Anda di halaman 1dari 8

KONSEP DIRI

Konsep diri seseorang adalah sekumpulan hal-hal yang dipikirkan, diyakini, dan
dipersepsikan seseorang tentang dirinya. Sebutan lain untuk konsep diri adalah konstruksi
diri, identitas diri, perspektif diri, atau struktur diri. Hal ini mencakup performa
akademis, identitas gender, identitas seksual, dan identitas rasial. Secara umum, konsep
diri membentuk jawaban atas pertanyaan “Siapakah saya?”

Pengertian Konsep Diri

Definisi konsep diri menurut Baumeister (1999) adalah: “Apa yang dipercayai


seseorang tentang dirinya, mencakup sifat-sifat orang tersebut, juga tentang siapa dan apa
sebenarnya dirinya itu.” Konsep diri terdiri dari skema diri, diri masa lampau (past self),
diri masa kini (present self), dan diri masa depan (future self).
Konsep diri berbeda dengan harga diri (self esteem). Konsep diri bersifat kognitif
dan deskriptif tentang diri seseorang (misalnya: “saya seorang atlet marathon”),
sedangkan harga diri bersifat evaluatif dan menyangkut pendapat seseorang tentang
dirinya (misalnya: “saya bangga menjadi seorang atlet marathon”). Konsep diri saling
berinteraksi dengan harga diri, pengenalan diri, dan diri sosial, dalam membentuk diri
secara utuh. Hal ini mencakup diri masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dalam hal ini,
“diri masa depan” (future self) adalah apa yang dipikirkan seseorang meliputi:

 Pemikiran seperti apa dirinya di masa depan


 Pemikiran menjadi orang yang bagaimana (possible self),
 Hadirnya rasa takut akan menjadi orang yang bagaimana. Persepsi seseorang
mengenai dirinya di masa lalu maupun masa depan, terkait erat dengan
persepsinya tentang dirinya di masa sekarang.

Menurut teori penilaian-diri sementara (temporal self-appraisal theory), manusia


umumnya memiliki kecenderungan mempertahankan penilaian diri yang positif dengan
cara mengambil jarak dengan “diri” negatifnya, sambil berfokus pada “diri” positifnya.
Tambahan lagi, manusia juga cenderung memandang diri masa lalunya sebagai kurang
diinginkan, dan berpandangan lebih positif terhadap diri masa depannya.

Sejarah Konsep Diri

Sejak ribuan tahun silam, gagasan tentang konsep diri sudah menjadi bagian dari
sejarah kebudayaan dan filsafat manusia. Sejak 3000 tahun lalu, istilah Ahamkara dalam
filsafat kitab suci Veda dan dalam praktek spiritual dunia Timur semacam Yoga, sudah
mengacu kepada pengertian ini.

Di dunia Barat, dikenal nama-nama seperti Carl Rogers dan Abraham Maslow,


para psikolog yang berpengaruh besar dalam mempopulerkan gagasan tentang konsep
diri ini. Menurut Rogers, pada dasarnya manusia selalu berjuang untuk menjadi “diri
ideal”-nya. Ia juga mengemukakan hipotesa bahwa seseorang yang sehat secara
psikologis memiliki kecenderungan untuk bergerak menjauhi peran yang diciptakan oleh
harapan orang lain, dan sebagai gantinya lebih cenderung menengok ke dalam dirinya
sendiri, mencari pengesahan dari dalam dirinya alih-alih dari luar.

Sedangkan mereka yang tidak “sehat” dan menderita gangguan syaraf, biasanya
memiliki konsep diri yang tidak bersesuaian dengan pengalaman mereka. Ada ketakutan
dalam diri mereka untuk menerima pengalaman-pengalaman mereka itu sebagaimana
adanya, karena itu mereka berusaha untuk mengubahnya, entah untuk melindungi diri
sendiri, atau untuk memperoleh pengakuan dari orang lain.”

John Turner mengembangkan teori kategorisasi-diri (self-cathegorization theory)


yang menyatakan bahwa konsep diri sekurang-kurangnya terdiri dari dua “tingkat”, yakni
identitas pribadi dan identitas sosial. Dengan kata lain, evaluasi diri tergantung kepada
bagaimana seseorang menilai dirinya sendiri, dan bagaimana orang lain menilai dia.
Konsep diri dapat saling berganti dengan cepat antara identitas pribadi dan identitas
sosial. Misalnya, konsep diri pada anak-anak dan remaja terbentuk dari identitas sosial
yang mereka dapatkan dengan menilai posisi mereka di antara teman-teman sebaya
mereka. Sejak umur 5 tahun, pembentukan konsep diri seorang anak sangat dipengaruhi
penerimaan di antara teman-teman sebaya mereka, dan pada gilirannya mempengaruhi
perilaku dan keberhasilan akademis mereka.

Pengertian Konsep Diri

Konsep diri merupakan model internal yang mempergunakan penilaian diri dalam
rangka menentukan skema diri seseorang. Hal-hal khusus seperti kepribadian, keahlian
dan kemampuan, hobi dan pekerjaan, karakteristik fisik dan lain-lain, dinilai dan
diaplikasikan kepada skema diri, yang adalah sekumpulan gagasan mengenai diri
seseorang dalam suatu dimensi khusus. Misalnya, seseorang yang menganggap dirinya
seorang kutu buku, akan mengenakan sifat-sifat dan karakter khas seorang kutu buku
kepada dirinya.

Sekumpulan skema diri akan membentuk konsep diri seseorang secara


keseluruhan. Misalnya, pernyataan “saya seorang pemalas” adalah bentuk penilaian diri
yang turut berkontribusi membentuk sebuah konsep diri. Sedang pernyataan “saya lelah”
tak dapat dijadikan bagian sebuah konsep diri, karena keadaan “lelah” itu hanya bersifat
sementara, dan tak dapat menjadi bagian sebuah skema diri.

Sebuah konsep diri dapat saja berubah seiring waktu pada saat diri mengalami
penilaian kembali, yang dalam kasus-kasus yang ekstrim dapat menjurus kepada krisis
identitas.

 Pernyataan : “Saya seorang pemalas“ Penilaian diri = Pembentuk Konsep Diri


 Pernyataan: “Saya lelah”  Bukan Penilaian diri = Afeksi bersifat sementara.

Perkembangan Konsep Diri

Bilamana konsep diri seseorang mulai berkembang masih menjadi bahan


perdebatan para ahli. Ada yang berpendapat bahwa seorang anak pada usia kira-kira 3
tahun mulai membentuk cara pandang tentang dirinya dengan dipengaruhi stereotip
gender dan harapan-harapan yang diterapkan orang tuanya kepada dirinya.

Pendapat lain mengatakan bahwa konsep diri seseorang baru mulai berkembang
pada usia 7-8 tahun, ketika seorang anak dalam perkembangannya sudah siap
menginterpretasikan perasaan-perasaan dan kemampuan-kemampuan yang mereka
miliki, juga umpan balik yang mereka terima dari orang tua, guru, dan teman sebaya.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat mengenai bilamana awal perkembangan


konsep diri seseorang, para ahli pada umumnya setuju akan pentingnya konsep diri
tersebut, yang berpengaruh terhadap perilaku orang yang bersangkutan, maupun ekspresi
kognitif dan emosionalnya, termasuk di dalamnya pencapaian akademiknya, tingkat
kebahagiaannya, kegelisahannya, integrasi sosialnya, harga dirinya, dan kepuasan
hidupnya.

Jenis – jenis Konsep Diri

Terdapat beberapa jenis konsep diri dalam psikologi, diantaranya:

1) Konsep Diri Akademik


 Konsep diri akademik seseorang mengacu kepada keyakinan pribadinya
terhadap keahlian dan kemampuan akademik yang dimilikinya. Kalangan
ahli sebahagian berpendapat bahwa perkembangan konsep diri akademik
ini diawali pada usia 3-5 tahun dengan dipengaruhi oleh orang tua dan para
pendidiknya yang awal sekali.
 Selanjutnya pada usia 10-11 tahun anak-anak menilai kemampuan
akademik mereka dengan cara membandingkan diri mereka dengan teman-
teman sebaya mereka. Pembandingan sosial ini disebut juga estimasi diri.
 Kemudian, estimasi diri yang menyangkut kemampuan kognitif paling
akurat pengukurannya bilamana menyangkut evaluasi terhadap topik yang
terkait angka-angka, seperti matematika. Sedang pada bidang lain, seperti
kecepatan berpikir, seringkali lebih rendah akurasinya.
 Beberapa ahli menyarankan bahwa demi meningkatkan konsep diri
akademik seorang anak atau siswa, orang tua dan para pendidik hendaknya
memberi umpan balik yang spesifik yang terfokus pada kemampuan atau
keahlian tertentu yang dimiliki anak tersebut.
 Ahli lainnya menyatakan bahwa peluang untuk belajar bagi anak-anak atau
siswa hendaknya diselenggarakan di dalam kelompok-kelompok, baik
kelompok dengan beragam keahlian maupun kelompok dengan keahlian
yang seragam, yang mengecilkan pembandingan sosial.
 Hal ini karena pengelompokan yang terlalu berlebihan dari setiap tipe
kelompok dapat memberi efek yang merugikan pada konsep diri akademik
anak-anak tersebut dan cara pandang mereka terhadap diri sendiri dalam
hubungannya dengan teman-teman sebaya mereka.

2) Konsep Diri terkait Perbedaan Kultural


 Dalam hal cara seseorang memandang dirinya sendiri dalam
hubungannya dengan orang lain, ada perbedaan-perbedaan tertentu baik
lintas budaya maupun dalam lingkup budaya itu sendiri. Dalam budaya
Barat, yang lebih dipentingkan adalah kemandirian seseorang dan
bagaimana ia mengekspresikan sifat-sifat pribadinya sendiri. Diri
individu lebih diutamakan daripada kelompok.
 Sedang dalam budaya Timur, diri tiap individu dipandang dalam
konteks ketergantungan dengan kelompoknya. Relasi antar individu
lebih dipentingkan daripada pencapaian pribadi tiap-tiap orang. Individu
mengalami dan merasakan adanya keterikatan dan kesatuan dengan
kelompoknya.
 Peleburan identitas semacam ini memiliki baik konsekuensi positif
maupun negatif. Peleburan identitas individu dengan suatu kelompok
yang lebih besar dapat memberi kesan pada individu tersebut bahwa
keberadaannya memiliki arti.
3) Konsep Diri Terkait Perbedaan Gender
 Penelitian menunjukkan bahwa kaum pria cenderung lebih mandiri,
sedangkan kaum wanita lebih menekankan pada saling ketergantungan
(interdependence). Dalam hal saling ketergantungan pun terdapat
perbedaan antara pria dan wanita. Saling ketergantungan di kalangan
wanita lebih bersifat relasional, pribadi ke pribadi, atau dalam
kelompok-kelompok kecil. Di lain pihak, saling ketergantungan di
kalangan pria lebih bersifat kolektif, mengidentifikasi diri mereka dalam
konteks kelompok yang lebih besar.
 Sejak awal di masa kanak-kanak perbedaan gender ini sudah nampak.
Sejak usia 3 tahun, baik anak laki-laki maupun anak perempuan lebih
cenderung memilih teman bermain dari jenis kelamin yang sama dengan
mereka, dan mempertahankan kecenderungan itu hingga melewati usia
sekolah dasar.
 Setelah melewati fase ini, anak laki-laki dan perempuan mulai
memasuki interaksi dan hubungan-hubungan sosial yang berbeda. Anak
perempuan lebih condong kepada hubungan pribadi ke pribadi dengan
ikatan emosional yang kuat, sedang anak laki-laki lebih memilih terlibat
dalam aktivitas kelompok.
 Dalam suatu studi ditemukan bahwa performa anak laki-laki di dalam
suatu kelompok yang agak besar hampir dua kali lebih baik
dibandingkan kalau berpasang-pasangan, sementara di kalangan anak
perempuan tidak ditemukan perbedaan yang berarti. Anak laki-laki
cenderung membentuk kelompok yang lebih besar dengan didasarkan
pada kepentingan dan aktivitas yang sama.
 Dalam hal perilaku di dalam kelompoknya, anak perempuan lebih
cenderung menunggu giliran pada waktu hendak berbicara, mudah
untuk bersepakat, dan juga mudah untuk mengakui kontribusi dari
sesama anggota kelompok. Sementara anak laki-laki cenderung lebih
mudah mengeluarkan ancaman, mengumbar kelebihan diri, atau
mengumpat satu sama lain, yang mengindikasikan pentingnya dominasi
dan hirarki di dalam kelompok sesama teman laki-laki.
 Di dalam kelompok campuran antara anak laki-laki dan perempuan,
anak perempuan lebih cenderung bersikap pasif saat menyaksikan
kawan laki-lakinya bermain, sedang anak laki-laki cenderung tidak
menanggapi apa yang dikatakan kawan perempuannya.
 Perilaku sosial yang terbentuk di dalam diri anak laki-laki dan
perempuan dalam perkembangan mereka sejak masa kanak-kanak
cenderung terbawa hingga mereka dewasa, walau tidak seluruhnya.

Perkembangan Konsep Diri

Menurut Lewis (1990), ada 2 aspek perkembangan konsep diri, yaitu:


a) Diri Eksistensial: Ini merupakan bagian yang paling mendasar dari skema
diri atau konsep diri, yakni merasa adanya keterpisahan dan perbedaan dari
orang lain, dan kesadaran akan adanya keberadaan dirinya yang menetap.
Seorang anak sejak masa kanak-kanaknya merasa bahwa dirinya ada atau
eksis sebagai satu entitas yang berbeda dari orang lain, dan bahwa dirinya
terus eksis menyusuri ruang dan waktu. Menurut Lewis, kesadaran
seseorang akan dirinya yang eksistensial sudah dimulai sejak usia 2 atau 3
bulan, dan sebahagian dari kesadaran itu bertumbuh dari hubungan antara
dirinya dengan dunia luar.
b) Diri Kategorial: Setelah menyadari akan eksistensi dirinya sebagai suatu
entitas yang terpisah dari yang lain dan memiliki pengalaman-pengalaman
tersendiri, pada tahap berikutnya si anak juga akan menyadari bahwa
dirinya adalah suatu ‘obyek’ di tengah-tengah dunia. Sebagaimana halnya
obyek-obyek lainnya, termasuk orang, yang dapat dialami dan memiliki
sifat-sifat tertentu (misalnya kecil, besar, berwarna, licin, dan sebagainya),
demikian juga si anak mulai menyadari bahwa dirinya adalah suatu obyek
yang dapat dialami dan memiliki sifat-sifat tertentu. Diri seseorang juga
dapat dimasukkan ke dalam kategori-kategori seperti umur, gender, ukuran,
dan keahlian. Dua dari antara kategori-kategori yang diaplikasikan pada
awalnya adalah umur (misalnya, “saya berumur 3 tahun”), dan gender
(misalnya,”saya seorang anak perempuan”). Pada tahap awal masa kanak-
kanak, kategori-kategori yang diaplikasikan seorang anak pada dirinya
bersifat sangat kongkrit (misalnya: tinggi badan, warna rambut, hal-hal
yang disukai). Pada tahap selanjutnya, deskripsi dirinya akan mulai
mencakup juga sifat-sifat psikologis internal, evaluasi komparatif, dan
tentang bagaimana orang-orang lain melihat dirinya.

Komponen Konsep Diri

Menurut Carl Rogers, konsep diri terdiri dari tiga komponen:

a) Gambaran Diri (Self-Image):


 Konsep ini menegaskan tentang cara seseorang memandang dirinya sendiri.
Tidak selamanya gambaran diri ini mencerminkan keadaan yang
sebenarnya. Misalnya, seseorang yang menderita anoreksia dan berbadan
kurus dapat saja memiliki gambaran diri di mana dia percaya bahwa dirinya
berbadan gemuk. Terbentuknya gambaran diri seseorang dapat dipengaruhi
banyak faktor, misalnya pengaruh dari orang tua, teman, media, dan lain-
lain. 
 Kuhn (1960) mengadakan penelitian menyangkut gambaran diri ini dengan
menggunakan Test Duapuluh Pernyataan, di mana orang-orang yang
menjadi obyek penelitian diminta menjawab pertanyaan “Siapakah saya?”
dengan menggunakan 20 cara yang berbeda-beda.
 Respon yang didapat dari penelitian ini dapat dibagi ke dalam dua
kelompok besar, yakni peran sosial (aspek eksternal dan obyektif dari
seseorang, misalnya seorang anak, seorang guru, seorang teman, dan
sebagainya) dan sifat-sifat pribadi (aspek internal dan afektif seseorang
seperti suka berteman, tidak sabaran, suka humor, dan sebagainya).
 Jawaban-jawaban yang didapat dari test tersebut juga dapat dikelompokkan
ke dalam 4 kelompok berikut ini:
i. Deskripsi Fisik : “saya bertubuh jangkung”, “saya memiliki mata
biru”, dan lain-lain.
ii. Peran Sosial : Semua orang adalah makhluk sosial, dan cara
seseorang berperilaku sebahagiannya dibentuk oleh peran sosial
yang ia jalani. Peran-peran sebagai seorang pelajar, ibu rumah
tangga, atau anggota sebuah tim sepak bola, bukan saja membantu
orang lain untuk mengenali diri seseorang, tetapi juga membantu dia
untuk mengetahui apa yang diharapkan orang lain dari dirinya dalam
berbagai situasi.
iii. Sifat Pribadi : Ini adalah dimensi ketiga dari deskripsi diri
seseorang. “Saya seorang yang impulsif”, “saya pemurah”, “saya
cenderung menguatirkan banyak hal”, dan sebagainya.
iv. Pernyataan Eksistensial : Ini lebih bersifat abstrak, yakni
pernyataan-pernyataan seperti: “saya adalah putra alam semesta”,
“saya bahagian dari umat manusia”, “saya ini makhluk spiritual”,
dan sebagainya.
Dari hasil penelitian ini juga ternyata bahwa orang-orang berusia muda lebih
cenderung menyatakan deskripsi diri mereka dari aspek sifat-sifat pribadi, sementara
yang berusia lebih tua lebih condong kepada peran sosial.

b) Harga diri (self-esteem) atau kepantasan diri (self-worth); Konsep ini


menjelaskan seberapa banyak nilai yang dikenakan seseorang kepada dirinya
sendiri. Seseorang dapat memiliki baik pandangan positif maupun negatif tentang
dirinya. Harga diri terbagi dua, yaitu :
 Harga diri yang tinggi (high self-esteem): Seseorang itu memiliki
pandangan yang positif tentang dirinya. Hal ini dapat menjurus kepada
kepercayaan diri akan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya,
penerimaan diri sendiri, tidak adanya kekuatiran tentang apa yang
dipikirkan orang lain tentang dirinya, dan optimisme.
 Harga diri yang rendah (low self-esteem): Seseorang itu memiliki
pandangan yang negatif tentang dirinya. Hal ini dapat menjurus kepada
kurangnya kepercayaan diri, selalu ingin menjadi atau berpenampilan
seperti orang lain, selalu kuatir tentang apa yang orang lain pikirkan
tentang dirinya, dan pesimisme.

Ada saatnya di mana perasaan harga diri itu berfluktuasi, bahkan berubah dengan
cepat dalam situasi yang berbeda-beda. Namun ada saatnya juga di mana seseorang tetap
berpikir positif tentang dirinya, walaupun kenyataan yang dihadapinya menunjukkan
sebaliknya. Hal ini dikenal sebagai efek ketekunan (perseverance effect).
Menurut Argyle (2008) ada 4 faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang:

1) Reaksi dari Orang Lain: Di saat seseorang menerima reaksi positif dari orang
lain, entah berupa kekaguman, pujian, atau timbul keinginan orang lain untuk
berteman dengannya, juga orang lain cenderung mendengarkannya dengan penuh
perhatian atau mudah untuk setuju dengannya, maka orang tersebut akan
cenderung memiliki gambaran diri yang positif. Sebaliknya, jika orang lain
cenderung menghindarinya, mengabaikannya, atau mengatakan hal-hal tentang
orang tersebut yang tidak enak didengar, maka dia juga akan cenderung memiliki
gambaran diri yang negatif.
2) Perbandingan dengan Orang Lain: Jika orang yang bersangkutan
membandingkan dirinya dengan orang lain yang kebetulan lebih sukses, lebih
bahagia, lebih kaya, atau lebih rupawan, maka dia cenderung memiliki gambaran
diri yang negatif. Sebaliknya, gambaran dirinya cenderung menjadi positif bila
orang yang menjadi bahan perbandingannya itu tidak lebih beruntung daripadanya.
3) Peran Sosial: Beberapa peran sosial dipandang lebih berprestise, seperti dokter,
pilot pesawat terbang, presenter TV, atau bintang sepak bola, dan ini dapat
membantu meningkatkan harga diri. Sementara ada peran sosial yang tidak
dipandang baik, bahkan membawa stigma negatif, seperti narapidana, pasien
rumah sakit jiwa, atau seorang pengangguran.
4) Identifikasi: Peran sosial tidak hanya menjadi “faktor luar”, melainkan juga
menjadi bahagian dari identitas diri dan kepribadian seseorang. Ia cenderung
mengidentifikasi dirinya dengan posisi yang dipegangnya, peran sosial yang
dijalaninya, maupun kelompok di mana dia menjadi anggotanya.

KONSEP DIRI DALAM PSIKOLOGI KOMUNIKASI

Anda mungkin juga menyukai