiriah seseorang.

Dalam perspektif islam etika masuk kedalam Akhlak karena etika merupakan
perbuatan manusia secara lahiriah baik itu etika ketika beribadah kepada Allah,
kepada sesama orang dan lainnya sebagainya, oleh karena itu etika dalam islam
lebih luas pengertiannya dari pada sebelumnya.

Oleh karena itu Abdullah Salim berpendapat bahwa dalam islam terdapat 4
akhlak islami diantaranya:

a) Etos yaitu hubungan yang mengatur antara manusia dengan sang pencipta.
b) Etis yaitu hubungan yang mengatur sikap seseorang terhadap dirinya dan
terhadap sesamanya dalam kehidupan sehari-hari
c) Moral yaitu hubungan yang mengatur antar sesamanya tetapi berlainan
jenis atau menyangkut kehormatan pribadi
d) Estetika yaitu hubungan yang mengatur rasa keindahan yang dapat
mendorong seseorang untuk meningkatkan keadaan dirinya serta
lingkungan sekitarnya.1

Etika merupakan analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik,
buruk, beserta tanggung jawab. Rindjin dalam buku Hermawan S & Zen:2006
menyatakan bahwa etika memiliki banyak arti, tetapi yang paling utama
merupakan kebiasaan, akhlak ataupun watak. Sedangkan profesi merupakan suatu
pekerjaan yang memerlukan keahlian dan tanggung jawab. 2

2. Pengertian Profesi

1
Serlika Aprita. “Etika Profesi Hukum” (Palembang: Refika 2009). Hal, 7.
2
Nur’aini, “Etika Pustakawan Dengan Organisasi Profesi Kantor Perpustakaan Daerah
Kabupaten Sleman”, JIPI ( Jurnal ilmu perpustakaan dan informasi ), Vol 3 No 2, 2018.
Secara etimologi profesi berasal dari bahasa Inggris profession atau bahasa
Latin profecus yang berarti mengakui, pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli
dalam melaksanakan pekerjaan tertentu.3 Menurut Yamin (20-21:2006), kata
profesi identik dengan kata keahlian. 4 Prayitno & Erman (2004) juga menyatakan
bahwa profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian
dari para petugasnya.5 sedangkan secara terminologi profesi adalah suatu
pekerkaan yang mempersyaratkan pekerja tinggi bagi pelakunya yang ditekankan
pada pekerjaan mental.6
Beda halnya profesis secara sosiologi yang mana profesi menurut sosiologi
merupakan jenis model pekerjaan yang ideal, karena untuk mendapatkan hal
tersebut harus dengan penuh perjuangan dan professional dalam bidangnya.

Profesi merupakan suatu pekerjaan tetap dalam kurun jangka waktu yang
lumayan panjang yang didasarkan pada keahlian khusus yang diperoleh melalui
pendidikan tertentu sesuai dengan profesinya, dalam menjalankan profesi
seseorang harus memiliki sikap profesionalisme dimana kepentingan pribadi
harus dikesampingkan terlebih dahulu demi mewujudkan jiwa yang kompeten
terhadap profesinya.7

3. Pengertian Etika Profesi

Etika profesi merupakan sikap hidup berupa keadilan untuk dapat


memberikan pelayanan professional terhadap masyarakat dengan penuh
ketertiban serta dengan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melakukan
tugas kewajiban terhadap masyarakat.

3
Mungin Eddy Wibowo, Profesi Konseling Abad 21, vol. 148 (Semarang: Unnes Press, 2018).
hal. 118.
Indrianto Setyo Basori et al., Profesi Kependidikan, ed. Luluk Lailatul Mabruroh (Malang:
4

Ahlimedia Press, 2021). hal. 1.


5
Suharni and Ratih Christiana, Profesionalisasi Bimbingan Dan Konseling, ed. Asroful
Kadafi (Jawa Timur: UNIPMA Press, 2020). hal. 9.
6
Alma Buchari, “Guru Profesional, Edisi Revisi (Bandung: Alfabeta 2012). Hal, 115.
7
Ibid. Hal, 17.
Sedangkan secara umum etika profesi merupakan suatu sikap etis yang
dimiliki seorang professional sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam
mengemban dan menjalankan tugasnya dan juga menerapkan norma-norma
khusus dalam kehidupan manusia.

Maka dapat disimpulkan bahwa etika profesi merupakan aturan, norma-


norma, dan ketentuan-ketentuan yang mengikat dan harus dipenuhi individu
dalam kelompok kerjanya. Pada prinsipnya etika profesi dibuat untuk mengatur
tingkah laku, moral individu dalam kerjanya yang diharapkan akan dipegang
teguh oleh individu tersebut.

B. Fungsi Etika Profesi

Surmayono mengemukan fungsi pentingnya etika profesi yaitu sebagai sarana


kontrol sosial, sebagai pencegah campur tangan pihak lain, dan sebagai pencegah
kesalahpahaman serta konflik. Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad yaitu
sebagai pencegah konflik antara sesama anggota kelompok profesi, atau antara
anggota kelompok profesi dan masyarakat.

Fungsi etika profesi diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Sebagai pedoman bagi seluruh anggota profesi tentang prinsip-prinsip


profesionalitas yang ditetapkan.
2. Sebagai sebuah alat kontrol sosial bagi masyarkat umum terhadap profesi
tertentu
3. Sebagai sarana untuk dapat mencegah campur tangan dari pihak lain diluar
organisasi, terkait hubungan etika diadalam keanggotaan suatu profesi.
Etika profesi dilakukan untuk mengembangkan sikap, norma, atau kebiasaan yang
ditunjukkan sesuai dengan profesi. Etika profesi bertujuan untuk meningkatkan
intlektual dalam berfikir para anggota profesi dan bertindak secara jujur serta
bertanggung jawab. Secara spesifik tujuan etika profesi adalah sebagai berikut:
1. Menjunjung tinggi martabat suatu profesi
2. Menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota profesi
3. Meningkatkan pengabdian para anggota profesi
4. Meningkatkan mutu profesi
5. Meningkatkan mutu organisasi profesi
6. Meningkatkan layanann diatas keuntungan pribadi
7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat
8. Menentukan baku standarnya sendiri.8

C. Keterampilan Dalam Konseling Traumatik

Dalam konseling traumatik, konselor sebagai pemberi layanan harus memiliki


keterampilan dasar. Keterampilan yang dimiliki oleh seorang konselor adalah :

1. Pandangan yang realistic


Konselor hendaknya memiliki pandangan yang realistic terhadap peran
mereka dalam membantu orang yang mengalami trauma. Keterampilan ini beguna
bagi konselor untuk memahami kelemahannya dan kelebihannya dalam
membantu orang yang mengalami trauma. Kelebihan Konselor dibandingkan
dengan keluarga dan teman orang yang mengalami trauma adalah konselor dapat
membantu orang yang sedang mengalami trauma. Namun dipihak lain, konselor
harus mengakui beberapa keterbatasan yang dimilikinya dalam membantu orang
yang mengalami trauma. Keterbatasan-keterbatasan yang dimaksud itu antara lain
sebagai berikut :

a. Konselor kurang memiliki data yang lengkap tentang kelemahan kepribadian


klien sebelum mengalami trauma

Niru Anita Sinaga, 2020 “Kode Etika Sebagai Pedoman Pelaksanaan Profesi Hukum Yang
8

Baik”, (Jurnal Ilmiah Hukum Birgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal


Suryadarma), Vol 10 No 2
b. Konselor tidak dapat mengontrol pemicu trauma, karena pemicu trauma itu
adalah peristiwa obyektif yang telah dialami klien
c. Konselor tidak dapat mengontrol reaksi keluarga dan teman klien pada saat
klien mengalami trauma
2. Orientasi yang holistic
Konselor konseling traumatic dalam bekerjanya harus holistik. Kondisi
trauma pada diri klien bukan harus dihadapi secara berlebihan atau sebaliknya.
Dalam konseling traumatik konselor harus menerima berbagai bantuan dari
berbagai pihak demi kesembuhan klien. Kadangkadang klien lebih tepat untuk
dirujuk kepada psikiatrik untuk disembuhkan dengan pendekatan medis. Mungkin
juga klien lebih tepat dirujuk kepada ulama atau pendeta untuk memenuhi
kebutuhan aspek spiritualnya. Dengan memperhatikan kondisi konseli secara
holistik, konselor untuk dapat bekerjasama dengan berbagai ahli yang ada di
masyarakat untuk membantu kesembuhan kliennya
3. Fleksibilitas
Konseling traumatic memerlukan fleksibelitas. Karena keterbatasan
keterbatasan yang ada, konseling traumatik mungkin lebih fleksibel dalam
pelaksanaannya. Karena keterbatasan tempat, mungkin konseling melalui telepon
akan lebih tepat. Karena keterbatsan waktu, ada kemungkinan terjadi perubahan
waktu dalam konseling. Kemungkinan konseling di rumah klien terjadi dari pada
di kantor konselor. Perpanjangan waktu dalam setiap sesi konseling mungkin saja
terjadi. Melibatkan keluarga dalam sesi konseling mungkinsaja terjadi dan
konselor memberikan sugesti pada klien juga bias terjadi. Dalam konseling
traumatik, konselor tidak banyak waktu untuk melakukan konfrontasi, berlama-
lama, nondirektif, interpretasi perilaku dan mimpi, dan tidak terlalu
mempermasalahkan terjadinya transferensi antara klien dan konselor. Kondisi
trauma menuntut konselor untuk bertindak cepat menangani klien

4. Keseimbangan antara empati dan ketegasan


Konseling traumatic membutuhkan keseimbangan yang kuat antara empati
dan ketegasan. Konselor harus mampu melihat kapan dia harus empati dan kapan
dia harus tegas dalam mengarahkan klien untuk kesembuhan klien. Kalau
konselor terlalu hanyut dengan perasaan klien, maka konselor akan mengalami
kesulitan Dalam membantu klien. Begitu juga apabila konselor tidak tepat
waktunya dalam memberikan arahan yang tegas pada klien maka konseling akan
tidak efektif. Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang
dirasakan klien, merasa dan berfikir bersama klien.

Empati ada dua macam yaitu: empati primer dan empati tingkat tinggi. Empati
primer yaitu suatu bentuk yang hanya memahami perasaan, pikiran, keinginan dan
pengalaman klien. Tujuannya agar klien terlibat pembicaraan dan terbuka
padakonselor. Adapun empati tingkat tinggi adalah keikutsertaan konselor dalam
merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan kliennya. Adapun
ketegasan untuk mengarahkan klien adalah kemampuan konselor untuk
mengatakan kepada klien agar klien berbuat sesuatu atau dengan kata lain
mengarahkannya agar klien melakukan sesuatu. Proses konseling traumatik
terlaksana karena hubungan konseling berjalan dengan baik, proses konseling
traumatic merupakan peristiwa yang tengah berlangsung dan memberi makna bagi
konseli yang mengalami trauma dan memberi makna pula bagi konselor yang
membantu mengatasi trauma konselinya tersebut.9

D. Etika Profesi Konseling Dalam Seting Traumatik

Etika konseling harus melibatkan kesadaran dan komitmen untuk memelihara


pentingnya tanggung jawab melindungi kepercayaan klien (client trust). Seorang
konselor harus menyadari akan kemungkinan pengaruh tindakannya terhadap status
klien pada saat ini dan yang akan datang, dan harus mampu membuat judgmen
moral/etik. Kode etik suatu profesi muncul sebagai wujud self-regulation dari profesi

9
Etty, Setiawati. Konseling Traumatik (Pendekatan Traumatik). 2016. Yogyakarta
itu. Suatu organisasi profesi harus mengembangkan kode etik secara fair. Kode etik
merupakan aturan yang melindungi profesi dari campur tangan pemerintah,
mencegah ketidaksepakatan internal di dalam suatu profesi, dan melindungi/
mencegah para praktisi dari perilaku-perilaku malpraktek. Kode etik propfesional
merupakan variabel kognitif yang penting yang akan mempengaruhi pertimbangan
etis dari seorang (konselor) profesional. Kode etik menyiapkan panduan berkenaan
dengan parameter etik profesi.

Ada 3 alasan mengapa etika perlu.

1. Tidak ada kesatuan tatanan normatif sehingga kita berhadapan dengan banyak
pandangan moral yang sering saling bertentangan. Dalam situasi demikian
kita sering bingung, tatanan norma dan pandangan moral mana yang harus
diikuti. Untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-
pandangan moral tersebut, etika diperlukan.
2. Etika diperlukan untuk membantu kita agar tidak kehilangan orientasi dalam
situasi transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya tradisional ke
modern dan dapat menangkap makna hakiki dari perubahan nilai-nilai serta
mampu mengambil sikap yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Etika dapat membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi baru secara
kritis dan objektif serta untuk membentuk penilaian.10

10
Franz Mgnis-Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Kanisius:
Yogyakarta, 1987), hlm. 15-16.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai