Anda di halaman 1dari 13

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI

2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936


Volume I (1), 01-13

Pengaruh kontrol diri terhadap agresivitas remaja dalam


menghadapi konflik sebaya dan pemaknaan gender
Santi Praptiani Universitas Muhammadiyah Malang1

Abstraksi

Agresivitas di kalangan remaja menunjukkan peningkatan. Salah satu faktor penyebab meningkatnya
agresivitas remaja adalah kemampuan kontrol diri. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh
kontrol diri terhadap agresivitas remaja, mengetahui perbedaan kontrol diri dan agresivitas remaja
laki-laki dan perempuan dalam menghadapi konflik sebaya dengan menggunakan desain penelitian
kuantitatif dan kualitatif. Subyek penelitian siswa kelas X dan XI SMKN 11 Malang, usia 15-19 tahun,
sejumlah 493 siswa terdiri dari siswa laki-laki 288 dan siswa perempuan 205. Instrumen penelitian
menggunakan instrumen self control scale (SCS) untuk mengukur kontrol diri dan aggression scale
(AS) untuk mengukur agresivitas dan peer conflict scale (PCS) untuk mengukur konflik sebaya
serta pedoman wawancara analisis Harvard untuk mengetahui pemaknaan gender. Hasil penelitian
menunjukkan ada pengaruh kontrol diri terhadap agresivitas remaja dalam menghadapi konflik sebaya
berdasar analisis regresi (F = 5,37; p < 0,05), tidak ada perbedaan kontrol diri dan agresivitas remaja
laki-laki dan perempuan dalam menghadapi konflik sebaya berdasar ANOVA (F = 0,67; p > 0,05) dan
(F = 1,22; p > 0,05) serta terdapat pemaknaan gender pada masalah konflik sebaya, agresivitas dan
kontrol diri remaja.

Kata kunci Kontrol diri, agresivitas, konflik sebaya, gender

Pendahuluan
Konflik antar teman sebaya (peer conflict) sering
terjadi pada hubungan teman sebaya (peer relasional) (Yager, Trzesniewski, Tirri, Nokelainen,
& Dweck, 2011). Konflik tersebut dapat terjadi
karena kompetisi, provokasi dan salah paham
antar mereka (Berkowitz, 1993; Johnson, Coie,
Gremaud, Lochman, & Terry, (1999) sehingga
menimbulkan kemarahan dan permusuhan
(Lawrence, 2006; Orpinas, Frankowski, 2001)
sebagai upaya pertahanan dari sti-mulus yang
dianggap mengancam (Dodge, Lochman, Harnish, Bates, & Pettit, 1997).
Berdasarkan studi awal di SMKN 11
Malang pada bulan Februari 2012 menunjukkan 80% dari 136 siswa pernah mengalami
konflik dan 45% siswa sedang mengalami konflik. Konflik yang dialami oleh siswa antara lain
konflik dengan teman sebaya, pacar, orang tua
dan guru. Sebagian besar siswa mengatakan
sering konflik dengan teman sebaya biasanya
1

disebabkan karena salah paham, bercanda


dan persaingan atau kompetisi. Konflik antar
teman sebaya terjadi pada siswa laki-laki dan
perempuan. Penyelesaian konflik antar teman
sebaya mengarah pada menghindari teman, bicara keras dan perkelahian.
Studi awal tersebut juga menemukan bukti
bahwa siswa laki-laki lebih mudah terpancing
emosi sehingga sering berkelahi dengan teman
sebaya. Sedangkan siswa perempuan sering
menceritakan masalahnya kepada teman atau
orang yang dipercaya untuk menyampaikan
masalahnya, meskipun ada juga perempuan
yang mereaksi masalah mereka dengan perkelahian.
Penanganan masalah siswa di SMKN 11
Malang dilakukan berdasarkan jenis permasalahan yang dihadapi dan dikaitkan dengan
poin sangsi pelanggaran yang ada dalam peraturan sekolah. Penanganan permasalahan
siswa pada TA 2011/2012 menunjukkan siswa
laki-laki memiliki prosentase lebih tinggi di-

Korespondensi ditujukan kepada Santi Praptiani, Sasa_bk11@yahoo.co.id, telepon: 081374549597

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 01-13

bandingkan perempuan pada kategori agresivitas, meskipun konflik sebaya menunjukkan


siswa perempuan memiliki prosentase yang lebih tinggi dibandingkan siswa laki-laki.
Emosi yang masih labil menyebabkan remaja kurang matang dalam menyelesaikan
masalah dengan teman sebayanya (Fitzpatrick,
& Bussey, 2011; Allison, & Schultz, 2004).
Kurangnya kemampuan kontrol diri untuk
mengendalikan rasa marah pada remaja menyebabkan munculnya perilaku melawan (Orpinas, & Frankowski, 2001) dan persepsi ancaman yang mereka rasakan menimbulkan rasa
dendam dan dorongan untuk membalasnya
dengan perilaku yang agresif (Dodge, Lochman,
Harnish, Bates, & Pettit, 1997; Yager, Trzesniewski, Tirri, Nokelainen, & Dweck, 2011).
Agresivitas yang dilakukan remaja sering
terjadi dalam bentuk serangan verbal atau serangan fisik (Marsee, et al, 2011; Csibi & Csibi,
2011) bahkan berupa perilaku kekerasan seperti perkelahian fisik atau perkelahian dengan
senjata tajam yang dapat menimbulkan cidera (Lawrence, 2006; Orpinas, & Frankowski,
2001) atau berakibat ada korban bagi pihak
lain (Dodge, Lochman, Harnish, Bates, & Pettit,
1997). Agresivitas pada remaja tersebut ternyata tidak hanya di daerah perkotaan tetapi juga
di pedesaan dan tidak hanya terjadi di daerah
dengan status sosial ekonomi yang tinggi tetapi
juga terjadi di daerah dengan status sosial ekonomi rendah (Kim, Orpins, Randy, Kamphaus,
& Kelder, 2011). Oleh karena itu wajar jika perilaku antisosial yang dilakukan remaja, yaitu
menyimpang dari standar atau aturan yang ada
menyebabkan semakin meningkatkan tindak
pidana di kalangan remaja. (Alexis, 2001; Cui,
Durtschi, Donnellan, Lorenz, & Conger, 2010).
Laki-laki dan perempuan memiliki cara
yang berbeda dalam menghadapi konflik sebaya, laki-laki cenderung menghadapinya
dengan memberikan hinaan, mengejek, bersaing dengan dominasi fisik dan ejekan verbal dengan cara-cara yang kasar dan perkelahian sedangkan perempuan menghadapi
konflik dengan menggosip, mengejek secara
halus dan diam sampai beberapa hari (Orpinas, Frankowski, 2001). Agresivitas remaja
terjadi tidak hanya di luar sekolah tetapi juga
terjadi di sekolah (Alexis, 2001) sehingga perlu
upaya pencegahan dan kewaspadaan terutama
di lingkungan sekolah terhadap kemungkinan
terjadinya agresivitas.
Konflik antar teman sebaya dipengaruhi
oleh perilaku, kepribadian dan kognisi sosial
(Dodge, Lochman, Harnish, Bates, & Pettit,
1997) juga dipengaruhi adanya penolakan so2

sial pada kelompok sebaya dan permasalahan


hubungan interpersonal (Dodge, Lochman,
Harnish, Bates, & Pettit, 1997). Perilaku agresif terkait dengan konflik sebaya dimungkinkan berhubungan dengan kontrol diri remaja.
Pada suatu penelitian diketahui bahwa laki-laki memiliki kontrol diri yang lebih rendah daripada perempuan sehingga laki-laki cenderung
berperilaku agresif dibandingkan perempuan
(Gibson, Ward, Wright, Beaver, Delisi, 2010;
Kim, Kim, Kamphaus, 2010). Kontrol diri yang
rendah memiliki resiko terjadinya agresivitas
dan perilaku kriminal (Marsee et al., 2011).
Permasalahan mengenai agresivitas dan
kontrol diri pada remaja yang mengalami konflik sebaya perlu upaya pencegahan dengan
menghindari faktor-faktor yang menyebabkan
agresivitas dan kontrol diri yang rendah. Kontrol diri yang baik sangat diperlukan remaja
untuk mengendalikan emosi dalam mengatur
perilakunya agar tidak berperilaku agresif.
Memahami dan mengetahui ukuran agresivitas serta kemampuan kontrol diri pada remaja
laki-laki dan perempuan merupakan hal penting agar dapat memberikan penanganan yang
tepat, terutama mengenai masalah agresivitas
dan kemampuan kontrol diri juga perlu memahami adanya pemaknaan gender pada permasalahan remaja laki-laki dan perempuan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh kontrol diri terhadap agresivitas remaja yang menghadapi konflik sebaya , mengetahui perbedaan kontrol diri dan agresivitas
pada remaja laki-laki dan perempuan dalam
menghadapi konflik sebaya serta mengetahui
pemaknaan gender dengan menggunakan analisis Harvard melalui aspek akses, manfaat, aktivitas, kontrol dan faktor yang berpengaruh.
Manfaat penelitian ini untuk memperkaya
konsep atau teori perkembangan tentang tugas-tugas perkembangan remaja, sebagai sumber informasi dalam kegiatan parenting perkembangan anak usia remaja, sebagai bahan
acuan dalam proses layanan bimbingan dan
konseling tentang tugas-tugas perkembangan
remaja di sekolah, sebagai sumber informasi
bagi remaja tentang kemampuan kontrol diri
pada remaja dalam menghadapi konflik sebaya
dan digunakan sebagai sumber informasi dalam penanganan masalah siswa yang berkaitan
dengan gender atau gender dalam pendidikan.

Tinjauan Pustaka
Agresivitas merupakan penyampaian stimulus
berbahaya yang diarahkan pada individu lain
(Bushman & Anderson 2001; Muoz, Frick, Ki-

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 01-13

monis, & Aucoin, 2008; Berkowitz 1993; Geen


2001) disebabkan oleh permusuhan, provokasi dan marah sehingga menimbulkan perilaku
impulsif dengan tanpa berpikir bertujuan untuk merugikan target. Agresivitas terdiri dari
affective agresif, yaitu perilaku yang impulsif
dan reaktif agresif yaitu perilaku agresif instrumental yang direncanakan untuk merugikan
korban dan bersikap proaktif bukan reaktif
(Berkowitz, 1993; Geen 2001).
Agresivitas dalam penelitian ini adalah
perilaku yang ditunjukkan untuk melawan
atau melakukan serangan sebagai balasan kepada lawannya dalam bentuk provokasi, penghinaan dan kemarahan dan upaya untuk mempertahankan diri sebagai wujud penolakan kepada teman maupun kelompoknya atau peer.
Penelitian ini mengacu pada penelitian Crick
(1996) bahwa perilaku agresif terjadi karena
individu menanggapi provokasi, serangan atau
penghinaan dari orang lain yang diwujudkan
dengan tindakan untuk mempertahankan diri
dengan kemarahan. Karena perilaku agresif itu
menanggapi provokasi, serangan atau penghinaan, dan diwujudkan dalam tindakan pertahanan diri dan marah, maka agresivitas merupakan perilaku yang merugikan orang lain.
Smith, Rose, dan Schwartz (2009) menjelaskan
bahwa perempuan cende-rung lebih agresif
pada agresif relasional relational dibandingkan
laki-laki, hal ini berkaitan dengan penerimaan
teman sebaya, dimana perempuan lebih sulit
untuk menerima teman sebayanya dibandingkan laki-laki. Pada agresif terbuka, laki-laki
lebih agresif dibandingkan perempuan hal ini
berkaitan dengan kemampuan kontrol diri dimana laki-laki kurang memiliki kemampuan
kontrol diri yang baik. Penelitian Orpinas, dan
Frankowski (2001) menjelaskan bahwa perilaku
agresif diukur dari adanya perkelahian fisik di
sekolah, terjadi cedera akibat perkelahian dan
penggunaan senjata tajam.
Penelitian Dodge, dan Coie (1987), Dodge,
Lochman, Harnish, Bates, dan Pettit (1997)
disebutkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif, yaitu informasi sosial, mekanisme individu yang berkaitan dengan
perilaku agresif dan permasalahan dalam kelompok sebaya. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan tiga dimensi, yaitu perilaku dalam
kelompok (peer), kepribadian, dan kognisi sosial. Masalah yang menjadi perhatian Dodge,
dan Coie (1987) adalah masalah agresif dan
penolakan sosial dalam kelompok teman sebaya.
Konflik merupakan faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Kon-

flik biasanya dikaitkan dengan kemarahan,


agresivitas dan pertentangan baik secara fisik
maupun dengan kata-kata kasar (Skoe, &
Lippe, 1998). Dia menyatakan strategi yang
digunakan individu dalam menghadapi konflik secara konstruktif dan tidak konstuktif.
Strategi tersebut oleh individu dipengaruhi
oleh kepribadian, individu yang secure akan
menggunakan strategi yang lebih konstruktif,
sedangkan individu yang insecure dan cemas
ambivalence menggunakan strategi tidak konstruktif (Baumeister, 2007).
Konflik sebaya pada remaja disebabkan
oleh permasalahan dengan teman sebayanya,
seperti pengasingan atau isolasi sosial dan
penolakan dalam berteman sehingga menyebabkan kecemasan remaja karena merasa
takut kehilangan teman-temannya. Sebagai
upaya untuk melindungi diri dari kecemasannya maka remaja melakukan defense dengan
eksternalisasi perilaku secara agresif menggunakan perilaku menantang, berbuat ulah
dan kenakalan lainnya (Marsee & Frick, 2010).
Konflik sebaya dalam penelitian ini adalah
perilaku remaja yang mengarah pada pertentangan dengan kelompok sebaya dan ditunjukkan dengan perilaku yang reaktif dan proaktif
kepada teman-temannya maupun dalam menjalin hubungan dengan kelompoknya.
Penelitian ini mengacu pada pendapat Marsee dan Frick (2007) tentang relational aggression yang menjelaskan bahwa perilaku agresif
pada hubungan pertemanan sebaya disebabkan karena adanya penolakan dengan temantemannya dan adanya konflik dalam hubungan
pertemanan tersebut.
Yager, Trzesniewski, Tirri, Nokelainen, dan
Dweck (2011) menjelaskan bahwa remaja menanggapi konflik antar pribadi dengan penuh
dendam, meskipun beberapa menyelesaikan
masalahnya dengan solusi yang positif, penelitian yang dilakukan di kelas 9 dan 10
menunjukkan bahwa remaja memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan balas dendam bahkan ada remaja yang terlibat dalam
kasus bullying.
Kontrol diri merupakan pengendalian diri
yang bersifat unidemential (Schulz, 2004; Gottfredson & Hirschi, 1990) merupakan kemampuan individu untuk mengendalikan emosi,
dorongan-dorongan dari dalam dirinya untuk
mengatur proses-proses fisik, psikologis, perilaku dalam menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang
positif agar dapat diterima dalam lingkungan
social (Feist, 2008 ; Boeree, 2005; Baumeister,
Kathleen, Vohs, & Tice, 2007; Ove, Myrseth, &
3

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 01-13

Fishbach, 2009; Santrock, 2007) dipengaruhi


oleh kualitas hubungan interpersonal keluarga, teman, kualitas keyakinan dan spiritual,
tingkat pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi
dan status pernikahan (Delisi, 2008)
Kontrol diri dalam penelitian ini adalah
kemampuan remaja untuk berperilaku yang
tidak impulsive, dapat memikirkan resiko dari
perilakunya, berusaha mencari informasi sebelum megambil keputusan, tidak mengandalkan
kekuatan fisik dalam menyelesaiakan masalah
dan tidak bersikap egois atau mudah marah.
Penelitian ini mengacu pada Gottfredson
dan Hirschis (1990) tentang A general theory
of crime yang menjelaskan bahwa rendahnya
kontrol diri pada individu dapat meyebabkan
terjadinya perilaku kejahatan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kontrol diri adalah jenis
kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, ras
dan usia.
Barber, Grawitch, dan Munz (2012) melakukan penelitian pada mahasiswa mengenai kemampuan mengendalikan diri, Barber,
Grawitch, dan Munz (2012) menjelaskan bahwa
rendahnya kontrol diri dipengaruhi oleh penalaran yang logis, kesadaran diri dan task oriented (ketekunan dalam tugas). Individu mampu
melakukan kontrol diri tergantung pada kemampuan sadar individu untuk melakukan
pengaturan diri (self regulation).
Baumeister, Vohs, dan Tice (2007) menerangkan bahwa pengendalian diri adalah fungsi sentral dari diri dan kunci penting untuk kesuksesan dalam hidup. Pengusahaan kontrol
diri tampaknya tergantung pada sumber daya
yang terbatas karena terbatas dan melelahkan
karena tindakan pengendalian diri menyebabkan ego deplesi. Kemampuan untuk mengendalikan diri seperti halnya kemampuan untuk
mengendalikan atau menahan dari kebutuhan
dasar manusia seperti makan, minum, belanja,
seksualitas, pikiran cerdas, membuat pilihan,
dan perilaku interpersonal, sehingga kemampuan untuk mengendalikan diri membutuhkan
motivasi seseorang agar ia mampu menahan
godaan.
Kemampuan mengontrol diri mempengaruhi agresivitas. Individu dengan kontrol diri
yang baik mampu mengendalikan diri dari
perilaku agresivitas sedangkan individu dengan
kontrol diri yang kurang baik maka kemampuan untuk mengendalikan diri juga kurang.
Semakin tinggi kontrol diri seseorang maka
semakin rendah agresivitasnya. Sebaliknya semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi
agresivitasnya.

Gender merupakan sifat yang melekat pada


kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk
oleh faktor-faktor sosial dan budaya sehingga
membentuk peran sosial dan budaya pada lakilaki dan perempuan (Handayani, 2008; Friedman, 2006). Faktor sosial dan budaya tersebut
mempengaruhi peran gender pada perilaku
agresivitas.
Perilaku agresivitas pada laki-laki dan
perempuan dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengendalikan diri. Laki-laki cenderung
memiliki kontrol diri rendah sedangkan perempuan cenderung memiliki kontrol diri yang
tinggi sehingga laki-laki cenderung berperilaku
agresif dibandingkan perempuan (Gibson et al,
2010; Kim et al, 2010). Laki-laki lebih menunjukkan ekspresi dominant, merespon secara
agresif dan memulai tingkah laku agresif serta
menunjukkan perilaku agresif dalam bentuk
fisik atau verbal sedangkan perempuan lebih
kepada ekspresi emosional.
Teknik Analisis Harvard merupakan
kerangka analisis gender yang berfungsi untuk melihat peran gender, meliputi profil akses, manfaat, aktivitas, kontrol dan faktor yang
berpengaruh (Handayani, 2008). Dalam hal ini
kerangka analisis Harvard untuk melihat peran
gender melalui profil akses, manfaat, aktivitas,
kontrol dan faktor yang berpengaruh pada permasalahan kontrol diri dan agreesivitas remaja
dalam menghadapi konflik sebaya.
Hipotesis pada penelitian ini adalah (1) terdapat pengaruh kontrol diri terhadap agresivitas remaja dalam menghadapi konflik sebaya,
(2) terdapat perbedaan kontrol diri dan agresivitas pada remaja laki-laki dan perempuan
dalam menghadapi konflik sebaya, dan (3) terdapat pemaknaan gender mengenai permasalahan kontrol diri, agresivitas dan konflik sebaya
menggunakan analisis harvard pada aspek akses, manfaat, aktivitas, kontrol dan faktor yang
berpengaruh.

Metode Penelitian
Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan
pendekatan kuantitatif karena penelitian ini
bersifat korelasional antara dua variabel (John,
Zechmeister, & Zechmeister 2006) yaitu untuk
mengetahui bagaimana pengaruh kontrol diri
remaja terhadap agresivitas dalam menghadapi
konflik sebaya. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengetahui
makna gender dengan menggunakan analisis

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 01-13

Harvard yang memiliki tujuan untuk memahami secara mendalam mengenai profil dan
peran gender mengenai permasalahan kontrol
diri, agresivitas dan konflik sebaya dengan mengutarakan komponen profil aktivitas, akses,
manfaat/kontrol dan faktor yang mempengaruhi.

Subyek penelitian
Subyek dalam penelitian ini siswa SMK N 11
Malang kelas X dan XI sejumlah 493 siswa dilakukan seleksi menggunakan instrumen peer
conflict scale (PCS) diperoleh subyek yang konflik sebaya sebesar 149 siswa, terdiri dari 91
siswa laki-laki dan 58 siswa perempuan
dengan rentangan usia 15 19 tahun. Usia 15 tahun (M = 2,8; SD = -15,8), 16 tahun (M = 16,6;
SD = 53,2), 17 tahun (M = 9; SD = 15,2), 18
tahun (M = 1,2; SD = -23,8), 19 tahun (M = 0,2;
SD = -28,8).

Instrumen penelitian
Kontrol diri diukur menggunakan instrumen
self control scale yang dikembangkan oleh Gottfredson dan Hirschi (1990), terdiri dari 24 item
pertanyaan, meliputi aspek bertindak mendadak, keputusan sesaat, kemampuan melihat
resiko, perilaku fisik, sikap egois dan sikap
sabar, contoh aspek perilaku mendadak, saya
sering bertindak mendadak. Menggunakan
skala likert, yaitu sangat setuju (1), agak setuju
(2), tidak setuju (3), dan sangat tidak setuju (4).
Hasil uji reliabilitas instrumen self control scale
(PCS) diperoleh = 0,71.
Agresivitas diukur meggunakan instrumen
agression scale (AS) yang dikembangkan oleh
Crick (1995) yang asalnya untuk mengukur
agresivitas anak-anak yang dalam penelitian ini
digunakan pada remaja dengan penyesuaian
pada beberapa kalimat. AS terdiri dari 15 item
pertanyaan, meliputi aspek agresif terbuka,
agresif relasional dan agresif prososial, contohnya saya mendukung apa yang dikatakan
teman saya. Menggunakan skala likert yaitu
sangat setuju (1), agak setuju (2), tidak setuju
(3), dan sangat tidak setuju (4). Hasil uji reliabilitas instrumen aggression scale ( AS) diperoleh = 0,82.
Konflik sebaya diukur menggunakan instrumen peer conflict scale (PCS) yang dikembangkan oleh Marsee, & Frick (2007) terdiri
dari 40 item, meliputi aspek reaktif terbuka,
reaktif relasional, proaktif terbuka dan proaktif relasional, contohnya saya menikmati

ketika mengolok-olok teman. Menggunakan


skala likert yaitu tidak benar (0), agak benar
(1), sangat benar (2), benar sekali (4). Hasil uji
reliabilitas instrumen peer conflict scale (PCS)
diperoleh = 0,86.

Analisa data
Analisa data kuantitatif dengan analisis regresi
dan ANOVA menggunakan program SPSS v 17.
Analisis regresi untuk mengetahui pengaruh
kontrol diri terhadap agresivitas remaja dalam
menghadapi konflik sebaya sedangkan ANOVA
untuk mengetahui perbedaan kontrol diri dan
agresivitas remaja laki-laki dan perempuan
dalam menghadapi konflik sebaya.
Analisa data kualitatif menggunakan analisis Harvard untuk mengetahui pemaknaan
gender pada permasalahan kontrol diri dan
agresivitas remaja dalam menghadapi konflik
sebaya yang meliputi aspek aktivitas, akses,
kontrol, manfaat dan faktor yang berpengaruh
berupa angket pedoman wawancara kepada
responden laki-laki dan perempuan dengan
jumlah yang seimbang, yaitu laki-laki 3 siswa
dan perempuan 3 siswa.

Hasil dan Pembahasan


Deskripsi data kuantitatif
Subyek terdiri dari 149 siswa, laki-laki 91
siswa, perempuan 58 siswa dengan rentangan
usia 15 19 tahun.
Tabel 1
Distribusi mean, standar deviasi dan prosentase data penelitian
Variabel
Konflik sebaya
Laki-laki
Perempuan
Kontrol diri
Laki-laki
Rendah
Tinggi
Perempuan
Rendah
Tinggi
Agresivitas
Laki-laki
Rendah
Tinggi
Perempuan
Rendah
Tinggi

SD

56,10
56,45
55,55
43,39
43,14

6,36
6,84
5,52
4,88
5,02

Prosentase
61,07%
38,93%

67,03%
32,97%
43,58

4,98
3,45%
96,55%

14,64
15,00

9,59
11,14
3,30%
96,70%

14,08

6,50
3,45%
96,55%

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 01-13

Rata-rata pada konflik sebaya sebesar


56,10 dengan SD = 6,36. Laki-laki yang konflik sebaya sebesar 61,07% dan perempuan
sebesar 38,93%. Rata-rata pada Kontrol diri
sebesar 43,39 dengan SD = 4,88. Laki-laki dan
perempuan memiliki kontrol diri rendah, lakilaki sebesar 67,03% dan perempuan sebesar
75,86%. Rata-rata pada agresivitas sebesar
14,64 dengan SD = 9,59. Laki-laki dan perempuan memiliki agresivitas tinggi, laki-laki sebesar 96,70% dan perempuan sebesar 96,55%.

Tabel 2
Hasil regresi kontrol diri dan agresivitas
Hasil Analisis

Nilai

Koefisien korelasi (R)


Stand. Error
Nilai F
Sig.

0,18
4,81
0,82
0,67

Tabel 3
Hasil ANOVA

Analisis Uji Hipotesis

Hasil ANOVA

Hasil analisis regresi

Kontrol diri laki-laki dan perempuan


Agresivitas laki-laki dan perempuan

Nilai koefisien korelasi kontrol diri dan agresivitas diperoleh (r = 0,18) dan standar error
4,81. Hasil analisis uji regresi menunjukkan
(F = 5,37; p < 0,05) hal ini membuktikan ada
pengaruh yang signifikan kontrol diri terhadap
agresivitas remaja dalam menghadapi konflik
sebaya yang terangkum pada Tabel 2.

Hasil anova
Dari hasil ANOVA kontrol diri laki-laki dan
perempuan diperoleh (F = 0,82 dan p > 0,05) hal
ini membuktikan tidak ada perbedaan yang
signifikan kontrol diri laki-laki dan perempuan
dalam menghadapi konflik sebaya. Dari hasil
ANOVA agresivitas laki-laki dan perempuan diperoleh ( F = 1,22; p > 0,05) membuktikan tidak
ada perbedaan yang signifikan agresivitas lakilaki dan perempuan dalam menghadapi konflik
sebaya yang terangkum pada Tabel 3.

Hasil analisis kualitatif


Jalu, 19 tahun mengalami konflik karena ingin membalas teman, mempertahankan diri
dan merasa dirinya benar serta bermaksud
menyadarkan teman akan kesalahannya.
Menurutnya konflik terjadi karena terjadinya
interaksi sesama teman mendukung. Menurut
Jalu,... karena kejadiannya di cafe seumpama
kejadiannya di sekolah saya tidak berani untuk melawan teman karena takut dikenai sangsi sekolah (4). Sementara Kembang 15 tahun
mendapatkan akses karena ingin menunjukkan bahwa temannya bersalah, menurut Kembang saya ingin teman saya mengetahui bahwa dirinya bersalah (2).
Puspa, 17 tahun dan Jalu 19 tahun memaknai manfaat agresivitas yang dilakukan
dalam menghadapi konflik sebaya untuk mem-

0,82
1,22

0,67
0,28

bela diri dan membela kebenaran, sedangkan


bujang 17 tahun memaknai agresivitas yang
dilakukan untuk membela teman dan membela diri karena saya merasa benar, kata
Bujang saya berani berkelahi karena untuk membela teman saya dan karena saya
dipukul maka saya membalasnya (2).
Kembang, 15 tahun merepresentasikan
aktivitas konflik dengan menjahui teman.
Puspa 17 tahun melakukan dengan berbicara
terbuka, sedangkan Putri 16 tahun lebih baik
bersikap pasrah dan menangis. Berbeda dengan Jalu 19 tahun dengan berkata kasar dan
Jaka 17 tahun dengan mendiamkan teman.
Sementara Bujang 17 tahun menunggu reaksi teman jika teman melakukan kekerasan ia
akan membalasnya.
Menurut Puspa 17 tahun aktivitas konflik sebaya pada perempuan direpresentasikan
dengan membocorkan rahasia teman. Sementara menurut Bunga 17 tahun, perempuan
lebih lebih ke aktivitas menggosip, bersikap
egois dan menjelek-jelekkan orang lain sedangkan laki-laki lebih suka bercanda, tidak mudah tersinggung dan tidak suka menggosip.
Menurut Bunga 16 tahun, aktivitas konflik
pada perempuan direpresentasikan dengan
suka berpura-pura bersikap baik, sehingga
tidak enak diajak ngobrol karena suka membocorkan rahasia teman, suka menggosip dan
menjelek-jelekkan teman.
Bunga, 17 tahun mengatakan jika sedang
konflik sebaya saya biasanya curhat kepada
teman lain (3). Berbeda dengan Kembang 15
tahun aktivitas konflik sebaya direpresentasikan dengan bicara keras, menendang dan
memukul tetapi pada obyek benda. Seperti
halnya Bujang 17 tahun aktivitas konflik se-

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 01-13

baya dilakukan dengan bicara keras kemudian menendang dan memukul benda, biasaya
kursi atau meja dan jika perlu bicara dengan
teman untuk menceritakan permasalahannya.
Bujang, 15 tahun memahami kontrol yang
dimiliki dalam menghadapi konflik sebaya
menurutnya saya merasa takut untuk memulai
perkelahian maka saya berusaha untuk menahan diri dan takut jika dijauhi teman-temannya
(4) oleh karena itu ia berusaha untuk mencegah
konflik dengan teman. Sedangkan Jaka 17 tahun memiliki kontrol untuk tidak melakukan
agresivitas karena merasa takut dikenai sangsi
sekolah. Berbeda dengan Bunga 16 tahun ia
mengatakan lebih baik mengalah saja (3).
Jalu, 19 tahun beberpa kali terlibat perkelahian ia mengatakan saya merasa kurang bisa
untuk menahan diri, mudah terpancing emosi
karena perilaku dan sikap teman (6). Jalu 19
tahun seorang remaja berasal dari keluarga
dengan status ekonomi rendah, ayahnya meninggal ketika ia masih di SMP dan memiliki 9
saudara. Beberapa saudaranya dititipkan kepada orang lain karena ibu tidak mampu memberi biaya hidup anak-anaknya. Jalu 19 tahun
mengatakan sering menjadi sasaran kemarahan kakak laki-lakinya, bila kakaknya marah
suka bicara keras, memukul dan membanting
benda (6).
Kembang, 15 tahun seorang remaja putri
berasal dari keluarga dengan status ekonomi
rendah, ia tinggal di asrama katolik karena
orangtua tidak mampu membiayai sekolah.
Sementara Bunga 16 tahun tidak ada figur
agresivitas yang ditiru dalam keluarga, ayah
dan ibunya jarang sekali bertengkar dan jarang
marah kepadanya.

Analisis Harvard
Pemaknaan gender pada permasalahan konflik
sebaya ditunjukkan dengan adanya kesetaraan akses mendapatkan konflik sebaya dari
dorongan untuk mempertahankan ego dalam
mencapai tujuan tertentu. Laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan aktivitas konflik sebaya yang direpresentasikan dalam wujud bersikap egois, karena laki-laki dan perempuan
memiliki dorongan untuk membela kebenarannya. Laki-laki dan perempuan suka mengejek dan menghina teman, biasanya dilakukan
pada teman yang menjadi saingannya. Lakilaki dan perempuan berbicara terbuka dan
bercanda berlebihan sehingga menyebabkan
teman tersinggung, padahal mereka menganggapnya biasa-biasa saja dan tidak bermaksud
menyinggung perasaan teman. Laki-laki dan

perempuan melakukan konsultasi kepada teman (curhat) dengan maksud untuk meringankan beban permasalahannya.
Laki-laki tidak suka menggosip karena
menurut laki-laki menggosip itu menceritakan kejelekan teman. Perempuan suka menggosip sebagai upaya untuk menyelesaikan
masalahnya terutama yang berkaitan dengan
masalah persaingan atau kompetisi, aktivitas menggosip yang dilakukan perempuan biasanya menceritakan kejelekan teman. Lakilaki tidak mudah membocorkan rahasia teman
karena laki-laki lebih mudah dipercaya dan
tidak suka menceritakan masalah orang lain.
Sedangkan perempuan sulit dipercaya karena
suka menceritakan masalah orang lain. Lakilaki lebih bersikap terbuka dan tidak menutupnutupi masalah sedangkan perempuan lebih
bersikap tertutup dengan berpura-pura bersikap manis di depan teman.
Laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan kontrol pada konflik sebaya yang diwujudkan dengan tidak memulai terjadinya konflik karena tidak ingin memulai permasalahan
dengan teman tetapi jika teman memulai konflik maka akan membalasnya.
Pemaknaan gender pada permasalahan
agresivitas remaja ditunjukkan adanya kesetaraan akses terjadinya agresivitas dari tempat
atau lokasi kejadiaan yang mendukung terjadinya konflik. Laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan pada manfaat perilaku agresivitas yang dilakukan, yaitu untuk membela
teman, membela diri dan memperjuangkan kebenaran subyek. Laki-laki dan perempuan juga
memiliki kesetaraan aktivitas agresivitas yang
diwujudkan dengan perilaku menyindir teman,
berbicara keras, melakukan kekerasan pada
obyek lain (memukul, membanting, menendang), bersikap diam atau mendiamkan teman
dan tidak mengajaknya berbicara.
Laki-laki
melakukan
agresivitas
dengan kekerasan fisik (berkelahi) sedangkan
perempuan tidak melakukan kekerasan fisik
(berkelahi). Laki-laki lebih mudah terpancing
emosi terutama ketika dirinya merasa dihina
harga dirinya dan laki-laki akan melawan dengan kekerasan apabila dengan kata-kata
kasar belum ada upaya penyelesaian. Perempuan dalam menghadapi konflik sebaya lebih
pada perilaku agresif verbal apabila dengan
ungkapan verbal belum ada penyelesaian konflik maka perempuan cenderung untuk mengungkapkan emosinya dengan menangis.
Laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan kontrol untuk tidak memulai perkelahian,
tidak berani menolak ajakan teman dan ber7

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 01-13

Tabel 4
Analisis Harvard pada konflik sebaya remaja
Aspek Harvard

Hasil Analisis Kualitatif

Laki-laki

Perempuan

Komparasi

Akses terjadinya
konflik sebaya

Subyek mendapatkan konflik


sebaya dari dorongan untuk
mempertahankan ego dalam
mencapai tujuan tertentu.

Memiliki akses

Memiliki akses

Ada kesetaraan
akses

Manfaat konflik sebaya

Tidak ada manfaat

Tidak meperoleh
manfaat

Tidak memperoleh
manfaat

Tidak memperoleh
manfaat

Aktivitas pada konflik


sebaya

Subyek menggosip tentang


keburukan teman
Subyek membocorkan rahasia
teman
Subyek bersikap egois
terhadap teman lain
Subyek berpura-pura bersikap
baik kepada teman.
Subyek mengejek dan
menghina teman.
Subyek bersikap diam atau
mendiamkan teman dan tidak
mengajaknya berbicara.
Subyek berbicara terbuka
sehingga menyebabkan teman
tersinggung.
Subyek bercada berlebihan
sehingga menyebabkan teman
tersinggung.
Subyek melakukan konsultasi
kepada teman lain (curhat)

Tidak melakukan
aktivitas
Tidak melakukan
aktivitas
Melakukan aktivitas

Tidak melakukan
aktivitas
Melakukan aktivitas

Tidak melakukan
aktivitas
Melakukan aktivitas

Melakukan aktivitas

Melakukan aktivitas

Melakukan aktivitas

Tidak ada kesetaraan


aktivitas
Tidak ada kesetaraan
aktivitas
Ada kesetaraan
aktivitas
Tidak ada kesetaraan
aktivitas
Ada kesetaraan
aktivitas
Ada kesetaraan
aktivitas

Melakukan aktivitas

Melakukan aktivitas

Ada kesetaraan
aktivitas

Melakukan aktivitas

Melakukan aktivitas

Ada kesetaraan
aktivitas

Melakukan aktivitas

Melakukan aktivitas

Ada kesetaraan
aktivitas

Kontrol pada konflik


sebaya

Subyek memiliki kontrol yang


ditunjukkan dengan tidak
berani memulai konflik.

Memiliki kontrol

Memiliki kontrol

Ada kesetaraan
kontrol

Faktor yang
berpengaruh pada
konflik sebaya

Tidak terdapat faktor yang


berpengaruh

Tidak terdapat
faktor yang
berpengaruh

Tidak terdapat
faktor yang
berpengaruh

Tidak terdapat faktor


yang berpengaruh

sikap mengalah. Terdapat kesetaraan faktor


yang berpengaruh pada perilaku agresivitas
remaja laki-laki dan perempuan, yaitu faktor
ekonomi keluarga, figur dalam keluarga dan
eksistensi/kekuatan diri.
Pemaknaan gender pada masalah kontrol
diri remaja diwujudkan adanya kesetaraan
memperoleh akses kontrol diri dari perasaan
takut dikenai sangsi sekolah. Laki-laki dan
perempuan juga memiliki kesetaraan pada faktor yang berpengaruh terhadap kontrol diri,

Melakukan aktivitas

Melakukan aktiitas

yaitu faktor keharmonisan keluarga dan lingkungan sosial.

Pembahasan Hasil Penelitian


Pengaruh kontrol diri dan agresivitas remaja
dalam menghadapi konflik sebaya memberikan pemahaman teoretik bahwa ada pengaruh
kontrol diri terhadap agresivitas remaja dalam
menghadapi konflik sebaya (F = 5,370; p <
0,05). Tinggi dan rendahnya agresivitas rema-

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 01-13

Tabel 5
Analisis Harvard pada agresivitas remaja
Aspek Harvard

Hasil Analisis Kualitatif

Laki-laki

Perempuan

Komparasi

Akses terjadinya
agresivitas

Subyek mendapatkan akses


terjadinya agresivitas dari
tempat atau lokasi kejadian
yang mendukung terjadinya
konflik antar teman sebaya

Memiliki akses

Memiliki akses

Ada kesetaraan
akses

Manfaat agresivitas yang


dilakukan

Subyek melakukan agresivitas


untuk membela teman dan
kelompoknya
Subyek melakukan agresivitas
untuk membela diri
Subyek melakukan agresivitas
untuk memperjuangkan
kebenarannya

Memperoleh
manfaat

Memperoleh
manfaat

Ada kesetaraan
manfaat

Memperoleh
manfaat
Memperoleh
manfaat

Memperoleh
manfaat
Memperoleh
manfaat

Ada kesetaraan
manfaat
Ada kesetaraan
manfaat

Subyek menyindir teman

Melakukan aktivitas

Melakukan aktivitas

Subyek berbicara keras

Melakukan aktivitas

Melakukan aktivitas

Subyek melakukan kekerasan


pada obyek lain ( memukul,
membanting, menendang)
Subyek melakukan kekerasan
fisik ( berkelahi)

Melakukan aktivitas

Melakukan aktivitas

Ada kesetaraan
aktivitas
Ada kesetaraan
aktivitas
Ada kesetaraan
aktivitas

Melakukan aktivitas

Tidak melakukan
aktivitas

Tidak ada
kesetaraan aktivitas

Subyek memiliki kontrol untuk


mengambil keputusan tidak
memulai perkelahian karena ada
perasaan takut dikenai sangsi
sekolah.
Subyek memiliki kontrol
dengan tidak berani menolak
ajakan teman untuk membantu
menyelesaikan masalah teman
meskipun dengan keroyokan
karena ada perasaan takut
dikucilkan dari teman/
kelompoknya
Subyek bersikap mengalah
untuk tidak memberikan
perlawanan kepada teman

Memiliki kontrol

Memiliki kontrol

Ada kesetaraan
kontrol

Memiliki kontrol

Memiliki kontrol

Ada kesetaraan
kontrol

Memiliki kontrol

Memiliki kontrol

Ada kesetaraan
kontrol

Faktor ekonomi keluarga

Terdapat faktor
yang berpengaruh

Terdapat faktor
yang berpengaruh

Faktor Figur dalam keluarga

Terdapat faktor
yang berpengaruh

Terdapat faktor
yang berpengaruh

Faktor eksistensi/kekuatan diri

Terdapat faktor
yang berpengaruh

Terdapat faktor
yang berpengaruh

Ada kesetaraan
faktor yang
berpengaruh
Ada kesetaraan
faktor yang
berpengaruh
Ada kesetaraan
faktor yang
berpengaruh

Aktivitas pada agresivitas


remaja

Kontrol untuk
menghindari perilaku
agresivitas

Faktor yang berpengaruh


terjadinya agresivitas
remaja

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 01-13

Tabel 6
Analisis Harvard pada kontrol diri remaja
Aspek Harvard

Hasil Analisis Kualitatif

Laki-laki

Perempuan

Komparasi

Akses kemampuan
kontrol diri

Subyek mendapatkan akses


kontrol diri dari perasaan
takut dikenai sangsi sekolah

Memiliki akses

Memiliki akses

Ada kesetaraan akses

Manfaat kontrol diri


bagi remaja

Tidak memperoleh manfaat

Tidak memperoleh
manfaat

Tidak memperoleh
manfaat

Tidak memperoleh
manfaat

Aktivitas pada
kemampuan kontrol
diri

Tidak melakukan aktivitas

Tidak melakukan
aktivitas

Tidak melakukan
aktivitas

Tidak melakukan
aktivitas

Kontrol pada kontrol


diri remaja

Tidak memiliki kontrol

Tidak memiliki
kontrol

Tidak memiliki
kontrol

Tidak memiliki
kontrol

Faktor yang
berpengaruh pada
kontrol diri remaja

Faktor keharmonisan keluarga

Terdapat faktor yang


berpengaruh

Terdapat faktor yang


berpengaruh

Ada kesetaraan faktor


yang berpengaruh

Lingkungan sosial

Terdapat faktor yang


berpengaruh

Terdapat faktor yang


berpengaruh

Ada kesetaraan
faktor yang
berpengaruh

ja dipengaruhi oleh kontrol diri. Remaja yang


memiliki kontrol diri tinggi maka agresivitasnya rendah sedangkan remaja yang memiliki
kontrol diri rendah agresivitasnya tinggi. Hasil
penelitian mendukung penelitian sebelumnya
oleh Delisi dan Vaughn (2008) yang menjelaskan bahwa tindakan kriminalitas dipengaruhi
oleh kontrol diri.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
perbedaan kontrol diri remaja laki-laki dan
perempuan dalam menghadapi konflik sebaya
(F = 0,827; p > 0,05). Hal ini berbeda dengan
pendapat stereotipe yang menyebutkan perempuan cenderung memiliki kontrol diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
Remaja madya menurut tugas perkembangannya sudah mencapai kemandirian emosional dari figur-figur otoritas untuk memperkuat kontrol diri berdasarkan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip yang ada. Dengan demikian faktor nilai dan pendidikan dalam keluarga
memiliki peran penting tercapainya kemampuan emosional untuk mengendalikan diri.
Remaja dengan keluarga tidak harmonis akan
berpengaruh pada figur dan nilai-nilai yang terkonstruk dalam pola pikir pencapaian kematangan perkembangan remaja. Sehingga fak-

10

tor keharmonisan keluarga berpengaruh pada


kemampuan kontrol diri remaja. Selain itu,
faktor yang mempengaruhi kontrol diri remaja
adalah lingkungan sosial. Remaja dengan lingkungan sosial yang tinggi berdampak tingginya
kemampuan mengontrol diri, menguasai diri
serta mendisiplinkan diri.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak ada perbedaan agresivitas remaja laki-laki
dan perempuan dalam menghadapi konflik sebaya (F = 1,22; p > 0,05). Laki-laki dan perempuan memiliki agresivitas tinggi. Hal ini berbeda dengan pendapat stereotipe yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih agresif dibandingkan dengan perempuan seperti pendapat Crick
(1996) yang menjelaskan laki-laki memiliki
agresivitas tinggi sedangkan perempuan memiliki agresivitas rendah.
Agresivitas pada perempuan lebih dalam
bentuk verbal, yaitu menjelek-jelekan orang
lain, menghina teman dan menggosip tentang kejelekan orang lain. Apabila agresivitas
verbal belum mampu untuk menyelesaikan
masalahnya maka perempuan akan menunjukkan eksistensi atau kekuatan diri dan kelompoknya untuk memberikan perlawanan
atau balas dendam karena merasa sakit hati

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 01-13

dari perlakuan teman. Wujud eksistensi atau


kekuatan tersebut dapat berupa keroyokan
atau mengajak teman lain.
Terdapat faktor yang berpengaruh terhadap agresivitas perempuan, yaitu faktor ekonomi keluarga. Remaja dengan status ekonomi
keluarga yang rendah akan berpengaruh pada
tingkat kepuasan terpenuhinya kebutuhan
remaja, sehingga remaja yang kurang terpenuhi
kebutuhannya secara fisik akan mempengaruhi perilaku agresivitas. Selain faktor ekonomi, perilaku agresivitas juga dipengaruhi oleh
figur yang ada di dalam keluarga. Remaja yang
memperoleh figur keluarga dengan kekerasan
atau perilaku agresif akan terkonstruk pada
pola pikir dan perkembangannya, sehingga
remaja akan meniru figur yang diperolehnya.
Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Kim dan Kamphaus (2010) yang
menjelaskan bahwa agresivitas tinggi tidak
hanya terjadi pada laki-laki tetapi juga terjadi
pada perempuan. Hasil penelitian ini menolak pendapat Crick (1996) yang menjelaskan
laki-laki memiliki agresivitas tinggi sedangkan
perempuan memiliki agresivitas rendah karena
hasil penelitian ini menunjukkan laki-laki dan
perempuan memiliki agresivitas tinggi.
Penelitian ini memberikan pemahaman
teoretik tentang pemaknaan gender, adanya
kesetaraan akses mendapatkan konflik sebaya dari dorongan untuk mempertahankan ego
dalam mencapai tujuan tertentu. Laki-laki dan
perempuan memiliki kesetaraan aktivitas pada
konflik sebaya yang direpresentasikan dalam
wujud bersikap egois, mengejek, menghina teman, bersikap diam, berbicara terbuka, bercanda berlebihan sehingga menyebabkan teman
tersinggung dan melakukan konsultasi kepada
teman. Hal ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Marsee (2011) bahwa perilaku konflik
sebaya dapat dilihat dari indikator reaksi terbuka, proaktif terbuka, reaktif relasional dan
proaktif relasional. Laki-laki dan perempuan
juga memiliki kesetaraan kontrol pada konflik
sebaya yang wujudkan dengan perilaku tidak
berani memulai konflik.
Adanya kesetaraan akses terjadinya agresivitas dari tempat atau lokasi kejadiaan yang
mendukung terjadinya konflik. Laki-laki dan
perempuan memiliki kesetaraan pada manfaat
perilaku agresivitas yang dilakukan, yaitu untuk membela teman, membela diri dan memperjuangkan kebenaran subyek. Laki-laki dan
perempuan juga memiliki kesetaraan aktivitas
agresivitas yang diwujudkan dengan perilaku
menyindir teman, berbicara keras, melakukan

kekerasan pada obyek lain (memukul, membanting, menendang).


Laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan kontrol untuk menghindari perilaku
agresivitas, diwujudkan dengan keputusan tidak memulai perkelahian karena perasan takut
dikenai sangsi sekolah, tidak berani menolak
ajakan teman untuk membantu menyelesaikan
masalah teman dengan keroyokan, karena takut dikucilkan dari teman/kelompoknya dan
sikap mengalah untuk tidak memberikan perlawanan kepada teman. Hal ini mendukung
penelitian Csibi, dan Csibi (2011) mengenai
agresivitas pada remaja sebagai bentuk dukungan sosial dalam pertemanan remaja. Selain
itu laki-laki dan perempuan juga memiliki kesetaraan pada faktor yang berpengaruh terhadap agresivitas, yaitu faktor ekonomi keluarga
dan faktor budaya meniru figur dalam keluarga.
Adanya kesetaraan memperoleh akses
kontrol diri dari perasaan takut dikenai sangsi
sekolah. Laki-laki dan perempuan juga memiliki kesetaraan pada faktor yang berpengaruh
terhadap kontrol diri, yaitu faktor ekonomi keluarga dan faktor budaya meniru figur keluarga.

Kesimpulan
Penelitian secara praktis dapat digunakan
dalam pemberian layanan Bimbingan dan Konseling, khususnya kepada remaja pada Sekolah Menengah. Implikasi tersebut antara lain
dalam memberikan layanan konseling remaja
yang mengalami konflik sebaya dengan memahami secara dini pada sebab dan perilaku
konflik yang dilakukan remaja sehingga dapat
mencegah terjadinya agresivitas.
Layanan konseling kepada remaja yang
melakukan agresivitas dilakukan dengan
pendekatan psikologis yang intensif serta dilihat juga ukuran agresivitasnya, yaitu agresivitas rendah atau tinggi karena perilaku yang
dilakukan berbeda dan memerlukan layanan
konseling yang berbeda pula.
Selain itu terdapat faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya agresivitas remaja,
salah satunya adalah kontrol diri. Remaja yang
memiliki kontrol diri tinggi dapat melakukan
kontrol diri untuk meminimalkan perilaku
agresivitas sedangkan remaja yang memiliki
kontrol diri rendah kurang mampu melakukan
kontrol diri terjadinya agresivitas.
Ada dugaan faktor sosial dan ekonomi
berpengaruh terhadap masalah kontrol diri

11

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 01-13

dan agresivitas remaja, sehingga memberikan implikasi untuk peneliti selanjutnya perlu
melakukan penelitian mengenai kontrol diri
dan agresivitas dengan mempertimbangkan aspek sosial ekonomi dan keluarga.
Layanan Bimbingan dan Konseling di
Sekolah dalam memberikan layanan pada masalah konflik sebaya, agresivitas dan kontrol
diri perlu memperhatikan aspek gender dalam
pendidikan karena ada aspek-aspek tertentu
yang menunjukkan laki-laki dan perempuan
memiliki pemaknaan yang sama. Layanan
Bimbingan dan Konseling yang mengacu pada
perspektif gender dapat memberikan solusi
masalah kenakalan remaja dan masalah perubahan nilai.

Daftar Pustaka
Anderson, C.A., & Bushman, B.J. (2002). Human aggression. Annu. Rev. Psychol. 53, 27-51. Diakses dari
http://fulla.augustana.edu:2048/login, 4 Mei 2012.
Alexis, S.H. (2001) A thesis content and complexity: Investigating adaptiveness and aggression the narratives of
young adolescents. Calgary, Alberta: Canada.
Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian: Suatu pedekatan.
Penerbit Rineka Cipta. Edisi Revisi V. Jakarta.
Baumeister, R.F., Vohs, K.D., & Tice, D.M. (2007). The
strength model of self control. Current Directions in
Psychological Science, 16 (6), 351-355. Diakses http://
fulla.augustana.edu: 2048/login, 31 Januari 2012.
Barber, L.K., Grawitch, M.J., & Munz, D.C. ( 2012). Disengaging from a task lower self-control or adaptive self
regulation. Journal of Individual Differences, 33 (2),
7682. Doi:10.1027/1614-0001/a000064
Berkowitz, L. (1993). Aggression: Its causes, cosequences,
and control. Aggressive Behavior New York, McGrawHill. Diakses dari http://fulla.augustana.edu:2048/
login, 29 April 2012.
Boeree, C. (2005). Personality theories. Ar-Ruzz Media:
Yogyakarta.
Cui, M., Durtschi. J.A., Donnellan, M.B., Lorenz. F.O., &
Conger, R.D. (2010). Intergenerational transmission
of relationship aggression: A prospective longitudinal
study. Journal of Family Psychology, 24 (6), 688697.
Doi:10.1037/a0021675
Crick, N.R. (1996). The Role of overt aggression, relational aggression, and prosocial behavior in the prediction of childrens future social adjustment. Journal of
Child Development. Diakses http://fulla.augustana.
edu:2048/login, 29 April 2012.
Csibi, S., & Csibi, M. (2011). Study of aggression related
to coping, self appreciation and social support among

12

adolescents. Journal Nordic., 63 (4), 35-55. Diakses


dari http://fulla.augustana.edu:2048/login. 24 Maret
2012.
Cui, M., Durtschi, J.A., Donnellan, M.B., Lorenz, F.O., &
Conger, R.D. ( 2010). Intergenerational transmission
of relationship aggression: A prospective longitudinal
study. Journal of Family Psychology, 24 (6), 688697.
Doi:10.1037/a0021675
Delisi, M., & Vaughn, M.G. (2008).
The Gottfredson Hirschi critiques revisited reconciling self control theory,
criminal careers, and career criminals. International
Journal of Offender Therapy and Comparative Criminolog, 52 (5), 520-537. http://ijo.sagepub.com. 28 Maret
2012.
Dodge, K.A., & Coie, J.D. (1987). Social information processing factors in reactive and proactive aggression
in childrens peer groups. Journal of Personality and
Social Psychology, 53 (6), 1146-1158. Diakses http://
fulla.augustana.edu:2048/login, 1 Mei 2012.
Dodge, K.A., Lochman, J.E., Harnish, J.D., Bates, J.E., &
Pettit, G.S. (1997). Reactive and proactive aggression
in school children and psychiatrically impaired chronically assaultive youth. Journal of Abnormal Psycholog,
106 (1), 37-51. Diakses dari http://fulla.augustana.
edu:2048/login, 11 April 2012.
Feist, J. Gregory. (2008). Theories of personality. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.
Fitzpatrick, S., & Bussey, K. (2011). The development of the
social bullying involvement scales. Journal Aggressive
Behavior, 37, 177-192. Diakses dari http://fulla.augustana.edu:2048/login. 24 Maret 2012.
Friedman, H.S., & Schustack, M.W. (2006). Kepribadian
teori dan riset modern. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Geen, R.G. (2001). Human Aggression. Second Edition.
Open University Press. Diakses http://fulla.augustana.edu:2048/login, 4 Mei 2012.
Gibson, C.L., Ward, J.T., Wright, J.P., Beaver, K.M., &
Delisi, M. (2010). Where does gender fit in the measurement of self control. Journal Criminal Justice and
Behavior, 37 (8). Doi:10.1177/0093854810369082
Gottfredson, M.R., & Hirschi, T. (1990). A general theory of
crime. Stanford, California. pp. 117
Handayani, T., & Sugiarti. (2008). Konsep dan teknik penelitian gender. (1 ed). Malang: UMM Press.
Higgins, G.E. (2007). Examining the original Grasmick scale. A Rasch model approach. Journal
Criminal Justice and Behavior, 34 (2), 157-178.
Doi:10.1177/0093854806290071
John, S. J., Zechmeister, E. B., & Zechmeister, J. S. (2006).
Metodologi penelitian psikologi. (7 ed.). (H. P. Soetjipto,
& S. M. Soetjipto, Trans.). Penerbit Pustaka Pelajar.
Johnson, S.M., Coie, J.D., Gremaud, A.M., Lochman, J., &
Terry, R. (1999). Relationship childhood peer rejection

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013,Volume I (1), 01-13

and agrression and adolescent delingquency severity


and among type African and American youth. Journal
of Emotional and Behavioral Disorders, 7 (7), 137-146.
Diakses dari http://fulla.augustana.edu:2048/login,
9 April 2012.
Kendall, P.C. (1979). Self control rating scale instrument.
Department of Psychology Elliott Hall, University of
Minnesota.
Kim, S., Kim, S.H., & Kamphaus, R.W. (2010). Is aggression
the same for boys and girls? Assessing measurement
invariance with confirmatory factor analysis and item
response theory. Journal School Psychology Quarterly,
25 (1), 4561. Doi:10.1037/a0018768
Kim, S, Orpins, P., Randy, Kamphaus, R., & Kelder, S.H.
(2011). A multiple risk factors model of the development of aggression among early adolescents from urban disadvantaged neighborhoods. School Psychology
Quarterly, 26 (3), 215230. Doi:10.1037/a0024116
Kim, S., Kim, S.H., & Kamphaus, R.W. (2010). Is aggression
the same for boys and girls? Assessing measurement
invariance with confirmatory factor analysis and item
response theory. school psychology quarterly, 25 (1),
4561. Doi:10.1037/a0018768
Lawrence, C. (2006). Measuring individual responses to
aggression triggering events: development of the situational triggers of aggressive responses (STAR) scala.
Journal Aggressive behavior, 32, 241-252. Diakses
dari http://fulla.augustana.edu:2048/login. 24 Maret
2012.
Marsee, M.A., Barry, C.T., Childs, K.K., & Frick, P.J., Kimonis, E.R., Munoz, L.C., Aucoin, K.J., Fassnacht,
G.M., Kunimatsu, M.M., & Lau, K.S.L. (2011). Assessing the forms and functions of aggression using
self report: Factor structure and invariance of the peer
conflict scale in youths. Journal Psychological Assessment, 23 (3), 792804. Doi:10.1037/a0023369
Marsee, M.A., & Frick, P.J. (2007). Exploring the cognitive
and emotional correlates to proactive and reactive aggression in a sample of detained girls. Journal of Abnormal Child Psychology, 35, 969-981.
McMullen, J.C, Shoemaker, D.J., Chair, Bailey, C.A., &
Wolf, P.D. (1999). A Test of self control theory using

general patterns of deviance. Dissertation the Faculty


of the Virginia Polytechnic Institute and State University Blacksburg, Virginia. Diakses dari http://fulla.
augustana.edu:2048/login. 15 Februari 2012.
Muoz, L.C., Frick, P.J., Kimonis, E.R., & Aucoin, K.J.
(2008). Types of aggression, responsiveness to provocation, and callous unemotional traits in detained
adolescents. Journal Abnormal Child Psychology, 36,
1528. Doi:10.1007/s10802-007-9137
Orpinas, P., & Frankowski, R. (2001). The Aggression scale:
A self report measure of aggressive behavior for young
adolescents. Journal of Early Adolescence, 21, 150-67
Diakses dari http://fulla.augustana.edu:2048/login.
24 Maret 2012.
Ove, K. R., Myrseth, & Fishbach, A. (2009). Self control
A function of knowing when and how to exercise restraint. Current Direction in Psychological Science, 18
(4), 247-252.
Santrock. (1996). Adolescence an introduction. Times Mirror
Education Group Inc: America.
Santrock, J. W. (2007). Remaja (11 ed, N. I. Sallama, Ed., &
B. Widyasinta, Trans.). Penerbit Erlangga.
Schulz, S. (2004). Problems with the versatility construct
of Gottfredson and Hirschis general theory of crime
European. Journal of Crime, Criminal Law and Criminal Justice, 12 (1), 6182. Diakses dari http://fulla.
augustana.edu:2048/login, 29 April 2012.
Skoe, E., & Lippe, A.V. (1998). Personality development adolescence. London and New York.
Smith, R.L., Rose, A.J., & Schwartz, R.A. (2009). Relational
and overt aggression in childhood and adolescence:
Clarifying mean level gender differences and associations with peer acceptance. Social Development, 19 (2),
243-269. Doi:10.1111/j.1467-9507.2009.00541.x
Supranto, J. (2001). Statistik teori dan aplikasi. Penerbit
Erlangga. Edisi Keenam. Jakarta.
Yeager, D.S., Trzesniewski, K.H., Tirri, K., Nokelainen, P.,
& Dweck, C.S. (2011). Adolescents implicit theories
predict desire for vengeance after peer conflicts: Correlational and Experimental Evidence. Journal Developmental Psychology, 47 (4), 10901107. Doi:10.1037/
a0023769

13

Anda mungkin juga menyukai