Anda di halaman 1dari 36

PENGARUH VERBAL ABUSE TERHADAP TINGKAT KEPERCAYAAN DIRI SISWA

USIA 12-13 TAHUN DI SMPN 1 REJOTANGAN

SKRIPSI

Putri Eka Lestari

(12306193116)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH

JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM

SEPTEMBER 2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa yang

ditandai dengan perubahan-perubahan karakteristik pada diriya. Menurut Singgih

Gunarsa (2004), masa remaja awal terjadi pada usia 10-13 tahun. Pada usia ini anak

sudah dapat berpikir secara kritis mengenai apa yang dilhat dan dialaminya, pengetahuan

yang bertambah luas menimbulkan pemikiran dan angan-angan yang tinggi untuk masa

depan yang masih jauh. Anak pada remaja awal sering kali menolak segala sesuatu yang

dianggap baik oleh orangtua, tidak senang di kritik dan menganggap apa yang

dilakukannya adalah hal yang sudah benar. Meskipun demikian pada fase ini anak tetap

memerlukan dukungan dan sikap hangat dari keluarga untuk menyelaraskan suasana hati

yang tidak menentu di dalam hubungan dengan lingkungan dan teman sebaya. Untuk

mengoptimalkan perkembangan pada masa remaja awal sangat diperlukan pengawasan,

pengarahan, serta dorongan positif dari orangtua.

Sedangkan menurut Desmita (2009) remaja awal yakni terjadi pada usia 10-14

tahun yang dimana pada fase ini anak berada pada tahap pubertas mengalami perubahan

pada bentuk tubuh pada laki-laki dan perempuan, timbul keinginan untuk bebas dari

bimbingan orangtua, serta keadaan emosional yang tidak stabil. Guru dan orangtua

memiliki peranan yang cukup penting untuk mendampingi anak pada fase ini, seperti

memberikan wadah dan dukungan untuk menyalurkan bakat minat anak, dan juga

memberikan kesempatan kepada anak agar bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

1
Perilaku remaja sering kali berlawanan dengan keinginan orangtua, para orangtua

pada umumnya menganggap bahwa anak masih memerukan pengawasan, perlindungan

serta pengarahan. Maka yang dilakukan kebanyakan dari orangtua adalah mengatakan

sesuatu yang sebaiknya tidak boleh diperbuat oleh anak remaja seperti jangan pulang

larut malam, jangan merokok, jangan main saja, jangan ke cafe, dan lain sebagainya.

Namun bagi anak usia remaja mereka tidak ingin diawasi dan diatur oleh orangtua nya,

anak remaja lebih beranggapan bahwa mereka sudah dewasa sehingga merasa bisa

membuat keputusan sendiri, dan memerlukan kebebasan untuk memperoleh pengalaman

yang bisa di dapat dari dunia luar. Hal seperti ini dapat mengakibatkan berbagai

permasalahan dalam proses penyesuaian dirinya, dikarenakan pada masa remaja anak

mengalami ketegangan batin akibat dari keinginan bebas dari pengawasan orangtua.

(Djaali, 2007)

Pada usia remaja awal rasa percaya diri diperlukan agar anak mampu

mengendalikan perubahan aspek-aspek yang ada pada dirinya, jika anak memiliki rasa

percaya diri yang cukup maka akan membantu mengoptimalkan keberhasilan dalam

upaya memperoleh prestasi di sekolah. Menurut Lauster (2002), rasa percaya diri dan

rasa superioritas merupakan kebutuhan manusia yang paling penting, namun rasa percaya

diri yang berlebihan juga tidak selalu baik, orang yang memiliki rasa percaya diri tinggi

seringkali bersikap tidak berhati-hati sehingga sering menimbulkan konflik dengan orang

lain. Sedangkan orang yang memiliki rasa percaya diri yang rendah akan cenderung

menarik diri dari lingkungannya dan menghindar dari apapun yang sedang di hadapinya.

Jika seseorang tidak mampu menumbuhkan rasa percaya diri pada dirinya maka orang

2
tesebut akan berprilaku keras kepala, tidak jujur, banyak bicara, dan dogmatis untuk

menutupi rasa rendah dirinya.

Sedangkan menurut Tri. S (2014) kepercayaan diri merupakan suatu sikap dan

keyakinan atas kemampuan yang dimiliki sehingga individu tidak memiliki ketakutan

ataupun perasaan cemas untuk melakukan sesuatu. Kepercayaan diri dapat terbentuk

karena sikap positif yang berupa dorongan atau penghargaan yang diperoleh dari

lingkungan sekitar secara terus menerus dalam kurun waktu yang lama. Begitupun

sebaliknya, seseorang memiliki rasa percaya diri yang rendah dikarenakan mendapat

respon negatif dari orang-orang tertentu seperti ejekan dan sikap merendahkan.

Hilangnya atau rendahya rasa percaya diri pada anak dapat disebabkan oleh

beberapa hal, seperti yang dikemukakan oleh Ros (2011) salah satu faktor yang

menyebabkan hilangnya rasa percaya diri pada anak adalah keturunan keluarga. Sebuah

fakta yang ditemukan Prof. Gordon Claridge melalui studinya dalam Ros (2011)

menyebutkan bahwa rasa percaya diri diwariskan oleh keluarga melalui genetik, jika

salah satu atau kedua oangtua tidak memiliki rasa percaya diri maka akan mewariskan

60% hingga 80% keturunan yang kurang memiliki rasa percaya diri.

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)

melakukan sebuah penelitian terhadap remaja di Indonesia yang menegaskan bahwa

tigkat kepercayaan diri pada anak remaja reatif rendah yakni 56%. Hal ini diperkuat

dengan hasil penelitian Yuvine dkk yang menunjukkan hasil sebanyak 62,7% anak yang

memiliki rasa percaya diri rendah dan sebanyak 37,3% anak yang memiliki rasa percaya

diri tinggi.

3
Berbeda dengan pernyataan Prof. Gordon Claridge, Titik Lestari (2016)

berpendapat bahwa faktor pengalaman dan pengetahuan orangtua sangat berpengaruh

pada hilangnya rasa percaya diri pada anak, kurangnya pemahaman orangutua terhadap

anak sampai dengan tindakan kekerasan verbal atau yang dapat disebut dengan verbal

abuse. Verbal abuse sering terjadi diantara lingkungan keluarga namun tidak banyak

orangtua yang mengetahui bahwa sikap seperti memarahi secara berlebihan,

membandingkan anak, memaki, membentak merupakan bentuk dari verbal abuse yang

akan menyebabkan hilangnya rasa percaya diri pada anak jika dilakukan secara terus

menerus dalam jangka waktu yang cukup lama.

Verbal Abuse atau yang bisa disebut dengan kekerasan verbal merupakan bentuk

kekerasan yang hanya berbentuk perkataan ataupun lisan yang seringkali disepelekan

oleh pihak manapun, padahal dampak dari kekerasan verbal itu sendiri bisa lebih parah

dibandingkah dengan bentuk kekerasan yang lainnya. Umumnya pelaku kekerasan verbal

ini adalah orangtua dan teman sebaya, pelaku kekerasan verbal seringkali tidak

menyadari bahwa mereka telah melakukan kekerasan (Titik Lestari 2016).

Menurut Nahuda, dkk (2007), kekerasan verbal yang terjadi pada anak banyak

menimbulkan dampak negatif yang tidak baik bagi anak tersebut, dampak yang

ditimbulkan dari kekerasan verbal memang tidak dapat terlihat dari fisik, namun

kekerasan verbal akan berdampak pada kondisi psikologis anak. Anak akan selalu

mengingat dan sulit melupakan kejadian negatif yang menimpa dirinya pada masa

lampau dan akan berpengaruh pada tingkah lakunya. Berdasarkan kasusnya, kekerasan

verbal dapat terjadi di mana saja, seperti di lingkungan keluarga, sekolah, organisasi, dan

juga komunitas.

4
Pada era modern ini masih banyak orangtua yang belum sadar akan bahaya dari

kekerasan verbal ini, dan masih banyak orangtua yang melakukan kekerasan verbal pada

anak. Dari data yang diperoleh dari Wahana Visi Indonesia pada tahun 2020 sebanyak

61,5% kasus kekerasan verbal yang terjadi pada anak di Indonesia, terutama pada anak

usia 12-13 tahun. Meskipun di Indonesia telah memiliki sebuah lembaga yang ditugaskan

secara khusus melindungi anak seperti KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)

serta perundang-undangan yang diciptakan untuk melindungi anak-anak di Indonesia dari

kekerasan, namun dari catatan Satgas Perlindungan Anak di Indonesia kasus kekerasan

pada anak meningkat setiap tahunnya.

Menurut Titik Lestari (2016) Orangtua memegang peranan penting dalam

mendidik dan juga memberikan arahan serta kasih sayang guna menjadikan anak sebagai

orang yang berkompeten saat anak dewasa, para orangtua seharusnya memahami bahawa

setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan, karena anak

termasuk dalam kategori yang rentan.

Terdapat sejumlah penelitian yang mengungkapkan bahwa dampak dari

kekerasan verbal dapat mempengaruhi kondisi psikologis seorang anak. Penelitian yang

dilakukan oleh Yuvine dkk menunjukkan hasil semakin tinggi perlakuan verbal abuse

maka semakin rendah tingkat kepercyaan diri pada anak, yakni sebanyak 62,7% yang

mengalami penurunan tingkat percaya diri disebabkan oleh verbal abuse dan sisanya

sebanyak 37,3% anak yang tidak mendapat perlakuan verbal abuse mengalami

peningkatan rasa percaya diri.

Didukung dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Novitasari Siregar pada tahun

2020 tentang pengaruh kekerasan verbal terhadap kepercayaan diri remaja, menunjukkan

5
bahwa sebsar 14,5% tindakan kekerasan verbal dapat mempengaruhi kepercayaan diri

pada remaja sebesar 85,5%.

Salah satu ciri anak yang mejadi korban kekerasan verbal adalah memiliki tingkat

kepercayaan diri yang rendah, hal ini disebabkan bentuk perlakuan verbal abuse seperti

membandingkan, menghina, membentak, berkata kasar, merendahkan, atau bahkan

ancaman yang terus-menerus dilakukan pelaku terhadap korban akan membuat korban

merasa ketakutan, tidak mampu untuk bertindak, hilangnya rasapercaya diri, bahkan

sampai berdampak pada proses belajar mereka di sekolah. Mereka selalu dihantui dengan

rasa takut, tidak fokus dalam belajar, tidak tenang dalam belajar, sulit bersosialisasi

dengan lingkungan, dan sulit untuk berkonsentrasi. (Titik Lestari, 2016)

Fenomena yang ditemukan di lapangan berdasarkan observasi yang telah

dilakukan oleh peneliti pada tanggal 22-23 September 2022 di SMPN 1 Rejotangan

dengan 2 orang siswa kelas 7 yang mengalami verbal abuse, peneliti melakukan proses

konseling dan mendapatkan hasil dari kedua klien mengalami kekerasan verbal dari

orangtua dan teman sebaya seperti dibandingkan, dibentak, dihina, diancam, pemakaian

julukan, menyalahkan, dan merendahkan. Dari keduanya telah mengalami penurunan

tingkat percaya diri, yang dapat dilihat dari proses belajar mereka di dalam kelas dan juga

cara berinteraksi dengan lingkungan menunjukkan adanya sikap pasif dan sulit

berisosialisasi dengan teman sebaya.

Dari hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti seperti pada penjelasan di

atas, di SMPN 1 Rejotangan terdapat beberapa kasus kekerasan verbal yang terjadi

terutama pada siswa kelas 7, dengan latar belakang siswa kelas 7 yang rata-rata masih

berusia 12-13 tahun yang akan megalami berbagai perkembangan emosional pada

6
dirinya, dikhawatirkan kekerasan verbal tersebut akan mengganggu proses perkembangan

emosionalnya, yakni salah satunya adalah kehilangan rasa percaya diri. Anak yang secara

terus menerus mendapatkan verbal abuse lama-kelamaan akan tertanaman di mindset

mereka bahwa mereka memang seperti apa yang dikatakan oleh pelaku kekerasan verbal.

Kemudian korban secara perlahan akan menarik diri dari lingkungannya dan kehilangan

rasa percaya diri.

Anak memiliki hak dan kewajiban yang tercantum dalam Undang-Undang No. 23

Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak Pasal 13 dan 69 yang menyatakan bahwa

“pada perlindungan hukum bagi anak terhadap kekerasan”. Pada pasal 78 dan 80 juga

mengatakan “terdapat sanksi hukum untuk para pelaku tindak kekerasan pada anak,

termasuk juga di dalamnya kekerasan verbal”.

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa verbal abuse yang diberikan

orangtua dengan sengaja maupun tidak kepada anak dapat berdampak pada hilangnya

rasa percaya diri. Berdasarkan hal tersebut yang melatar belakangi peneliti untuk

melakukan penelitian ini adalah untuk megetahui pengaruh dari dampak kekerasan verbal

terhadap tingkat kepercayaan diri. Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Verbal Abuse Terhadap Tingkat

Kepercayaan Diri Siswa Usia 12-13 Tahun di SMPN 1 Rejotangan ”

I.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, peneliti telah mengidentifikasi

kemungkinan yang akan timbul berkaitan dengan verbal abuse yang dapat

mempengaruhi tingkat kepercayaan diri pada remaja. Verbal abuse merupakan salah satu

bentuk kekerasan yang sering di seplekan karena dampak yang ditimbulkan tidak terlihat

7
secara langsung, pada kenyataannya verbal abuse memiliki dampak yang lebih parah

dari pada kekerasan yang lain, karena dampak verbal abuse sangat berpengaruh pada

kondisi psikologis.

Verbal abuse kebanyakan dilakukan oleh orangtua dikarenakan orangtua yang

memiliki kedudukan paling tinggi di dalam rumah tangga. Orangtua yang menganggap

anak remaja masih memerlukan pengarahan serta pengawasan membuat para orangtua

tidak menyadari telah melakukan kekerasan verbal terhdap anak seperti memberi

perlakuan membentak, memarahi, mengabaikan anak, mengancam, berkta kasar,

menghina, dan membandingan. Jika hal tersebut terus terjadi dalam jangka waktu yang

lama maka akan mempengaruhi tingkat kepercayaan diri pada anak, seperti menarik diri

dari lingkungan, tidak berani maju di depan kelas, kesulitan bergul dengan teman sebaya,

gugup, dan berikap pasif.

I.3. Cakupan Masalah

Dalam sebuah penelitian batasan masalah diperlukan agar penelitian yang

dilakukan lebih terarah dan tidak meyimpang dari variabel penelitian yang telah

ditentukan. Diharapkan dari adanya batasan penelitian ini dapat membantu menjawab

penelitian yang akan diteliti lebih efektif dan efisien. Adapun batasan masalah yang

ditetetapkan dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada kajian yakni verbal abuse

merupakan kekerasan yang dilakukan dalam bentuk lisan atau perkataan yang meliputi

membentak, memaki, berkata kasar, membandingkan, mengancam, mengabaikan, dan

memarahi. Sedangkan kepercayaan diri merupakan perasaan percaya terhadap

kemampuan yang dimiliki sehingga tidak memiliki perasaan cemas untuk melakukan

sesuatu. Oleh karena itu peneliti memberi batasan yang berkaitan dengan pengaruh verbal

8
abuse terhadap tingkat kepercayaan diri siswa usia 12-13 tahun di SMP Negeri 1

Rejotangan.

I.4. Rumusan Masalah

Berdasarkan uaraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dari

penelitian ini adalah :

1. Bagaimana tingkat verbal abuse yang dialami oleh siswa usia 12-13 tahun

di SMPN 1 Rejotangan?

2. Bagaimana tingkat kepercayaan diri pada siswa usia 12-13 tahun di SMPN

1 Rejotangan?

3. Bagaimana pengaruh verbal abuse terhadap tingkat kepercayaan diri pada

siswa usia 12-13 tahun di SMPN 1 Rejotangan

I.5. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian

ini adalah :

1. Untuk mengetahui tingkat verbal abuse yang dialami oleh siswa usia 12-

13 tahun di SMPN 1 Rejotangan.

2. Untuk megetahui tingkat kepercayaan diri pada siswa usia 12-13 tahun di

SMPN 1 Rejotangan.

3. Untuk mengetahui pengaruh verbal abuse terhadap tingkat kepercayaan

diri siswa usia 12-13 tahun di SMPN 1 Rejotangan.

I.6. Manfaat Penelitian

I.6.1. Manfaat Teoritis

9
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi, menambah wawasan

pemikiran, serta pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang

bimbingan dan konseling islam, serta dapat dijadikan referensi dan bahan rujukan

yang relevan bagi penelitian selanjutnya.

I.6.2. Manfaat Praktis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberi pemahaman bagi

orangtua dan guru untuk dapat memahami dampak kekerasan verbal dan pengaruhnya

terhadap tingkat kepercayaan diri siswa.

10
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

I. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dibabarkan pada latar belakang masalah

dan rumusan masalah di atas maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut :

a. Ha : ada hubungan antara verbal abuse dengan tingkat kepercayaan diri siswa usia

12-13 tahun di SMPN 1 Rejotangan.

b. Ho : tidak ada hubungan antara verbal abuse dengan tingkat kepercayaan diri siswa

usia 12-13 tahun di SMPN 1 Rejotangan.

II. Definisi Operasional

1. Verbal abuse

Verbal abuse atau disebut juga emotional child merupakan tindakan lisan

atau perilaku yang menimbulkan dampak yang merugikan. Kekerasan verbal yaitu

kekerasan yang dilakukan melalui tutur kata seperti fitnah membentak,

mencemooh, menghina, memaki , meneriaki, menghina serta berkata kasar.

Verbal abuse sering disepelekan karena dampaknya tidak telihat secara fisik,

padahal justru verbal abuse memiliki dampak yang lebih parah dari kekerasan

lainnya karena meimbulkan luka pada jiwa seorang anak yang tidak nampak.

Perkatan yang menghina dan merendahkan akan diserap dalam ingatan anak yang

berdampak pada kondisi psikologis anak serta hilangnya rasa percaya diri (Titik

Lestari, 2016)

11
2. Kepercayaan diri

Kepercayaan diri merupakan salah satu syarat bagi individu untuk

mengembangkan aktivitas dan juga kreativitas sebagai usaha dalam mencapai

prestasi. Namun kepercayaan diri tidak tumbuh dengan sendirinya. Kepercayaan

diri dapat tumbuh dari proses interaksi yang sehat di lingkungan sosial individu

tersebut dan berlangsung secara berkesinambungan. Rasa percaya diri tidak akan

muncul begitu saja pada diri individu, terdapat proses tertentu didalamnya

sehingga terjadi pembentukan rasa percaya diri itu (Wenny Hulukati, 2016).

III. Landasan Teoritik

1. Verbal Abuse

A. Definisi Verbal Abuse

Masih banyak orangtua dan lingkungan sekitar yang menganggap

bahwa perlakuan abuse atau yang biasa disebut dengan kekerasan adalah

suatu hal yang lumrah ketika seorang anak dianggap telah melakukan

sesuatu yang diluar batas. Orangtua dan lingkungan sekitar berpendapat

bahwa perlakuan abuse merupakan bentuk hukuman yang akan

mengontrol tindakan seorang anak (Titik Lestari, 2016).

Titik Lestari (2016) menjelaskan terdapat berbagai macam bentuk-

bentuk abuse(kekerasan) pada anak, salah satunya adalah verbal abuse

yang sering dikenal dengan kekerasan verbal, kekerasan verbal merupakan

kekerasan dalam bentuk lisan atau perkataan yang banyak diterima oleh

anak-anak di lingkungan sekitarnya baik di rumah ataupun di sekolah,

sehingga rumah dan sekolah bukan lagi tempat yang nyaman dan aman

12
bagi seorang anak yang mengalami verbal abuse. Verbal abuse merupakan

sebuah kekerasan yang menimbulkan efek kekerasan dari perkataan yang

tersirat maupun tersurat, dampak yang ditimbulkan dari verbal abuse bisa

sangat fatal mempengaruhi mental maupun fisiknya. Sebuah penelitian

menunjukkan bahwa perlakuan verbal abuse menimbulkan dampak yang

negatif khususnya pada mental seorang anak, salah satu ciri seorang anak

telah mengalami verbal abuse yakni rendahnya bahkan hilangnya rasa

percaya diri. Hal ini disebabkan karena perkataan-perkataan negatif yang

terus menerus di lontarkan oleh pelaku verbal abuse kepada korban seperti

menghina, merendahkan, membandingkan, mengancam, serta berkata

tidak pantas kepada anak, sehingga akan mendoktrin pikiran korban

bahwa mereka memang seperti apa yang dikatakan oleh pelaku kemudian

korban akan secara perlahan menarik diri dari lingkungan dan kemudian

kehilangan self confidence (rasa percaya diri).

Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan Verbal

Abuse merupakan kerasan yang dilakukan dengan tutur kata seperti fitnah

membentak, memaki, menghina, mencemooh, meneriaki, memfitnah dan

berkata kasar dan mempermalukan didepan umum dengan kata kata kasar.

Anak akan merasa terkucilkan, merasa tidak dibutuhkan, hingga membuat

anak menjadi rendah diri. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada aspek

perkembangan yang lain, serta meimbulkan dampak yang tidak dapat

disepelekan yang akan mempengaruhi mental serta fisik seorang korban

dari verbal abuse.

13
B. Faktor-faktor Penyebab Verbal Abuse

Faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya verbal abuse pada

anak dibagi menjadi 2 yakni faktor internal dan faktor eksternal (Titik

Lestari, 2016) :

1. Faktor Internal

a. Pengetahuan Orangtua

Banyak orangtua yang tidak mengetahui akan perkembangan

dan apa yang dibutuhkan oleh anaknya, seringkali anak dipaksa

untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya anak tersebut belum

mampu melakukannya dan belum saatnya untuk

melakukannya, namun jika sang anak tidak mampu menuruti

kemauan orangtuanya maka anak akan dianggap sebagai anak

yang tidak tahu apa-apa dan tidak bisa melaukan apa-apa

kemudian orangtua akan merendahkannya.

b. Pengalaman Orangtua

Dari pengalaman para orangtua yang semasa ia kecil

mendapatkan perlakuan verbal abuse oleh kedua orangtuanya

ataupun lingkungannya, secara tidak langsung kejadian

tersebut akan tertanam di alam bawah sadar mereka, sehingga

ketika ia dewasa dan memiliki seorang anak ia akan melakukan

hal yang sama seperti apa yang mereka dapatkan semasa

kecilnya.

2. Faktor Eksternal

14
a. Faktor Ekonomi

Perlakuan kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga

sebagian besar disebabkan karena keadaan ekonomi keluarga

yang buruk, para orangtua telah mendapatkan tekanan hidup

seperti sulitnya mencari pekerjaan, PHK, mahalnya biaya

hidup yang mereka tidak mampu menangani hal ini secara baik

maka para orangtua akan mengalami tingkat stress yang

berkepanjangan, lebih sensitif dan mudah marah sehingga

timbul perlakuan verbal abuse terhadap anak.

b. Faktor Lingkungan

Selain dari faktor orangtua, faktor dari lingkungan sekitar

termasuk teman sekolah dan televisi meyumbangkan peran

besar dalam mendorong perilaku verbal abuse pada anak.

Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa

orangtua seharusnya juga dapat memahami bagaimana perannya sebagai

orangtua untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Salah satu kebutuhan anak

yakni membutuhkan untuk diterima segala kelemahan dan kelebihan yang

ada pada dirinya dan tidak untuk dihakimi. Wujud penerimaan terhadap

anak yakni berupa apresiasi pujian ketika berhasil melakukan suatu hal

positif, memberikan kasih sayang, dan memberikan semangat untuk terus

belajar menjadi lebih baik lagi.

C. Dampak Verbal Abuse

15
Banyak dari pelaku verbal abuse tidak meyadari bahwa mereka

telah melakukan kekerasan terhadap seorang anak melalui lisannya, verbal

abuse menimbulkan dampak yang bisa saja lebih buruk daripada

kekerasan fisik, namun dampak dari verbal abuse itu sendiri seringkali

disepelekan karena menimbulkan dampak yang tidak terlihat secara fisik.

Dampak verbal abuse sulit untuk ditangani karena melukai aspek

psikologis dan fisik dari seorang anak, bahkan yang membuat dampak

verbal abuse lebih parah dan sulit untuk ditangani adalah seorang korban

tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban kekerasan verbal,

sehingga lama kelamaan mereka terdoktrin dan mempercayai apa yang

diucapkan oleh pelaku verbal abuse sehingga korban akan menyalahkan

dirinya sendiri, tak jarang sebagian dari mereka kemudian menarik diri

dari lingkungannya dan kehilangan rasa percaya diri. Tidak menutup

kemungkinan jika korban telah menginjak usia dewasa mereka tidak akan

mendapatkan perlakuan verbal abuse atau justru mereka akan menjadi

pelaku dari verbal abuse karena faktor pengalaman masalalu mereka yang

terekam di alam bawah sadar dan terbawa sampai mereka dewasa. Korabn

dari verbal abuse akan mengalami gangguan psikologis seperti depresi,

gangguan kecemasan dan juga ketidakstabilan emosi (Titik Lestari, 2016).

Meurut Titik Lestari (2016), orangtua yang secara terus menerus

memarahi anak akan membuat anak merasa bahwa semua adalah karena

kesalahan mereka dan kemudian membuat anak merasa takut untuk

melakukan suatu hal yang baru. Verbal abuse juga dapat meimbulkan

16
terganggunya perkembangan sosial emosional seorang anak . dampak lain

yang ditimbulkan antara lain :

1. Depresi

Perkataan buruk yang terus-menerus di terima oleh anak akan

membuat anak tersebut menjadi tertekan atau bahkan sampai

mengurung diri, tidak dapat berinteraksi dengan lingkungannya

kemudian melukai dirinya sendiri dan kemungkinan terburuknya

adalah ingin mengakhiri hidupnya.

2. Trauma

Tidak sedikit dari pelaku kekerasan verbal memberi label kepada

korban dengan julukan-julukan yang tidak sepantasnya kemudian

melekat pada diri korban dan lingkungannya, hal tersebut tentunya

akan menimbulkan trauma yang mendalam bagi korban kekerasan

verbal, kemudian korban akan merasa kesulitan untuk mengatasi

permasalahan yang sedang dialaminya.

3. Anak akan menjadi pasif dan sulit untuk berkembang karena selalu

merasa takut untuk melakukan hal baru.

4. Anak akan cenderung melawan jika diberitahu, karena sudah terbiasa

mendapat perlakuan verbal abuse.

Dari pernyataan diatas banyaknya dampak verbal abuse yang

ditimbulkan akan mengakibatkan gangguan emosional, kecerdasan otak,

rendahnya konsep diri, bertingkah agresif, dan juga hilangnya rasa percaya

diri. Tak hanya itu, kekerasan verbal juga akan menimbulkan dampak

17
jangka panjang yang lebih berbahaya dan tidak dapat disepelekan seperti

trauma dan stess yang menimbulkan pemikiran-pemikiran tidak rasional

serta terus menerus memikirkan hal traumatis yang dialaminya,

meimbulkan rasa dendam kepada oranglain, menyendiri dan melakukan

hal-hal yang akan membahayakan dirinya sendiri, kehilangan semangat

untuk melakukan aktivitas terumata bersekolah dan menghindari sekolah,

gangguan kecemasan, dan sering meyalahkan diri sendiri. Maka

diperlukan peran dari orangtua dan tenaga pendidik disekolah untuk

melakukan pencegahan dan penenganan terjadinya hal tersebut.

2. Kepercayaan Diri

A. Definisi Kepercayaan Diri

Percaya diri dalam bahasa Inggris disebut juga dengan percaya

diri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, percaya diri adalah

keyakinan akan kemampuan, kekuatan, dan harga diri seseorang

(Depdikbud, 2008). Percaya diri merupakan salah satu aspek dalam diri

seseorang berupa keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri sehingga

tidak terpengaruh oleh orang lain dan dapat bertindak sesuai kehendaknya,

bahagia, optimis, cukup toleran dan bertanggung jawab (Ghufron,

Risnawati, 2010).

Menurut Lauster (2003) dalam reflesia pendidikan matematika

2018, percaya diri adalah suatu sikap atau keyakinan terhadap kemampuan

yang dimilikinya sehingga dalam tindakannya tidak terlalu khawatir,

merasa bebas untuk melakukan sesuatu sesuai keinginannya dan

18
bertanggung jawab atas tindakannya. . perbuatan, sopan dalam

berhubungan dengan orang lain, memiliki keinginan untuk berprestasi dan

dapat mengenali kelebihan dan kekurangannya. Pembentukan rasa percaya

diri adalah proses belajar merespon berbagai rangsangan eksternal melalui

interaksi dengan lingkungan.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan definisi

kepercayaan diri adalah keyakinan yang ada pada diri individu untuk

mencapai suatu target, tujuan, keinginan, serta meyelesaikan masalah

dengan rasa penuh tanggung jawab. Sehingga individu tersebut mampu

mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya tanpa bergantung

terhadap oranglain.

B. Aspek-aspek Kepercayaan Diri

Menurut Lauster (2003) dalam reflesia pendidikan matematika

2018, terdapat beberapa aspek kepercayaan diri, yaitu: (1) keyakinan

terhadap kemampuan diri sendiri, yaitu sikap positif seseorang terhadap

dirinya sendiri, bahwa ia benar-benar memahami apa yang dilakukannya;

(2) Optimisme, yaitu sikap positif seseorang yang selalu berpendapat baik

tentang segala sesuatu yang menyangkut dirinya, harapan dan

kemampuannya; (3) Objektif, yaitu orang-orang yang yakin bahwa mereka

sedang melihat masalah atau segala sesuatu yang lain; (4) sesuatu menurut

kebenaran sejati, bukan kebenaran pribadi; (5) Tanggung jawab, yaitu

kesediaan seseorang untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi

akibat; dan (6) Rasional, yaitu analisis terhadap suatu masalah, hal,

19
peristiwa dengan menggunakan pemikiran yang diterima akal dan sesuai

dengan kenyataan.

Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek

kepercayaan diri adalah keyakinan akan kemamouan yang dimilikinya,

optimis, obyektif, rasional, serta bertanggung jawab.

C. Ciri-ciri Kepercayaan Diri

Menurut Mardatillah (2010) dalam pendidikan matematika reflesia

2018, seseorang yang percaya diri tentu memiliki ciri-ciri, yaitu (1)

mengetahui kelemahan dan kelebihannya dengan baik, kemudian

mengembangkan potensinya; (2) menetapkan standar untuk mencapai

tujuan hidup, kemudian memberi penghargaan jika berhasil dan bekerja

lagi jika tidak tercapai; (3) Jangan menyalahkan orang lain atas kekalahan

atau kegagalan Anda, tetapi lakukan lebih banyak introspeksi; (4)

kemampuan mengatasi perasaan depresi, kekecewaan, dan perasaan

rendah diri di sekitarnya; (5) Mampu mengatasi kecemasan; (6)

Ketenangan dalam menjalankan dan memutuskan segala sesuatu; (7)

berpikir positif; dan (8) Maju tanpa melihat ke belakang.

Sedangkan Dario et al, (2007) dalam reflesia dalam pendidikan

matematika tahun 2018 mengatakan bahwa orang yang percaya diri

biasanya memiliki ciri-ciri inisiatif, kreativitas dan optimisme tentang

masa depan, mampu mengenali kekuatan dan kelemahan diri, berpikir

positif dan menganggap bahwa semua masalah harus diselesaikan serta

ada jalan keluarnya

20
Dari beberapa pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan

anak yang memiliki kepercayaan diri memiliki ciri ciri seperti berani

menghadapi tantangan, mampu berpikir positif, obyektif, serta

bertanggungjawab. Sebaliknya, jika anak memiliki tingkat kepercayaan

diri yang rendah memiliki ciri-ciri seperti meghindari tantangan, psimis,

dan tidak bertanggungjawab.

IV. Prespektif Islam Tentang Variabel Penelitian

Setiap anak yang lahir di tanah ini bertanggung jawab kepada Khilafah, yang

bertanggung jawab menjaga tanah agar generasi mendatang dapat menikmatinya.

Menurut Islam, anak adalah amanah yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya.

Nanti di akhirat, orang tua diminta bertanggung jawab dalam mendidik dan merawat

anaknya sehingga orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan yang baik

kepada anaknya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hakim dan Bayhaqi:

Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang lebih utama dari pemberian orang tua kepada anak-

anaknya selain pendidikan yang baik.”

Orang tua sebagai wali amanat dari Allah wajib memelihara anaknya yang masih

kecil dan yang sudah tua, tetapi belum tamiz, tanpa membedakan jenis kelamin anak,

melakukan segala sesuatu yang diperlukan anak dan yang dapat menunjang tumbuh

kembangnya. dan pengembangan, melindunginya. dari sesuatu yang dapat merugikan dan

membahayakan kesehatannya, mendidiknya baik jasmani maupun rohani, dan pikirannya

sehingga ia dapat mandiri dalam hidup dan memikul beban tanggung jawab. Inilah

konsep pengasuhan anak yang ideal yang ditawarkan As-Sayyid Subic.

21
Dalam Islam, orang tua dilarang melakukan perbuatan yang dapat merugikan dan

membahayakan jiwa anak baik fisik maupun psikis, sekalipun ditujukan untuk

menyelesaikan masalah, karena kekerasan bukanlah solusi terbaik dari masalah tersebut.

Secara psikologis, kekerasan sebagai hukuman dan perilaku yang tidak pantas

(kekerasan) dari pihak orang tua hanya akan menyebabkan anak merasa bersalah dan

dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan jiwanya. Anak yang hidup dalam

suasana keluarga yang penuh dengan tindak kekerasan (tidak harmonis) akan mengalami

gangguan jiwa.

Inilah sebabnya mengapa Islam sangat menghindari tindakan kekerasan yang

dapat merugikan dan membahayakan orang lain dalam keadaan apapun, bahkan dalam

keadaan perang. Jalur kekerasan seminimal mungkin harus dihindari, meskipun dalam

beberapa kasus kekerasan tidak dapat dihindari, tetapi itupun dilakukan atas dasar

pertimbangan etika moral dan dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh syariat.

Dalam Islam khususnya dalam bidang pendidikan, kekerasan berupa hukuman

badan memang merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan untuk dihindari, namun dalam

batas-batas tertentu menjadi suatu keharusan atau sesuatu yang harus diberikan kepada

anak jika memang anak tersebut telah melewati batas. batas-batas yang digariskan oleh

agama. , dan fokusnya hanya terbatas pada hukuman untuk menjaga anak.

Di sinilah terjadi konflik besar antara hukum Islam dan UU Perlindungan Anak,

yang sering dianggap sekuler oleh banyak orang dalam perlakuannya terhadap kekerasan

dalam pemidanaan pengasuhan anak. Meskipun secara umum masih mungkin untuk

membedakan antara kekerasan sebagai hukuman dalam pengasuhan, yang biasanya

terukur, tidak melampaui kerangka yang telah ditetapkan dan memiliki tujuan dan sasaran

22
yang jelas, dan bentuk kekerasan sebagai penganiayaan, yang cenderung tidak terbatas.

dan lebih dari sekedar ledakan emosi terhadap anak-anak, atau bahkan dengan niat yang

jelas untuk menyiksa.

Menurut Erich Fromm dalam buku Abu Hurara tentang kekerasan terhadap anak

dijelaskan bahwa kekerasan tidak lepas dari keadaan dan kondisi lingkungan orang tua

pada masa kanak-kanak, seperti pendidikan, teladan yang buruk, dan kondisi sosial yang

dapat mempengaruhi terjadinya kekerasan. . perbuatan yang merusak, seperti firman

Allah dalam Surat al-Qasas (28): 77

ِ :‫ ْف‬:‫ ُم‬:‫ ْل‬:‫ ا‬:‫ ُّب‬:‫ ِح‬:ُ‫ اَل ي‬:َ ‫ن هَّللا‬


:‫ َن‬:‫ ي‬:‫ ِد‬:‫س‬ ِ :‫ر‬:ْ ‫َأْل‬:‫ ا‬:‫ ي‬:ِ‫ ف‬:‫ َد‬:‫ ا‬:‫س‬
َّ: ‫ ِإ‬:ۖ :‫ض‬ َ :َ‫ ف‬:‫ ْل‬:‫ ا‬:‫ ِغ‬:‫ ْب‬:َ‫ اَل ت‬:‫َو‬

“Dan jangan melakukan kejahatan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

orang yang berbuat jahat.”

Ayat ini memberikan pengertian bahwa diharamkan bagi manusia untuk

menyakiti di muka bumi ini. Musibah adalah segala sesuatu yang dapat merugikan orang

lain, oleh karena itu Allah membenci orang yang menimbulkan kerugian. Perbuatan

perusakan ini sendiri dapat terjadi pada siapa saja dan apa saja dan dalam bentuk apapun

seperti pembunuhan, penganiayaan dan perbuatan keji lainnya yang secara tegas dilarang

oleh Allah SWT.

Selain itu, ada juga teori kekuasaan yang dirumuskan oleh Max Weber.

Kekuasaan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengendalikan tindakan orang lain.

Dalam sosiologi, kekuasaan sering diartikan sebagai otoritas dan pengaruh, yang

merupakan unsur-unsur kekuasaan itu sendiri. Weber berpendapat bahwa seseorang

dengan kekuasaan atau wewenang berhak menentukan kebijakan atau sanksi atas

23
pelanggaran yang terjadi terhadap apa yang telah ditentukan terhadap orang atau

kelompok lain yang berada di bawah kendalinya.

Jika dipikir-pikir pendapat Weber, maka orang tua dalam keluarga yang sama

memiliki otoritas dan bertanggung jawab atas perkembangan dan pertumbuhan anak, baik

jasmani maupun rohani. Dengan kekuasaan dan wewenang tersebut, orang tua berhak

berbuat apa saja terhadap anaknya (asalkan tidak melampaui syari) dalam rangka

menunaikan tugas dan kewajiban orang tua. Namun sangat disayangkan jika dengan dalih

untuk memenuhi kewajiban tersebut, banyak orang tua yang justru bersikap sewenang-

wenang terhadap anaknya.

V. Penelitian Terdahulu

Dalam bab ini, peneliti memaparkan penelitian sebelumnya yang diketahui

penulis dan dilakukan oleh peneliti lain yang profilnya sama, namun berbeda

substansinya dalam kaitannya dengan penelitian yang dilakukan, baik di lapangan

maupun di perpustakaan. Berikut ini adalah pembahasan tentang kekerasan verbal:

1. Majalah yang ditulis oleh Bonita Mahmud, Pelecehan verbal terhadap anak. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa anak yang terus-menerus mengalami kekerasan

verbal mengalami gangguan emosional, anak kurang memiliki harga diri yang

baik, yang dapat membuat anak menjadi lebih agresif. Oleh karena itu, kerjasama

yang baik antara keluarga, sekolah dan masyarakat diperlukan untuk memastikan

bahwa anak-anak tidak menjadi sasaran kekerasan verbal.

2. Disertasi yang ditulis oleh Haunika Vati, “Pengaruh kekerasan verbal terhadap

rasa percaya diri anak usia 4-6 tahun di Desa Thalang Rio, Kecamatan Air Rami,

Kabupaten Mukomuko.” Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan verbal

24
mempengaruhi kepercayaan diri anak usia 4-6 tahun di Desa Thalang Rio

Kecamatan Air Rami Kabupaten Mucomuco. Semakin tinggi kekerasan verbal

yang diterima anak dari orang tua, maka semakin rendah tingkat kepercayaan diri

anak, begitu juga sebaliknya.

3. Disertasi yang ditulis oleh Ayu Silvia, “Dampak kekerasan verbal orang tua

terhadap emosi anak di Perumahan Mutiara Mayang RT 34, Desa Mayang

Mangurai, Kecamatan Alam Barajo, Kota Jambi.” Hasil penelitian menunjukkan

bahwa setelah verbal abuse berdampak pada keadaan emosional anak, anak

menjadi lebih pemaaf dalam hal mengabaikan, mengabaikan teguran orang tua.

Selain itu, ia menjadi agresif, yaitu anak memberontak terhadap orang tuanya,

membalas serangan orang tuanya, menanggapi hinaan dan makian orang tuanya.

VI. Kerangka Teoritik

Kerangka teoritik digunakan sebagai landasan untuk sebuah penelitian karena

disusun berdasarkan hasil dari pembulatan teori serta konsep yang telah dijelaskan dalam

tinjauan toeritis. Di dalam kerangka teoritik ini ditunjukkan bagaimana alur penelitian

yang digunakan peneliti untuk menyusun alternatif jawaban di dalam rumusan masalah

yang telah disusun seacara komperhensif sehingga terdapat keterkaitan antara variabel

yang satu dengan yang lainnya yang sedang di teliti. Adapun pengaruh verbal abuse

terhadap tingkat kepercayaan diri siswa sekolah menengah pertama di SMPN 1

Rejotangan, ditunjukkan oleh kerangka dibawah ini :

Perilaku Kekerasan Verbal :

1. Menghina anak
2. Menyumpahi anak
3. Mengabaikan anak
4. Menyalahkan
25 anak
5. Merendahkan kemampuan anak
6. Memanggil anak dengan panggilan buruk
Tidak melakukan kekerasan verbal Melakukan kekerasan verbal

Tingkat kepercayaan diri tinngi : Tingkat kepercayaan diri rendah :

1. Optimis 1. Selalu merasa takut


2. Bersikap tenang 2. Mudah putus asa
3. Memiliki rasa 3. Pemalu
tanggungjawab 4. Mudah merasa cemas
4. Memiliki kemampuan 5. Gugup
bersosialisasi yang tinggi 6. Kurang memiliki
5. Madiri kemampuan bersosialisasi
6. Memiliki rasa ingin tahu 7. Mudah merasa panik
yang tinggi 8. Tidak berani
7. Memiliki cara pandang menyampaikan pendapat
yang positif 9. Bergantung kepada
8. Berani berpendapat oranglain
BAB III

METODE PENELITIAN

I. Rancangan Penelitian

26
Dilihat dari permasalahan yang ada, peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif.

Pendekatan kuantitatif adalah penelitian yang hasilnya disajikan dalam bentuk deskripsi

dengan menggunakan angka-angka. Pendekatan ini dipilih karena penelitian kuantitatif

merupakan salah satu kegiatan yang sifatnya sistematis, terencana, terstruktur sejak awal,

dimulai dengan penyusunan rencana penelitian, pengambilan sampel data, sumber data

dan metodologi.

Dalam penelitian ini, peneliti harus menggunakan angka-angka dari pengumpulan

data, interpretasi data, dan munculnya hasil akhir. Oleh karena itu, data yang terkumpul

harus diolah secara statistik sehingga dapat diinterpretasikan dengan benar. Penelitian ini

merupakan penelitian eksploratif, yaitu penelitian ini menggambarkan kecenderungan

sikap, perilaku, dan pendapat yang dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner atau

wawancara untuk menggeneralisasikan populasi berdasarkan sampel. Metode dalam

penelitian ini adalah penelitian korelasional. Menurut Cresswell (2008), studi korelasi

adalah studi yang bertujuan untuk menentukan hubungan dan tingkat antara dua variabel

atau lebih berdasarkan koefisien korelasi. Peneliti menggunakan metode ini untuk

mengetahui apakah kekerasan verbal mempengaruhi tingkat kepercayaan diri siswa SMP

Negeri 1 Rejotangan.

II. Populasi dan Sampel

1. Populasi

27
Dalam penelitian ini, populasi yang digunakan adalah siswa SMP Negeri 1

Rejotangan.

2. Sampel

Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah siswa kelas 7 perempuan di

SMP Negeri 1 Rejotangan yang pernah mengalami verbal abuse.

III. Instrumet Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian kuantitatif harus memiliki

skala. Skala pegukuran yakni suatu kesepakatan yang akan digunakan sebagai acuan

dalam mementukan panjang atau pendeknya sebuah interval dalam suatu alat ukur.

Menurut Sugiyono, 2018 (dalam Mustofa, 2020) Skala Likert digunakan dalam penelitian

ini yang dimana digunakan untuk megukur pendapat, sikap, serta persepsi mengenai

suatu fenomena.

Skala Likert terdiri atas beberapa pertanyaan yang akan diajukan kepada

responden. Jawaban dari responden dituliskan dari tingkat yang sangat sesuai hingga

tidak sesuai dengan dirinya. Menurut Sugiyono, 2018 (dalam Mustofa, 2020) di dalam

skala ini terdapat dua jenis item, yakni item favourable dan unfavourable. Di dalam setiap

butir pertanyaan mempunyai 5 jawaban seperti Sangat Tidak Seuai (STS), Tidak Sesuai

(TS), Ragu-Ragu (R), Sesuai (S), Sangat Sesuai (SS), kemudian di dalam penelitian ini

pilihan jawaban pada setiap butir pertanyaan mengalami sebuah modifikasi mejadi empat

pilihan jawaban, yakni Sangat Tidak Sesuai (STS), Tidak Sesuai (TS), Sesuai (S), dan

Sangat Sesuai (SS). Menurut Arikunto (Mustofa, 2020) terdapat kelemahan dalam lima

pilihan jawaban dkarenakan responden cenderung akan lebih memilih alternatif jawaban

yang berada di tengah karena akan tidak perlu banyak berpikir. Dari beberapa pendapat

28
diatas maka peneliti dalam penelitian ini meggunakan skala likert dengan empat pilihan

jawaban untuk mengukur tingkat kepercayaan diri siswa SMPN 1 Rejotangan.

Tabel bobot nilai setiap item pertanyaan

Pilihan jawaban item favorable Item unfavorable

Sangat tidak sesuai 4 1

(STS)

Tidak sesuai (TS) 3 2

Sesuai (S) 2 3

Sangat sesuai (SS) 1 4

1.

1. Pedoman Penelitian

Agar di dalam penyusunan sebuah penelitian tersusun secara sistematis maka

sebelum menyusun setiap butir pertanyaan, penting untuk peneliti membuat kisi-kisi

sebagai pedoman penelitian. Kisi-kisi ini kemudian akan digunakan panduan untuk

peneliti sehingga angket akan disusun lebih terarah dan berjalan sesuai dengan tujuan.

Dibawah ini merupakan kisi-kisi instrumen penelitian yang akan digunakan peneliti :

Kisi-Kisi Angket Kekerasan Verbal

Indikator Butir soal

29
Dihina dan disumpahi oleh orangtua/teman 3

Sering diabaikan oleh orangtua/teman 3

Sering dimarahi oleh orangtua 3

Sering disalahkan oleh orangtua/teman 3

Sering diremehkan oleh orangtua/teman 3

Sering ditakut-takuti oleh orangtua/teman 3

Seing dibentak oleh orangtua/teman 3

Diancam oleh orangtua/teman 3

Kisi-kisi Angket Kepercayaan diri

Indikator Butir soal

Berpikir optimis 3

Bersikap tenang 3

Bertanggungjawab 3

Memiliki kemampuan bersosialisasi 3

dengan baik

Mendiri 3

Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi 3

Memiliki cara pandang yang positif 3

terhadap diri sendiri

Berani untuk menyampaikan pendapat 3

30
2. Validitas dan Reliabilitas

a. Validitas

Valid yang berarti instrume tersebut bisa digunakan untuk mengukur

sesuatu yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2016). Pada penelitian ini uji validitas

akan dilakukan dengan menggunakan alat bantu berbentuk software atau program

komputer, yaitu SPSS. Kriteria sebuah instrumen dikatakan valid jika nilai

probabilitas (Sig. 2 tailed) hasil korelasi dari masing-masing dengan total skor

lebih kecil daripada (0.05). dan jika nilai probabilitas (Sig. 2 tailed) masing-

masing hasil dari korelasi skor dengan toal skor lebih besar dari (0.05) maka

instrumen penelitian dikatakan tidak valid.

b. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan sebuah indikator yang menunjukkan sejauh mana

suatu alat ukur dapat dipercaya. Sebuah kuesioner akan dikatakan reliabel apabila

jawaban kuesioner tersebut konsisten dari waktu hingga waktu. Untuk megukur

reliabilitas kuesioner, metode yang digunakan adalah Cronbach’s Alpha. Syarat

instrumen akan dikatakan reliabel jika nilai Cronbach Alpha lebih besar daripada

nilai r tabel. Dan apabila nilai Cronbach Alpha lebih kecil dibandingkan r tabel

maka instrumen penelitian dikatakan tidak reliabel.

IV. Pengumpulan Data

Teknik pegeumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini antara lain :

a. Angket

31
Angket atau biasa yang disebut dengan kuesioner merupakan teknik pengumpulan

data yang dilakukan dengan memberikan sejumlah pertanyaan degan bentuk tertulis

kepada responden untuk dijawab (sugiyono,2016). Dalam penelitian ini masing-

masing variabel akan dijabarkan oleh peneliti ke dalam beberapa indikator.

Kemudian indikator yang telah ditemukan akan dikembangkan lagi oleh peneliti

sebagai acuan untuk penyususnan setiap item pernyataan pada isntrume penelitian.

Responden akan diberikan angket jenis tertutup, yang dimana setiap respon atas

pertanyaan yang diajukan pada responden harus dipilih sesuai dengan kondisi yang

dialami oleh responden.

b. Observasi

Observasi yakni proses yang prosesnya terususun dengan segala proses biologis

dan juga osikologis (sutrisno hadi, 1986). Pada observasi ini tidak terfokus pada

subjek penelitian berupa orang saja, melainkan termasuk juga objek alam yang

lainnya. Dalam observasi proses terpenting merupakan yang melibatkan aktivitas

pengamatan dan juga ingatan.

V. Analisis Data

Analisis dalam penelitian kuantitatif merupakan kegiatan yang dilakukan setelah

pengambilan data dari responden. Dalam penelitian kuantitatif, teknik pengambilan data

menggunakan statistik. Maka dari itu, teknik pegumpulan data dalam penelitian ini

merupakan statistik inferensial. Statistik inferensial merupakan teknik statstik yang

digunakan sebagai cara untuk menganalisa data sampel dan kemudian hasilnya hasilnya

diberlakukan untuk populasi (sugiyono, 2016).

32
DAFTAR RUJUKAN

Mahmud Bonita. 2019. Kekerasan Verbal Pada Anak. Jurnal An Nisa’. Vol. 12, No. 2

Fitriani Wahidah, Ernawati. 2020. Faktor-Faktor Penyebab Orangtua Melakukan Kekerasan

Pada Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini. Vol. 4, No. 1

Meidheana marlia, Widia winata. Pengaruh Verbal Abuse Terhadap Kepercayaan Diri Siswa.

Jurnal Instruksional. Vol. 2, No. 2

Wati Haunika. 2019. Pengaruh Kekerasan Verbal Terhadap Kepercayaan Diri Anak Usia 4-6

Tahun Di Desa Talang Rio Kecamatan Air Rami Kabupaten Mukomuko. Skripsi.

Bengkulu : Institut Agama Islam Negeri Begkulu

Nurul Fieka. 2019. Pencegahan Kekerasan Melalui Pendidikan Karakter. Jurnal Info Singkat.

Vol. 11, No. 8

Amri Syaipul. 2018. Pegaruh Kepercayaan Diri (Self Confidence) Berbasis Ekstrakulikuler

Pramuka Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa SMA Negeri 6 Kota Bengkulu.

Jurnal Pendidikan Matematika Raflesia. Vol. 3, No. 2

Kevin Mekhael. 2018. Pengaruh Kekerasan Verbal Orangtua Dalam Keluarga Terhadap

Kepercayaan Diri Anak Usia 6-12 Tahun Di GKII Rhema Makasar. Tesis. Makasar :

Sekolah Tinggi Theoogia

33
Hardianti Novi. 2020. Upaya Guru Dalam Mengatasi Kekerasan Verbal Siswa. Skripsi.

Mataram : Universita Islam Negeri Makasar

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung : ALFABETA

Nahuda dkk. 2007. Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak Di Lingkungan Pendidikan. Jakarta :

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A)

Titik Lestari. 2016. Verbal Abuse: Dampak Buruk Dan Solusi Penanganan Pada Anak.

Yogyakarta : Psikosain

Djaali. 2013. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Bumi Akasara

34
35

Anda mungkin juga menyukai