Anak Didik
A. MULTIPERAN GURU
Pendidikan formal dirasakan urgensinya ketika keluarga tidak mampu lagi
memberikan pendidikan yang wajar kepada anak-anaknya. Lembaga ini akhirnya diterima
sebagai wahana proses kemanusiaan dan pemanusiaan kedua setelah keluarga. Dalam
perjalanannya ternyata tidak ada pendidikan formal yang benar-benar netral. Ini ditandai
dengan adanya praktik pendidikan yang kurang menghargai kebebasan siswa. Fenomina
semacam ini disebut Paulo freire dalam The Politic of Education: Culture, Power, and
Liberation (1980) sebagai praksis pendidikan yang membelenggu, bukan membebaskan.
Menurut Freire, pendidikan yang membebaskan merupakan proses pendidikan yang
mengondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang senyatanya
secara kritis. Pendidikan yang membebaskan tidak dapat direduksi menjadi sekedar usaha
guru untuk memaksakan kebebasan kepada siswa. Sementara itu, pendidikan yang
membelenggu berusaha menanamkan kesadaran yang keliru kepada siswa sehimgga mereka
mengikuti jalur kehidupan ini dan menerima realitas tanpa filter yang selektif,
Terlepas dari apakah kehadiran guru di kelas dan di luar kelas membebaskan atau
membelenggu siswanya, kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan tenaga kependidikan,
terutama guru, amat terasa esensi dan urgensinya pada pendidikan formal (formal education)
untuk setiap jenis dan jenjang. Di lembaga pendidikan formal ini, guru menjalankan tugas
pokok dan fungsi yang bersifat multiperan, yaitu sebagai pendidik, pengajar dan pelatih.
Istilah pengajar merujuk pada pembinaan dan pengembangan pengetahuan atau asah otak-
intelektual. Istilah pelatih, meskipun tidak lazim menjadi sebutan untuk seorang guru,
merujuk pada pembinaan dan pengembangan keterampilan atau keprigelan peserta didik,
seperti yang dilakukan oleh guru keterampilan,
Pada lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat), pelatih atau widyaiswara
melaksanakan tugas-tugas kepelatihan. Istruktur atau tutor bertugas membimbing atau
melatih peserta kursus. Di sekolah-sekolah dibentuk kelembagaan Bimbingan Penyuluhan
atau Bimbingan Karier (BK), yang tugas pokok dan fungsinyadijalankan oleh guru BP/BK.
Guru, pelatih, pembimbing, tutor dan instruktur hanyalah sebagian kecil dari jenis-jenis
tenaga kependidikan.
Pengertian pendidikan karakter
Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (1991) adalah pendidikan untuk
membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat
dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab,
menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Aristoteles berpendapat bahwa
karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah
laku. Definisi pendidikan karakter selanjutnya dikemukakan oleh Elkind & Sweet (2004).
‘’character education is the deliberate effort to help people understand, care about,
and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our
children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about
what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from
without and temptation from within’’
Menurut Elkind dan Sweet (2004) pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja
untuk membantu memahami manusia, peduli dan inti atas nilai-nilai etis/susila. Dimana kita
berfikir tentang macam-macam karakter yang kita inginkan untuk anak kita, ini jelas bahwa
kita ingin mereka mampu untuk menilai apa itu kebenaran, sangat peduli tentang apa itu
kebenaran/hak-hak, dan kemudian melakukan apa yang mereka percaya menjadi yang
sebenarnya, bahkan dalam menghadapi tekanan dari tanpa dan dalam godaan).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu
membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru,
cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai
hal terkait lainnya.
Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama
dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak,
supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik bagi
suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak
dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia
sendiri, dalam rangka membina kepribadia generasi muda.
Russel Williams, menggambarkan karakter laksana ‘’otot’’, yang akan menjadi
lembek jika tidak dilatih. Dengan latihan demi latihan, maka ‘’otot-otot’’ karakter akan
menjadi kuat dan akan mewujud menjadi kebiasaan (habit). Orang yang berkarakter tidak
melaksanakan suatu aktivitas karena takut akan hukuman, tetapi karena mencintai kebaikan
(loving the good) (Adian Husaini, 2010).
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada
perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus
pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan
pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti
: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan
tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri pserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan kemendiknas (2010), secara
psikologis dan sosial kultual pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi
dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam
konteks interaksi sosial cultural (dalam keluarga, sekolah dan masyarakat) dan berlangsung
sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-
kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: (1) olah hati (spiritual and emotional
development) (2) olah pikir (intellectual development), (3) olah raga dan kinestetik (physical
and kinesthetic development), dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creatifity
development), keempat hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, bahkan saling
melengkapi dan saling keterkaitan.
Pengkategorian nilai berdasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakikatnya perilaku
seseorang yang berkarakter merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang
mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi
totalitas sosial-kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan
masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Seperti yang tergambar dalam diagram di
bawah:
Beriman dan bertakwa, jujur
Cerdas, kritis,
amanah, adil, bertanggung
kreatif,inovatif, ingin
jawab, berempati berani
tah, berfikir terbuka,
mengambil resiko, pantang
produktif, beroriontasi
menyerah, rela berkorban,
ipteks, dan reflektif
Olah Pikir Olah Hati dan berjiwa patriotik
Olah Rasa/Karsa
Olah Raga
Bersih dan sehat,
Ramah, saling menghargai,
disiplin, sportif, tangguh,
toleran, peduli, suka menolong,
andal, berdaya tahan,
gotong royong, nasionalis,
bersahabat, kooperatif,
kosmopolit, mengutamakan
determinative,
kepentingan umum, bangga
kompetitif, ceria dan
menggunakan bahasa dan
gigih.
produk Indonesia, dinamis, kerja
keras, dan beretos kerja.
Gambar
Koherensi karakter alam konteks totalitas proses psiko sosial
Sumber: Desain Induk Pendidikan Karakter Kemendiknas, 2010
Para pakar telah mengemukakan berbgai teori tentang pendidikan karakter. Menurut
Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak
digunaka; yaitu pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan
klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial.
Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teri yang
berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif , pendekatan afekti, dan pendekatan
perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan
kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Menurut Kemendiknas (2010)- sebagaimana disebutlan dalam buku induk
kebijakan Nasional pembangunan karakter bangsa tahun 2010-2025 pembangunan karakter
yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945
dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, sperti:
disorientasi dan belum dihayati nilai-nilai Pancasila: keterbatasan perangkat kebijakan
terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai pancasila: bergesernya nilai etika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa;
ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa.
Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana
diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan
kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu
program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana
pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan
nasional, yaitu ‘’mewujudkan masyarakat berakhlak mulia bermoral, beretika, berbudaya,
dan beradap berdasarkan falsafah Pancasila.
Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang
diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal yang dimaksud itu sudah tertuang dalam
fungsi dan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana diamankan dalam Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, yakni:
Dengan demikian, RPJPN dan UUSPN merupakan landasan yang kokoh untuk
melaksanakan secara operasional pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai prioritas
program Kemendiknas 2010-2014, yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional
Pendidikan Karakter (2010): pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk,
memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati.
Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar
dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif)
tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa
melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus
melibatkan bukan saja aspek ‘’pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga
‘’merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral
action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus
dipraktekkan dan dilakukan.
Ini adalah susunan posisi duduk yang baru setelah guru mengubah tempat duduk
mereka dan mengaturnya agar duduk dalam posisi mendengar cerita seperti terlihat dalam
gambar guru dapat mendekatkan para siswa dengan memindahkan bangku yang terletak di
belakang ke depan.
Guru dapat memastikan bahwa para siswa merasa bebas jiwanya dengan beberapa
aturan tentunya di tempat duduk yang sesuai. Guru bisa membiarkan sebagian siswa duduk di
samping kanan-kirinya, yang lain duduk dibelakang dan yang lain lagi dibiarkan berdiri jika
mereka menghendaki.
Guru hendaknya tidak menempatkan siswa duduk atau berdiri di kedua ujung
setengah lingkaran, jika itu akan menyulitkan dalam memperhatikan mereka baik ketika
duduk ataupun berdiri saat penceritaan berlangsung.
Kemudian guru duduk di bangkunya secara terpisah, menghadap murid-murid dan
memandang mereka secara menyeluruh, untuk dapat mengundang perhatian mereka.
Sebaiknya guru tidak langsung duduk ketika mulai bercerita, tetapi memulainya dengan
berdiri, lalu pada menit-menit selanjutnya secara perlahan-lahan ia bersikap untuk duduk
pada saat menyampaikan pembukaan cerita, kemudian setelah itu barulah ia duduk.
Dari penjelasan tadi, hendaknya tidak dipahami bahwa guru harus selalu duduk
sepanjang bercerita. Sebab alur kisah itu mengharuskannya pula untuk bergerak, mengubah
posisi duduk, dan terkadang mengharuskannya untuk berdiri dan berjalan sesuai kebutuhan.