Anda di halaman 1dari 8

\

PROGRAM PENCEGAHAN PERILAKU BULLYING


MAN 2 SEMARANG
TAHUN PELAJARAN 2017/2018

MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 SEMARANG


KANTOR KEMENTERIAN AGAMA
KABUPATEN SEMARANG
A. Pendahuluan
A. Bullying (Kekerasan) di Sekolah

Bullying merupakan suatu aksi atau serangkaian aksi negatif yang seringkali
agresif dan manipulatif, dilakukan oleh satu atau lebih orang terhadap orang lain atau
beberapa orang selama kurun waktu tertentu, bermuatan kekerasan baik verbal maupun
fisik, dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan. Pelaku biasanya mencuri-curi
kesempatan dalam melakukan aksinya, dan bermaksud membuat orang lain merasa
tidak nyaman atau terganggu, sedangkan korban biasanya juga menyadari bahwa aksi
itu akan berulang menimpanya (Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron, 2015).

Yayasan SEJIWA mengidentifikasi jenis dan wujud bullying secara umum dapat
dikelompokan ke dalam tiga kategori (Yayasan Semai Sejiwa, 2008: 2), yaitu:

1 Bullying Fisik, meliputi tindakan: menampar, menimpuk, menginjak kaki,


menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum
dengan berlari keliling lapangan dan menghukum dengan cara push up.
2 Bullying Verbal, terdeteksi karena tertangkap oleh indera pendengaran,
seperti memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memalukan di depan
umum, menuduh, menyoraki, menebar gosip, memfitnah dan menolak.
3 Bullying Mental/Psikologis, merupakan jenis bullying yang paling berbahaya
karena tidak tertangkap mata. Praktik ini terjadi secara diam-diam dan di
luar pemantauan si korban. Contohnya adalah: memandang sinis,
memandang penuh ancaman, mempermalukan di depan umum,
mendiamkan, mengucilkan, mempermalukan, meneror lewat pesan sms,
memandang yang merendahkan, memelototi, dan mencibir.

B. Faktor Penyebab dan Dampak Bullying di Sekolah

Dalam aksi bullying terdapat beberapa murid yang memegang peran masing-
masing, yakni peran sebagai pelaku, korban, penonton (bystander), dan sebagai murid
yang tidak terlibat. Selain korban yang merasakan dan mengalami kerugian akibat dari
perilaku bullying, dalam beberapa kasus, pelaku pun dapat menjadi pelaku sekaligus
korban dari bullying yang dilakukan oleh pelaku lain. Pihak yang tidak terlibat dalam
aksi bullying di sekolah dasar misalnya, bisa saja pihak tersebut malah menjadi korban
bullying yang serius di sekolah menengah pertama (SMP) atau di SMA, begitu pula
dengan bystander (Paige Lembeck, dkk., 2016: 1). Setiap anak dan remaja yang terlibat
secara langsung (pelaku dan korban), tidak langsung, dan yang tidak terlibat sekali pun,
berpotensi mengalami bullying.

Salah satu alasan dari banyaknya tindakan bullying yang terjadi di kalangan
anak dan remaja dapat diurai berdasarkan hasil survei, bahwa sebagian besar korban
enggan menceritakan pengalaman mereka kepada pihak-pihak yang mempunyai
kekuatan untuk mengubah cara berpikir mereka dan menghentikan siklus ini, yaitu
pihak sekolah dan orang tua. Korban biasanya merahasiakan bullying yang mereka
derita karena takut pelaku akan semakin mengintensifkan bullying mereka (Anies
Widiyawati, 2014: 2).

Oleh karena keengganan atau ketakutan korban untuk menceritakan perilaku


bullying tersebut, pencegahan bullying ini pun menjadi terhambat. Pada akhirnya, pihak
sekolah dan keluarga tidak akan mengetahui persoalan bullying yang terjadi di antara
siswa, sampai bullying tersebut menjadi semakin intensif, atau sampai perilaku itu
tercium (teridentifikasi) oleh pihak sekolah dan keluarga.

Dalam skema kognitif korban, korban mempunyai persepsi bahwa pelaku


melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia dulu pernah diperlakukan
sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban
tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut
korban perempuan), dan iri hati (menurut korban perempuan), Adapun korban juga
mempersiapkan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena berpendapat bahwa aksi
bullying dilakukan karena penampilan menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai,
perilaku dianggap tidak sopan, dan karena tradisi (Anies Widiyawati, 2014: 2).

Menurut Coloroso (2006), perilaku bullying akan selalu melibatkan adanya


ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, ancaman agresi lebih lanjut, dan
teror. Bullying merupakan salah satu bentuk perilaku agresi. Ejekan, hinaan, dan
ancaman seringkali merupakan pancingan yang dapat mengarah ke agresi. Rasa sakit
dan kekecewaan yang ditimbulkan oleh penghinaan akan mengundang reaksi siswa
untuk membalas. Penghinaan muncul dengan tiga keunggulan psikologis yang jelas,
yang memungkinkan anak melukai tanpa merasa empati, iba, ataupun malu, yaitu:

1 Perasaan berhak, menyangkut keistimewaan dan hak untuk mengendalikan,


mengatur, menaklukkan, dan menyiksa orang lain.
2 Fanatisme terhadap perbedaan, perbedaan dipandang sebagai kelemahan,
dan karenanya tidak layak untuk memperoleh penghargaan.
3 Suatu kemerdekaan untuk mengecualikan, melakukan tindakan-tindakan
yang membatasi, mengisolasi dan memisahkan seseorang yang dianggap
tidak layak untuk mendapatkan penghargaan.

Ken Rigby (2012) berpendapat dalam penelitiannya bahwa mengidentifikasi


hasrat (desire) para pelaku bullying dalam mencegah perilaku bullying ialah cara yang
seharusnya lebih diutamakan daripada menghukum atau memberi sanksi untuk para
pelaku tersebut. Beberapa faktor dari perilaku bullying yang telah teridentifikasi antara
lain ialah (Ken Rigby, 2012: 344):

1 pelaku bully sedang merasa sedih (feeling aggrieved) dan merasa dibolehkan
melampiaskan perasaan sedih atau depresinya tersebut kepada orang lain;
2 pelaku bully melihat korban yang berada di bawah tekanan sebagai sesuatu
yang menyenangkan (seeking fun at another's discomfiture);
3 pelaku bullying berpikir bahwa kelompoknya akan semakin menerima dan
mengakui keberadaannya jika ia berani mem-bully orang lain (gaining or
retaining group support);
4 pelaku bullying bisa saja memang seseorang yang senang menyakiti dan
melihat orang lain dalam keadaan sulit, atau dengan kata lain alasan
seseorang mem-bully bisa saja ialah karena alasan yang sifatnya sadistic
(extortion and sadism).

Matraisa Bara Asi Tumon (2014) dalam simpulan penelitiannya menyatakan


bahwa faktor keluarga, teman sebaya, dan sekolah dapat membentuk perilaku bullying
pada remaja, saat ketiga faktor tersebut berjalan dengan tidak kondusif maka remaja
cenderung akan melampiaskan gejolak emosinya dalam hal yang negatif, dalam hal ini
salah satunya ialah bullying.

Perilaku bullying tentu memiliki efek yang sangat berbahaya, perilaku ini dapat
menimbulkan dampak traumatik luar biasa. Bullying menyebabkan anak dan remaja enggan
untuk masuk sekolah (membolos), menurunkan nilai rapor dan peringkat anak di sekolah,
dan mengganggu kesehatan mental anak antara lain membuat anak dan remaja mengalami
stress, depresi, gelisah dan khawatir, bahkan bullying dapat mendorong anak dan remaja
untuk melakukan bunuh diri (Paige Lembeck, dkk., 2016: 1-2).

Salah satu dampak dari bullying yang paling jelas terlihat adalah kesehatan fisik.
Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan bullying adalah sakit kepala, sakit
tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada (Anis Widiyawati, 2014: 3).
Bahkan dalam kasus-kasus yang ekstrim seperti insiden yang terjadi di SMA 3 Jakarta
(Kompas, 2014), dampak fisik ini bisa mengakibatkan kematian.

C. . Mencegah Bullying di Sekolah

Program pencegahan bullying yang bisa dikatakan sukses biasanya mengandung


beberapa sifat yang sama antara lain (Nadia S. Ansary, dkk., 2015: 31-33):
1 Menciptakan Budaya Anti-Bullying di Sekolah

Untuk menciptakan budaya anti-bullying di sekolah, pihak sekolah dapat


membentuk program pencegahan bullying yang fokus pada pengembangan
karakter dan budaya di sekolah secara komprehensif dan menyeluruh. Seluruh
guru, murid, bahkan sampai bagian kebersihan sekolah mesti mengetahui apa itu
bullying dan bagaimana menghentikan perilaku bullying yang tertangkap tangan.
Sekolah dapat memberikan edukasi mengenai bullying tersebut melalui kegiatan
belajar mengajar di sekolah, jadi ketika guru mengajar, guru tersebut semestinya
mensosialisasikan persoalan bullying kepada murid.

Memberikan pemahaman kepada murid bahwa bullying ialah perilaku


yang tidak patut dan melanggar norma ialah penting. Lebih jauh lagi, sekolah
selanjutnya mesti membuat sebuah kebijakan atau aturan tentang larangan
bullying di sekolah dan di luar sekolah dengan jelas dan tegas. Penegakan
kebijakan atau aturan sekolah tentang bullying tersebut harus dilakukan secara
konsisten oleh semua pihak di sekolah, utamanya murid, sehingga budaya anti-
bullying di sekolah pun dapat terbentuk.

Program pencegahan bullying ini juga perlu disosialisasikan kepada


pihak keluarga murid pelaku bullying dan korban bullying, sebab keluarga murid
tentu memegang peran yang penting dalam mencegah. Langkah yang dapat
dilakukan misalnya adalah dengan mengadakan pertemuan dengan keluarga atau
wali murid, melakukan kampanye melalui media sosial, mengirim berita tentang
program pencegahan bullying atau tentang tindakan bullying kepada keluarga
atau wali murid, dan sebagainya.

Kerjasama antara pihak sekolah dan keluarga murid untuk menolong


anak baik yang menjadi pelaku maupun korban bullying ini sangatlah penting,
sebab seringkali persoalan anak yang menjadi pelaku bullying ialah berawal dari
persoalan keluarga (Thomas dan Kevin, 2010). Ketika fungsi keluarga, teman,
dan sekolah berjalan dengan baik dan kondusif maka perilaku bullying dapat
dicegah dan dikurangi (Matraisa Bara Asie Tumon, 2014: 13). Pada intinya
semua pihak mesti dilibatkan dalam program pencegahan bullying dengan
memberikan pemahaman mengenai bullying secara komprehensif.

2 Komitmen

Komitmen lebih ditekankan untuk dimiliki oleh semua guru di sekolah.


Guru seharusnya memiliki komitmen untuk mencegah bullying. Tidak hanya
mengetahui secara pasti seperti apa tindakan bullying yang biasa terjadi di antara
siswanya, tetapi juga guru mesti mengetahui bagaimana semestinya ia bertindak
ketika tindakan bullying tersebut terjadi. Bahkan seorang guru mestinya dapat
melihat bullying yang terjadi di luar sekolah, kemudian melakukan pencegahan
terhadapnya. Sebab bullying dapat berpindah ke tempat di luar sekolah, seperti
ke dunia maya, sehingga semua tempat harus dapat dimonitor oleh seorang guru.
3 Respons yang Jelas terhadap Tindakan Bullying

Perlakuan terhadap anak yang menjadi korban dan pelaku bullying dapat
dibuat secara efektif dan efisien. Pelaku bullying tidak semestinya hanya
diberikan sanksi, tetapi juga guru mesti memberikan bimbingan yang tepat untuk
siswa pelaku bullying, seperti dengan mengajak siswa tersebut berbincang atau
membuat siswa merefleksikan perbuatannya dan membuatnya memahami bahwa
bullying yang ia lakukan adalah perbuatan yang tidak baik. Mempermalukan
siswa pelaku bullying dengan memarahinya di depan umum atau dengan
langsung menghukum siswa tersebut adalah cara yang dinilai kurang efektif
untuk mencegah bullying. Siswa pelaku bullying bisa saja akan melakukan
aksinya kembali sesudah ia menyelesaikan hukumannya.

Anda mungkin juga menyukai