Anda di halaman 1dari 17

MODEL KONSELING BEHAVIOR

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

Model-Model Konseling

Dosen pengampu :

Akhmad Rizkhi Ridhani, M.Pd., Kons

Oleh :

Kelompok 2

Tasya Maulida 2102020030

Dina Wulandari 2102020021

Kelas Non Reguler Banjarmasin C

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARY

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu
tanpa ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Akhmad Rizkhi


Ridhani, M.Pd., Kons sebagai dosen pengampu mata kuliah Model-Model
Konseling yang telah membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam
penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga
apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Banjarmasin, 16 Maret 2023

Kelompok 2
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ...................................................................................... 4
1.2 RUMUSAN MASALAH .................................................................................. 7
1.3 TUJUAN ........................................................................................................... 7

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN KONSELING BEHAVIOR..................................................... 8
2.2 KARAKTERISRIK KONSELING BEHAVIOR.............................................9
2.3 TUJUAN KONSELING BEHAVIOR..............................................................10
2.4 TEKNIK KONSELING BEHAVIOR...............................................................11
2.5 LANGKAH LANGKAH KONSELING BEHAVIOR.....................................13
BAB 3 PENUTUP
A. KESIMPULAN ....................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 17
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hakikat manusia dalam pandangan para behaviorist adalah pasif dan


mekanistis, manusia dianggap sebagai sesuatu yang dapat dibentuk dan
diprogram sesuai dengan keinginan lingkungan yang membentuknya. Lebih
jelas lagi penjelaskan tentang hakikat manusia dalam pandangan teori
behavioristik sebagai berikut: dalam teori ini menganggap manusia bersifat
mekanistik atau merespon kepada lingkungan dengan kontrol terbatas, hidup
dalam alam deterministic dan sedikit peran aktifnya dalam memilih
martabatnya. Manusia memulai kehidupnya dengan memberikan reaksi
terhadap lingkungannya,dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang
kemudian membentuk kepribadian. Perilaku seseorang ditentukan oleh banyak
dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.

Behaviorisme sendiri adalah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh


John B. Watson pada tahun 1913 yang kemudian digerakkan oleh Burrhus
Frederic Skinner. Behaviorisme lahir sebagai reaksi atas psikoanalisis yang
berbicara tentang alam bawah yang tidak tampak. Behaviorisme ingin
menganalisis bahwa perilaku yang tampak saja yang dapat diukur, dilukiskan
dan diramalkan. Para ahli behavioristik memandang bahwa gangguan tingkah
laku adalah akibat dari proses belajar yang salah. Oleh karena itu, perilaku
dapat diubah dengan mengubah lingkungan lebih positif sehingga perilaku
menjadi positif pula. Perubahan tingkah laku inilah yang memberikan
kemungkinan dilakukannya evaluasi atas kemajuan klien secara lebih jelas.

Proses konseling akan berjalan efektif jika konselor memahami dan


menguasai pendekatan teoretik dalam konseling. Pendekatan behavioristik
banyak mendapatkan kritik tetapi sekaligus dukungan. Kritik yang ditujukan
kepada pendekatan behavioristik difokuskan pada cara pandang terhadap
manusia yang kemudian berimplikasi pada teknik-teknik konseling yang
digunakan. Perkembangan pendekatan behavioristik kontemporer berusaha
untuk menempatkan manusia dalam dimensi yang lebih tinggi dibandingkan
konsep tentang manusia pada awal kemunculan behavioristik. Namun
demikian pendekatan behavioristik menjadi salah satu pendekatan yang masih
dominan dalam konseling dan psikoterapi. Perkembangan pendekatan ini
memiliki kontribusi besar dalam mencapai target konseling untuk mencapai
perubahan pikiran, perasaan dan perilaku. Konseling behavioral di dalam
pendekatan konseling ini dimaksudkan agar seseorang mempelajari tingkah
laku individu dengan berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum
belajar, di antaranya pembiasaan klasik, pembiasaan operan, dan peniruan.
Konseling behavioral ini memiliki tujuan untuk menghapus atau
menghilangkan tingkah laku maladaptif atau masalah dan digantikan dengan
tingkah laku baru yang adaptif dan diinginkan klien.

Pendekatan behavioral berfokus pada pengubahan tingkah laku dengan


menekankan pada pemberian penghargaan bagi konseli ketika melakukan suatu
kegiatan yang baik dan memberi konsekuensi untuk mencegah konseli agar
tidak melakukan kegiatan yang buruk. James dan Gilliland (dalam Sundari,
2017) juga mengatakan pada dasarnya konseling behavioral diarahkan pada
tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku yang
maladaptif, serta memperkuat/mempertahankan tingkah laku yang diinginkan.
Sedangkan menurut Corey (dalam Wiladantika, Dharsana, & Suranata,
2014) konseling behavioral adalah teori yang menekankan tingkah laku
manusia yang pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan dan
segenap tingkah lakunya itu dipelajari/diperoleh karena proses latihan. Selain
itu teknik latihan asertif yang digunakan dalam penelitian ini merupakan teknik
yang dapat membantu siswa untuk mengungkapkan perasaannya. Rini (dalam
Khan, 2012) juga mengemukakan bahwa sikap asertif adalah kemampuan
untuk mengutarakan keinginannya, apa yang dirasakan, dan apa yang
dipikirkan terhadap orang lain namun harus menjaga dan menghargai hak-hak
serta perasaan orang lain.

Pada tahun 1950-an banyak eksperimen yang dilakukan oleh psikolog


dan terapis dalam upaya pengembangan potensi manusia, Salah satu temuan
baru yang didapatkan adalah menganggap pentingnya faktor belajar pada
manusia, di mana untuk memperoleh hasil belajar yang optimal diperlukan
reinforcement sehingga teori ini menekankan pada dua hal dua hal penting
yaitu learning dan reinforcement serta tercapainya suatu perubahan perilaku
(behavior). Dalam perkembangan lebih lanjut teori ini dikenal dengan behavior
therapy dalam kelompok paham behaviorisme, yang dikembangkan melalui
penelitian eksperimental.

Corey (2005) menjelaskan bahwa proses konseling yang terbangun


dalam pendekatan behavioristik terdiri dari empat hal yaitu ; (1) tujuan terapis
diarahkan pada memformulasikan tujuan secara spesifik, jelas, konkrit,
dimengerti dan diterima oleh konseli dan konselor, (2) peran dan fungsi
konselor/terapis adalah mengembangkan keterampilan menyimpulkan,
reflection, clarification, dan open-ended questioning, (3) kesadaran konseli
dalam melakukan terapi dan partisipasi konselor ketika proses terapi
berlangsung akan memberikan pengalaman positif pada konseli dalam terapi,
dan (4) memberi kesempatan pada konseli karena kerjasama dan harapan
positif dari konseli akan membuat hubungan terapis lebih efektif.

Sedangkan menurut Ivey (1987) menjelaskan bahwa kesuksesan dalam


melakukan konseling dengan pendekatan behavioristik didasarkan pada ; (1)
hubungan antara konselor dengan konseli, (2) operasionalisasi perilaku
(making the behavior concrete and observable), (3) analisis fungsional (the A-
B-Cs of behavior), dan (4) menetapkan tujuan perubahan perilaku (making the
goals concrete). Woolfe dan Dryden (1998) menegaskan bahwa dalam
kerangka hubungan antara konselor-konseli secara bersama-sama harus
konsisten dalam hal, pertama; konseli diharapkan untuk memiliki perhatian
positif (minat), kompetensi (pengalaman) dan aktivitas (bimbingan), kedua;
konselor tetap konsisten dalam perhatian positif, self-disclosure (engagement)
dan kooperatif (berorientasi pada tujuan konseli
1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah berisi pertanyaan-pertanyaan penting yang terkait


dengan sub-sub yang akan dibahas pada BAB II Pembahasan. Rumusan
masalah dituliskan dengan poin-poin berikut:

a. Apa itu konseling behavior?

b. Bagaimanakah karakteristik konseling behavior tentang tingkah

laku manusia?

c. Apa saja tujuan dari konseling behavior?

d. Bagaimana teknik yang digunakan dalam konseling behaviour?

e. Apa saja langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam konseling

behavior?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan berisi pernyataan-pernyataan penting yang berisi


jawaban dari dari Rumusan masalah. Tujuan penulisan dituliskan dengan poin-
poin sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui apa itu konseling behavior

b. Untuk memahami karakteristik tingkah laku manusia

c. Untuk mengetahui tujuan dari konseling behavior

d. Untuk mengetahui teknik yang digunakan dalam konseling

behavior

e. Untuk mengetahui langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam

konseling behaviour
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konseling Behavior

Menurut American School Conselor Assosiation (ASCA), konseling adalah


hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan
pemberian kesempatan dari konselor kepada klien, konselor mempergunakan
pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu kliennya dalam mengatasi
maslahmasalahnya (Juntika, 2003).

Sedangkan behavior, behavioral atau behaviorisme adalah satu pandangan


teoritis yang beranggapan, bahwa persoalan psikologi adalah tingkah laku, tanpa
mengaitkan konsepsi-konsepsi mengenai kesadaran dan mentalitas (Chaplin, 2002).
Teori behavioristik dapat menangani kompleksitas masalah klien mulai dari
kegagalan individu untuk belajar, merespon secara adaptif hingga mengatasi masalah
neorosis. Adapun aspek penting dari terapi behavioristik adalah bahwa perilaku dapat
didefinisikan secara operasional, diamati dan diukur.

Konseling behavior adalah sebuah proses konseling (bantuan) yang diberikan


oleh konselor kepada klien dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tingkah
laku (behavioral), dalam hal pemecahan masalah-masalah yang dihadapi serta dalam
penentuan arah kehidupan yang ingin dicapai oleh diri klien. Konseling behavioral
merupakan suatu proses membantu orang untuk belajar memecahkan masalah
interpersonal, emosional, dan keputusan tertentu (Surya, 2003).

Konseling behavior merupakan suatu teknik terapi dalam konseling yang


berlandaskan teori belajar yang berfokus pada tingkah laku individu untuk membantu
konseli mempelajari tingkah laku baru dalam memecahkan masalahnya melalui
teknik-teknik yang berorientasi pada tindakan. Behavior berpandangan, pada
hakikatnya kepribadian manusia adalah perilaku. Dimana perilaku tersebut
merupakan hasil dari bentukan pengalaman interaksi individu dengan lingkungan
sekitarnya.
Behaviorisme sendiri adalah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John
B. Watson pada tahun 1913 yang kemudian digerakkan oleh Burrhus Frederic
Skinner. Behaviorisme lahir sebagai reaksi atas psikoanalisis yang berbicara tentang
alam bawah yang tidak tampak. Behaviorisme ingin menganalisis bahwa perilaku
yang tampak saja yang dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan.

Para ahli behavioristik memandang bahwa gangguan tingkah laku adalah


akibat dari proses belajar yang salah. Oleh karena itu, perilaku dapat diubah dengan
mengubah lingkungan lebih positif sehingga perilaku menjadi positif pula.
Perubahan tingkah laku inilah yang memberikan kemungkinan dilakukannya
evaluasi atas kemajuan klien secara lebih jelas.

2.2 Karakteristik Konseling Behavior

Menurut Pihasniwati (2008), konsep utama dalam konseling behavior adalah


keyakinan tentang martabat manusia yang bersifat falsafah dan sebagian lagi
bercorak psikologis. Konseling behavioral berfokus pada perilaku manusia yang
dapat dipelajari dan dapat dirubah. Adapun kondisi-kondisi pada manusia yang
menjadi dasar dalam pelaksanaan konseling behavior adalah:

Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek.
Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah
berdasarkan bekal keturunan dan lingkungan (nativisme dan empirisme), terbentuk
pola-pola bertingkah laku yang menjadi ciri-ciri khas kepribadiannya.

1. Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa
yang dilakukannya dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
2. Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri pola-pola tingkah
laku yang baru melalui suatu proses belajar. Kalau pola-pola lama dahulu
dibentuk melalui belajar, pola-pola itu dapat diganti melalui usaha belajar yang
baru.
3. Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya dipengaruhi oleh
perilaku orang lain.
2.3 Tujuan Konseling Behavior

Menurut Latipun (2008), tujuan konseling behavior adalah menciptakan suatu


kondisi baru yang lebih baik melalui proses belajar sehingga perilaku yang negatif
dapat dihilangkan serta mengubah tingkah laku adaptif dengan cara memperkuat
tingkah laku yang diharapkan dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta
berusaha menemukan cara-cara bertingkah laku yang baru.

Konseling behavior bekerja dengan memusatkan perhatian perilaku manusia pada


yang nampak dan dapat dipelajari, tujuan yang ingin dicapai pada saat proses
konseling harus jelas dan sesuai dengan prosedur yang ada, memusatkan perhatian
pada masalah klien dan membantu dalam memecahkan masalah klien. Tujuan
konseling behavior adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku
simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku,
yang dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang atau mengalami konflik
dengan kehidupan sosial.

Sedangkan menurut Komalasari (2011), tujuan konseling behavior adalah sebagai


berikut:

1. Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar.


2. Membantu konseli membuang respons-respons yang lama yang merusak diri
atau maladaptif dan mempelajari respons-respons yang baru yang lebih sehat
dan sesuai (adjustive).
3. Konseli belajar perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang maladaptif,
memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan.
4. Penetapan tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran dilakukan
bersama antara konseli dan konselor.

Menurut Surya (2003), untuk mencapai tujuan dalam konseling behavior, karakteristik
konselor adalah sebagai berikut:
1. Konselor harus mengutamakan keseluruhan individual yang bertanggung jawab,
yang dapat memenuhi kebutuhannya.
2. Konselor harus kuat, yakin, dia harus dapat menahan tekanan dari permintaan klien
untuk simpati atau membenarkan perilakunya tidak pernah menerima alasan-alasan
dari perilaku irrasional klien.
3. Konselor harus sensitif terhadap kemampuan untuk memahami perilaku orang
lain.
4. Konselor harus dapat bertukar pikiran dengan klien tentang perjuangannya dapat
melihat bahwa seluruh individu dapat melakukan secara bertanggung jawab
termasuk pada saat yang sulit.

2.4Teknik Konseling Behavior

Perbedaan konseling behavior dibanding dengan metode yang adalah adalah


pengembangan prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki kemungkinan
untuk diperbaiki melalui metode ilmiah. Dalam konseling behavior, teknik-teknik
spesifik yang beragam dapat digunakan secara sistematis dan hasilnya bisa dievaluasi.
Teknik-teknik tersebut bisa digunakan jika saatnya tepat untuk menggunakannya dan
banyak diantaranya yang bisa dimasukkan kedalam praktek psikoterapi yang
berlandaskan model-model lain.

Menurut Latipun (2008), teknik yang digunakan dalam konseling behavior adalah
sebagai berikut:
a. Teknik tingkah laku umum

1. Skedul penguatan adalah suatu teknik pemberian penguatan pada klien ketika
tingkah baru selesai dipelajari dimunculkan oleh klien. Penguatan harus
dilakukan secara terus-menerus sampai tingkah laku tersebut terbentuk dalam
diri klien.
2. Shaping adalah teknik terapi yang dilakukan dengan mempelajari tingkah laku
baru secara bertahap. Konselor dapat membagi-bagi tingkah laku yang ingin
dicapai dalam beberapa unit, kemudian mempelajarinya dalam unit-unit kecil.
3. Ekstingsi adalah teknik terapi berupa penghapusan penguatan agar tingkah laku
meladaptif tidak berulang. Ini didasarkan pada pandangan bahwa individu tidak
akan bersedia melakukan sesuatu apabila tidak mendapatkan keuntungan.

b. Teknik-teknik spesifik

1. Desensitisasi Sistematik. Desensitisasi sistematik adalah teknik yang paling sering


digunakan. Desensitiasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani
fobia-fobia, tetapi keliru apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada
penanganan ketakutan-ketakutan. Teknik ini diarahkan kepada klien untuk
menampilkan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan. Desensitisasi
sistematik melibatkan teknik relaksasi dimana klien diminta untuk menggambarkan
situasi yang paling menimbulkan kecemasan sampai titik dimana klien tidak
merasa cemas.
2. Latihan Asertif. Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas
adalah latihan asertif yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi
interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan
bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar.
3. Terapi Aversi. Teknik-teknik pengondisian aversi yang telah digunakan secara
luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan
pengasosiasisan tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan
sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulus-
stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian
ramuan yang membuat mual. Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat
positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman.
4. Pengondisian Operan. Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar
yang menjadi ciri organisme aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi dilingkungan
untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku
yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari, yang mencakup membaca,
berbicara, berpakaian, makan dengan alat-alat makan, bermain, dan sebagainya.
5. Penguatan Positif. Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan
ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul
adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku. Penguatan positif
adalah teknik yang digunakan melalui pemberian ganjaran segera setelah tingkah
laku yang diharapkan muncul. Contoh penguatan positif adalah senyuman,
persetujuan, pujian, bintang emas, mendali , uang, dan hadiah lainnya. Pemberian
penguatan positif dilakukan agar klien dapat mempertahankan tingkah laku baru
yang telah terbentuk.
6. Pencontohan. Dalam pencontohan, individu mengamati seorang model dan
kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model. Belajar yang bisa
diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara tidak langsung
dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya.
Dalam teknik ini, klien dapat mengamati seseorang yang dijadikan modelnya untuk
berprilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model. Dalam
hal ini konselor, dapat bertindak sebagai model yang akan ditiru oleh klien.
7. Token Economy. Metode token economy dapat digunakan untuk membentuk
tingkah laku apabila persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba
lainnya tidak memberikan pengaruh. Metode ini menekankan penguatan yang
dapat dilihat dan disentuh oleh klien yang dapat ditukar oleh klien dengan objek
atau hak istimewa yang diinginkannya. Token economy dapat dijadikan pemikat
oleh klien untuk mencapai sesuatu.

2.5 Langkah-langkah Konseling Behavior

Tingkah laku yang bermasalah dalam konseling behavior adalah tingkah laku
yang berlebih (excessive) dan tingkah laku yang kurang (deficit). Contoh tingkah
laku yang berlebihan seperti merokok, terlalu banyak main game dan sering memberi
komentar di kelas. Adapun tingkah laku yang deficit adalah terlambat masuk
sekolah, tidak mengerjakan tugas dan bolos sekolah.

Tingkah laku excessive dirawat dengan menggunakan teknik konseling untuk


menghilangkan atau mengurangi tingkah laku, sedangkan tingkah laku deficit
dikonseling dengan menggunakan teknik meningkatkan tingkah laku. Menurut
Komalasari (2011), tahapan dalam konseling behavior adalah sebagai berikut:
a. Melakukan asesmen (assessment)
Tahap ini bertujuan untuk menentukan apa yang dilakukan oleh konseli pada saat
ini. Asesmen dilakukan adalah aktivitas nyata, perasaan dan pikiran konseli.
Terdapat enam informasi yang digali dalam asesmen yaitu:

1. Analisis tingkah laku yang bermasalah yang dialami konseli saat ini. Tingkah
laku yang dianalisis adalah tingkah laku yang khusus.
2. Analisis tingkah laku yang didalamnya terjadi masalah konseli. Analisis ini
mencoba untuk mengidentifikasi peristiwa yang mengawali tingkah laku dan
mengikutinya sehubungan dengan masalah konseli.
3. Analisis motivasional.
4. Analisis self kontrol, yaitu tingkatan kontrol diri konseli terhadap tingkah laku
bermasalah ditelusuri atas dasar bagaimana kontrol itu dilatih atas dasar
kejadian-kejadian yang menentukan keberhasilan self kontrol.
5. Analisis hubungan sosial, yaitu orang lain yang dekat dengan kehidupan konseli
diidentifikasi juga hubungannya orang tersebut dengan konseli. Metode yang
digunakan untuk mempertahankan hubungan ini dianalisis juga.
6. Analisis lingkungan fisik-sosial budaya. Analisis ini atas dasar norma-norma dan
keterbatasan lingkungan.

b. Menentukan tujuan (goal setting)


Konselor dan konseli menentukan tujuan konseling sesuai dengan kesepakatan
bersama berdasarkan informasi yang telah disusun dan dianalisis. Fase goal setting
disusun atas tiga langkah, yaitu:

1. Membantu konseli untuk memandang masalahnya atas dasar tujuan-tujuan yang


diinginkan.
2. Memperhatikan tujuan konseli berdasarkan kemungkinan hambatan-hambatan
situasional tujuan belajar yang dapat diterima dan dapat diukur.
3. Memecahkan tujuan ke dalam sub-tujuan dan menyusun tujuan menjadi susunan
yang berurutan.

c. Mengimplementasikan teknik (technique implementation)


Setelah tujuan konseling dirumuskan, konselor dan konseli menentukan strategi
belajar yang terbaik untuk membantu konseli mencapai perubahan tingkah laku yang
diinginkan. Konselor dan konseli mengimplementasikan teknik-teknik konseling
sesuai dengan masalah yang dialami oleh konseli (tingkah laku excessive atau
deficit).

d. Evaluasi dan mengakhiri konseling (evaluation termination)


Evaluasi konseling behavioristik merupakan proses yang berkesinambungan.
Evaluasi dibuat atas apa yang konseli perbuat. Tingkah laku konseli digunakan
sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas konselor dan efektivitas tertentu dari
teknik yang digunakan. Terminasi lebih dari sekedar mengakhiri konseling.
Terminasi meliputi:

1. Menguji apa yang konseli lakukan terakhir.


2. Eksplorasi kemungkinan kebutuhan konseling tambahan.
3. Membantu konseli mentransfer apa yang dipelajari dalam konseling ke tingkah
laku konseli.
4. Memberi jalan untuk memantau secara terus menerus tingkah laku konseli.
BAB III
KESIMPULAN

Behavioristik merupakan salah satu pendekatan teoritis dan praktis mengenai model
pengubahan perilaku konseli dalam proses konseling dan psikoterapi. Pendekatan
behavioristik yang memiliki ciri khas pada makna belajar, conditioning yang dirangkai
dengan reinforcement menjadi pola efektif dalam mengubah perilaku konseli. Pandangan
deterministik behavioristik merupakan elemen yang tidak dapat di hilangkan. Namun pada
perkembangan behavioristik kontemporer, pengakuan pada manusia berada pada tingkat yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan awal-awal munculnya teori ini.
Pendekatan behavioristik menekankan pentingnya lingkungan dalam proses
pembentukan perilaku. Pendekatan ini bertujua n untuk menghilangkan tingkah laku salah
suai, tidak sekedar mengganti simptom yang dimanifestasikan dalam tingkah laku tertentu.
Dengan pendekatan behavior, diharapkan konseli memiliki tingkah laku baru yang terbentuk
melalui proses conditioning, hilangnya simptom dan mampu merespon terhadap stimulus
yang dihadapi tanpa menimbulkan masalah baru.
Sesuai dengan namanya maka tujuan konseling behavioral yaitu membantu
menciptakan kondisi dan lingkungan baru agar klien mampu belajar merubah perilakunya
dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi. Tujuan konseling behavioral berorientasi
pada pengubahan atau modifikasi perilaku konseli
Daftar Pustaka

 Corey, Gerald. 1999. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Terjemahan oleh

E. Koeswara .Bandung, Refika Aditama.

 Hansen, James C. Richard R. Stevic, dan Richard W. Warner, Jr. 1982. Counseling:

Theory and Process. Boston; allyn and Bacon. Inc.

 Prayitno. 1998. Konseling Panca Waskita, PSBK. FIP IKIP Padang

 Sudratajat, Akhmad. 2008. Pendekatan Konseling Behavioral dalam. Model-Model

Pendidikan. Padang: FIP.

 Juntika, Nurihsan. 2003. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung: Mutiara.

 Chaplin, J.P. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafika Persada.

 Surya, Mohammad. 2003. Teori Teori Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

 Pihasniwati. 2008. Psikologi Konseling. Yogyakarta: Teras.

 Latipun. 2008. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.

 Komalasari, Gantina, Dkk. 2011. Teori Teknik Konseling. Jakarta: Indeks.

Anda mungkin juga menyukai