Anda di halaman 1dari 19

MATERI 7 PERKEMBANGAN Riza Amalia, M.

Si
KONSEP DIRI
TOPIK PEMBAHASAN
1. Pengertian konsep diri
2. Perkembangan konsep diri
3. Teori Identitas Diri James Marcia
4. Konsep diri dan perilaku serta prestasi belajar
5. Karakteristik perkembangan konsep diri
PENGERTIAN KONSEP DIRI
Sebagai sebuah konstruk psikologi, konsep diri didefinisikan secara berbeda oleh
para ahli. Seifert dan Hoffnung (1994), misalnya, mendefinisikan konsep diri sebagai
“suatu pemahaman mengenai diri atau ide tentang diri sendiri.” Santrock (1996)
menggunakan istilah konsep diri mengacu pada evaluasi bidang tertentu dari diri
sendiri. Sementara itu, Atwater (1987) menyebutkan bahwa konsep diri adalah
keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan,
keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya. Selanjutnya, Atwater
mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image, kesadaran
tentang tubuhnya, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal
self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai
dirinya. Ketiga, social self, yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya.
PERKEMBANGAN KONSEP
DIRI
Santrock (Desmita, 2012, p. 177) menjelaskan karakteristik perkembangan konsep diri pada masa remaja, yaitu:
Abstrak dan idealistic yaitu gambaran diri individu dengan idealis tentang dirinya atau gambaran yang menurut individu
dengan diri yang diidamkan.
Differentiated yaitu gambaran ciri-ciri diri individu sendiri dalam hubungan keluarga, teman sebaya dan lawan jenis sesuai
dengan peran dan konteksnya.
The fluctuating self yaitu ketidak tetapan diri remaja mengenai dirinya yang lebih utuh.
Real and ideal, true and false selves yaitu kemampuan remaja dalam menyesuaikan diri antara diri yang nyata dengan diri
ideal sehingga terjadinya peningkatan kemampuan kognitif. Sedangkan konsep diri remaja yang palsu dan remaja yang
benar merupakan suatu perilaku untuk mendapatkan pengaruh dari lingkungannya
Self conscious yaitu kesadaran diri terhadap diri individu sendiri
Self protective yaitu pertahanan dan mengembangkan diri terhadap diri individu sendiri
Unconscious yaitu konsep diri individu dalam mengenal dirinya yang tidak disadari
Self integration yaitu konsep diri individu yang berbeda menjadi satu kesatuan sehingga memunculkan pemikiran yang
resmi untuk mendorong proses perkembangan dan pemikiran dari suatu teori diri yang konsisten
TEORI IDENTITAS DIRI JAMES
MARCIA
PENDAHULUAN
Menurut Marcia (dalam Muus, 1996, h. 66) identitas diri seseorang dinilai dari dua
sudut pandang pencapaian komitmen dan krisis. Krisis diartikan sebagai suatu masa
perkembangan identitas diri dimana remaja memilah-milah alternatif yang berarti
dan tersedia. Beberapa ahli lain menyebut krisis dengan sebutan eksplorasi. Agar
konsisten dengan teori Erikson dan Marcia, istilah krisis lebih cenderung digunakan
dalam pembahasan. Komitmen diartikan sebagai bagian dari 33 perkembangan
identitas diri, dimana remaja menunjukkan adanya suatu investasi pribadi pada apa
yang akan mereka lakukan.
TEORI IDENTITAS DIRI JAMES
MARCIA
James Marcia merupakan seorang ahli beraliran Eriksonian yang meyakini bahwa
perkembangan identitas Erikson mengandung empat status identitas, atau empat
cara-cara untuk mengatasi krisis identitas, yaitu :
a. Difusi identitas/ identitity diffusion
b. Membuka identitas/identity foreclosure
c. Moraturium identitas/identity moratorium
d. Pencapaian identitas/identity achievement
IDENTITY DIFFUSION
a. Difusi identitas/ identitity diffusion Istilah difusi identitas ini digunakan untuk
menggambarkan remaja yang belum pernah mengalami krisis, sehingga mereka
belum pernah mengeksplorasi dan mengevaluasi adanya alternatif yang berarti dalam
hidupnya dan belum membuat suatu komitmen. Difusi identitas ini merupakankan
keadaan yang bisa berubah dan masih terbuka untuk berbagai kemungkinan dan
pengaruh, karena belum terbentuk struktur kepribadian yang kuat (Muus, 1996, h.
68). Karakteristik individu yang mengalami difusi identitas: pertama kurang
memiliki konsep diri yang kokoh. Kedua individu menunjukkan tingkat kecemasan
dan tegangan internal yang tinggi. Ketiga, tidak memiliki definisi yang jelas tentang
siapa dirinya dan tidak dapat memperkirakan ciri dan sifat kepribadian yang dimiliki.
IDENTITY FORECLOSURE
b. Membuka identitas/identity foreclosure Menggambarkan remaja yang telah
membuat suatu komitmen namun belum pernah mengalami krisis yang
memungkinkan mereka mengubah atau mempertimbangkan kembali komitmen yang
telah dibuat. Status ini sering terjadi pada remaja yang mengidentifikasikan diri secara
berlebihan terhadap nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang dewasa di sekelilingnya
34 (overidentifiying). Individu menganggap standar ideal perilaku, harapan dan
keinginan berdasarkan apa yang dianggap benar dan tepat oleh orang-orang di
sekelilingnya--baik itu orang tua, guru, maupun teman, tanpa mencari tahu lebih
lanjut. Hal ini menyebabkan individu sebagai proyeksi dari keinginan orang-orang di
sekitarnya atau ‘alter egos’ (dalam Muus, 1996, h.70). Jika keadaan ini terus
berlangsung hingga usia dewasa maka individu akan mengalami kesulitan dalam
mencapai indentitas, karena stuktur kepribadiannya menjadi kaku dan kurang terbuka
terhadap tantangan dan keadaan yang baru.
IDENTITY MORATORIUM
c. Moraturium identitas/identity moraturium Istilah ini digunakan untuk para remaja
yang berada dalam krisis namun tidak memiliki komitmen sama sekali atau tidak
memiliki komitmen yang terlalu jelas. Individu berada dalam keadaan berhadapan
dengan krisis dan berbagai pertanyaan yang belum terjawab, sehigga individu terus
mencari, berjuang dan mengeksplorasi berbagai peran, cara dan aturan untuk
menemukan jawaban yang dianggap memuaskan. Pada fase ini individu masih bisa
mengubah, mengevaluasi dan mempertimbangkan kembali berbagai komitmen yang
telah dibuat hingga mencapai keadaan yang lebih sesuai.
IDENTITY ACHIEVEMENT
d. Pencapaian identitas/identity achievement Digunakan bagi remaja yang telah
melewati krisis dan telah membuat komitmen. Individu yang telah berhasil mencapai
identitas memiliki ciri-ciri antara lain: aktif, toleran terhadap perbedaan, mandiri
secara emosional, tidak 35 membenci diri sendiri, mampu bersikap empati dan
memiliki hubungan yang harmonis dengan orang-orang sekitarnya (Furhmann, 1990,
h. 369).
KONSEP DIRI DAN PERILAKU
Menurut Felker (1974), terdapat tiga peranan penting konsep diri dalam menentukan perilaku seseorang, yaitu:
Pertama, self-concept as maintainer of inner consistency. Konsep diri memainkan peranan dalam mempertahankan keselarasan batin seseorang.
Individu senantiasa berusaha untuk mempertahankan keselarasan batinnya. Bila individu memiliki ide, perasaan, persepsi atau pikiran yang tidak
seimbang atau saling bertentangan, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan. Untuk menghilangkan ketidakselarasan tersebut,
individu akan mengubah perilaku atau memilih suatu sistem untuk mempertahankan kesesuaian antara individu dengan lingkungannya. Cara
menjaga kesesuaian tersebut dapat dilakukan dengan menolak gambaran yang diberikan oleh lingkungannya mengenai dirinya atau individu
berusaha mengubah dirinya seperti apa yang diungkapkan lingkungan sebagai cara untuk menjelaskan kesesuaian dirinya dengan lingkungannya.
Kedua, self-concept as an interpretation of experience. Konsep diri menentukan bagaimana individu memberikan penafsiran atas pengalamannya.
Seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat memengaruhi individu tersebut dalam menafsirkan pengalamannya. Sebuah kejadian
akan ditafsirkan secara berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya, karena masing- masing individu mempunyai sikap dan
pandangan yang berbeda terhadap diri mereka. Tafsiran negatif terhadap pengalaman hidup disebabkan oleh pandangan dan sikap negatif terhadap
dirinya sendiri. Sebaliknya, tafsiran positif terhadap pengalaman hidup disebabkan oleh pandangan dan sikap positif terhadap dirinya.
Ketiga, self-concept as set of expectations. Konsep diri juga berperan sebagai penentu pengharapan individu. Pengharapan ini merupakan inti dari
konsep diri. Bahkan McCandless sebagaimana dikutip Felker (1974) menyebutkan bahwa konsep diri seperangkat harapan- harapan dan evaluasi
terhadap perilaku yang merujuk pada harapan-harapan tersebut. Siswa yang cemas dalam menghadapi ujian akhir dengan mengatakan “saya
sebenarnya anak bodoh, pasti saya* tidak akan mendapat nilai yang baik”, sesungguhnya sudah mencerminkan harapan apa yang akan terjadi
dengan hasil ujiannya. Ungkapan tersebut menunjukkan keyakinannya bahwa ia tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh nilai yang baik.
Keyakinannya tersebut mencerminkan sikap dan pandangan negatif terhadap dirinya sendiri. Pandangan negatif terhadap dirinya menyebabkan
individu mengharapkan tingkah keberhasilan yang akan dicapai hanya pada taraf yang rendah. Patokan yang rendah tersebut menyebabkan individu
bersangkutan tidak mempunyai motivasi untuk mencapai prestasi yang gemilang (Pudjijogyanti, 1988).
KONSEP DIRI DAN PRESTASI BELAJAR

konsep diri dan prestasi belajar siswa di sekolah mempunyai hubungan yang erat.
Siswa yang berprestasi tinggi cenderung memiliki konsep diri yang berbeda dengan
siswa yang berprestasi rendah. Siswa yang berprestasi rendah akan memandang diri
mereka sebagai orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kurang dapat
melakukan penyesuaian diri yang kuat dengan siswa lain. Mereka juga cenderung
memandang orang- orang di sekitarnya sebagai lingkungan yang tidak dapat
menerimanya.
Siswa yang memandang dirinya negatif ini, pada gilirannya akan menganggap
keberhasilan yang dicapai bukan karena kemampuan yang dimilikinya, melainkan
lebih mereka kebetulan atau karena faktor keberuntungan saja. Lain halnya dengan
siswa yang memandang dirinya positif, akan menganggap keberhasilan sebagai hasil
kerja keras dan karena faktor kemampuannya.
KARAKTERISTIK
PERKEMBANGAN KONSEP
DIRI
Konsep diri bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Kita tidak dilahirkan dengan konsep diri
tertentu. Bahkan ketika kita lahir, kita tidak memiliki konsep diri, tidak memiliki pengetahuan tentang
diri, dan tidak memiliki pengharapan bagi diri kita sendiri, serta tidak memiliki penilaian apa pun
terhadap diri kita sendiri.
Dengan demikian, konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa
pertumbuhan hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orangtua turut memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Sikap dan respons orangtua
serta lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Anak-anak yang
tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru atau negatif, seperti perilaku orangtua yang suka
memukul, mengabarkan, kurang memberikan kasih sayang, melecehkan, menghina, tidak berlaku adil,
dan seterusnya, ditambah dengan lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep
diri yang negatif. Hal ini adalah karena anak cenderung menilai dirinya berdasarkan apa yang ia alami
dan dapatkan dari lingkungannya. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak
akan merasa dirinya berharga, sehingga berkembangan konsep diri yang positif.
KARAKTERISTIK KONSEP DIRI
ANAK USIA SEKOLAH
Pada awal-awal masuk sekolah dasar, terjadi penurunan dalam konsep diri anak-
anak. Hal ini mungkin disebabkan oleh tuntutan baru dalam akademik dan
perubahan sosial yang muncul di sekolah. Sekolah dasar banyak memberikan
kesempatan kepada anak-anak untuk membandingkan dirinya dengan teman-
temannya, sehingga penilaian dirinya secara gradual menjadi lebih realistis. Anak-
anak yang secara rutin, lebih mungkin untuk melakukan langkah-langkah yang dapat
mempertahankan keutuhan harga dirinya. Mereka sering memfokuskan perhatian
pada bidang-bidang di mana mereka unggul (seperti:    olahraga, hubungan sosial,
atau hobi), dan kurang perhatiannya pada bidang- bidang yang memberi kesukaran
pada dirinya. Mungkin karena mereka telah menguasai sejumlah bidang dan
pengalaman untuk memperhitungkan kekuatan-kekuatan dalam penampilan diri
mereka, maka kebanyakan anak berusaha mempertahankan kestabilan harga diri
mereka selama tahun-tahun sekolah dasar.
KARAKTERISTIK KONSEP DIRI
Menurut Santrock (1995), perubahan-perubahan dalam konsep dirj anak selama
tahun-tahun sekolah dasar dapat dilihat sekurang-kurangnya dari tiga karakteristik
konsep diri, yaitu (1) karakteristik internal, (2) karakteristik aspek-aspek sosial, dan
(3) karakteristik perbandingan sosial.
Penelitian F. Abound dan S. Skerry (1983), menemukan bahwa anak-anak kelas dua
jauh lebih cenderung menyebutkan karakteristik psikologis (seperti preferensi atau
sifat-sifat kepribadian) dalam pendefenisian diri mereka dan kurang cenderung
menyebutkan karakteristik fisik (seperti warna mata atau pemilikan). Misalnya, anak
usia 8 tahun mendeskripsikan dirinya sebagai: "Aku seorang yang pintar dan
terkenal.” Anak usia 10 tahun berkata tentang dirinya: "Aku cukup lumayan tidak
khawatir terus-menerus, Aku biasanya suka marah, tetapi sekarang aku sudah lebih
baik.
Karakteristik internal. Berbeda dengan anak-anak prasekolah anak usia sekolah
dasar lebih memahami dirinya melalui karakteristik internal daripada melalui
karakteristik eksternal. Anak-anak pada masa pertengahan dan akhir lebih cenderung
mendefenisikan dirinya melalui keadaan-keadaan dalam yang subjektif daripada
melalui keadaan- keadaan luar. Sehubungan dengan hal ini, McDevitt dan Ormrod
(2002) menulis: “Young children tend to define themselves in terms of external and
concrete characteristics. As they grow older, they begin to define themselves more in
terms of internal and abstract characteristics. ”
Karakteristik aspek-aspek sosial. Selama tahun-tahun sekolah dasar, aspek-aspek
sosial dari pemahaman dirinya juga meningkat. Dalam suatu investigasi, anak-anak
sekolah dasar seringkali menjadikan kelompok-kelompok sosial sebagai acuan
dalam deskripsi diri mereka (Livesly & Bromley, 1983). Misalnya, sejumlah anak
mengacu diri mereka sendiri sebagai Pramuka perempuan, sebagai seorang Katolik
atau sebagai seorang yang memiliki dua sahabat karib.
Karakteristik perbandingan sosial. Pemahaman diri anak-anak usia sekolah dasar
juga mengacu pada perbandingan sosial (social comparison). Pada tahap
perkembangan ini, anak-anak cenderung membedakan diri mereka dari orang lain
secara komparatif daripada secara absolut. Misalnya, anak-anak usia sekolah dasar
tidak lagi berpikir tentang "apa yang dapat aku lakukan dibandingkan dpngan "apa
yang dapat dilakukan oleh orang lain.” Pergeseran perkembangan ini jnenyebabkan
suatu kecenderungan yang meningkat untuk membentuk perbedaan-perbedaan
seseorang dari orang lain sebagai seorang individu.

Anda mungkin juga menyukai