Anda di halaman 1dari 22

BULYING

Nama Kelompok
1. Novita Sari Desi F. (731700)
2. Vivi Virizqy A. (731700)
3. Ferra Widya N. (7317018)
4. Siti Khalila (7317023)
5. Dwi Sopandia

PROGRAM STUDY SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIPDU JOMBANG
TAHUN AKADEMIK 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Asuhan
Keperawatan Bullying” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami
berterima kasih pada Ibu Indah Mukharomah, S.Kep, Ns., M.Kep. selaku Dosen mata kuliah
Kep.Kes Jiwa Unipdu yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Asuhan Keperwatan Bullying. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari anda demi perbaikan makalah
ini di waktu yang akan datang.

Jombang, 01 November 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bullying merupakan salah satu tindakan perilaku agresif yang disengaja dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang secara berulang-ulang dan dari waktu ke waktu terhadap
seorang korban yang tidak dapat mempertahankan dirinya dengan mudah (Soetjipto, 2012).
Salah satu riset yang telah dilakukan oleh LSM Plan International dan International Center for
Research on Women (ICRW) yang di unggah awal Maret 2015 ini menunjukkan hasil fakta
mencengangkan terkait kekerasan anak di sekolah. Di tingkat Asia, kasus bullyingyang terjadi
pada siswa di sekolah mencapai angka 70% (Qodar, 2015). Kasus bullying kini marak terjadi,
tidak hanya di masyarakat namun kasus ini terjadi di dunia pendidikan yang membuat berbagai
pihak semakin prihatin termasuk komisi perlindungan anak. Berbagai cara dilakukan untuk
meminimalisir kejadian bullying di sekolah termasuk salah satunya komnas perlindungan anak
mendesak ke pihak sekolah untuk lebih melindungi dan memperhatikan murid-muridnya.
Menurut Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Indonesia merupakan negara dengan kasus
bullying di sekolah yang paling banyak pelaporan masyarakat ke komisi perlindungan anak.
KPAI mencatat 369 pelaporan terkait masalah tersebut.25 % dari jumlah tersebut merupakan
pelaporan di bidang pendidikan 2 yaitu sebanyak 1.480 kasus. Kasus yang dilaporkan hanya
sebagian kecil dari kasus yang terjadi, tidak sedikit tindak kekerasan terhadap anak yang tidak
dilaporkan (Setyawan, 2015).
Menurut Semai Jiwa Amini (Sejiwa, 2008) dampak yang terjadi akibat perilaku bullying
ialah menyendiri, menangis, minta pindah sekolah, konsentrasi anak berkurang, prestasi
belajar menurun, tidak mau bersosialisasi, anak jadi penakut, gelisah, berbohong, depresi,
menjadi pendiam, tidak bersemangat, menyendiri, sensitif, cemas, mudah tersinggung, hingga
menimbulkan gangguan mental. Bullying tidak hanya berdampak pada korban, tetapi juga pada
pelaku.Tindakan mengintimidasi itu juga berakibat buruk bagi korban, saksi, bahkan bagi si
pelakunya itu sendiri. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2010) bahwa
pendidikan merupakan suatu dasar penting dalam kehidupan manusia, karena semakin tinggi
pendidikan, 3 maka semakin mudah untuk menerima hal baru dan lebih mudah menyesuaikan
dengan hal yang baru tersebut. Tidak hanya memahami tentang bullying tetapi diperlukan juga
norma subjektif, norma subjektif merupakan suatu keyakinan seseorang terhadap apa yang
individu atau kelompok lain inginkan agar seseorang perbuat (Azwar, 2016). Didalam
penelitian yang dilakukan Nadia (dalam Amalia, 2010) norma subjektif tidak terlalu
berpengaruh karena motivasi internal lebih dominan dibandingkan dengan motivasi eksternal.
Sikap terhadap perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan
membawakakepada hasil yang diinginkan, keyakinan mengenai apa yang bersifat normatif
(Azwar,2016). Menurut penelitian yang dilakukan Heirman (2012) tentangnorma subjektif
mendukung anggapan bahwa remaja peduli dengan pendapat orang lain yang signifikan,
dengan remaja merasakan tekanan sosial negatif terhadap bullying, maka sebagai remaja dapat
menunjukkan niat yang lebih rendah untuk melakukan itu. Hasil dari studi pendahuluan yang
dilakukan peneliti pada tanggal 9 Mei 2017 di SMP Muhammdiyah Surakarta dari hasil
wawancara kepada guru bimbingan konseling terdapat 192 murid kelas VIII, dan diantaranya
berperilaku bullying kurang lebih saling mengejek, ada 1 siswa yang memanggil temannya
dengan sebutan nama orang tua, 3 siswa yang awalnya jail dengan temannya dan akhirnya
berkelahi, dan 1 siswa saling dorong terhadap teman, ada pula faktor senioritas yang dilakukan
siswa kelas IX kepada juniornya. 4
Berdasarkan latar belakang diatas kami akan membuat karya ilmiah tingkat pengetahuan
tentang bullying
1.2 Tujuan
1. Menyelesaikan kasus bullying disekolah pada remaja awal
1.3 Manfaat Bagi Mahasiswa
1. Mahasiswa dapat menyelesaikan kasus bullying disekolah pada remaja awal
1.4 Manfaat Bagi Mata Kuliah
1. Mengetahui Definisi, Bentuk-Bentuk, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi, Dampak
Perilaku, Penanganan Dan Pencegahan pada kasus bullying
BAB II
KONSEP TEORI
2.1 Definisi
Bullying adalah perilaku agresif yang melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan dengan
tujuan membuat orang lain merasa tidak dilakukan atas dasar perbedaan pada penampilan,
budaya, ras, agama, orientasi seksual dan identitas gender orang lain (British Columbia, 2012)
Bullying adalah situasi dimana seseorang yang kuat (bisa secara fisik maupun mental)
menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lemah dengan sengaja dan
berulang-ulang, untuk menunjukkan kekuasaannya. Dalam hal ini korban tidak mampu
membela atau mempertahankan dirinya sendiri karena lemahsecara fisik atau mental (Sejiwa,
2008)
2.2 Bentuk-Bentuk Perilaku Bullying
Menurut Katty (2010), bentuk-bentuk perilaku bullying yang terjadi mulai dari lingkungan
pergaulan hingga di Lingkungan sekolah sangat beragam, baik anak laki-laki dan perempuan
melakukan bullying terhadap orang lain secara langsung dan tidak langsung, tetapi anak laki-
laki lebih mungkin untuk menggunakan jenis bullying fisik, perempuan lebih mungkin untuk
menyebarkan rumor dan menggunakan pengucilan sosial atau isolasi, yaitu:
1. Dilakukan secara langsung
1) Agresi fisik (memukul, menendang)
2) Agresi verbal (ejekan, pendapat yang berbau rasa atau seksual)
3) Agresi non verbal (gerakan tubuh yang meenunjukkan ancaman)
2. Dilakukan secara tidak langsung
1) Secara fisik (mengajak seseorang untuk menyerang orang lain)
2) Secara verbal (menyebarkan rumor)
3) Secara non verbal (mengeluarkan seseorang dari kelompok atau kegiatan, penindasan
yang dilakukan di dunia nyaman)
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Bullying
Menurut Andi Priyatna (2010) mengemukakan bahwa faktor-faktor tersebut adalah
1. Faktor keluarga yaitu pola asuh dalam suatu keluarga mempunyai peran dalam
pembentukan perilaku anak terutama pada munculnya perilaku bullying. Keluarga yang
menerapkan pola asuh permisif membuat anak terbiasa untuk bebas melakukan segala
sesuatu yang diinginkannya. Anak juga menjadi manja, akan memaksakan keinginannya.
Anak juga tidak tahu letak kesalhannya ketika ia melakukan kesalahan sehingga segala
sesuatu yang dilakukan dianggapnya sebagai suatu hal yang benar. Begitu pula dengan pola
asuh yang keras, yang cenderung mengekang kebebasan anak. Anak pun terbiasa
mendapatkan perlakuan kasar yang nantinya akan dipraktikkan dalam pertemanannya
bahkan anak akan menganggap hal tersebut sebagai hal yang wajar.
2. Faktor pergaulan yaitu teman sepermainan yang sering melakukan tindakan kekerasan
terhadap orang lain akan berimbas kepada perkembangan anak. Anak juga akan melakukan
hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Selain itu anak baik dari
kalangan sosial rendah hingga atas juga melakukan bullying dengan maksud untuk
mendapatkan pengakuan serta penghargaan dari teman-temannya.
2.4 Dampak Perilaku Bullying
Coloroso (2006) dalam Psychologymania (2012) mengungkapkan bahwa siswa akan
terperangkap dalam peran perilaku bullying, tidak dapat mengembangkan hubungan yang
sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta
menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan
sosial di masa yang akan datang. Efek jangka panjang bagi pelaku bullying adalah ia akan
mudah menjadi kriminal karena ia terbiasa lepas kontrol, tidak lagi menghargai norma yang
berlaku di masyarakat khususnya sekolah. Pelaku bullying merasa paling hebat dan berkuasa
di sekolah tersebut.
2.5 Penanganan Dan Pencegahan Bullying
Beberapa permasalahan anak yang terjadi sangat memungkinkan terjadi bullying dengan
berbagai bentuk dan tipologi bullying yang ada di sekolah yaitu, memukul mendorong,
mencubit, mengancam, mempermalukan, merendahkan, melihat dengan sinis, menjulurkan
jari tengah, mendiamkan seseorang dan bentuk-bentuk lain dengan tipologi berbeda-beda yang
dilakukan antar siswa. Kekerasan bullying seperti ini bisa saja dilakukan secara perorangan
atau kelompok, mereka yang melakukan secara mandiri biasanya memiliki kekuatan (power)
berupa kekuatan fisik, ekonomi. Sementara mereka yang melakukan tindak kekerasan bullying
yang dilakukan secara kelompok, mereka melakukan tindakan tersebut karena motif
menunjukkan rasa solidaritas. Misalnya, tawuran antar pelajar dapat dilatarbelakangi karena
siswa merasa menjadi satu golongan yang membela teman (Martono, 2012)
Departmen pendidikan harus memperbaiki kinerja pendidikan di Indonesia baik dari
kurikulum maupun sarana-prasarana agar para siswa tidak lagi menjadi tertekan secara
psikologis berkaitan dengan pendidikan di sekolah. Selain itu juga harus mempunyai kebijakan
tentang bullying disekolah. Masalah bullying dianggap belum menjadi masalah sosial, maka
penanganan kekerasan di sekolah saat ini menjadi subjek hokum kriminal biasa yang
menanganinya disamakan dengan kriminal umumnya (Martono, 2012)
Berdasarkan hal diatas, dapat disiapkan cara untuk mengurangi kemungkinan atau
pencegahan agar tidak menjadi sasaran tindakan bullying, diantaranya menurut Coloroso
(2008):
1. Peer partening/befriending Merupakan bagian dari startegi intervensi proporsional melalui
pemanfaatan peer group untuk melindungi, mendampingi atau menjaga murid-murid yabg
kecil dan lemah yang rentan sebagai korban bullying. Aktivitasnya adalah support agar
percaya diri, terampil membuat tugas sekolah, mudah beradaptasi dan memperluas
pertemanan
2. Peer monitoring yaitu mengenal, bicara, berempati dan mendampingi siswa, lingkungan
dan pelajaran yang diperolehnya. Membimbing siswa untuk memperoleh self-estem agar
percaya diri, mampu memecahkan masalah dan mempunyai arti bagi orang lain. Peer
monitoring dilakukan oleh guru dan lingkungan sekitar klien seperti teman dll. Peer
monitoring dilakukan secara berkelompok
3. Share responbility yaitu karena pada kasus ini bullying dilakukan oleh siswa maka siswa
tersebut harus bertanggungjawab untuk berbuat sesuatu memperbaiki sikap terutama pada
korban. Pertanggungjawaban itu tidak menyalahkan tetapi harus difokuskan untuk
memecahkan masalah dan tidak lagi mengulanginya lagi
4. Melakukan sosialisasi terkait dengan apa itu bullying, dampak yang diakibatkan kepada
siswa, dan pertolongan yang didapatkan siswa. Sosialisasi ini dilakukan untuk memberikan
informasi yang mendalam tentang bullying, sehingga dengan penanaman pemahaman ini
terhadap siswa siswi disekolah, maka akan berdampak berkurangnya kasus bullying.
Melalui sosialisasi ini juga akan dijelaskan terkait dengan aturan dan sanksi sehingga kasus
bullying tidak akan terjadi kembali. Sosialisasi ini penting untuk dilakukan mengingat
dalam kasus ini yang terjadi adalah kekerasan fisik karena ketidaktahuan tentang dampak
jangka panjang yang akan ditimbulkan bagi si korban
5. Melakukan pengawasan dan monitoring perilaku siswa diluar kelas, pengawasan dan
moitoring dilakukan oleh guru. Dengan dilakukannya pengawasan maka bagi para pelaku
tidak akan berani untuk melakukan tindakan bullying kembali
6. Melibatkan orang tua korban bullying dan mengundang mereka untuuk datang ke sekolah
guna mendiskusikan bagaimana perilaku bullying dapat dirubah. Tujuan dari perlibatan
orang tua korban bullying ini adalah untuk menciptakan suatu kesepakatan mengenai
langkah penanganan kasus bullying yang terjadi pada anaknya, hal ini berkaitan dengan
peran orang tua sebagai pelindung, upaya ini dilakukan agar orang tua memahami dan
memberikan perlindungn bagi anaknya
7. Menyelenggarakan case conference yaitu peran perundingan yang akan dilakukan oleh
pekerja sosial saat pertemuan dalam pembahasan kasus, dalam hal ini praktikan melibatkan
kepala sekolah, guru BK, dan dewan guru. Perundingan ini dilakukan antara praktikan
dengan pihak guru untuk mencari solusi dan meminta pendapat untuk dilakukan
penanganan masalah korban
8. Korban didorong untuk menyatakan kesedihan dihadapan orang yang telah melakukan
bully terhadapnya. Tujuanmya adalah agar korban dapat meluapkan segala kesedihannya
dan mengungkapkan perasaannya kepada pelaku, sehingga pelaku bullying menjadi paham
dan setidaknya merasa bersalah dan tidak akan mengulangi perilaku bullying
2.6 Remaja
Menurut WHO (2014) remaja adalah mereka yang berusia antara 10-19 tahun. Masa ini
merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang
meliputi perubahan biologi, psikologi dan perubahan sosial.
1. Tahap-Tahap Perkembangan Remaja
Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3 tahap perkembangan
remaja (Sarwono, 2010) :
1) Remaja Awal 10-12 tahun (early adolescent)
Seseorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan-perubahan
yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-
perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan
jenis dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan
jenis ia sudah berfantasi erotis. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan
berkurangnya kendali terhadap ego menyebabkan para remaja awal sulit dimengerti
dan mengerti orang dewasa
2) Remaja Madya 13-15 tahun (middle adolescent)
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang apabila
banyak teman yang mengakuinya. Ada kecenderungan narsitis yaitu mencintai diri
sendrii, dengan menyukai teman-teman yang sama dengan dirinya, selain itu ia berada
dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu memilih yang mana yang peka atau yang
tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau materialis dan
sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipus complex (perasaan
cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan
kawan-kawan
3) Remaja Akhir 16-19 tahun (late adolescent)
Pada tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan
pencapaian dalam 5 hal yaitu :
a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-funsi intelektual
b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain
c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi
d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan
keseimbangan antara diri sendiri dengan orang lain
e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat
umum
2. Karakteristik perkembangan remaja
Menurut Wong (2009), karakteristik perkembangan remaja dapat dibedakan menjadi:
1) Teori perkembangan psikososial menurut Erickson dalam Wong (2009), menganggap
bahwa krisis perkembangan pada masa remaja menghasilkan terbentuknya identitas.
Periode remaja awal dimulai dengan awitan pubertas dan berkembangnya stabilitas
emosional dan fisik yang relative pada saat atau ketika hampir lulus SMA. Pada saat
itu, dihadapkan pada krisis identitas kelompok versus pengasingan diri.
Pada periode selanjutnya, individu berharap untuk mencegah otonomi dari keluarga
dan mengembangkan identitas diri sebagai 10 lawan terhadap difusi peran. Identitas
kelompok menjadi sangat penting untuk permulaan pembentukan identitas pribadi.
Remaja tahap awal harus mampu memecahkan masalah tentang hubungan dengan
teman sebaya sebelum mereka mampu menjawab pertanyaan tentang siapa diri mereka
dalam kaitannya dengan keluarga dan masyarakat
2) Identitas kelompok
Selama tahap remaja awal, tekanan untuk memiliki suatu kelompok semakin kuat.
Remaja menganggap bahwa memiliki kelompok adalah hal yang penting karena
mereka merasa menjadi bagian dari kelompok dan kelompok dapat memberi mereka
status. Ketika remaja mulai mencocokkan cara dan minat berpenampilan, gaya mereka
segera berubah. Bukti penyesuaian diri remaja terhadap kelompok teman sebaya dan
ketidakcocokan dengan kelompok orang dewasa memberi kerangka pilihan bagi
remaja sehingga mereka dapat memerankan penonjolan diri mereka sendiri semesntara
menolak identitas dari generasi orang tuanya. Menjadi indivisu yang berbeda
mengakibatkan remaja tidak diterima dan diasingkan dari kelompok.
3) Emosionalitas
Remaja lebih mampu mengendalikan emosinya pada masa remaja akhir. Mereka
mampu menghadapi masalah dengan tenang dan rasional dan walaupun masih
mengalami periode. Depresi, perasaan mereka lebih kuat dan mulai menunjukkan
emosi yang lebih matang pada masa remaja akhir. Sementara remaja awal bereaksi
cepat dan emosional, remaja akhir dapat mengendalikan emosinya sampai waktu dan
tempat untuk mengekspresikan dirinya dapat diterima masyarakat. Mereka masih tetap
mengalami peningkatan emosi, dan jika emosi itu diperlihatkan, perilaku mereka
menggambarkan perasaan tidak aman, ketegangan dan kebimbangan
4) Perkembangan Moral
Teori perkembangan moral menurut Kohlberg dalam Wong (2009), masa remaja
akhir dicirikan dengan suatu pernyataan serius mengenai nilai moral dan individu.
Remaja dapat dengan mudah mengambil peran lain. Mereka memahami tugas dan
kewajiban berdasarkan hak timbal balik dengan orang lain, dan juga memahami konsep
peradilan yang tampak dalam penetapan hukuman terhadap kesalahan dan perbaikan
atau penggantian apa yang telah dirusak akibat tindakan yang salah. Namun demikian,
mereka mempertanyakan peraturan-peraturan moral yang telah ditetapkan, sering
sebagai akibat dari observasi remaja bahwa suatu peraturan secara verbal berasal dari
orang dewasa tetapi mereka tidak mematuhi peraturan tersebut
5) Perkembangan Sosial
Untuk memperoleh kematangan penuh, remaja harus mmebebaskan diri mereka dari
dominasi keluarga dan menetapkan sebuah identitas yang mandiri dari wewenang
orang tua. Namun, proses ini penuh dengan ambivalensi baik dari remaja maupun orang
tua. Remaja ingin dewasa dan ingin bebas dari kendali orang tua, tetapi mereka takut
ketika mereka mencoba untuk memahami tanggungjawab yang terkait dengan
kemandirian.
a. Hubungan dengan orang tua
Selama masa remaja, hubungan orang tua anak berubah dari menyayngi dan
persamaan hak. Proses mencapai kemandirian sering kali melibatkan kekacauan
dan ambigulitas karena baik orang tua maupun remaja belajar untuk menampilkan
peran yang baru dan menjalankannya sampai selesai, sementara pada saat
bersamaan, penyelesaian sering kali merupakan rangkaian kerenggangan yang
menyakitkan, yang penting untuk menetapkan hubungan akhir
Pada saat remaja menuntut hak mereka untuk mengembangkan hak-hak
istimewanya, mereka seringkali menciptakan ketegangan didalam rumah. Mereka
menentang kendali orang tua, dan konflik dapat muncul pada hampir semua situasi
atau masalah.
b. Hubungan dengan teman sebaya
Orang tua selalu memberi pengaruh utama dalam sebagai besar kehidupan, bagi
sebagian besar remaja, teman sebaya dianggap lebih berperan penting ketika masa
remaja dibandingkan masa kanak-kanak. Kelompok teman sebaya memberikan
remaja perasaan kekuatan dan kekuasaan
c. Kelompok teman sebaya
Remaja biasanya berpikiran sosial, suka berteman, dan suka berkelompok.
Dengan demikian kelompok teman sebaya memiliki evaluasi diri dan perilaku
remaja. Untuk memperoleh penerimaan kelompok, remaja awal berusaha untuk
menyesuaikan secara total dalam berbagai hal seperti model berpakaian, gaya
rambut, selera music, dan tata bahasa, sering kali mengorbankan individualitas dan
tuntutan diri. Segala sesuatu pada remaja diukur oleh reaksi teman sebayanya.
d. Sahabat
Hubungan personal antara orang dengan orang lain yang berbeda biasanya
terbentuk antara remaja sesama jenis. Hubungan ini lebih dekat dan lebih stabil
daripada hubungan yang dibentuk pada masa kanak-kanak pertengahan, dan
penting untuk pencarian identitas. Seseorang sahabat merupakan pendengar
terbaik, yaitu tempat remaja mencoba kemungkinan peran-peran dan suatu peran
bersamaan, mereka saling memberikan dukungan satu sama lain.
2.7 Guru
Guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggungjawab untuk membimbing dan
membina anak didik, baik secara individual maupun klasikal, disekolah maupun diluar sekolah
(Djamarah, 2010).
a. Peranan Guru
Sebagai korektor, guru harus bisa membedakan mana nilai yang baik dan buruk,
semua nilai yang baik harus guru pertahankan dan semua nilai yang buruk harus
disingkirkan dari jiwa dan watak ank didik. Guru harus dapat mendorong dan memotivasi
anak didik agar bergairah dan aktif belajar. Guru dapat menganalisis motif-motif yang
melatarbelakangi anak didik malas belajar dan menurun prestasinya disekolah. Guru
sebagai fasilitator hendakya dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan kemudahan
kegiatan belajar anak didik yang akan menciptakan lingkungan belajar yang
menyenangkan ank didik. Guru hendaknya dapat mengelola kelas dengan baik, karena
kelas adalah tempat berhimpun semua anak didik dan guru dalam rangka menerima bahan
pelajaran dari guru. (Menurut Tunjung, 2011)
b. Peran guru
Menurut Tunjung (2011) peran guru salah satunya adalah guru sebagai orang tua yaitu
mewakili orang tua murid sekolah dalam pendidikan anaknya, sekolah merupakan lembaga
pendidikan setelah lingkungan keluarga sehingga dalam arti luas sekolah adalah
lingkungan keluarga dimana guru bertugas sebagai orang tua dari siswa siswinya. Guru
sebagi pencari teladan yaitu yang senantiasa mencari teladan yang baik untuk siswa. Guru
sebagai pencari keamanan yaitu yang senantiasa mencari rasa aman bagi siswa siswinya,
guru menjadi tempat berlindung bagi siswa siswi untuk memperoleh rasa aman.
BAB III
KASUS
3.1 Kasus
Liputan6.com, Jakarta Fenomena bully beberapa kali menyita perhatian publik. Perilaku
tak terpuji ini banyak tersorot dan mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Bully meliputi
tindakan penindasan, perundungan, perisakan, atau pengintimidasian. Pelaku bully bisa
dilakukan oleh seorang diri maupun kelompok.

Para pelaku bully biasanya melakukan sebuah kekerasan, ancaman hingga paksaan untuk
menyalahgunakan atau mengintimidasi si korban. Bully bisa bersifat secara emosional, fisik,
verbal, dan cyber. Korban bully biasanya akan merasa takut, trauma bahkan yang paling fatal
meninggal dunia sebagai korban kekerasan atau bunuh diri.
Sebagian besar kasus yang ditemui biasanya korban bully hanya pasrah menerima
perlakuan tersebut, begitupun dengan bocah laki-laki ini. Ia dipaksa oleh temannya hingga
menerima tusukan yang berasal dari pensil di dadanya karena Dipaksa Untuk Tidak
Mengumpulkan Tugas
Ditusuk dengan pensil (Sumber: World of Buzz)
Dilansir dari World of Buzz oleh Liputan6.com, Kamis (25/7/2019) bocah SD ini awalnya
dipaksa oleh temannya agar tidak mengumpulkan tugasnya ketika di kelas. Kisah ini viral karena
dibagikan melalui media sosial Facebook oleh ibu korban. Sang ibu membagikan peristiwa yang
menimpa anaknya tersebut.
“Ibu dan ayah, jika anak-anak kita pernah mengeluh tentang ditindas, jika mereka mengatakan
uang sakunya diambil, jika mereka mengatakan mereka tidak merasa nyaman dan takut untuk
pergi ke sekolah, jika anak-anak kita tiba-tiba marah atau menunjukkan perubahan apa pun,
tolong, jangan tinggal diam. ” tulisnya di Facebook dengan nama Mell Koleksi Balqison.
Awalnya, bocah malang itu ingin mengumpulkan tugasnya sebelum gurunya marah. Namun hal
itu dihalangi oleh salah satu temannya. Si pelaku bully mengatakan kepada bocah malang itu untuk
tidak mengumpulkannya. Namun, ia tetap menyerahkan pekerjaannya yang menyebabkan si
pengganggu marah dan menusuknya dengan pensil tumpul.
Lebih mengejutkan, si pengganggu, setelah menyadari bahwa pensil itu tumpul ia justru
mengambil yang lebih tajam dan menusuk dada bocah malang itu. Dia juga berteriak, "Aku akan
membunuhmu! Bagus untukmu!" Aksi ini dilihat oleh teman-teman sekelas.
Ketika sang guru seharusnya menghukum si pelaku dan bertanggung jawab, guru itu justru
mengatakan pada Mell bahwa bocah yang menusuk anaknya hanya main-main saja alias bercanda.
3.2 Pengkajian Kasus
Sesuai Teori Menurut Katty (2010), bentuk-bentuk perilaku bullying yang terjadi pada
kasus ini adalah agresi fisik yang dilakukan dengan menusuk pensi tajam ke dada korban dan
agresi non verbal yang dilakukan dengan berbicara keras yaitu “Aku akan membunuhmu!
Bagus untukmu!”.
Sesuai teori Menurut Andi Priyatna (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi bullying
tersebut adalah Faktor keluarga yaitu pola asuh dalam suatu keluarga mempunyai peran dalam
pembentukan perilaku anak terutama pada munculnya perilaku bullying. Pada kasus ini salah
satu faktor keluarga yang mempengaruhi adalah keluarga yang menerapkan pola asuh permisif
membuat anak terbiasa untuk bebas melakukan segala sesuatu yang diinginkannya. Anak juga
menjadi manja, akan memaksakan keinginannya. Anak juga tidak tahu letak kesalahannya
ketika ia melakukan kesalahan sehingga segala sesuatu yang dilakukan dianggapnya sebagai
suatu hal yang benar. Begitu pula dengan pola asuh yang keras, yang cenderung mengekang
kebebasan anak. Anak pun terbiasa mendapatkan perlakuan kasar yang nantinya akan
dipraktikkan dalam pertemanannya bahkan anak akan menganggap hal tersebut sebagai hal
yang wajar. Dan ada juga faktor pergaulan yaitu teman sepermainan yang sering melakukan
tindakan kekerasan terhadap orang lain akan berimbas kepada perkembangan anak. Anak juga
akan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Selain itu
anak baik dari kalangan sosial rendah hingga atas juga melakukan bullying dengan maksud
untuk mendapatkan pengakuan serta penghargaan dari teman-temannya.
Sesuai teori menurut Sarwono (2010) tahap perkembangan remaja pada remaja awal adalah
Seseorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi
pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu
sehingga kalau pola asuh anak di keluarga dan pergaulan anak tersebut tidak baik maka mereka
akan melakukan atau menirukan hal yang sama.
Sesuai teori Menurut Wong (2009), karakteristik perkembangan remaja pada kasus ini
adalah Selama tahap remaja awal, tekanan untuk memiliki suatu kelompok semakin kuat.
Remaja menganggap bahwa memiliki kelompok adalah hal yang penting karena mereka
merasa menjadi bagian dari kelompok dan kelompok dapat memberi mereka status. Ketika
remaja mulai mencocokkan cara dan minat berpenampilan, gaya mereka segera berubah. Bukti
penyesuaian diri remaja terhadap kelompok teman sebaya dan ketidakcocokan dengan
kelompok orang dewasa memberi kerangka pilihan bagi remaja sehingga mereka dapat
memerankan penonjolan diri mereka sendiri semeentara menolak identitas dari generasi orang
tuanya. Menjadi individu yang berbeda mengakibatkan remaja tidak diterima dan diasingkan
dari kelompok. Remaja lebih mampu mengendalikan emosinya pada masa remaja akhir.
Remaja biasanya berpikiran sosial, suka berteman, dan suka berkelompok. Dengan demikian
kelompok teman sebaya memiliki evaluasi diri dan perilaku remaja. Untuk memperoleh
penerimaan kelompok, remaja awal berusaha untuk menyesuaikan secara total dalam berbagai
hal seperti model berpakaian, gaya rambut, selera music, dan tata bahasa, sering kali
mengorbankan individualitas dan tuntutan diri. Segala sesuatu pada remaja diukur oleh reaksi
teman sebayanya.
Sesuai teori menurut Tunjung (2011) Peranan Guru sendiri adalah Sebagai korektor, guru
harus bisa membedakan mana nilai yang baik dan buruk, semua nilai yang baik harus guru
pertahankan dan semua nilai yang buruk harus disingkirkan dari jiwa dan watak ank didik.
Guru harus dapat mendorong dan memotivasi anak didik agar bergairah dan aktif belajar. Guru
dapat menganalisis motif-motif yang melatarbelakangi anak didik malas belajar dan menurun
prestasinya disekolah. Guru sebagai fasilitator hendakya dapat menyediakan fasilitas yang
memungkinkan kemudahan kegiatan belajar anak didik yang akan menciptakan lingkungan
belajar yang menyenangkan ank didik. Guru hendaknya dapat mengelola kelas dengan baik,
karena kelas adalah tempat berhimpun semua anak didik dan guru dalam rangka menerima
bahan pelajaran dari guru. Dan Peran guru salah satunya adalah guru sebagai orang tua yaitu
mewakili orang tua murid sekolah dalam pendidikan anaknya, sekolah merupakan lembaga
pendidikan setelah lingkungan keluarga sehingga dalam arti luas sekolah adalah lingkungan
keluarga dimana guru bertugas sebagai orang tua dari siswa siswinya. Guru sebagi pencari
teladan yaitu yang senantiasa mencari teladan yang baik untuk siswa. Guru sebagai pencari
keamanan yaitu yang senantiasa mencari rasa aman bagi siswa siswinya, guru menjadi tempat
berlindung bagi siswa siswi untuk memperoleh rasa aman.
3.3 Penyelesaian kasus
Sesuai teori Coloroso (2008) Cara untuk mengurangi kemungkinan atau pencegahan agar
tidak menjadi sasaran tindakan bullying adalah :
1. Peer partening yaitu melalui pemanfaatan peer group untuk melindungi, mendampingi atau
menjaga murid-murid yang kecil dan lemah yang rentan sebagai korban bullying.
Aktifitasnya adalah support agar percaya diri, terampil membuat tugas sekolah, mudah
beradaptasi san memperluas pertemanan. Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwasannya
korban bullying dalam kasus ini mengalami rasa ketidakpercayaan diri
2. Peer monitoring yaitu mengenal, bicara, berempati dan mendampingi siswa, lingkungan
dan pelajaran yang diperolehnya. Membimbing siswa untuk memperoleh self-estem agar
percaya diri, mampu memecahkan masalah dan mempunyai arti bagi orang lain. Peer
monitoring dilakukan oleh guru dan lingkungan sekitar klien seperti teman dll. Peer
monitoring dilakukan secara berkelompok
3. Share responbility yaitu karena pada kasus ini bullying dilakukan oleh siswa maka siswa
tersebut harus bertanggungjawab untuk berbuat sesuatu memperbaiki sikap terutama pada
korban. Pertanggungjawaban itu tidak menyalahkan tetapi harus difokuskan untuk
memecahkan masalah dan tidak lagi mengulanginya lagi
4. Melakukan sosialisasi terkait dengan apa itu bullying, dampak yang diakibatkan kepada
siswa, dan pertolongan yang didapatkan siswa. Sosialisasi ini dilakukan untuk memberikan
informasi yang mendalam tentang bullying, sehingga dengan penanaman pemahaman ini
terhadap siswa siswi disekolah, maka akan berdampak berkurangnya kasus bullying.
Melalui sosialisasi ini juga akan dijelaskan terkait dengan aturan dan sanksi sehingga kasus
bullying tidak akan terjadi kembali. Sosialisasi ini penting untuk dilakukan mengingat
dalam kasus ini yang terjadi adalah kekerasan fisik karena ketidaktahuan tentang dampak
jangka panjang yang akan ditimbulkan bagi si korban
5. Melakukan pengawasan dan monitoring perilaku siswa diluar kelas, pengawasan dan
moitoring dilakukan oleh guru. Dengan dilakukannya pengawasan maka bagi para pelaku
tidak akan berani untuk melakukan tindakan bullying kembali
6. Melibatkan orang tua korban bullying dan mengundang mereka untuuk datang ke sekolah
guna mendiskusikan bagaimana perilaku bullying dapat dirubah. Tujuan dari perlibatan
orang tua korban bullying ini adalah untuk menciptakan suatu kesepakatan mengenai
langkah penanganan kasus bullying yang terjadi pada anaknya, hal ini berkaitan dengan
peran orang tua sebagai pelindung, upaya ini dilakukan agar orang tua memahami dan
memberikan perlindungn bagi anaknya
7. Menyelenggarakan case conference yaitu peran perundingan yang akan dilakukan oleh
pekerja sosial saat pertemuan dalam pembahasan kasus, dalam hal ini praktikan melibatkan
kepala sekolah, guru BK, dan dewan guru. Perundingan ini dilakukan antara praktikan
dengan pihak guru untuk mencari solusi dan meminta pendapat untuk dilakukan
penanganan masalah korban
8. Korban didorong untuk menyatakan kesedihan dihadapan orang yang telah melakukan
bully terhadapnya. Tujuanmya adalah agar korban dapat meluapkan segala kesedihannya
dan mengungkapkan perasaannya kepada pelaku, sehingga pelaku bullying menjadi paham
dan setidaknya merasa bersalah dan tidak akan mengulangi perilaku bullying
BAB IV
PENUTUP
Bullying adalah perilaku agresif yang melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan dengan tujuan
membuat orang lain merasa tidak dilakukan atas dasar perbedaan pada penampilan, budaya, ras,
agama, orientasi seksual dan identitas gender orang lain (British Columbia, 2012)
Bullying adalah situasi dimana seseorang yang kuat (bisa secara fisik maupun mental)
menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lemah dengan sengaja dan
berulang-ulang, untuk menunjukkan kekuasaannya. Dalam hal ini korban tidak mampu membela
atau mempertahankan dirinya sendiri karena lemahsecara fisik atau mental (Sejiwa, 2008)
DAFTAR PUSTAKA

Repository.ump.ac.id Ninda Nila Insani BAB II


https://www.kompasiana.com/syafitrirahmaniaulfah/penanganan-kasus-bullying-di-
sekolah_54f91eb6a33311335028b48003
https://m.liputan6.com
eprints.ums.ac.id

Anda mungkin juga menyukai