Konsep diri seseorang adalah sekumpulan hal-hal yang dipikirkan, diyakini, dan
dipersepsikan seseorang tentang dirinya. Sebutan lain untuk konsep diri adalah konstruksi
diri, identitas diri, perspektif diri, atau struktur diri. Hal ini mencakup performa
akademis, identitas gender, identitas seksual, dan identitas rasial. Secara umum, konsep
diri membentuk jawaban atas pertanyaan “Siapakah saya?”
Sejak ribuan tahun silam, gagasan tentang konsep diri sudah menjadi bagian dari
sejarah kebudayaan dan filsafat manusia. Sejak 3000 tahun lalu, istilah Ahamkara dalam
filsafat kitab suci Veda dan dalam praktek spiritual dunia Timur semacam Yoga, sudah
mengacu kepada pengertian ini.
Sedangkan mereka yang tidak “sehat” dan menderita gangguan syaraf, biasanya
memiliki konsep diri yang tidak bersesuaian dengan pengalaman mereka. Ada ketakutan
dalam diri mereka untuk menerima pengalaman-pengalaman mereka itu sebagaimana
adanya, karena itu mereka berusaha untuk mengubahnya, entah untuk melindungi diri
sendiri, atau untuk memperoleh pengakuan dari orang lain.”
Konsep diri merupakan model internal yang mempergunakan penilaian diri dalam
rangka menentukan skema diri seseorang. Hal-hal khusus seperti kepribadian, keahlian
dan kemampuan, hobi dan pekerjaan, karakteristik fisik dan lain-lain, dinilai dan
diaplikasikan kepada skema diri, yang adalah sekumpulan gagasan mengenai diri
seseorang dalam suatu dimensi khusus. Misalnya, seseorang yang menganggap dirinya
seorang kutu buku, akan mengenakan sifat-sifat dan karakter khas seorang kutu buku
kepada dirinya.
Sebuah konsep diri dapat saja berubah seiring waktu pada saat diri mengalami
penilaian kembali, yang dalam kasus-kasus yang ekstrim dapat menjurus kepada krisis
identitas.
Pendapat lain mengatakan bahwa konsep diri seseorang baru mulai berkembang
pada usia 7-8 tahun, ketika seorang anak dalam perkembangannya sudah siap
menginterpretasikan perasaan-perasaan dan kemampuan-kemampuan yang mereka
miliki, juga umpan balik yang mereka terima dari orang tua, guru, dan teman sebaya.
Perkembangan Konsep Diri
Ada saatnya di mana perasaan harga diri itu berfluktuasi, bahkan berubah dengan
cepat dalam situasi yang berbeda-beda. Namun ada saatnya juga di mana seseorang tetap
berpikir positif tentang dirinya, walaupun kenyataan yang dihadapinya menunjukkan
sebaliknya. Hal ini dikenal sebagai efek ketekunan (perseverance effect).
Menurut Argyle (2008) ada 4 faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang:
1) Reaksi dari Orang Lain: Di saat seseorang menerima reaksi positif dari orang
lain, entah berupa kekaguman, pujian, atau timbul keinginan orang lain untuk
berteman dengannya, juga orang lain cenderung mendengarkannya dengan penuh
perhatian atau mudah untuk setuju dengannya, maka orang tersebut akan
cenderung memiliki gambaran diri yang positif. Sebaliknya, jika orang lain
cenderung menghindarinya, mengabaikannya, atau mengatakan hal-hal tentang
orang tersebut yang tidak enak didengar, maka dia juga akan cenderung memiliki
gambaran diri yang negatif.
2) Perbandingan dengan Orang Lain: Jika orang yang bersangkutan
membandingkan dirinya dengan orang lain yang kebetulan lebih sukses, lebih
bahagia, lebih kaya, atau lebih rupawan, maka dia cenderung memiliki gambaran
diri yang negatif. Sebaliknya, gambaran dirinya cenderung menjadi positif bila
orang yang menjadi bahan perbandingannya itu tidak lebih beruntung daripadanya.
3) Peran Sosial: Beberapa peran sosial dipandang lebih berprestise, seperti dokter,
pilot pesawat terbang, presenter TV, atau bintang sepak bola, dan ini dapat
membantu meningkatkan harga diri. Sementara ada peran sosial yang tidak
dipandang baik, bahkan membawa stigma negatif, seperti narapidana, pasien
rumah sakit jiwa, atau seorang pengangguran.
4) Identifikasi: Peran sosial tidak hanya menjadi “faktor luar”, melainkan juga
menjadi bahagian dari identitas diri dan kepribadian seseorang. Ia cenderung
mengidentifikasi dirinya dengan posisi yang dipegangnya, peran sosial yang
dijalaninya, maupun kelompok di mana dia menjadi anggotanya.