Anda di halaman 1dari 10

1

MODEL POLA PIKIR PEMECAHAN MASALAH (PPPM) UNTUK


MENGEMBANGKAN PIKIRAN RASIONAL KORBAN BULLYING

Oleh:
Dr. Bakhrudin All Habsy, M.Pd
Bimbingan dan Konseling
Universitas Darul Ulum Jombang
E-mail: bakhrudin_bk@yahoo.com

Abstrak: Bullying adalah perilaku menyakiti orang lain yang dilakukan secara individual
ataupun berkelompok dengan kategori fisik, verbal, psikologis dan cyberbullying. Bullying
diasumsikan sebagai hubungan kekuasaan yang tidak setara antara pelaku dan korban yang
terjadi secara berulang kali dari waktu ke waktu. Pengembangan keyakinan rasionalnya pada
siswa korban bullying diperlukan, sebagai upaya pengembangan tingkah laku positif dalam
menentukan tujuan hidup. Keyakinan-keyakinan rasional tersebut diperoleh dari lingkungan
yang secara turun temurun diajarkan dari generasi ke generasi melalui budaya, bahasa,
pendidikan, keteladanan dan sebagainya. Model Pola Pikir Pemecahan Masalah (PPPM)
dipilih sebagai langkah-langkah strategis dan jitu untuk mengembangkan pikiran rasional
korban bullying, yang diwujudkan oleh guru atau konselor untuk memaksimalkan aktifitas
kognitif siswa sebagai upaya menciptkan pengubahan pada pemikiran, emosi dan perilaku.
Dinamika Model Pola Pikir Pemecahan Masalah (PPPM) ditawarkan dengan merumuskan
sejumlah pikiran-pikiran rasional untuk dicari intisari dari tindakan pemecahan masalah yang
sangat spesifik pada siswa korban bullying.

Kata Kunci: Model Pola Pikir Pemecahan Masalah (PPPM), Pikiran Rasional Korban
Bullying

Latar Belakang Masalah


Masa remaja merupakan masa kritis, bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan
manusia. Masa kritis tersebut mengiringi pertumbuhan dan perkembangan remaja yang
meliputi pewarisan budaya dan konflik yang dihadapi. Keberadaan remaja sebagai siswa
menumbuhkan proses interaksi sosial dalam kelompok sebaya. Interaksi sosial tersebut tidak
sepenuhnya mulus, kadangkala ia menemui kegagalan.
Menurut Huang.,dkk (2016) Kegagalan remaja dalam penyesuaian sosial dengan
kelompok sebaya dapat berdampak pada perilaku negatif, seperti: kenakalan, membolos,
penolakan ke sekolah, berkeliaran di tempat umum pada saat jam belajar, merokok,
mencontek, isolasi, bullying, perkelahian, perampasan, tindak kekerasan seksual dan
kekerasan rumah tangga, serta tindak kriminalitas. Seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan remaja, konflik pada diri dan konflik budaya mewarnai keadaan sosial di
masyarakat yang berpengaruh pada pemikiran irasional dalam diri remaja yang berakibat
pada disfungsional maladaptif yang ditandai dengan tindakan depresi dan agresif yang oleh
David W. Johnson and Roger T.Johnson, (2016) dikatakan sebagai pola tingkah laku agresi
yang dilakukan secara berulang-ulang dan dilakukakan satu orang pelaku atau lebih disebut
dengan istilah bullying.
Kegagalan remaja dalam melakukan penyesuaian sosial akan menimbulkan berbagai
dampak negatif baik secara fisik serta psikologis. Salah satu contoh bentuk dampak negatif
tersebut yaitu maraknya berbagai bentuk kenakalan remaja dan keterikatan yang sangat tinggi
terhadap kelompok teman sebaya (Syamsuddin, 2000:137). Dampak negatif yang paling
nampak terlihat di sekolah, yaitu: membolos di sekolah, perilaku mencontek, berkeliaran
2

pada jam belajar, merokok di lingkungan sekolah, bersifat apatis terhadap kondisi sosial dan
lain sebagainya. Dampak lain yang ditimbulkan sebagai akibat kegagalan dalam penyesuaian
sosial yaitu terjadinya proses pengucilan sosial, menjadi pelaku dan/atau korban bullying
(Baron, R. A. & Branscombe, N. R., 2016). Siswa-siswa yang gagal dalam melakukan
penyesuaian sosial, cenderung akan dihindari dan bahkan diisolasi oleh teman-temannya baik
dalam aktivitas belajar maupun dalam pergaulan keseharian. Lebih jauh siswa yang
mengalami pengucilan sosial berkemungkinan besar menjadi korban bullying bagi siswa-
siswa lainnya.
Ciri khas remaja memiliki kecenderungan yang kuat untuk berada dalam kelompoknya
yang oleh Frued (dalam Atkinson, 1987:259) dikategorikan sebagai munculnya pikiran
irasional dengan hilangnya status individual dalam kelompok. Beberapa fenomena yang
mencerminkan munculnya pikiran irasional dengan hilangnya status individual dalam
kelompok sebagai berikut: bullying dalam arena pertandingan sepak bola (Suara Merdeka, 14
Maret 2017), tawuran masal antar pelajar di bogor (Kompas TV:19 April 2017), munculnya
gang remaja seperti gang motor di bandung, gang nero di pati (Kompas, 8 Maret 2017) dan
sebagainya beberapa contoh kongkrit dari perilaku kelompok yang menghilangkan ciri-ciri
perilaku individual. Peristiwa-peristiwa bullying di Sekolah Menengah Atas (SMA) terjadi di
berbagai kota, antara lain Buton (Kompas.com, 2016), Jakarta (Detik News, 2016; Viva,
co.id, 2011), Makassar (Koran Sindo, 2016), Pare-pare (Tempo.co, 2015), Semarang
(Suseno, dkk., 2016), dan Tangerang Selatan (Oke Zone Kampus, 2016). Seorang siswa
perempuan SMP di buton dihajar oleh seorang perempuan SMA dengan pukulan dan
tendangan, peristiwa ini terjadi setelah pulang dari sekolah dan berlangsung di kebun kosong
penduduk (Kompas.com, 2016).
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2016 merilis bahwa
Indonesia pada saat ini mengalami kondisi lampu merah bullying pada anak maupun remaja
dan meningkat 100% dari tahun sebelumnya (kpai.go.id, 28 Februari 2017). Kasus bullying
berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terdapat peningkatan yang
signifikan dari 67 kasus pada tahun 2014 menjadi 79 kasus pada 2016 (Republika.co.id, 30
Desember 2016). Hal senada ditilik dari penelitian Huneck (2017) mengungkapkan bahwa 10
sampai 16 % siswa Indonesia mendapatkan ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan,
tendangan ataupun didorong, sedikitnya sekali dalam seminggu.
Berdasarkan hasil penelitian Nelson (2013) terdapat 2.688 acara perminggu di semua
stasiun televisi swasta Indonesia, dari jumlah 1.308 acara atau 48% diketegorikan dalam
acara pendidikan, budaya, dokumenter, informasi dan olahraga, dan acara sinetron, musik,
dan pertunjukan permainan anak serta mengeluarkan sinetron atau film yang bernuansa
memunculkan pikiran irasional, bullying, seks, dan humor angkanya lebih banyak yaitu 52 %.
Hal senada ditemukam berdasarkan data Yayasan Kesejahtraan Anak Indonesia menemukan
bahwa film seperti Sailor Moon, Dragon Ballz dan Magic Knight Ray Earth yang disiarkan di
televisi Indonesia mengundang adegan anti sosial sebesar 58,4 % dari pada adegan pro sosial
41,6 %.
Menurut Santrock, (2008) dampak dari tayangan bullying akan menyebabakan remaja
meniru perilaku tersebut, seperti remaja akan senang menonjolkan diri dengan cara berkelahi,
merasa hebat dan dianggap populer oleh teman-temannya. Menururt Smashes dan Kaveri
(2011) menyatakan bahwa konten yang digunakan remaja dalam internet adalah jejaring
sosial, pesan singkat, game online, unggah video dan musik, dimana konten-konten tersebut
dapat berdampak negatif yaitu memunculkan perilaku tidak baik pada remaja.
Menurut Olweus (dalam Gorodnichenko & Roland, 2016) bullying diasumsikan
sebagai hubungan kekuasaan yang tidak setara antara pelaku dan korban yang terjadi secara
berulang kali. Kriteria operasional yang disebut dengan bullying adalah agresi yang telah
menyentuh aspek psikologis atau bentuk kekerasan lain yang terjadi minimal sekali dalam
3

seminggu atau lebih selama periode waktu satu bulan. Unsur-unsur yang terkandung dalam
bullying antara lain keinginan untuk menyakiti, tindakan negatif, kekuatan yang tidak
seimbang, rasa senang yang dilakukan pelaku dan rasa tertekan yang dirasakan korban
(Rigby, 2010).
Menurut Jack O’Connell (2003) terjadinya bullying di sekolah merupakan proses
dinamika kelompok dan didalamnya ada pembagian peran. Peran-peran tersebut adalah (1)
Bully, yaitu siswa yang dikategorikan sebagai pemimpin yang berinisiatif dan aktif terlibat
dalam perilaku bullying, (2) Bully Assistance juga terlibat aktif dalam perilaku bullying,
namun ia cenderung bergantung atau mengikuti perintah bully, (3) Reinforcer adalah mereka
yang ada ketika kejadian bullying terjadi, ikut menyaksikan, mentertawakan korban,
memprovokasi bully, mengajak siswa lain untuk menonton dan sebagainya, (4) Defender
adalah orang-orang yang berusaha membela dan membantu korban, seringkali mereka
akhirnya menjadi korban juga, (5) Outsider adalah orang-orang yang tahu bahwa hal itu
terjadi, namun tidak melakukan apapun, seolah-olah tidak peduli.
Keberadaan remaja sebagai siswa baik sebagai pelaku maupun korban bullying sama-
sama memerlukan bantuan, namun sebagai solusi awal dalam mengatasi perilaku bullying
siswa, penulis memfokuskan untuk memberikan intervensi kepada korban bullying dengan
meningkatkan pikiran rasionalnya. Pertimbangan peneliti memberikan intervensi bagi korban
bullying senada dengan pendapat Rigby dan Thomas (2003) dampak korban bullying antara
lain mengalami physical injury yaitu cedera fisik berupa luka atau memar, kesehatan fisik
menurun, sulit tidur, cenderung memiliki psychological well-being yang rendah, seperti
perasaan tidak bahagia secara umum, self esteem rendah, pemarah, tekanan dan terancam
ketika berada pada situasu tertentu, selain itu korban bullying mempunyai penyesuaian sosial
yang buruk; misalnya benci terhadap lingkungan sosial, mengekspresikan ketidaksenangan
terhadap sekolah, merasa kesepian, merasa terisolasi, menyendiri dan membolos. Secara
psikologis seorang korban bullying akan mengalami psychological distress; misalnya tingkat
kecemasan tinggi, depresi dan pikiran-pikiran untuk bunuh diri. Secara akademis korban
bullying mengalami poor result; prestasi akademis menurun, kurangnya konsentrasi,
kegagalan dalam prestasi di sekolah (Pavelic, 2012)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Simon & Mawn (2010), menyatakan
bahwa anak yang menjadi korban bullying kemungkinan akan menjadi pelaku bullying. Hal
senada dikemukakan berdasarkan hasil penelitian Rigby (2015:54) menemukan bahwa anak
yang menjadi korban bullying akan cenderung melampiaskan kemarahannya kepada orang
lain dan sekaligus menjadi pelaku bullying. Menurut Sartini (2009) dalam budaya Jawa
dikenal dengan dendam kusumat yaitu pelampiasan kemarahan terhadap peristiwa yang
mereka alami, hal ini merupakan perwujutan dari pikiran irasional masyarakat jawa. Menurut
Ellis manusia dilahirkan dengan potensi untuk berbuat baik tetapi pada saat yang sama juga
terdorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik (Ellis, 1979 dalam Atkinson
1997:243).
Dapat disimpulkan bahwa siswa korban bullying diperlukan pengembangan keyakinan
rasionalnya agar dapat bertindak secara baik. Keyakinan-keyakinan tersebut diperoleh dari
lingkungannya secara turun temurun dan diajarkan dari generasi ke generasi melalui budaya,
bahasa, pendidikan, keteladanan dan sebagainya. Menurutnya, Ellis (2008) rasional memiliki
arti penting dalam menentukan tujuan hidup. Manusia memilih suatu kepuasan (baik jangka
panjang maupun jangka pendek) dengan menggunakan kekuatan rasional.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para Konselor di kab. Mojokerto – Provinsi Jawa
Timur, menyebutkan terdapat beberapa siswa yang melakukan bullying terhadap siswa lain,
dan beberapa membentuk sebuah gang, beberapa siswa mengaku sering diganggu, diejek,
dikucilkan, bahkan beberapa diantaranya mengaku sering dimintai uang oleh teman dan
4

kakak kelasnya, jika permintaan tidak dipenuhi, maka mereka akan diancam, disakiti, disiksa,
dan akan menjadi bulan-bulanan para seniornya.
Berdasarkan fakta yang terjadi pada sekolah tersebut baik menyangkut karakteristik
pikiran irasional siswa korban bullying, maupun upaya-upaya yang dilakukan sekolah, perlu
dicari sebuah model penyelesaian masalah yang mampu menyentuh akar permasalahan yang
menjadi sumber munculnya pikiran irasional korban bullying agar gangguan emosional dan
perilaku yang dialami siswa dapat dibawa ke dalam proses penyelesaian masalah sebagai
cerminan relasi moral dan pemahaman hidup sejahtra yang dipahami dan didefinisikan dalam
realitas budaya seseorang dalam menjalani kehidupan (Padersen, 1995 dalam Leod
2006:273). Apabila hal itu bisa terwujud maka akan menjadi suatu penegasan proses model
bimbingan sebagai upaya untuk membangun pemahaman realitas kehidupan tidak dapat
terhindar dari pengaruh nilai-nilai budaya masyarakat (Leod, 2006:275-279).
Berdasarkan berbagai fenomena, hasil penelitian dan studi pendahuluan, pikiran
irasional korban bullying, terutama pada peserta didik yang bisa dikategorikan sebagai masa
remaja pertengahan, rentan mengalami permasalahan munculnya pikiran irasional korban
bullying baik yang diakibatkan oleh situasi dan kondisi di lingkungan, maupun masa transisi
yang sedang dilaminya, pemberian intervensi, harus dilakukan untuk menghindari
permasalahan yang lebih kompleks.
Dalam konteks bimbingan dan konseling yang tertuang dalam rambu-rambu
penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling (2007), permasalahan bullying termasuk dalam
bidang pribadi sosial. Pada setting pendidikan upaya konselor sekolah dalam rangka
membantu pencapaian standar kompetensi kemandirian siswa, maka salah satu layanan yang
dilakukan oleh konselor dalam program layanan Bimbingan dan Konseling Komprehensif
adalah memberikan layanan Bimbingan kelompok, yang merupakan komponen dalam
layanan dasar yang diberikan kepada seluruh siswa dalam rangka membantu siswa untuk
dapat mencapai tugas perkembangan yang optimal (Gysbers dan Handerson, 2006).
Layanan dasar bersifat menyentuh ke semua siswa, maka program yang diterapkan
melalui bimbingan kelompok. Bimbingan Kelompok adalah sebuah setting kegiatan face to
face (dalam kelompok dan kelas) yang dilakukan secara langsung dalam azas kebebasan dan
keharmonisan. Dalam konteks yang demikian, maka konselor yang aktif memiliki kewajiban
dan beban tugas untuk mengantar seluruh siswa agar dapat menjalani tugas-tugas
perkembangan dengan baik dan dapat mencapai perkembangan yang optimal. Sekolah yang
merupakan tempat dimana guru atau konselor melaksanakan tugas sehari-hari sangat
memungkinkan adanya interaksi fungsional sehingga guru atau konselor dapat menjalankan
tugasnya dengan baik, terumata melalui seting Bimbingan Kelompok, konselor mampu
menformulasikan teknik-teknik yang mendalam dan teroganisir secara sistematis. Hanya
dengan cara demikian siswa yang kuantitasnya sangat besar tersebut dapat diperhatikan
dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan karakter populasi dan problematika hasil studi pendahuluan, penulis
menggunakan bimbingan kelompok, karena bimbingan kelompok memberikan kesempatan
kepada para konseli untuk mengekspresikan perasaan yang bertentangan, mengeksplorasikan
keraguan diri dan merealisasikan minat untuk berbagi dengan anggota kelompok yang lain
(Corey.,Corey.,& Corey, 2012).
Model dalam bimbingan kelompok harus dipilih secara tepat sesuai dengan tujuan dan
standar kompetensi yang sedang diberikan. Model merupakan hal yang sangat penting dan
strategis dalam bimbingan kelompok, terutama terkait dengan pencapaian tujuan, maka
konselor harus dapat memenuhi kriteria model inovatif sebagai pilihan bijak. Dalam hal ini
sebuah model dikembangkan dalam kerangka bimbingan kelompok yang sangat
memperhatikan aspek pikiran, emosi dan tingkah laku. Model ini diberi nama PPPM (Pola
Pikir Pemecahan Masalah) yang dirancang untuk kegiatan bimbingan kelompok. Model
5

PPPM adalah langkah-langkah yang diwujudkan dalam seting kelompok dengan cara
memaksimalkan aktifitas kognitif, untuk menghasilkan perubahan pada pemikiran, emosi dan
perilaku. Titik perhatian dalam Model PPPM ini meliputi ranah pikiran, emosi dan tingkah
laku, maka teori besar yang mendasari bimbingan kelompok ini adalah pendekatan Cognitive
Bahavior Therapy.

Solusi
Model PPPM meliputi ranah pikiran, emosi dan tingkah laku yang disesuakan dengan
karakteristik konseli sebagai kerangka kerja pengembangan model bimbingan kelompok
PPPM yang diwujudkan dalam bentuk: (1) Penataan Pikiran merupakan upaya
mengidentifikasi dan mengubah pikiran-pikiran atau pernyataan diri negatif dan keyakinan-
keyakinan konseli yang tidak realistis yang mencakup teknik penataan pikiran, dengan cara
(a) pembahasan tentang pikiran-pikiran positif dan negatif (b) Identifikasi pikiran konseli
dalam situasi masalah, (c) Pengenalan dan latihan coping thought, (d) Perpindahan dari
pikiran negatif ke coping thought, (e) Pengenalan dan latihan penguatan positif, (f) Tugas
rumah dan tindak lanjut. (2) Pemecahan Masalah adalah keterampilan yang dibutuhkan untuk
lebih mampu mengatasi konflik interpersonal yang sedang dihadapinya, dengan mengatur
strategi ketika kesulitan dalam penyelesaian masalah. Langkah-langkah yang diperlukan
dalam Pemecahan masalah sebagai berikut: (a) memahami permasalahan yang dialami, (b)
Mengidentifikasi masalah, (c) Menyusun tujuan; (d) Memilih berbagai solusi terbaik, (e)
Menentukan solusi terbaik; (f) Mengimplementasikan solusi yang dianggap paling baik, dan
(g) Mengevaluasi efek dari solusi yang dipilih. Model PPPM divisualkan pada gambar
dibawah ini:

Secara khusus masalah yang ingin dicari jawabannya dalam kajian ini adalah apakah
Model PPPM dapat mengembangkan pikiran rasional siswa korban bullying secara efektif.
Berdasarkan masalah tersebut secara teoretik penelitian ini berfungsi untuk: (1) Model
PPPM dapat menjadi intervensi yang inovatif, baik secara konseptual dan teknikal dan (2)
6

Temuan penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkuat dasar pijakan bagi
dilaksanakannya penelitian selanjutnya. Secara praktis penelitian ini berfungsi untuk (1)
Model PPPM dapat diterapkan oleh konselor / guru dalam meningkatkan layanan di sekolah,
(2) Penelitian ini dapat memperkaya repertoire Model PPPM untuk membantu
mengembangkan pikiran rasional siswa korban bullying, dan (3) Siswa korban bullying dapat
terbantu dalam mengembangkan pikiran rasional dengan menggunakan Model PPPM.
Penelitian bermula dari 3 kerisauan peneliti, yaitu (1) terjadinya tindak bullying di
kalangan remaja yang menyebabkan rendahnya pikiran rasional korban bullying siswa, (2)
minimnya variasi model dan teknik yang dijalankan oleh konselor, dan (3) permasalahan
remaja adalah hilangnya status individual dalam kelompok.
Dapat disimpulkan bahwa pikiran rasional korban bullying harus dikembangkan
dengan model yang spesifik dan efektif. Dari perihal itulah, penulis menawarkan sebuah
bingkisan solutif terbarukan dalam bentuk model PPPM (Pola Pikir Pemecahan Masalah).
Ciri khas model PPPM adalah perhatian penuh secara seimbang antara Cognitive, Emotive
dan Behavior. Hasil kajian ini mendukung hasil penelitian- penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Beiling, Mc Cabe dan Antony, (2006) mengemukakan bahwa pendekatan
kelompok lebih efisiensi dengan presentase 50% dari pada pelaksanaan secara individual.
Model PPPM meliputi ranah pikiran, emosi dan tingkah laku yang disesuakan dengan
karakteristik siswa sebagai kerangka kerja pengembangan model PPPM. Pendekatan kognitif,
membantu konseli menetapkan hubungan antar kognisi dengan emosi, perilaku dan reaksi
dari fisiologinya, serta untuk mengidentifikasi kognisi yang salah atau menyalahkan diri
dengan mengganti kognisi tersebut dengan persepsi yang lebih baik (Cormier, dkk 2009).
Pendekatan perilaku, diterapkan ketika konseli telah melakukan perubahan kognitif, mereka
mempelajari bagaimana memberikan respon yang dapat diterima oleh lingkungan ketika
berhadapan dengan situasi tertentu, untuk melakukan suatu pemecahan masalah. Pendekatan
kelompok memfokuskan diri pada proses interpersonal dan strategi penyelesaian masalah
yang berkaitan dengan pemikiran, perasaan dan perilaku yang disadari, dalam sebuah
kerangka berpikir disini dan sekarang (here and now) (Corey, 2010).
Hasil kajian teori ini diharapkan menjadi manfaat besar model PPPM yang
memfokuskan intervensi pada aspek kognitif sehingga membawa perubahan pada aspek
perilaku dan emosi, sehingga dapat menjadi pertimbangan bagi para konselor/guru untuk
menerapkan di Sekolah.

Penutup
Inti sari yang dapat kita ekstak dari uraian pelaksanaan penelitian Model PPPM untuk
meningkatkan pikiran rasional korban bullying, sebagai berikut: (a) Model PPPM dapat
dikatakan sebagi model tebarukan dari pendekatan cognitive behavior, yang keefektifannya
tercermin dalam penelitian yang dilakukan penulis pada tahun 2017, (b) Dinamika perubahan
Model PPPM yang ditawarkan dengan merumuskan sejumlah pikiran-pikiran rasional untuk
dicari intisari dari tindakan pemecahan masalah yang sangat spesifik,
Model ini memiliki keunggulan yaitu membutuhkan waktu singkat, bersifat praktis, dan
mudah dipahami dan dilakukan. Konselor / Guru dapat memanfaatkan hasil kajian teori
dengan mempelajari panduan pelaksanaan Model PPPM yang sudah teruji baik diuji secara
ekologi maupun ahli.

Daftar Rujukan
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (Naskah Akademik).
Bandung: ABKIN.
ASCA .2005. “The ASCA National Model: A Framework for School Counseling Programs”.
7

Michigan: The American School Counselor Association.


Artkinson, R, et. al. 1987. Pengantar Psikologi: Jilid I, Edisi VIII. Jakarta: Erlangga
Artkinson, R, et. al. 1999. Pengantar Psikologi: Jilid II, Edidi VIII. Jakarta: Erlangga
Beck, A.T. 1993. Cognitive Therapy: Past, Present, and Future. Journal of Consulting and
Clinical Psychology.
Beck, J.S. 2011. Cognitive Behavior Therapy. New York: Guilforde Press.
Beck, Mendelson, Mock & Erbaugh. 1961. Cognitive Therpy of Depression. New York
:Gulford Press.
Baron. R.A dan Byrne, D (2012). Psikologi Sosial: Edisi VIII. Jakarta: Erlangga
Byars‐Winston, A. M., & Fouad, N. A. 2006. Metacognition and multicultural competence:
Expanding the culturally appropriate career counseling model. The Career
Development Quarterly, 54(3), 187-201.
Capuzzi, D & Gross, D.R. 2007. Counseling and Psychotherapy: Theories and Interventions.
New Jersey: Pearson Prentice-Hall.
Collins, S & Arthur, N. 2007. A Framework for Enhancing Multicultural Counselling
Competence. Canadian Journal of Counselling, 41 (1): 31-49.
Consolvo, C. 2012. Building Students Success Throurgh Enchanced, Coodinated Student
Services. Journal of Coolege Student Development.
Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont, CA:
Brooks/Cole.
Corey, M.S., Corey, G & Corey, C. 2012. Theory and Practice of Group Counseling.
Belmont, CA: Brooks/Cole.
Cowie, H. (2014). Understanding the role of bystanders and peer support in school bullying.
International Journal of Emotional Education, 6(1), 26.
Carlyle, K. E., & Steinman, K. J. (2007). Demographic Differences in the Prevalence,
Co‐Occurrence, and Correlates of Adolescent Bullying at School. Journal of School
Health, 77(9), 623-629.
Coloroso, B. (2004). The bully, the bullied and the bystander. Harper Collins.
David. W., Johnson, R. T., & Smith, K. (2007). The state of cooperative learning in
postsecondary and professional settings. Educational Psychology Review, 19(1), 15-
29.
Dobson, K.S. 2010. Handbook of Cognitive Behavioral Therapies. New York: The Guifold
Press.
Dalgleish,T., dan Mick J.Power.1999, Handbook of Coqnition and Emotion.New York: John
Wiley & Sons.
Detik.com. 2016. http://www.detik.com/. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2016.
Dombeck., M & Well-Mora .2014. Appliying Learning Principles to thought: Cognitive
restructuring.
Edwards, S. L., & O’Connell, C. F. (2007). Exploring bullying: Implications for nurse
educators. Nurse Education in Practice, 7(1), 26-35.
Field, E. M. (2007). Bully blocking: Six secrets to help children deal with teasing and
bullying. Jessica Kingsley Publishers.
Gibson, R.L & Mitchell, M.H. 2011. Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Gladding, T.S. 2009. Counseling A Comprehensive Profession. New Jersey: Pearson
Education, Inc., Upper Saddle River.
Gorodnichenko, Y., & Roland, G. (2016). Culture, institutions and the wealth of nations.
Review of Economics and Statistics.
Gysbers, N. C & Henderson, P. 2006. Developing and Managing Your School Guidance and
Counseling Program. Alexandria, VA; ACA.
8

Hambali,IM.2013. Pengaruh model piranti olah pikir-emosi (model pop-e) terhadap


kepedulian sosial Siswa SMA. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Pascasarjana.
Universitas Negeri Malang.
Huang, Z, Zhenni Liu , Xiangxiang Liu , Laiwen Lv , Yan Zhang , Limin Ou and Liping Li.
2016. Risk Factors Associated with Peer Victimization and Bytasnder Behaviors
among Adolescent Students. International Journal of Environmental Research and
Public Health.
Hurlock, E. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Terjemahan: Istiwidyanti dan Soedjarwono. Jakarta: Erlangga.
Huneck, A. .2007. Bullying: A cross-cultural comparison of one* American and one
Indonesian elementary school. Union Institute and University.
KPAI. 2017. Bank Data KPAI http://bankdata.kpai.go.id/data-terpilah-kasus-anak diakses
pada tanggal 28 Februari 2017
Kompas.com, 2017. http://www.kompas.com/. Diakses pada tanggal 1 Februari 2017

Kuswaji. 1977. Wayang Golek Menak Sebagai Media Dakwah Islam. Journal of Culture,
Literature and Linguistik Univeersitas Gadjah Mada

Lindenberg, Oldehinkel, Ormel, Veenstra, Vurhust dan Winter. 2011. Bullying and
victimization in elementary schools: a comparison of bullies, victims, bully/victims,
and uninvolved preadolescents
Mappiare, A. 2011. Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Edisi Kedua. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Miles, M.B & Huberman, A.M. 1994. Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook.
Thousand Oaks California: SAGE Publications.
Matsumoto, D & Juang, L. 2003. Culture and Psychology. 2nd Edition. Belmont, CA:
Wadsworth.
Mennuti, R.B, Freeman, A dan Christner, R.W.2000. Cognitive- Beharioral Interventions in
Educational Setting.
Milsom, A., & Gallo, L. L. 2006. Bullying in middle schools: Prevention and intervention.
Middle School Journal, 37(3), 12-19.
Nansel, T. R., Overpeck, M., Pilla, R. S., Ruan, J., Simons-Morton, B., & Scheidt, P. (2001).
Bullying behaviors among U.S. youth: Prevalence and as- sociation with
psychosocial adjustment. Journal of the American Medical Association, 285, 2094
2100.
Nelson-Jones, R. 2011. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi, Edisi Keempat. Terjemahan
Soetjipto, P.H & Soetjipto, M.S. 2011. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Niels. 1996. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Universitas Gajah Mada
Yogyakarta
Olweus, D. .1993. Victimization by peers: Antecedents and long-term outcomes. Social
withdrawal, inhibition, and shyness in childhood, 315, 341.

Olweus, D. .1994. Bullying at school: basic facts and effects of a school based intervention
program. Journal of child psychology and psychiatry, 35(7), 1171-1190.
Olweus, D. (1997). Bully/victim problems in school: Knowledge base and an effective
intervention pro- gram. Irish Journal of Psychology, 18, 170–190.
Olweus, D., & Limber, S. (1999). Blueprints for violence prevention: Bullying Prevention
Pro-gram. Institute of Behavioral Science, University of Colorado, Boulder.
Pedersen.C.H. 1991. Multicultural Counseling: from diversity to Universality. Journal of
Counseling and Development
9

Parsons, L. (2005). Bullied teacher, bullied student: How to recognize the bullying culture in
your school and what to do about it. Pembroke Publishers Limited.
Prempeh, B. A. (2015). Exploring the Association between Bullying and Life Satisfaction
(Doctoral dissertation, Kean University).
Palmer, S. and Laungani. 2011. Konseling dan Psikoterapi. Terjemahan Setiadjid, H.H. 2011.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rigby, K. 2008. Children and bullying: How parents and educators can reduce bullying at
school. Blackwell Publishing.
Rigby, K. 2003. Consequences of bullying in schools. The Canadian Journal of Psychiatry,
48(9), 583-590.
Salleh, N. M., & Zainal, K. 2014. Bullying among secondary school students in Malaysia: A
case study. International Education Studies, 7(13), 184-191. DOI:
10.5539/ies.v7n13p184
Santrock, J.W. 2008. Adolescence; Twelfth Edition. New York: Mc Graw-Hill Higher
Education.
Smahes dan Kaveri .2011. Social Media and the Representation of Summit Protests.
Transgression 2.0: Media, Culture, and the Politics of a Digital Age, 276.
Stockdale, L. A., Coyne, S. M., Nelson, D. A., & Erickson, D. H. 2015. Borderline
personality disorder features, jealousy, and cyberbullying in adolescence.
Personality and Individual Differences, 83, 148-153

Seligman & Raechenberg. 2013. Theories of Counseling and Psychoterapy (Edisi 4)


UpperSaddleRiver, Nj:Pearson Merrill
Shertzer, B. and S.C. Stone.1982. Fundamentals of Guidance. Boston: Houghton Mifflih
Company.
Simons, S. R., & Mawn, B. (2010). Bullying in the workplace—A qualitative study of newly
licensed registered nurses. AAOHN journal, 58(7), 305-311.
Smith, J. D., Cousins, J. B., & Stewart, R. (2005). Anti bullying interventions in schools:
Ingredients of effective programs. Canadian Journal of Education/Revue
canadienne de l'éducation, 739-762.
Smahes dan Kaveri (2011) The Role of Media in Development. Digital Youth
Swearer, S. M., & Espelage, D. L. (2011). Expanding the social-ecological framework of
bullying among youth. Bullying in north American schools, 3-10.
TVOne, 2017. https://tvone.tv/category/shows/newsone-now/. Diakses pada 10 Januari 2017.

Vaillancourt, T., Trinh, V., McDougall, P., Duku, E., Cunningham, L., Cunningham, C., ... &
Short, K. 2010. Optimizing population screening of bullying in school-aged
children. Journal of School Violence, 9(3), 233-250.
Von Marées, N., & Petermann, F. 2010. Bullying in German primary schools: Gender
differences, age trends and influence of parents’ migration and educational
backgrounds. School Psychology International, 31(2), 178-198.
Wolfgang, J., Frazier, K., West-Olatunji, C., Barrett, J. 2011. Developing Cross Cultural
Competence: Applying Development and Prevention Ideals to Counseling Young
Children. ERIC Institute of Educatioan Sciences.
Wang, J., Nansel, T. R., & Iannotti, R. J. (2011). Cyber and traditional bullying: Differential
association with depression. Journal of adolescent health, 48(4), 415-417.
White, J.R & Freeman A. 2000. Cognitive–Behavioral Group Therapy for Specific Problems
and Populations. Washington, DC: American Psychological Association
Williams, K. R., & Guerra, N. G. (2007). Prevalence and predictors of internet bullying.
Journal of adolescent health, 41(6), S14-S21.
10

Williams, K. R., & Guerra, N. G. (2013). Impact of Bullying in Childhood on Adult Health,
Wealth, Crime, and Social Outcomes. Journal Psychological Science OnlineFirst,
published on August 19, 2013 as doi:10.1177/0956797613481608
Wong, D. S., Lok, D. P., Wing Lo, T., & Ma, S. K. (2008). School bullying among Hong
Kong Chinese primary schoolchildren. Youth & Society, 40(1), 35-54.
Yenes, I. (2016). Perilaku Bullying dan Peranan Guru BK/Konselor dalam Pengentasannya
(Studi Deskriptif terhadap Siswa SMP Negeri 3 Lubuk Basung). Konselor, 5(2), 116-
123.
Young (2013) Using motivational interviewing within the early stages of group devolepment.
The Journal for Specialist in Group Work 38,169-181.
Doi:10.1080101933922.2013.765369.

Anda mungkin juga menyukai