Penyusun :
FAKULTAS PSIKOLOGI
SEMARANG
2023
Dalam proses perkembangannya, remaja yang mencoba untuk menemukan
jati dirinya dengan cara berinteraksi dengan lingkungan, condong memiliki resiko
tinggi akan memiliki perilaku menyimpang. Banyak dari mereka yang tidak
segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan, seperti melakukan perilaku
bullying. Khususnya di Indonesia, peristiwa bullying sudah sering ditemui dan
banyak terjadi di periode usia remaja, mulai dari remaja sekolah menengah
pertama sampai menengah ke atas (Fikrie, 2016). Berdasarkan data yang
didapatkan dari ketua komnas perlindungan anak, Arist Merdeka sirait, sebagai
mana yang dituliskan oleh Triyuda (dalam Rachmah, 2014) terdapat 139 kasus
perundungan yang terjadi di sekolah. Leleang et al., (2021) dalam jurnalnya
mengatakan bahwa berdasarkan data dari peneliti terdahulu menunjukkan bahwa
diperoleh hasil dari 50 remaja terdapat 82% yang pernah melakukan tindakan
perundungan, dan dari penelitian tersebut juga didapatkan bahwa bentuk tindakan
perundungan yang paling sering dilakukan adalah perundungan verbal sebanyak
52% dan perundungan fisik sebanyak 48%. Sedangkan dalam studi yang dipimpin
oleh WHO baru-baru ini dengan 219.460 siswa dari 42 negara, 11% peserta
melaporkan telah menjadi korban bullying di sekolah setidaknya empat hingga
enam kali selama dua bulan sebelum survei, dan 8,5% telah mengambil bagian
sebagai pelaku (Salavera et al., 2021).
Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Jolliffe &
Farrington (dalam Rahmah & Pertiwi, 2021) bahwa seseorang dengan
kemampuan empati rendah atau seseorang yang kurang mampu merespon tekanan
dan rasa ketidaknyamanan dari seorang korban, maka individu tersebut cenderung
tidak mampu dalam menghubungkan perilaku antisosialnya dengan reaksi
emosional orang lain.
Jika ditarik secara garis besar, maka empati adalah karakteristik dasar
manusia yang mempengaruhi perilaku prososial dan antisosial yang berfungsi
untuk memahami dan merasakan apa yang dipikirkan oleh orang lain. Individu
yang kurang empati cenderung berperilaku semena-mena terhadap korbannya dan
bahkan mungkin melakukan tindakan kekerasan terhadap korbannya. Pelaku
bullying memiliki kemampuan untuk mendominasi orang lain melaui kekerasan,
yang ditunjukkan dengan sedikit atau tidak adanya rasa empati kepada korban.
Mereka akan cenderung untuk manipulatif dan merasionalisasikan perilaku buruk
yang telah mereka lakukan. Kalimat pembenaran tersebut mereka tujukan pada
diri mereka sendiri saat mereka sedang atau ketika sedang bersiap-siap untuk
melakukan aksinya menyakiti korban mereka.
Oleh karena itu, diharapkan untuk kedepannya bagi orang tua, atau yang
akan menjadi orang tua untuk memperhatikan lagi bentuk pola asuh yang akan
diberikan. Baiknya untuk para orang tua menjaga hubungan yang hangat dengan
anaknya agar perilaku bullying bisa dijauhi dan empati pada diri anak yang sedang
dalam pertumbuhan tersebut dapat meningkat. Karena lingkungan yang paling
dekat untuk sang anak, tentu adalah keluarganya sendiri.
Selain bentuk pola asuh orang tua, empati juga dapat dipengaruhi oleh
faktor proses dalam belajar. Mengembangkan empati dianggap sebagai bagian
penting dari program intervensi untuk mengurangi perilaku agresif dan
intimidasi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pelatihan diperlukan untuk
dapat meningkatkan empati pelaku bullying. Salah satu proses belajar tersebut
adalah Empathy Training, di mana dalam program belajar tersebut telah terkadung
pemahaman dan keikutsertaan seseorang dalam merasakan apa yang orang lain
rasakan, sehingga dalam bertindak, ia mampu untuk mengontrol perilaku.
Empathy training terbukti efektif dapat membantu mengurangi intensitas perilaku
bullying dan meningkatkan empati pada pelaku bullying (Rahmah & Pertiwi,
2021).
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan empati agar dapat
mengurangi perilaku bullying adalah dengan menggunakan metode experiental
learning. Dalam metode tersebut, individu diberikan pengalaman langsung agar
dapat menempatkan diri sebagai orang lain dan melakukan refleksi atas dirinya
sendiri. Hasil penelitian dari Nirmala et al., (2020) menunjukkan metode
experiental learning ini efektif untuk meningkatkan empati.
KESIMPULAN
Goleman, D. (1996). Kecerdasan Emosional (T. Hermaya (ed.); Cet. 2). Gramedia
Pustaka Utama.
Lesmono, P., & Prasetya, B. E. (2020). Hubungan Antara Empati Dengan Perilaku
Prososial Pada Bystander Untuk Menolong Korban Bullying. Psikologi
Konseling, 17(2), 789. https://doi.org/10.24114/konseling.v17i2.22091
Nirmala, S. P., Sahrani, R., & Mularsih, H. (2020). Peningkatan Empati Remaja
Pelaku Bullying Di Salah Satu Smp Di Jakarta Selatan Melalui Pelatihan
Berbasis Experiential Learning. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, Dan
Seni, 4(1), 213. https://doi.org/10.24912/jmishumsen.v4i1.7801.2020
Rahmah, M., & Pertiwi, dan. (2021). Pelatihan empati untuk mengurangi
intensitas perilaku bullying pada remaja. Psychological Journal : Science
and Practice, 1(1), 1–8. https://doi.org/10.22219/pjsp.v1i1.15856
Salavera, C., Usán, P., Teruel, P., Urbón, E., & Murillo, V. (2021). School
bullying: Empathy among perpetrators and victims. Sustainability
(Switzerland), 13(3), 1–9. https://doi.org/10.3390/su13031548
Zych, I., Ttofi, M. M., & Farrington, D. P. (2019). Empathy and Callous–
Unemotional Traits in Different Bullying Roles: A Systematic Review and
Meta-Analysis. Trauma, Violence, and Abuse, 20(1), 3–21.
https://doi.org/10.1177/1524838016683456