Anda di halaman 1dari 16

MODUL PSIKOLOGI KOMUNIKASI

(. . . . . . . . . )

MODUL SESI 7

Konsep Diri

DISUSUN OLEH

Sumartono.S.Sos, M.Si.

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

2020
MODUL VII
PSIKOLOGI KOMUNIKASI

Konsep Diri

Konsep diri seseorang adalah sekumpulan hal-hal yang dipikirkan, diyakini,


dan dipersepsikan seseorang tentang dirinya. Sebutan lain untuk konsep diri adalah
konstruksi diri, identitas diri, perspektif diri, atau struktur diri. Hal ini mencakup
performa akademis, identitas gender, identitas seksual, dan identitas rasial. Secara
umum, konsep diri membentuk jawaban atas pertanyaan “Siapakah saya?”
Definisi konsep diri menurut Baumeister (1999) adalah: Apa yang
dipercayai seseorang tentang dirinya, mencakup sifat-sifat orang tersebut, juga
tentang siapa dan apa sebenarnya dirinya itu.”
Konsep diri terdiri dari skema diri, diri masa lampau (past self), diri masa
kini (present self), dan diri masa depan (future self). Konsep diri berbeda dengan
harga diri (self esteem). Konsep diri bersifat kognitif dan deskriptif tentang diri
seseorang (misalnya: “saya seorang atlet marathon”), sedangkan harga diri bersifat
evaluatif dan menyangkut pendapat seseorang tentang dirinya (misalnya: “saya
bangga menjadi seorang atlet marathon”).
Konsep diri saling berinteraksi dengan harga diri, pengenalan diri, dan diri
sosial, dalam membentuk diri secara utuh. Hal ini mencakup diri masa lalu, masa
kini, dan masa depan. Dalam hal ini, “diri masa depan” (future self) adalah apa yang
dipikirkan seseorang meliputi:
 Pemikiran seperti apa dirinya di masa depan
 Pemikiran menjadi orang yang bagaimana (possible self),
 Hadirnya rasa takut akan menjadi orang yang bagaimana. Persepsi
seseorang mengenai dirinya di masa lalu maupun masa depan, terkait erat
dengan persepsinya tentang dirinya di masa sekarang.
Menurut teori penilaian-diri sementara (temporal self-appraisal theory), manusia
umumnya memiliki kecenderungan mempertahankan penilaian diri yang positif
dengan cara mengambil jarak dengan “diri” negatifnya, sambil berfokus pada “diri”
positifnya. Tambahan lagi, manusia juga cenderung memandang diri masa lalunya
sebagai kurang diinginkan, dan berpandangan lebih positif terhadap diri masa
depannya.

Sejarah Konsep Diri


Sejak ribuan tahun silam, gagasan tentang konsep diri sudah menjadi bagian
dari sejarah kebudayaan dan filsafat manusia. Sejak 3000 tahun lalu, istilah
Ahamkara dalam filsafat kitab suci Veda dan dalam praktek spiritual dunia Timur
semacam Yoga, sudah mengacu kepada pengertian ini.
Di dunia Barat, dikenal nama-nama seperti Carl Rogers dan Abraham
Maslow, para psikolog yang berpengaruh besar dalam mempopulerkan gagasan
tentang konsep diri ini. Menurut Rogers, pada dasarnya manusia selalu berjuang
untuk menjadi “diri ideal”-nya. Ia juga mengemukakan hipotesa bahwa seseorang
yang sehat secara psikologis memiliki kecenderungan untuk bergerak menjauhi
peran yang diciptakan oleh harapan orang lain, dan sebagai gantinya lebih
cenderung menengok ke dalam dirinya sendiri, mencari pengesahan dari dalam
dirinya alih-alih dari luar.
Sedangkan mereka yang tidak “sehat” dan menderita gangguan syaraf,
biasanya memiliki konsep diri yang tidak bersesuaian dengan pengalaman mereka.
Ada ketakutan dalam diri mereka untuk menerima pengalaman-pengalaman mereka
itu sebagaimana adanya, karena itu mereka berusaha untuk mengubahnya, entah
untuk melindungi diri sendiri, atau untuk memperoleh pengakuan dari orang lain.”
John Turner mengembangkan teori kategorisasi-diri (self-cathegorization
theory) yang menyatakan bahwa konsep diri sekurang-kurangnya terdiri dari dua
“tingkat”, yakni identitas pribadi dan identitas sosial. Dengan kata lain, evaluasi
diri tergantung kepada bagaimana seseorang menilai dirinya sendiri, dan bagaimana
orang lain menilai dia.
Konsep diri dapat saling berganti dengan cepat antara identitas pribadi dan
identitas sosial. Misalnya, konsep diri pada anak-anak dan remaja terbentuk dari
identitas sosial yang mereka dapatkan dengan menilai posisi mereka di antara
teman-teman sebaya mereka. Sejak umur 5 tahun, pembentukan konsep diri seorang
anak sangat dipengaruhi penerimaan di antara teman-teman sebaya mereka, dan
pada gilirannya mempengaruhi perilaku dan keberhasilan akademis mereka.

Pengertian Konsep Diri


Konsep diri merupakan model internal yang mempergunakan penilaian diri
dalam rangka menentukan skema diri seseorang. Hal-hal khusus seperti
kepribadian, keahlian dan kemampuan, hobi dan pekerjaan, karakteristik fisik dan
lain-lain, dinilai dan diaplikasikan kepada skema diri, yang adalah sekumpulan
gagasan mengenai diri seseorang dalam suatu dimensi khusus. Misalnya, seseorang
yang menganggap dirinya seorang kutu buku, akan mengenakan sifat-sifat dan
karakter khas seorang kutu buku kepada dirinya.
Sekumpulan skema diri akan membentuk konsep diri seseorang secara
keseluruhan. Misalnya, pernyataan “saya seorang pemalas” adalah bentuk penilaian
diri yang turut berkontribusi membentuk sebuah konsep diri. Sedang pernyataan
“saya lelah” tak dapat dijadikan bagian sebuah konsep diri, karena keadaan “lelah”
itu hanya bersifat sementara, dan tak dapat menjadi bagian sebuah skema diri.
Sebuah konsep diri dapat saja berubah seiring waktu pada saat diri
mengalami penilaian kembali, yang dalam kasus-kasus yang ekstrim dapat
menjurus kepada krisis identitas.
Pernyataan : “Saya seorang pemalas“
Penilaian diri = Pembentuk Konsep Diri
Pernyataan: “Saya lelah”
Bukan Penilaian diri = Afeksi bersifat sementara.

Perkembangan Konsep Diri


Bilamana konsep diri seseorang mulai berkembang masih menjadi bahan
perdebatan para ahli. Ada yang berpendapat bahwa seorang anak pada usia kira-
kira 3 tahun mulai membentuk cara pandang tentang dirinya dengan dipengaruhi
stereotip gender dan harapan-harapan yang diterapkan orang tuanya kepada dirinya.
Pendapat lain mengatakan bahwa konsep diri seseorang baru mulai
berkembang pada usia 7-8 tahun, ketika seorang anak dalam perkembangannya
sudah siap menginterpretasikan perasaan-perasaan dan kemampuan-kemampuan
yang mereka miliki, juga umpan balik yang mereka terima dari orang tua, guru, dan
teman sebaya.
Walaupun terdapat perbedaan pendapat mengenai bilamana awal
perkembangan konsep diri seseorang, para ahli pada umumnya setuju akan
pentingnya konsep diri tersebut, yang berpengaruh terhadap perilaku orang yang
bersangkutan, maupun ekspresi kognitif dan emosionalnya, termasuk di dalamnya
pencapaian akademiknya, tingkat kebahagiaannya, kegelisahannya, integrasi
sosialnya, harga dirinya, dan kepuasan hidupnya.

Jenis – jenis Konsep Diri


Terdapat beberapa jenis konsep diri dalam psikologi, diantaranya:
1. Konsep Diri Akademik
Konsep diri akademik seseorang mengacu kepada keyakinan pribadinya
terhadap keahlian dan kemampuan akademik yang dimilikinya. Kalangan ahli
sebahagian berpendapat bahwa perkembangan konsep diri akademik ini diawali
pada usia 3-5 tahun dengan dipengaruhi oleh orang tua dan para pendidiknya
yang awal sekali.
Selanjutnya pada usia 10-11 tahun anak-anak menilai kemampuan akademik
mereka dengan cara membandingkan diri mereka dengan teman-teman sebaya
mereka. Pembandingan sosial ini disebut juga estimasi diri.
Kemudian, estimasi diri yang menyangkut kemampuan kognitif paling akurat
pengukurannya bilamana menyangkut evaluasi terhadap topik yang terkait
angka-angka, seperti matematika. Sedang pada bidang lain, seperti kecepatan
berpikir, seringkali lebih rendah akurasinya.
Beberapa ahli menyarankan bahwa demi meningkatkan konsep diri akademik
seorang anak atau siswa, orang tua dan para pendidik hendaknya memberi
umpan balik yang spesifik yang terfokus pada kemampuan atau keahlian
tertentu yang dimiliki anak tersebut.
Ahli lainnya menyatakan bahwa peluang untuk belajar bagi anak-anak atau
siswa hendaknya diselenggarakan di dalam kelompok-kelompok, baik
kelompok dengan beragam keahlian maupun kelompok dengan keahlian yang
seragam, yang mengecilkan pembandingan sosial.
Hal ini karena pengelompokan yang terlalu berlebihan dari setiap tipe kelompok
dapat memberi efek yang merugikan pada konsep diri akademik anak-anak
tersebut dan cara pandang mereka terhadap diri sendiri dalam hubungannya
dengan teman-teman sebaya mereka.
2. Konsep Diri terkait Perbedaan Kultural
Dalam hal cara seseorang memandang dirinya sendiri dalam hubungannya
dengan orang lain, ada perbedaan-perbedaan tertentu baik lintas budaya
maupun dalam lingkup budaya itu sendiri. Dalam budaya Barat, yang lebih
dipentingkan adalah kemandirian seseorang dan bagaimana ia mengekspresikan
sifat-sifat pribadinya sendiri. Diri individu lebih diutamakan daripada
kelompok.
Sedang dalam budaya Timur, diri tiap individu dipandang dalam konteks
ketergantungan dengan kelompoknya. Relasi antar individu lebih dipentingkan
daripada pencapaian pribadi tiap-tiap orang. Individu mengalami dan
merasakan adanya keterikatan dan kesatuan dengan kelompoknya.
Peleburan identitas semacam ini memiliki baik konsekuensi positif maupun
negatif. Peleburan identitas individu dengan suatu kelompok yang lebih besar
dapat memberi kesan pada individu tersebut bahwa keberadaannya memiliki
arti.
3. Konsep Diri Terkait Perbedaan Gender
Penelitian menunjukkan bahwa kaum pria cenderung lebih mandiri, sedangkan
kaum wanita lebih menekankan pada saling ketergantungan (interdependence).
Dalam hal saling ketergantungan pun terdapat perbedaan antara pria dan wanita.
Saling ketergantungan di kalangan wanita lebih bersifat relasional, pribadi ke
pribadi, atau dalam kelompok-kelompok kecil. Di lain pihak, saling
ketergantungan di kalangan pria lebih bersifat kolektif, mengidentifikasi diri
mereka dalam konteks kelompok yang lebih besar.
Sejak awal di masa kanak-kanak perbedaan gender ini sudah nampak. Sejak
usia 3 tahun, baik anak laki-laki maupun anak perempuan lebih cenderung
memilih teman bermain dari jenis kelamin yang sama dengan mereka, dan
mempertahankan kecenderungan itu hingga melewati usia sekolah dasar.
Setelah melewati fase ini, anak laki-laki dan perempuan mulai memasuki
interaksi dan hubungan-hubungan sosial yang berbeda. Anak perempuan lebih
condong kepada hubungan pribadi ke pribadi dengan ikatan emosional yang
kuat, sedang anak laki-laki lebih memilih terlibat dalam aktivitas kelompok.
Dalam suatu studi ditemukan bahwa performa anak laki-laki di dalam suatu
kelompok yang agak besar hampir dua kali lebih baik dibandingkan kalau
berpasang-pasangan, sementara di kalangan anak perempuan tidak ditemukan
perbedaan yang berarti. Anak laki-laki cenderung membentuk kelompok yang
lebih besar dengan didasarkan pada kepentingan dan aktivitas yang sama.
Dalam hal perilaku di dalam kelompoknya, anak perempuan lebih cenderung
menunggu giliran pada waktu hendak berbicara, mudah untuk bersepakat, dan
juga mudah untuk mengakui kontribusi dari sesama anggota kelompok.
Sementara anak laki-laki cenderung lebih mudah mengeluarkan ancaman,
mengumbar kelebihan diri, atau mengumpat satu sama lain, yang
mengindikasikan pentingnya dominasi dan hirarki di dalam kelompok sesama
teman laki-laki.
Di dalam kelompok campuran antara anak laki-laki dan perempuan, anak
perempuan lebih cenderung bersikap pasif saat menyaksikan kawan laki-
lakinya bermain, sedang anak laki-laki cenderung tidak menanggapi apa yang
dikatakan kawan perempuannya.
Perilaku sosial yang terbentuk di dalam diri anak laki-laki dan perempuan dalam
perkembangan mereka sejak masa kanak-kanak cenderung terbawa hingga
mereka dewasa, walau tidak seluruhnya.

Perkembangan Konsep Diri


Menurut Lewis (1990), ada 2 aspek perkembangan konsep diri, yaitu:
 Diri Eksistensial
Ini merupakan bagian yang paling mendasar dari skema diri atau konsep diri,
yakni merasa adanya keterpisahan dan perbedaan dari orang lain, dan kesadaran
akan adanya keberadaan dirinya yang menetap.
Seorang anak sejak masa kanak-kanaknya merasa bahwa dirinya ada atau eksis
sebagai satu entitas yang berbeda dari orang lain, dan bahwa dirinya terus eksis
menyusuri ruang dan waktu.
Menurut Lewis, kesadaran seseorang akan dirinya yang eksistensial sudah
dimulai sejak usia 2 atau 3 bulan, dan sebahagian dari kesadaran itu bertumbuh
dari hubungan antara dirinya dengan dunia luar.
 Diri Kategorial
Setelah menyadari akan eksistensi dirinya sebagai suatu entitas yang terpisah
dari yang lain dan memiliki pengalaman-pengalaman tersendiri, pada tahap
berikutnya si anak juga akan menyadari bahwa dirinya adalah suatu ‘obyek’ di
tengah-tengah dunia.
Sebagaimana halnya obyek-obyek lainnya, termasuk orang, yang dapat dialami
dan memiliki sifat-sifat tertentu (misalnya kecil, besar, berwarna, licin, dan
sebagainya), demikian juga si anak mulai menyadari bahwa dirinya adalah suatu
obyek yang dapat dialami dan memiliki sifat-sifat tertentu.
Diri seseorang juga dapat dimasukkan ke dalam kategori-kategori seperti umur,
gender, ukuran, dan keahlian. Dua dari antara kategori-kategori yang
diaplikasikan pada awalnya adalah umur (misalnya, “saya berumur 3 tahun”),
dan gender (misalnya,”saya seorang anak perempuan”).
Pada tahap awal masa kanak-kanak, kategori-kategori yang diaplikasikan
seorang anak pada dirinya bersifat sangat kongkrit (misalnya: tinggi badan,
warna rambut, hal-hal yang disukai). Pada tahap selanjutnya, deskripsi dirinya
akan mulai mencakup juga sifat-sifat psikologis internal, evaluasi komparatif,
dan tentang bagaimana orang-orang lain melihat dirinya.

Komponen Konsep Diri


Menurut Carl Rogers, konsep diri terdiri dari tiga komponen:

A. Gambaran Diri (Self-Image)


Konsep ini menegaskan tentang cara seseorang memandang dirinya sendiri.
Tidak selamanya gambaran diri ini mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Misalnya, seseorang yang menderita anoreksia dan berbadan kurus dapat saja
memiliki gambaran diri di mana dia percaya bahwa dirinya berbadan gemuk.
Terbentuknya gambaran diri seseorang dapat dipengaruhi banyak faktor,
misalnya pengaruh dari orang tua, teman, media, dan lain-lain. Kuhn (1960)
mengadakan penelitian menyangkut gambaran diri ini dengan menggunakan
Test Duapuluh Pernyataan, di mana orang-orang yang menjadi obyek penelitian
diminta menjawab pertanyaan “Siapakah saya?” dengan menggunakan 20 cara
yang berbeda-beda.
Respon yang didapat dari penelitian ini dapat dibagi ke dalam dua kelompok
besar, yakni peran sosial (aspek eksternal dan obyektif dari seseorang, misalnya
seorang anak, seorang guru, seorang teman, dan sebagainya) dan sifat-sifat
pribadi (aspek internal dan afektif seseorang seperti suka berteman, tidak
sabaran, suka humor, dan sebagainya).
Jawaban-jawaban yang didapat dari test tersebut juga dapat dikelompokkan ke
dalam 4 kelompok berikut ini:
 Deskripsi Fisik : “saya bertubuh jangkung”, “saya memiliki mata biru”, dan
lain-lain.
 Peran Sosial : Semua orang adalah makhluk sosial, dan cara seseorang
berperilaku sebahagiannya dibentuk oleh peran sosial yang ia jalani. Peran-
peran sebagai seorang pelajar, ibu rumah tangga, atau anggota sebuah tim
sepak bola, bukan saja membantu orang lain untuk mengenali diri
seseorang, tetapi juga membantu dia untuk mengetahui apa yang diharapkan
orang lain dari dirinya dalam berbagai situasi.
 Sifat Pribadi : Ini adalah dimensi ketiga dari deskripsi diri seseorang. “Saya
seorang yang impulsif”, “saya pemurah”, “saya cenderung menguatirkan
banyak hal”, dan sebagainya.
 Pernyataan Eksistensial : Ini lebih bersifat abstrak, yakni pernyataan-
pernyataan seperti: “saya adalah putra alam semesta”, “saya bahagian dari
umat manusia”, “saya ini makhluk spiritual”, dan sebagainya.
Dari hasil penelitian ini juga ternyata bahwa orang-orang berusia muda lebih
cenderung menyatakan deskripsi diri mereka dari aspek sifat-sifat pribadi,
sementara yang berusia lebih tua lebih condong kepada peran sosial.

B. Harga diri (self-esteem) atau kepantasan diri (self-worth)


Konsep ini menjelaskan seberapa banyak nilai yang dikenakan seseorang
kepada dirinya sendiri. Seseorang dapat memiliki baik pandangan positif
maupun negatif tentang dirinya. Harga diri terbagi dua, yaitu :
- Harga diri yang tinggi (high self-esteem)
Seseorang itu memiliki pandangan yang positif tentang dirinya. Hal ini
dapat menjurus kepada kepercayaan diri akan kemampuan-kemampuan
yang dimilikinya, penerimaan diri sendiri, tidak adanya kekuatiran tentang
apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya, dan optimisme.
- Harga diri yang rendah (low self-esteem)
Seseorang itu memiliki pandangan yang negatif tentang dirinya. Hal ini
dapat menjurus kepada kurangnya kepercayaan diri, selalu ingin menjadi
atau berpenampilan seperti orang lain, selalu kuatir tentang apa yang orang
lain pikirkan tentang dirinya, dan pesimisme.
Ada saatnya di mana perasaan harga diri itu berfluktuasi, bahkan berubah dengan
cepat dalam situasi yang berbeda-beda. Namun ada saatnya juga di mana seseorang
tetap berpikir positif tentang dirinya, walaupun kenyataan yang dihadapinya
menunjukkan sebaliknya. Hal ini dikenal sebagai efek ketekunan (perseverance
effect).
Menurut Argyle (2008) ada 4 faktor yang mempengaruhi harga diri
seseorang:
 Reaksi dari Orang Lain
Di saat seseorang menerima reaksi positif dari orang lain, entah berupa
kekaguman, pujian, atau timbul keinginan orang lain untuk berteman
dengannya, juga orang lain cenderung mendengarkannya dengan penuh
perhatian atau mudah untuk setuju dengannya, maka orang tersebut akan
cenderung memiliki gambaran diri yang positif.
Sebaliknya, jika orang lain cenderung menghindarinya, mengabaikannya, atau
mengatakan hal-hal tentang orang tersebut yang tidak enak didengar, maka dia
juga akan cenderung memiliki gambaran diri yang negatif.
 Perbandingan dengan Orang Lain
Jika orang yang bersangkutan membandingkan dirinya dengan orang lain yang
kebetulan lebih sukses, lebih bahagia, lebih kaya, atau lebih rupawan, maka dia
cenderung memiliki gambaran diri yang negatif. Sebaliknya, gambaran dirinya
cenderung menjadi positif bila orang yang menjadi bahan perbandingannya itu
tidak lebih beruntung daripadanya.
 Peran Sosial
Beberapa peran sosial dipandang lebih berprestise, seperti dokter, pilot pesawat
terbang, presenter TV, atau bintang sepak bola, dan ini dapat membantu
meningkatkan harga diri. Sementara ada peran sosial yang tidak dipandang
baik, bahkan membawa stigma negatif, seperti narapidana, pasien rumah sakit
jiwa, atau seorang pengangguran.
 Identifikasi
Peran sosial tidak hanya menjadi “faktor luar”, melainkan juga menjadi
bahagian dari identitas diri dan kepribadian seseorang. Ia cenderung
mengidentifikasi dirinya dengan posisi yang dipegangnya, peran sosial yang
dijalaninya, maupun kelompok di mana dia menjadi anggotanya.
Namun dari semua faktor ini, yang termasuk besar pengaruhnya tentu tidak lain
adalah orang tua.

C. Diri Ideal (Ideal Self)


Konsep ini menegaskan bahwa individu ingin menjadi orang yang bagaimana
seseorang itu. Jika ada ketidakcocokan antara bagaimana seseorang
memandang dirinya sendiri (gambaran dirinya) dengan diri idealnya, maka hal
ini dapat turut menentukan cara orang itu menilai dirinya, atau seberapa tinggi
harga dirinya.
Itu sebabnya, terdapat hubungan yang erat antara gambaran diri, diri ideal, dan
harga diri.Apa yang dialami seseorang dalam kehidupan nyata acap kali berbeda
dengan diri idealnya.
Dengan kata lain, ada kesenjangan antara diri ideal dengan pengalaman
nyata. Hal ini disebut juga inkongruensi.
Keadaan yang disebut kongruensi terjadi bilamana diri ideal seseorang itu
konsisten atau sangat mendekati kesamaan dengan pengalaman nyatanya.
Namun faktanya, sangat jarang terjadi kongruensi yang total di mana diri ideal
dan pengalaman nyata itu sama persis. Setiap individu mengalami sejumlah
inkongruensi. Menurut Rogers, untuk mencapai aktualisasi diri, seseorang itu
harus berada di dalam keadaan kongruensi.
Berikut adalah ulasan lengkap terkait dengan bagaimana kedudukan konsep diri
dalam psikologi. Dan juga penerapannya dalam diri masing – masing individu.

Pengaruh Konsep Diri Terhadap Komunikasi Interpersonal


Komunikasi interpersonal adalah salah satu jenis komunikasi yang bisa kita
lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi yang satu ini sangat sering kita
lakukan hingga mungkin dalam keseharian kita tidak pernah lepas dari komunikasi
interpersonal. Oleh karena itulah, memahami apa saja faktor yang mempengaruhi
proses komunikasi interpersonal sudah sewajarnya kita lakukan mengingat
pentingnya sistem komunikasi interpersonal ini dalam kehidupan sehari-hari.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal. Salah
satunya adalah konsep diri baik komunikan ataupun komunikator yang terlibat
dalam suatu komunikasi interpersonal. Dengan demikian, memahami pengaruh
konsep diri terhadap komunikasi interpersonal adalah salah satu hal penting yang
harus diketahui oleh kita yang sering kali melakukan komunikasi interpersonal.
Apakah kamu telah mengetahui apa saja pengaruh konsep diri terhadap komunikasi
interpersonal? Apabila kamu belum mengetahuinya, maka kamu harus membaca
artikel yang satu ini sampai tuntas ya.
Berikut ini adalah beberapa bentuk pengaruh konsep diri terhadap komunikasi
interpersonal:
 Pemilihan diksi komunikator
Salah satu jenis pengaruh konsep diri terhadap komunikasi interpersonal adalah
pada praktik komunikasi yang dilakukan oleh komunikator. Komunikator yang
memiliki konsep diri tertentu akan memiliki kecenderungan untuk memilih
diksi yang sesuai dengan konsep diri yang dia miliki. Kecenderungan ini
dimiliki oleh hampir semua orang yang terlibat dalam proses komunikasi
interpersonal ataupun komunikasi jenis yang lain, sehingga hal ini bisa
dijadikan sebagai salah satu bentuk pengaruh konsep diri terhadap komunikator
yang bersifat universal.
 Penerimaan diksi komunikan
Dari segi komunikan, konsep diri yang dimiliki oleh komunikan akan
mempengaruhi bagaimana seorang komunikan menerima atau memahami diksi
yang diberikan oleh komunikator dalam pesannya pada komunikan. Dengan
kata lain, persepsi komunikan terhadap maksud pesan pun akan dipengaruhi
oleh bagaimana komunikan memandang konsep dirinya dan bagaimana konsep
diri tersebut mempengaruhi kecenderungan persepsi komunikan terhadap
maksud komunikator.
 Bahasa tubuh komunikator
Konsep diri seseorang juga akan mempengaruhi bagaimana bahasa tubuh yang
mereka tampilkan pada saat melakukan komunikasi dengan orang lain. Mereka
yang memiliki konsep diri yang baik, seperti rasa percaya diri yang cukup dan
lain sebagainya, akan memiliki kecenderungan untuk melakukan proses
komunikasi interpersonal dengan menampilkan bahasa tubuh yang mendukung
maksud komunikasi yang dilakukan.
 Bahasa tubuh komunikan
Bahasa tubuh seorang komunikan pun juga akan dipengaruhi oleh konsep diri
yang dimiliki oleh komunikan tersebut di hadapan komunikator. Komunikan
yang memiliki konsep diri yang baik akan menghadapi pesan komunikator
sesuai dengan konsep bahasa tubuh yang mereka. Oleh karena itulah, ada
baiknya apabila komunikan memiliki bahasa tubuh yang baik agar tidak
menampilkan bahasa tubuh yang buruk ketika berhadapan dengan komunikator
sehingga komunikator salah paham dengan apa yang ditampilkan oleh
komunikan, pun sebaliknya.
 Gaya bahasa komunikator
Gaya bahasa komunikator juga bisa dipengaruhi oleh konsep diri yang mereka
miliki. Komunikator dengan konsep diri inferior akan cenderung menggunakan
gaya bahasa yang menunjukkan sikap lemah di hadapan lawan bicaranya,
sementara mereka yang superior cenderung menunjukkan gaya bicara yang
“menggurui”. Kecenderungan gaya bahasa ini tentu saja juga tidak tepat apabila
terus dipakai pada berbagai konteks yang bisa saja berbeda.
 Penerimaan gaya bahasa oleh komunikan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, gaya bahasa dalam komunikasi juga
dipengaruhi oleh konsep diri seseorang. Hal yang sama juga berlaku pada
komunikan, khususnya dalam bagaimana seorang komunikan memahami atau
mencerna pesan yang disampaikan lewat gaya bahasa tertentu oleh
komunikator. Kedekatan seseorang juga bisa mempengaruhi hal tersebut,
seiring dengan konsep diri yang dimiliki oleh seseorang.
 Keaktifan dalam komunikasi
Konsep diri seseorang juga akan mempengaruhi tingkat keaktifan seseorang
dalam suatu komunikasi. Mereka yang memiliki konsep diri cenderung baik
akan melakukan partisipasi dalam komunikasi sesuai dengan yang dibutuhkan,
sementara mereka yang tidak bisa jadi kurang atau malah berlebihan. Oleh
karena itulah kita harus memiliki konsep diri yang baik. Dengan hal ini kita bisa
merasakan makna penting komunikasi dalam interaksi sosial dengan lebih baik.
 Kepasifan dalam komunikasi
Layaknya dalam tingkat keaktifan dalam suatu komunikasi, tingkat kepasifan
seseorang juga akan dipengaruhi oleh konsep diri yang mereka miliki. Dengan
kata lain, mereka yang memiliki tingkat keaktifan yang tinggi pasti akan
memiliki tingkat kepasifan yang rendah, begitu pula sebaliknya. Oleh karena
itulah kita harus memiliki tingkat kepasifan dan atau keaktifan yang seimbang.
 Penekanan pesan
Konsep diri seseorang juga bisa mempengaruhi bagaimana penekanan pesan
yang dilakukan selama masa komunikasi. Oleh karena itulah, akan terjadi
perbedaan penekanan pesan pada mereka yang memiliki konsep diri yang
berbeda. Hal ini juga menjadi salah satu pengaruh konsep diri terhadap
komunikasi interpersonal. Akan lebih baik apabila kamu juga
mempelajari elemen komunikasi interpesonal agar memahami dengan lebih
detail.
 Ekspektasi hasil komunikasi interpersonal oleh komunikator atau komunikan
Konsep diri seseorang juga akan berpengaruh terhadap ekspektasi atas hasil
komunikasi yang dilakukan oleh komunikator ataupun komunikan. Orang yang
memiliki konsep diri positif seperti percaya diri, akan memiliki kecenderungan
untuk berekspektasi bahwa hasil komunikasi yang akan dicapai oleh
komunikator dan komunikan adalah hasil yang baik sesuai dengan perkiraannya
karena dia percaya diri bahwa komunikasinya telah baik. Begitu pula
sebaliknya. Tentu saja hal ini bisa berbeda-beda tergantung komunikasi dan
peserta komunikasi yang terlibat di dalamnya.
 Emosi pada pihak yang terlibat komunikasi
Konsep diri seseorang juga akan berpengaruh terhadap perasaan yang
melingkupi komunikasi yang mereka lakukan. Konsep diri seseorang yang
bernilai negatif, seperti misalnya menganggap bahwa dirinya tidak bisa pede,
atau sering salah, maka bisa jadi akan diliputi emosi negatif seperti kecemasan
atau rasa khawatir berlebihan selama berkomunikasi pada konteks yang serupa
dengan masalah atau lingkungan tertentu yang bisa menunjukkan sisi
inferioritasnya. Hal inilah salah satu bentuk pengaruh persepsi dalam
komunikasi interpersonal.
 Menghambat komunikasi interpersonal
Apabila konsep diri bernilai negatif terlalu besar, maka pengaruh konsep diri
terhadap komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh komunikator dan
komunikan dalam komunikasi tersebut, maka pengaruh konsep diri terhadap
komunikasi interpersonal yang akan muncul adalah bahwa konsep diri tersebut
akan menghambat komunikasi interpersonal yang dilakukan. Oleh karena itulah
konsep diri harus diletakkan sesuai dengan fakta yang seharusnya dan tidak
boleh negatif secara berlebihan.
 Memudahkan komunikasi interpersonal
Apabila konsep diri yang negatif bisa menghambat komunikasi interpersonal,
maka komunikasi interpersonal juga akan terbantu apabila konsep diri yang
bernilai positif atau cenderung baik dimiliki oleh seseorang. Konsep diri positif
di sini berarti konsep diri yang bisa mendukung pertumbuhan dan
perkembangan seseorang sesuai dengan potensi yang dia miliki, sehingga tidak
sama dengan menganggap bahwa dirinya selalu benar dan lain sebagainya.

Itulah beberapa bentuk pengaruh konsep diri terhadap komunikasi interpersonal.


Semoga informasi di atas bermanfaat untukmu ya.

Anda mungkin juga menyukai