Anda di halaman 1dari 6

Jurnal Psikologi Karakter, 1 (2), Desember 2021, Halaman: 54 – 59

Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi, Universitas Bosowa.


Available Online at https://journal.unibos.ac.id/jpk

Dukungan Sosial Keluarga dan Kecerdasan Emosional


terhadap Penyesuaian Sosial
Family Social Support and Emotional Intelligence on Social Adjustment

Elisabet Novinda Jelita1, Sulasmi Sudirman1*, Minarni1


1
Fakultas Psikologi Universitas Bosowa
Email: sulasmi_psy@universitasbosowa.ac.id

Abstrak
Tujuan dalam penelitian ini untuk melihat pengaruh dukungan sosial keluarga dan kecerdasan
emosional terhadap penyesuaian sosial remaja di kota Makassar. Penyesuaian Sosial merupakan suatu
kemampuan yang dimiliki individu untuk mampu berreaksi secara sehat dan efektif terhadap suatu
hubungan yang menyenangkan dan memuaskan. Partisipan penelitian ini adalah 400 remaja di kota
Makassar (Laki-laki=150, perempuan=174). Instrumen yang digunakan dalam penelitian tersebut
adalah skala dukungan sosial keluarga dan skala kecerdasan emosional. Penelitian tersebut
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik analisis regresi linear berganda. Hasil dari
penelitian yaitu; 1) Dukungan sosial keluarga dan kecerdasan emosional secara bersama-sama
mempengaruhi penyesuaian sosial pada remaja di kota Makassar dengan nilai kontribusi sebesar
10.2%. 2) Dukungan sosial keluarga mempengaruhi penyesuaian sosial pada remaja dengan
kontribusi sebesar 1.4%, dengan arah hubungan positif yaitu semakin tinggi dukungan sosial keluarga
maka, semakin tinggi juga penyesuaian sosial remaja. 3) Kecerdasan emosional mempengaruhi
penyesuaian sosial pada remaja dengan kontribusi sebesar 8.8%, dengan arah hubungan positif, maka
semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi penyesuaian sosial remaja.
Kata Kunci: Dukungan Sosial Keluarga, Kecerdasan Emosional dan Penyesuaian Sosial.

Abstract
The purpose of this study was to see the effect of family social support and emotional intelligence on
adolescents' social adjustment in the city of Makassar. Social adjustment is an individual's ability to
react healthily and effectively to a pleasant and satisfying relationship. The participants of this study
were 400 adolescents in Makassar (male = 150, female = 174). The instruments used in this study
were the family social support scale and the emotional intelligence scale. The study used a
quantitative approach with multiple linear regression analysis techniques. The research results are; 1)
Family social support and emotional intelligence together affect social adjustment in adolescents in
Makassar city with a contribution value of 10.2%. 2) Family social support affects social adjustment
in adolescents with a contribution of 1.4%, with a positive relationship direction. The higher the social
support of the family, the higher the social adjustment of adolescents. 3) Emotional intelligence
affects social adjustment in adolescents with a contribution of 8.8%, with a positive relationship
direction, the higher the emotional intelligence, the higher the social adjustment of adolescents.
Keywords: Family Support Social, Emotional Intelligence, Social Adaptation.

54
Jurnal Psikologi Karakter, 1 (2), Desember 2021, Halaman: 54 – 59

PENDAHULUAN
Penyesuaian sosial adalah kemampuan individu untuk bereaksi secara sehat dan efektif
terhadap hubungan, situasi, dan kenyataan sosial yang ada sehingga dapat mencapai kehidupan sosial
yang menyenangkan dan memuaskan. Seorang remaja harus mampu melakukan penyesuaian sosial
yang baik dengan lingkungan disekitar karena remaja memiliki kebutuhan yang tinggi untuk bisa
berelasi dengan orang lain. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu
hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup, hubungan dengan
masyarakat sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum
(Mu'tadin,2002)
Tuntutan dari lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan remaja,
karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga dirumah atau dengan teman-teman di
sekolah tetapi juga mulai menjalin hubungan dengan orang-orang dewasa di luar lingkungan rumah
dan sekolah, yaitu lingkungan masyarakat (Daradjat, 1985). Fenomena yang terjadi yaitu masih
banyak remaja yang mengalami hambatan dalam proses penyesuaian sosial yang merugikan orang
lain dan juga diri sendiri, Hal ini tampak dari banyaknya keluhan remaja yang disampaikan dalam
rubrik konsultasi psikologi (Andayani, 2003) dan dapat juga diketahui dari berbagai berita atau ulasan
mengenai masalah dan perilaku menyimpang remaja dalam berbagai media, baik media cetak maupun
elektronik, Jika remaja tidak mampu melakukan penyesuaian sosial, maka akan menimbulkan
permasalahan yang kompleks. Setiap permasalahan yang terjadi pasti menuntut suatu penyelesaian
agar tidak menjadi beban yang dapat mengganggu perkembangan selanjutnya.Hal inilah yang menjadi
salah satu penyebab mengapa masa remaja dinilai lebih rawan dari pada tahap-tahap perkembangan
manusia yang lain dan banyak tuntutan dari lingkungan sekitarnya (Hurlock, 1997).
Havighurst (2000) menjelaskan bahwa masa remaja dituntut agar mampu melakukan
penyesuaian sosial untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi seperti orang dewasa pada umumnya,
dan tugas perkembangan sosial yang harus di capai oleh remaja tersebut adalah, mencapai peran sosial
sebagai pria dan wanita artinya dapat menerima peranan masing-masing sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di masyarakat dan mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial yang
berlaku di dalam masyarakat. Kasus tersebut cukup membuat resah masyarakat dan menujukan bahwa
ada yang tidak dipahami remaja ketika mereka hidup berdampingan dengan masyarakat. Aturan yang
berlaku di masyarakat seperti norma sosial, agama, hukum dan kesusilaan (kesopanan) berisi nilai-
nilai moral yang penting untuk remaja pahami.
Dengan demikian dapat diketahui dari fenomena yang terjadi bahwa penyesuian sosial yang di
lakukan oleh remaja memiliki permasalahan sehingga memiliki dampak negatif yang ditimbulkan
apabila proses penyesuaian sosial yang dimiliki oleh remaja berada di kategori rendah. Remaja sangat
membutuhkan faktor yang dapat membantu dalam menghadapi krisis di bidang penyesuaian ini
adalah dukungan dari keluarganya, terutama dari orangtua dan saudara (Hurlock, 1980). Menurut
Purnamaningsih (1993) adanya komunikasi dan hubungan yang hangat antara orangtua dengan remaja
akan membantu remaja tersebut dalam memecahkan masalahnya.

Dukungan Sosial Keluarga


Dukungan sosial merupakan penekanan pada peran, kehadiran orang lain untuk mengatasi
tekanan yang disebabkan oleh situasi yang tidak menyenangkan (House,1989). Dukungan sosial
tersebut mengacu pada kesenangan, kenyamanan, perhatian yang dirasakan oleh individu sebagai
penghargaan akan kepedulian serta pemberian bantuan dalam konteks hubungan yang akrab.
Dukungan dari keluarga, merupakan sistem dukungan sosial yang terpenting di masa remaja.
Remaja perlu motivasi untuk melihat apa yang terjadi di sekelilingnya, dan membutuhkan pertolongan
agar mengerti apa yang terjadi disekitarnya, remaja membutuhkan orang-orang untuk mencintainya,
mendapatkan kasih sayang dan menunjukan sasaran yang aman bagi kemarahan dan agresinya, remaja
juga memerlukan bantuan untuk dapat diterima, dihargai, dibutuhkan sebagai anggota keluarga,
termasuk orangtua (Goldstein dkk.,1981).
Terdapat empat aspek dukungan sosial keeluarga menurut House (1989) yaitu, dukungan
emosional yang meliputi ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang
bersangkutan, selanjutnya dukungan penghargaan yang meliputi bentuk ungkapan hormat,
memberikan dukungan yang positif atau dorongan untuk selalu maju dan semangat.Dukungan
instrumental yang berupa bantuan yang diberikan secara langsung atau nyata, dapat berupa jasa atau

55
Dukungan Sosial Keluarga dan Kecerdasan Emosional… (Elisabet Novinda Jelita, Sulasmi Sudirman, Minarni)

materi, dan yang terakhir dukungan informasi yang mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran,
atau umpan balik mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu.

Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional sebagai kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi
diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi, dan menunda kepuasan serta
mengatur keadaan jiwa (Goleman,2009). Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat
menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati.secara
garis besar membagi dua kecerdasan emosional, yaitu kompetensi personal (pribadi) yang meliputi
pengenalan diri (kesadaran diri), pengendalian diri (pengaturan diri), motivasi diri, dan kompetensi
sosial yang terdiri dari empati dan keterampilan sosial.
Kecerdasan emosi menuntut seseorang untuk belajar mengakui, menghargai perasaan diri
sendiri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat dan menerapkan secara efektif energi emosi
dalam kehidupan sehari-hari. Individu juga harus memiliki kemampuan yang dapat membimbing
perasaan dan tindakan dengan mengenali emosi, mengelola emosi, mengatasi permasalahan dengan
mengendalikan diri, serta memotivasi diri sendiri agar dapat mengatasi masalah demi tercapainya
tujuan hidup.
Terdapat lima aspek kecerdasan emosional menurut Goleman (2009) yaitu, Mengenali emosi
diri yaitu mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu
pengambilan keputusan diri sendiri, selanjutnya aspek mengelola emosi yaitu, kemampuan untuk
menangani, mengekspresikan, dan mengendalikan emosi serta memiliki kepekaan terhadap kata hati
untuk digunakan dalam hubungan dan tindakan sehari-hari.Aspek memotivasi diri yaitu kemampuan
menggunakan hasrat untuk setiap saat membangkitkan semangat dan tenaga dalam mencapai keadaan
yang lebih baik. Aspek mengenali emosi orang lain yaitu, kemampuan merasakan apa yang dirasakan
oleh orang lain dan yang terakhir adalah aspek keterampilan sosial yaitu, Seni dalam membina
hubungan dengan orang lain

Dukungan sosial keluarga dan Kecerdasan Emosional


Berdasarkan hasil dari penelitian terdahulu yang menunjukan bahwa terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi penyesuaian sosial. Diantaranya adalah kondisi lingkungan yang
mencakup lingkungan keluarga dan juga faktor perkembangan dan juga kematangan yang mencakup
kemtangan emosional kecerdasan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitiaan yang dilakukan oleh
Veronica (2016) yaitu terdapat 300 responden yang berusia 18-22 tahun menunjukan bahwa ada
pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian sosial dan selanjutnya hasil penelitian yang
dilakukan oleh Widyana Sulistio &Endro Puspo Wiroko (2018) dimana hasi penelitiannya terhadap
200 responden yang berusia 18-23 tahun menunjukan adanya pengaruh yang signifikan antara
kecerdasan emosioanal terhadap penyesuaian sosial.

METODE PENELITIAN
Partisipan
Partsipan dalam penelitian ini sebanyak 400 responden (N=400) yang berada pada tahap remaja
menengah dengan rentang usia 15-18 tahun. Laki-laki=150, Perempuan=174, yang diperoleh melalui
penyebaran skala online yang dilakukan sejak tanggal 5 Agustus 2020 hingga 16 Agustus 2020.

Instrumen
Skala dukungan sosial keluarga yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala yang di
konstruksi sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh House (1989). Skala
ini terdiri dari 30 item dalam bentuk skala likert, bergerak dari angka 1-5 (1=Sangat Tidak Setuju,
2=Tidak Setuju, 3=Netral, 4=Setuju, 5=Sangat Setuju).
Skala kecerdasan emosional yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala yanng di
konstruksi sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Goleman (2009).
Skala ini tediri dari 30 item dalam bentuk skala likert, bergerak dari angka 1-5 (1=Sangat Tidak
Setuju, 2=Tidak Setuju, 3=Netral, 4=Setuju, 5=Sangat Setuju).
Skala penyesuaian sosial yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala siap pakai yang di
konstruksi oleh Feren Arisvandy 2015, berdasarkan asppek-aspek yang dikemukakan oleh Scneiders
56
Jurnal Psikologi Karakter, 1 (2), Desember 2021, Halaman: 54 – 59

(1984). Skala ini memiliki nilai reliabilitas Cronbach Alpha sebesar 0.746. Skala ini terdiri dari 32
item,dalam bentuk skala likert bergerak dari angka 1-5(1=Sangat Tidak Setuju, 2=Tidak Setuju,
3=Netral, 4=Setuju, 5=Sangat Setuju).

Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear
berganda.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Analisis Data
Penelitian ini ditemukan bahwa mahasiswa yang pernah menjadi demonstran di kota makassar
memiliki tingkat agresivitas yang berada pada tingkatan sedang. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 1. Gambaran tingkata agresivitas pada mahasiswa yang pernah menjadi
demonstran di kota Makassar
Kategorisasi Tingkat Skor Kategorisasi Frekuensi Persentase
Sangat Tinggi X>68,57 29 6.9%
Tinggi 54,76<X≤68,57 101 24.2%
Sedang 40,95<X≤54,76 148 35.4%
Rendah 27,15<X≤40,95 121 28.9%
Sangat Rendah X<27,15 19 4.5%

Tabel diatas menunjukkan bahwa dari 418 orang sampel penelitian, 148 orang berada pada
kategori tingkat agresivitas sedang. Setelah tingkat agresivitas sedang, tingkat agresivitas terbanyak
kedua adalah tingkat agresivitas rendah sebanyak 121 orang, tingkat agresivitas tinggi sebanyak 101
orang, tingkat agresivitas sangat tinggi sebanyak 29 orang, dan tingkat agresivitas sangat rendah
sebanyak 19 orang.
Penelitian ini ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat agresivitas berdasarkan
kategori demografi pada mahasiswa yang pernah menjadi demonstran di kota makassar. Hal tersebut
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2. Perbandingan tingkat agresivitas pada mahasiswa yang pernah menjadi
demonstran di kota Makassar berdasarkan faktor demografi
Variabel t F p Ket.
Jenis Kelamin 1.268 0.056 Tidak signifikan
Usia 3.664 0.206 Tidak signifikan
Suku 0.805 0.491 Tidak signifikan
Semester Akademik 0.159 0.853 Tidak signifikan
Fakultas 0.360 0.782 Tidak signifikan
Jurusan 0.499 0.618 Tidak signifikan
Universitas 1.268 0.206 Tidak signifikan
Jumlah Aksi Demonstrasi
1.372 0.171 Tidak signifikan
yang Pernah diikuti

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa seluruh faktor demografi memiliki nilai signifikansi
p>0,05, Nilai signifikansi tersebut lebih besar dari kriteria taraf signifikansi 5%. Sehingga dapat
dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat agresivitas pada mahasiswa yang pernah menjadi
demonstran di kota makassar berdasarkan faktor demografi.

Pembahasan
Pada penelitian ini seluruh responden berasal dari suku dengan letak geografis yang sama yaitu
sulawesi selatan. Adapun suku-suku yang termasuk dalam penelitian ini adalah bugis, makassar,
mandar, dan lainnya. Suku merupakan salah satu bentuk identitas sosial yang unik karena didasarkan
pada budaya dan kebiasaan yang sudah ada sejak waktu yang lama dan dianggap menjadi
karakteristik dari suatu suku. Karakteristik tersebutlah yang membedakan satu suku dengan suku yang
lain, karakteristik tersebut dipengaruhi oleh banyak hal salah satunya adalah letak geografis.
Letak geografis yang sama juga biasanya mempengaruhi kebudayaan dan kebiasaan yang
dimiliki suatu suku sehingga suku yang berasal dari letak geografis yang sama memiliki kebudayaan
57
Dukungan Sosial Keluarga dan Kecerdasan Emosional… (Elisabet Novinda Jelita, Sulasmi Sudirman, Minarni)

dan kebiasaan yang tidak jauh berbeda. Pada penelitian ini peneliti mengambil suku bugis, makassar,
dan mandar yang berasal dari letak geografis yang sama yaitu sulawesi selatan. Untuk suku lain yang
masuk ke dalam data penelitian dikelompokkan dalam kelompok suku lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Hariana (2010) menjelaskan bahwa suku bugis, makassar, dan
mandar masih berasal dari lingkup kebudayaan yang sama yaitu lingkup kebudayaan sulawesi selatan.
Hal tersebut menyebabkan adanya kebudayaan atau kebiasaan yang tidak jauh berbeda dari satu suku
dengan suku yang lainnya. Salah satunya adalah baju adat dan rumah adat dari suku bugis, makassar,
dan mandar. Kebudayaan ketiga suku tersebut tidak jauh berbeda satu sama lain.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Tamar, Wirawan, dan Sudirman, (2017) mengatakan bahwa
inti budaya dari kebudayaan bugis adalah siri’, pesse’, getteng, sitinaja, lempu, acca, dan reso. Pesse’
memiliki makna memahami atau memaknai arti dari solidaritas atau persaudaraan dalam suatu
kelompok. Penelitian yang dilakukan oleh Tamar, Wirawan, dan Bellani (2019) mengatakan bahwa
pesse’ juga merupakan perasaan peduli terhadap orang lain.
Berdasarkan hal tersebut pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan tingkat agresivitas yang
signifikan pada mahasiswa yang pernah menjadi demonstran di kota makassar berdasarkan faktor
demografi karena pada variabel demografi suku yang didapatkan berasal dari letak geografis yang
sama yaitu sulawesi selatan.

KESIMPULAN
Kesimpulan pada penelitian ini adalah mahasiswa yang pernah menjadi demonstran di kota
makassar memiliki tingkat agresivitas sedang. Tingkat agresivitas sedang yang dimaksudkan disini
adalah mahasiswa yang pernah menjadi demonstran di kota makassar cukup mampu untuk
mengendalikan perilaku agresifnya baik secara fisik maupun verbal.
Mahasiswa yang pernah menjadi demonstran di kota makassar juga tidak memiliki tingkat
perbedaan agresivitas yang signifikan berdasarkan faktor-faktor demografi. Hal tersebut dikarenakan
pada penelitian seluruh responden berasal dari suku dengan letak geografis yang sama. Suku-suku
yang berasal dari sulawesi selatan masih memiliki ikatan darah dan memiliki kebudayaan dan
kebiasaan yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Suku memiliki pengaruh yang paling besar
dibandingkan variabel-variabel demografi yang lain dikarenakan ada nilai yang dipercaya berdasarkan
lingkup kebuudayaan atau shared values salah satunya adalah Pesse’ yang berarti solidaritas atau
persaudaraan untuk lingkup kebudayaan sulawesi selatan. Hal inilah yang menyebabkan tidak
terdapat perbedaan tingkat agresivitas yang signifikan berdasarkan faktor demografi pada penelitian
ini.

DAFTAR PUSTAKA
Amelia, S.R., Rustam, A., & Supradewi, R. (2011). Perbedaan Agresivitas antara Mahasiswa yang
Pernah Mengikuti Demonstrasi dan Mahasiswa yang Belum Pernah Mengikuti Demonstrasi.
Dipresentasikan di Seminar Nasional UMP tahun 2011.
Buss, A.H., & Perry, M. (1992). The agression questionnaire. Journal of personality and socilal
psychology. The American Psychological Association, inc., 63(3): 452-459.
Ekawati, D.S., & Nashori, F. (2006). Perilaku Agressif Mahasiswa Etnis Jawa dan Etnis Batak.
Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 8(1): 46-62.
Faqih, A. (2010). Kependudukan: Teori, Fakta, dan Masalah. Yogyakarta: Dee Publish.
Hariana. (2010). Tinjauan Pakaian Adat Sulawesi Selatan. Buletin Sibenas, 4(4).
Kusumah, I. (2007). Risalah Pergerakan Mahasiswa. Bandung: IDYDEC Press.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1990.
Setiowati, E.A., Suprihatin, T., & Rohmatun. (2017). Gambaran Agresivitas Anak dan Remaja di
Area Beresiko. Paper dipresentasikandi Hotel Grasia, Semarang. Semarang: Ikatan Psikologi
Perkembangan Indonesia.
Syarif, F. (2017). Hubungan Kematangan Emosi dengan Perilaku Agresi pada Mahasiswa Warga
Asrama Komplek Asrama Ayu Sempaja. 267-280.

58
Jurnal Psikologi Karakter, 1 (2), Desember 2021, Halaman: 54 – 59

Tamar, M., Wirawan, H., & Sudirman, S. (2017). Buginese Culture Value System Scale for
Entrepreneur and Its Transforming Local Values to a Psychometric Scale. Advances in Social
Science, Education and Humanities Research, 149:67-69.
Tamar, M., Wirawan, H., & Bellani, E. (2019). The Buginese entrepreneurs; the influence of local
values, motivation and entrepreneurial traits on business performance. Journal of Enterprising
Communities People and Places in The Global Economy, 13(4): 438-454.
Taylor, E.S., Peplau, L.A., & Sears, D.O. (2015). Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Undang-Undang Dasar 1945 No. 9 Tahun 1998. https://www.bphn.go.id/data/documents/98uu009.pdf
Undang-Undang Dasar 1945 No. 12 Tahun 2012. https://lldikti8.ristekdikti.go.id/2019/02/05/undang-
undang-republik-indonesia-nomor-12-tahun-2012-tentang-pendidikan-tinggi/

59

Anda mungkin juga menyukai