Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PI STAKA

A. SelfEsteem

1. Pengertian SelfEsteem

Kepribadian sebagai salah satu aspek penting dari setiap individu mempunyai
arti yang sangat berharga. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila masalah
selfesteem menjadi salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam kehidupan
seseorang. SelfEsteem merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku seseorang. Branshaw (1981) menyatakan bahwa selfesteem merupakan
penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Menurut Coopersmith (1967) self
esteem merupakan suatu hasil dari penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri.
Penilaian diri ini dipengaruhi oleh sikap penghargaan dan penerimaan orang lain
terhadap individu yang diterima melalui interaksi sosialnya (Bee, 1981 dalam
Lestari,1995).

Selfesteem merupakan obyek dan kesadaran diri dan penentu penlaku, oleh
sebab itu perilaku merupakan indikasi dari self esteem individu yang
bersangkutan. Self esteem akan muncul dalam perilaku yang dapat diamati.
Seorang individu akan menyukai dan menghargai dirinya sendiri apabila ia
mampu menerima diri pribadinya. Penilaian terhadap diri sendiri ini akan

mempengaruhi proses berpikir, perasaan, kemginan atau keputusan-keputusan


yang diarnbil maupun tujuan hidupnya (Branden, 1981). Keadaan im akan

membawa individu menuju ke arah keberhasilan atau kegagalan hidup. Self

13
14

esteem adalah dimensi evaluatif global dari diri. Self esteem juga diacu sebagai
nilai diri dan citra diri.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa self


esteem merupakan penilaian terhadap dirinya sendiri yang dipengaruhi oleh

penghargaan dan penerimaan orang lain terhadap dirinya dimana ptoses tersebut

diperoleh dan interaksi dengan lingkungan, yang akan dimanifestasikan ke dalam

perilakunya.

2. Perkembangan SelfEsteem

Self esteem bukanlah merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan

faktor yang dapat dipelajari dan dapat dibentuk. Pandangan tentang selfesteem ini
berkembang secara bertahap sepanjang pengalaman hidup seorang individu.
Hurlock (1996) mengatakan bahwa self esteem terbentuk pada masa kanak-

kanak dan di masa remaja selfesteem akan mengalami kemapanan. Perkembangan


selfesteem ini bermula terhadap dirinya sendiri kemudian berkembang atas dasar
nilai yangdipelajari dari interaksinya dengan individu lain. „

Menurut psikologi perkembangan pengalaman afektif pada masa kanak-kanak

sangat ditekankan, karena hal ini sangat menentukan perasaan berharga pada diri
seorang anak. Dikatakan oleh Peiham dan Swann (Lestari, 1995) bahwa perasaan
berharga pada anak akan menjadi dasar untuk mengembangkan selfesteernnya.
Seiring dengan bertambahnya usia, anak mulai mengadakan kontak sosial
dengan lingkungan yang luas. Melalui pengalaman melakukan interaksi ini anak

akan mengembangkan gambaran dirinya melalui sikap dan respon orang lain
15

terhadap dirinya (Koentjara, 1989), Selain itu dengan bertambahnva usia, anak
mulai dapat mengembangkan sistem kognitifnya, yaitu kepercayaan diri dan cara
individu membuat kerangka penilaian dirinya, sehingga self esteem pada saat
selanjutnya akan ditentukan oleh faktor kognitif di samping faktor afektif(Pelham
dan Swann dalam Lestari, 1995).

Berdasarkan pendapat para ahli disimpulkan bahwa self esteem lebih


merupakan perkembangan dari faktor qfeksmya (Noesjirwan dalam Koentjara.
1989), yaitu:

a. Rasa ketergolongan yaitu adanya perasaan individu bahwa dirinya merupakan


bagian dari suatu kelompok yang ditenma dan dihargai oleh anggota
kelompok lainnya.

b. Rasa kemampuan, yaitu penilaian individu tentang dirinya sendiri berdasarkan


kemampuan untuk melakukan atau mencapai hal-hal yang diinginkannya.
Apabila ia berhasil mencapai hal tersebut secara efisien, ia akan menilai
dirinya positif sebaliknya apabila individu gagal mencapai kemgman maka ia
akan menilai dirinya secara negatif.

c. Rasa keberartian, yaitu perasaan individu bahwa dirinya berharga, mempunyai


arti dan nilai. Pandangan tersebut didasarkan atas apa yang diketahui tentang
dirinya dan berdasarkan pula atas penilaian orang lain tentang dirinya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa self esteem terbentuk
karena adanya interaksi dengan lingkungan, bukan merupakan faktor yang dibawa
sejak lahir. Selfesteem akan berkembang seiring dengan bertambahnva usia. Pada
16

akhirnya dapatlah dikatakan bahwa self esteem terbentuk selama pengalaman


hidup individu dalam hubungannya dengan diri sendiri dan dengan individu lain.

3. Ciri-ciri SelfEsteem

Self Esteem yang dimiliki oleh masing-masing individu akan berbeda satu
dengan lainnya, ada yang negatif dan ada yang positif. Coopersmith (1968)
mcngemukakan ciri-ciri selfesteem ke dalam tiga macam tingkatan, yaitu:
a. Jika individu mempunyai selfesteem yang positif maka individu tersebut akan
bersikap aktif, ekspresif, cenderung sukses dalam bidang akademis dan
kehidupan sosialnya, percaya diri, optimis dan mau menerima kritik dan
perbedaan pendapat.

b. Individu yang mempunyai self esteem sedang maka sikap-sikap individu


tersebut hampir sama dengan individu yang tingkat self esteemnya positif
tetapi menunjukkan kebimbangan dalam menilai dirinya sehingga ia
memhutuhkan dukungan sosial.

c. Untuk individu yang mempunyai self esteem negatif, mempunyai ciri-ciri


yaitu perasaan yang rendah diri, takut terhadap pendapat yang bertentangan
dengan dirinya, kurang suka menerima kritik dan mudah tersinggung.
Individu akan menunjukkan sikap-sikap tertentu yang merupakan manifestasi
ciri-ciri selfesteem yang dimilikinva. Individu yang mempunyai selfesteem yang
positif lebih mampu menghargai dan menghormati diri sendiri, berpandangan
bahwa dirinya sejajar dengan individu lain dan mengenali keterbatasannya (Frey
dan Carlock, 1984 dalam Handayam 1997). Individu ini cendenuw melihat
17

dirinya sebagai seorang yang berhasil dan realistis dalam melihat kemampuan dan
dalam hubungan interpersonal ia dapat dengan mudah menerima orang lain dan
orang Iain pun dapat dengan mudah menerima dirinya. (Di Vista dan Thompson
dalam Handayani, 1997). Individu yang mempunyai self esteem negatif sering
menunjukkan keputusasaan dan depresi atau tidak mampu mengekspresikan atau
mempertahankan diri, terlalu lemah untuk mengatasi dan menghadapi
kekurangannya, sering dihadapkan oleh persoalan-persoalan dari dalam dirinya
(Coopersmith, 1968), cenderung menolak dirinya, menunjukkan sifat tergantung.
kurang percaya diri dan biasanya mengalami kesulitan dalam proses sosialisasi
(Di Vista dan Thompson dalam Lestari, 1995).

Self esteem yang positif merupakan fungsi dari pengalaman masa lalu dan

adanya penguat positif terhadap usaha yang diiakukan oleh individu. Mereka yang
mengalami kesuksesan cenderung memiliki self esteem yang lebih positif daripada
individu yang mengalami kegagalan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa taraf selfesteem


berperan besar dalam kemampuan seseorang menghadapi lingkungan. Individu
dengan selfesteem positif lebih melihat dirinya sebagai individu yang berhasil
baik dalam bidang akademis maupun sosial, penuh percaya diri dan yakin akan
kemampuannya. Sebaiiknya individu dengan selfesteem negatifcenderung kurang
percaya diri dan menganggap dirinya tidak mampu menghadapi lingkungan
dengan efektif.
18

4. Aspek-aspek SelfEsteem

Coopersmith (1967, dalam Berns, 2003) menjelaskan hal-hal yang dapat


menaikkan self esteem seseorang adalah dengan keberhasilan yang diperoleh
selama dirinya berinteraksi dengan lingkungan. Keberhasilan itu sendiri meliputi
aspek-aspek berikut, yaitu

a. Power yaitu kamampuan untuk bisa mengatur dan mengontrol tingkah laku
orang lain yang didasarkan oleh adanya pengakuan dan rasa hormat yang
diterima individu dan orang lain..

b. Significance yaitu kepedulian, perhatian dan afeksi yang diterima individu dari
orang lain yang mengindikasikan penerimaan dan popularitas individu di
lingkungan sosialnya.

c. Virtue yaitu adanya suatu ketaatan untuk mengikuti standar moral dan etika

dimana individu akan memauhi tingkah laku yang harus dihindari dan
melakukan tingkah laku yang dibolehkan atau diharaskan untuk moral etika
dan agama.

d. Competence. Aspek mi menunjukkan adanya suatu kemampuan untuk sukses


memenuhi tuntunan prestasi yang ditandai dengan keberhasilan individu
dalam mengerjakan tugas dengan baik.

Dengan demikian jelas bahwa ada empat aspek yang mempengaruhi


keberhasilan seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan yaitu power,
significance, virtue dan competence.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi SelfEsteem:

Faktor yang dapat mempengaruhi self esteem dapat dibedakan menjadi dua
faktor yaitu faktor yang berasai dari dalam diri individu sendiri (internal) dan
faktor yang berasai dan luar diri individu (eksternal), antara lain:

a. Keadaan psikologi individu

Keadaan psikologi individu yang turut mempengaruhi positif atau negatifnya


self esteem menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan kcsukscsan dan
kegagalan yang dialami, sistem mekanisme pertahanan diri berdasarkan

pengalaman-pengalaman yang telah diialui individu terhadap kekuatan,


kompetisi dan nilai-nilai kebaikan.

b. Lingkungan keluarga

Keluarga merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi terbentuknya self


esteem, karena dari lingkungan keluarga milah tempat sosialtsasi pertama bagi
anak. Dari keluargalah anak merasa ditolak atau diterima, merasa berharga
atau tidak berharga, merasa dicintai atau tidak dicintai.

c. Lingkungan sosial

Menurut Coopersmith (1967) self esteem ini tidak terlepas dari pengaruh
lingkungan sosial, karena self esteem terbentuk dari interaksi dengan
lingkungan, khususnya lingkungan sosial.

Hal ini sejalan dengan pendapat Klass dan Hodge (Koentjara, 1989) yang
mengatakan bahwa self esteem terbentuk melalui interaksi individu dengan

lingkungan yang diperoleh melalui penerimaan, penghargaan, serta perilaku


orang lain terhadap individu yang bersangkutan.
d. Jem's kelamin

Pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap self esteem ditunjukkan oleh


Kimmei (dalam Koentjara, 1989) yang menyimpulkan pendapat dari para ahli
dan menyatakan bahwa wanita mempunyai selfesteem dan kepercayaan diri
yang lebih negatif bila dibanding pria.

Hal ini didukung pula oleh penelitian Coopersmith (1967), Leung dan Sand
(Lestari, 1995) yang menyatakan bahwa selfesteem pria sedikit lebih positif
daripada selfesteem wanita.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang


mempengaruhi selfesteem dapat dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor yang
berasai dari dalam diri individu sendiri (internal) dan faktor yang berasai dari luar
individu (eksternal). Faktor-faktor eksternal meliputi keadaan psikologi individu,
lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan jenis kelamin,

6. Hal-hal yang perlu Diperhatikan dalam Meningkatkan SelfEsteem


Seperti telah diuraikan di atas bahwa self esteem pada umumnya penting
dalam perkembangan kepribadian individu. Seseorang yang bennasalah dalam self
esteem pada umumnya gagal dalam mengembangkan potensi diri secara penuh.
Individu cenderung menjadi pendiam dan menunjukkan gejala-gejala kecemasan
yaitu gugup, sakit kepala, mudah tersinggung, canggung, merasa tidak aman,
menarik diri, bahkan mengalami gangguan emosi. Ada beberapa cara
meningkatkan self esteem seseorang. Menurut Miller (1990) self esteem masih
dimungkinkan untuk diubah dan diperbaiki. Menurut Coopersmith (1976), hal-hal

yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan selfesteem adalah;

a. Sikap

Sikap yang negatif merefleksikan keadaan individu yang lemah, inferior yang

mengarah pada kesimpulan ketidakberhargaan dan merasa tidak dapat

mempengaruhi orang lain atau kelompok tertentu. Selain itu sikap juga

merefleksikan harapan-harapan individu pada apa yang akan terjadi padanya

dalam satu situasi yang baru. Harapan-harapan terhadap kesuksesan nampak pada

sikap percaya diri, sedangkan harapan-harapan yang negatif memunculkan

kecemasan dan kurang persisten. Jadi orang-orang dengan sikap diri negatif akan

menempatkan nilai-nilai yang berbeda pada partisipasi sosialnya dalam berusaha.

b. Perilaku

Manifestasi perilaku orang yang memiliki self esteem negatif dan positif itu

berbeda. Individu yang self esteemnya positif cenderung dominan dan asertif

sedangkan orang yang self esteemnya negatif akan menarik diri dari pergaulan

sosial dan menilai dirinya negatif.

Secara umum ada tiga cara untuk memperbaiki yaitu:

1. Meningkatkan kesadaran dalam tiga area

a. Ideal diri

Ideal diri merupakan diri (self) yang diinginkan meliputi aspirasi, moral

ideal, dan nilai-nilai. Hal yang penting dalam ideal din adalah realistis atau

dapat tidaknya tujuan yang ditetapkan itu terwujud.


11

b. Konsep diri

Melihat diri sendiri secara jelas merupakan komponen yang sangat penting

dalam perkembangan selfesteem yang sehat. Metode untuk mengubah konsep

diri adalah belajar bagaimana memonitor pemyataan diri yang dimiliki.

c. Ketidaksesuaian antara ideal diri dan konsep diri

Individu menyadari adanya ketidaksesuaian antara ideal diri dan konsep diri

pada dirinya. Semakin lebar jurang antara konsep diri dan ideal diri maka

individu akan menolak diri dan membenei diri sendiri.

2. Penerimaan

Orang yang mempunyai penerimaan diri adalah orang yang menyadari area

yang masih perlu diubah dan dikembangkan.

3. Alternatif strategi memecahkan masalah

Ada tiga pendekatan umum yang dapat diiakukan yaitu evaluasi ulang konsep

diri, evaluasi ulang ideal dan mengubah arah ideal diri.

Untuk meningkatkan self esteem anak, ada empat cara yaitu:

1. Pengidentifikasian sebab-sebab rendahnya self esteem dan bidang-bidang

kompetensi yang penting bagi diri.

Harter (I960, dalam Santrock, 2002a) percaya bahwa intervensi harus terjadi

pada level penyebab self esteem bila selfesteem individual harus ditingkatkan

secara signifikan. Anak-anak memiliki self esteem yang paling positif bila

mereka berkompetensi dalam bidang-bidang yang penting bagi diri. Oleh

karena itu, anak-anak harus didorong untuk mengidentifikasi dan menilai

bidang-bidang kompetensi.
2. Dukungan emosional dan persetujuan sosial (social approval)

Dukungan emosional dan persetujuan sosial dalam bentuk konfirmasi dari

orang lain sangat mempengaruhi selfesteem anak-anak (Harter, 1990b dalam

Santrock, 2002a). Beberapa anak yang memiliki self esteem negatif biasanya

berasal dari keluarga atau kondisi konflik di mana mereka mengalami

pelecehan atau penyiksaan atau pengabaian, yakni situasi yang tidak

mendukung. Beberapa kasus, sumber-sumber dukungan altematif dapat

diperoleh, misalnya melalui dukungan guru, pelatih atau orang dewasa,

3. Prestasi

Prestasi dapat meningkatkan self esteem anak-anak (Bednar, Wells, &

Peterson, 1989 dalam Santrock, 2002a). Misalnya, pengajaran ketrampilan

nyata pada anak-anak seringkali berhasil meningkatkan prestasi dengan

demikian meningkatkan selfesteem.

4. Menghadapi masalah

Self esteem sering meningkat bila anak-anak mengalami suatu masalah dan

mencoba untuk menghadapinya, bukan malah menghmdarinya (Bednar,

Wells, & Peterson, 1989; Lazarus 1991 dalam Santrock, 2002a). Bila

menghadapi dan bukan menghindari maka anak-anak seringkali akan bersikap

dan bertindak realistis, jujur dan tidak defensif Hal ini akan menghasilkan

pemikiran evaluasi diri yang lebih mengunlungkan, yang menghasilkan self

generated approval, yang menaikkan self esteem. Sebaliknya, bila

menghindari masalah maka selfesteem akan negatif.


24

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Coopersmith

(1976) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan self esteem adalah

sikap dan perilaku. Adapun cara-cara untuk meningkatkan self esteem adalah

pengidentifikasian sebab-sebab negatitnya self esteem dan bidang-bidang

kompetensi yang penting bagi dirinya, dukungan emosional dan persetujuan sosial

(social approval), prestasi dan menghadapi masalah.

B. Persepsi terhadap Periakuan Orangtua

1. Pengertian Persepsi terhadap Periakuan Orangtua

Menurut Hurlock (1973) orangtua adalah orang dewasa yang membimbing

perkembangan anak ke tahap perkembangan selanjutnya, yaitu masa dewasa.

Tugas orangtua adalah melengkapi dan mempersiapkan anak menuju ke masa

dewasa dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat membantu

anak dalam menjalani kehidupan.

Persepsi menurut Young (1956 dalam Nasichah, 2002) menunjukkan adanya

suatu aktivitas dari mengidera, menginterpretasi dan memberi penilaian terhadap

obyek-obyek fisik maupun sosial. Persepsi sebenarnya merupakan rangkaian

proses, tidak sekedar mengindera atau menilai terhadap obyek. Seseorang yang

melihat obyek misalnya, selama belum menginterpretasi dan belum memberikan

penilaian, maka hal ini tidak dapat dikatakan sebagai persepsi.

Meier, Minirth dan Wichern (1984, dalam setyaningsih, 1997) mendefinisikan

persepsi sebagai proses timbulnya kesadaran yang segera terhadap sesuatu,


IS

khususnya terhadap penginderaan. Definisi ini menekankan spontanitas dalam

proses penginderaan.

Persepsi merupakan pandangan, pengamatan atau tanggapan individu terhadap

benda, kejadian, tingkah laku manusia atau hal-hal lam yang ditemuinya sehari-

hari (Crow dan Crow, 1976), sedangkan Allport (Setyaningsih, 1997)

menggainbarkan persepsi sebagai proses yang aktif. Persepsi terhadap obyek

psikologik yang berupa kejadian, idc atau situasi dipengaruhi oleh faktor

pengalaman, proses belajar, eakrawala dan pengetahuan. Faktor pengalaman dan

proses belajar memberikan bentuk pada obyek, sedangkan pengetahuan dan

eakrawala memberi arti terhadap obyek psikologik tersebut melalui komponen

kognisi yang menimbulkan konsep. Komponen afeksi memberikan evaluasi

emosional seperti perasaan senang dan tidak senang, sedangkan komponen konasi

menentukan kesediaan jawaban berupa tindakan terhadap obyek.

Periakuan orangtua adalah cara orangtua memperiakukan anak dan sikap

orangtua terhadap anak. Jika periakuan orangtua menguntungkan, maka

membentuk hubungan orangtua-anak yang baik. Periakuan orangtua juga dapat

berarti cara orangtua memberikan penghargaan dan hukuman terhadap anak.

(Hurlock, 1978).

Periakuan orangtua ini bisa terbentuk dari hasil interaksi antara anak dengan

orangtuanya. Dalam interaksi masing-masing saling mempengaruhi satu dengan

yang lain, masing-masing saling memberikan stimulus dan respon (Marx, 1976:

Young, 1956 dalam Walgito 1990). Dengan interaksi antara anak dengan orangtua

maka akan terbentuk gambaran-gambaran tertentu pada masing-masing pihak.


26

Dengan demikian anak mempunyai gambaran-gambaran tertentu mengenai

orangtuanya terutama sikap dan cara orangtua memperiakukan anak atau

sebaliknya dengan interaksi tersebut orangtua mempunyai gambaran mengenai

sikap anak. Hal serupa juga dikemukakan oleh Hurlock (1973) yang menyatakan

bahwa sikap orangtua mempengaruhi cara mereka memperiakukan anak dan

periakuan mereka terhadap anak akan mempengaruhi sikap dan perilaku anak

terhadap mereka. Hal tersebut sejalan dengan hasil observasi terhadap kasus

penyesuaian diri pada anak maupun orang dewasa yang buruk. Setelah ditelusuri

kembali ke hubungan awal orangtua dengan anak ternyata hubungan tersebut

kurang baik akibat sikap orangtua dalam memperiakukan anak.

Menurut Walgito (1990) terbentuknya sikap masing-masing pihak adalah

sebagai hasil persepsi masing-masing pihak terhadap obyek sikap. Sebagai contoh

misalnya bila anak menurut apa yang digariskan oleh orangtua, maka persepsi

orangtua terhadap anak tersebut sebagai anak penurut, anak yang baik dan

sebagainya, sehingga orangtua mempunyai sikap yang positif, sikap menerima

pada anak yang bersangkutan. Tetapi sebaliknya bila anak sering melanggar yang

digariskan oleh orangtua, maka persepsi orangtua terhadap anak tersebut sebagai

anak yang bandel, anak yang tak tahu aturan dan sebagainya, dan hal ini

menimbulkan sikap yang negatif, sikap menoiak pada anak yang bersangkutan.

Orangtua mungkin bersikeras, tak acuh atau bahkan menoiak pada anak yang

bersangkutan. Sikap tersebut didasarkan atas persepsi orangtua terhadap anak,

melihat perilaku anak sebagai perilaku yang tidak diharapkan, tidak diinginkan

oleh orangtua. Perilaku anak sebagai stimulus dan sikap orangtua sebagai
27

responnya. Demikian sebaliknya, sikap anak terhadap orangtua akan ditentukan

puia oleh bagaimana persepsi anak terhadap sikap dan perilaku orangtuanya. Bila
anak mempersepsi orangtuanya kurang baik, maka hal tersebut akan membentuk

sikap anak terhadap orangtuanya yang bersifat negatif, sikap yang kurang baik.
Sebaliknya bila orangtua dipersepsi anak sebagai orangtua yang baik, maka hal ini
juga akan membentuk sikap anak terhadap orangtua yang positif, sikap yang baik.
Oleh karena itu orangtua harus bijaksana, menyadari dengan baik akan posisinya
sebagai orangtua, perlu memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya. Salah
satunya dengan perbuatan dan hal-hal lain yang baik, karena orangtua akan
dijadikan modelnya (Bandura, 1977).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian periakuan


orangtua ditentukan oleh persepsi anak. Persepsi periakuan orangtua adalah
penilaian anak terhadap cara orangtua memperiakukan anak dan sikap orangtua
terhadap anak. Periakuan orangtua merupakan hasil dan interaksi orangtua dan
anak sehingga masing-masing saling memberikan stimulus dan respon.

2. Aspek-aspek Persepsi terhadap Periakuan Orangtua

Persepsi anak terhadap periakuan orangtua dipengaruhi oleh periakuan dan


sikap orangtua terhadap anak seperti yang telah dikemukakan di atas. Hubungan
orangtua dengan anak tergantung pada periakuan orangtua. Menurut Johnson dan

Medinus (1974) dalam melihat hubungan anak dengan orangtua pada umumnya
dapat dilihat dari dua arah yang terpisah satu dengan yang lain, yaitu dari segi
peneriniaan-penolakan (acceptance-rejection) dan oionomi-kontrol (autonomy-
control). Pendapat mi senada dengan yang dikemukakan oleh Hetherington dan
Parke (1977) yaitu warmth hostility dan restrictiveness-permissiveness.

Yang pertama berkaitan dengan kehangatan dan penolakan orangtua terhadap


anak, ini mempakan aspek hubungan emosional. Penerimaan orangtua terhadap
anak ini berarti adanya kehangatan emosi antara orangtua dengan anak. Pada
aspek penerimaan ditandai oleh orangtua yang merawat anak dengan perhatian
dan kasih sayang. Orangtua sangat memperhatikan perkembangan kemampuan
anak dan memperhitungkan minat anak. Anak yang diterima pada umumnya
memiliki ciri-ciri dapat bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal,
mempunyai kestabilan emosi dan ceria. Sebaliknya pada aspek penolakan, antara
orangtua dengan anak ada sikap bermusuhan, orangtua terlalu banyak menuntut
dan orangtua kurang memperhatikan kesejahteraan anak. Pada aspek mi orangtua
sendirilah yang menanamkan sikap permusuhan sehingga menimbulkan
munculnya sikap permusuhan pada anak terutama terhadap orang yang lebih
lemah dan kecil. Selain sikap permusuhan, aspek ini juga menumbuhkan dendairi,
perasaan tidak berdaya, frustrasi dan penlaku gugup

Aspek otonomi-kontrol atau restrictiveness-permissiveness mencerminkan


hubungan orangtua dengan anak dalam kaitannya dengan pemberian atau
penanaman disipiin pada anak. Pada suasana otonomi atau permisif orangtua
memberikan kebebasan pada anak, orangtua tidak atau kurang membenkan
kontrol kepada anak. Jika periakuan pemiisif ini tidak berlebihan mengakibatkan
anak menjadi cerdik, mandiri, memiliki penyesuaian sosial yang baik,
menumbuhkan kepercayaan diri, kreatif dan mempunyai sikap matang. Namun
jika periakuan permisif ini berlebihan maka akan menimbulkan akibat yang buruk

pada anak yaitu anak menjadi kurang mempunyai kepercayaan diri, agresif dan

menuruti keinginannya sendiri sehingga kurang bisa mengendalikan diri.

Pada kontrol/ restrictiveness orangtua sangat ketat memberikan kontrol

kepada anak-anaknya,orangtua memberikan pengarahan tertentu dan anak tinggal


menurut apa yang telah ditetapkan oleh orangtua, maka anak oleh orangtua

dianggap sebagai anak yang membandel, anak yang nakal dan istilah-istilah lain

yang menggambarkan bahwa anak tidak tunduk kepada apa yang telah ditetapkan

orangtua. Bila hal tersebut terjadi, maka jelas sikap orangtua akan tidak begitu

kepada anak yang bersangkutan. Sebaliknya bila anak menuruti apa yang telah

ditetapkan oleh orangtua kepadanya maka anak dimata orangtua dipandang


sebagai anak yang baik, anak yang penurut.

Berkaitan dengan penanaman disiplin pada anak, Hurlock (1978 dalam

Fatiasan, 2003) juga mengemukakan aspek-aspek periakuan orangtua dalam

menanamkan disiplin yaitu:

1, Cara Mendisiphn Otonter. Cara ini menggunakan peraturan dan pengaturan

yang keras untuk memaksakan perilaku yang diinginkan. Tehnik ini ditujukan

kepada anak yang tidak dapat memenuhi standar harapan orangtua berupa

hukuman badan. Cara memberikan disiplin otoriter mengakibatkan anak

kehilangan kesempatan untuk belajar mengendalikan perilaku.

2. Cara Mendisiphn Permisif. Periakuan orangtua tidak memberi batas-batas

terhadap perilaku anak, anak diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan
berbuat sesuai kehendak hati anak. Cara ini mengakibatkan anak bingung
untuk mengatasi masalah anak tanpa bimbingan atau pengendalian.

3. Cara Mendisiphn Demokratis, Cara ini menggunakan penjelasan, diskusi dan

penalaran untuk memberikan pengertian terhadap anak. Metode ini

rnenekankan aspek pendidikan daripada aspek hukumannya. Menggunakan


hukuman dan penghargaan, dengan penekanan yang lebih besar pada
penghargaan. Cara ini mengakibatkan anak dapat mengembangkan
pengendalian perilaku.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa


hubungan anak dan orangtua pada umumnya dilihat dari dua arah yang terpisah
satu dengan yang lain, yaitu dari segi penerimaan-penolakan (acceptance-
rejection) dan otonomi-kontrol (autonomy-control). Penerimaan-penolakan
(acceptance-rejection) ini berkaitan dengan kehangatan dan penolakan orangtua
kepada anak, ini merupakan aspek hubungan emosional. Penerimaan orangtua
terhadap anak ini berarti adanya kehangatan emosi antara orangtua dengan anak.
Anak yang ditenma pada umumnya memiliki ciri-ciri dapat bersosialisasi dengan
baik, kooperatif, ramah, loyal, mempunyai kestabilan emosi dan ceria. Sebaliknya
pada aspek penolakan, antara orangtua dengan anak ada sikap bermusuhan,
orangtua terlalu banyak menuntut dan orangtua kurang memperhatikan
kesejahteraan anak.

Pada segi otonomi kontrol/ restrictivenesss-permissiveness meneerminkan

hubungan orangtua dengan anak dalam kaitannya dengan dengan pemberian atau
penanaman disiplin pada anak. Pada suasana otonomi atau permisif orangtua
memberikan kebebasan pada anak, orangtua tidak atau kurang memberikan
kontrol. Jika periakuan permisif ini tidak beriebihan akan mengakibatkan anak
menjadi cerdik, mandiri, memiliki penyesuaian sosial yang baik, menumbuhkan

kepercayaan diri, kreatif dan mempunyai sikap matang. Namun jika beriebihan
akan menimbulkan akibat yang buruk pada anak yaitu anak menjadi kurang
percaya diri, agresif dan menuruti keinginannya sendiri sehingga kurang bisa
mengendalikan diri. Sebaliknya pada control restrictiveness orangtua sangat ketat
memberikan kontrol pada anak-anaknya, orangtua memberikan pengarahan
tertentu dan anak tinggal menurut apa yang telah ditetapkan oleh orangtua.
Bila anak salah menginterpretasikan perilaku orangtua dan yakin bahwa
orangtua menoiak atau kurang mencintai anak mengakibatkan anak merasa cemas,

merasa tidak aman dan merasa tidak berharga di depan orangtua. Periakuan
orangtua terhadap anak juga ditandai oleh cara orangtua menanamkan disiplin
terhadap anak, yaitu cara mendisiphn otoriter. Cara tersebut menggunakan
peraturan dan pengaturan yang keras untuk memaksakan perilaku yang
dringinkan. Teknik ini ditujukan kepada anak yang tidak dapat memenuhi standar
harapan orangtua berupa hukuman badan. Cara mendisiphn yang paling baik agar
anak dapat mengendalikan perilakunya adalah cara mendisiphn demokratis yaitu
dengan menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk memberikan

pengertian terhadap anak. Metode ini menekankan aspek pendidikan danpada


aspek hukumannya. Menggunakan hukuman dan penghargaan, dengan penekanan
yang lebih besar pada penghargaan.
C. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Periakuan Orangtua dengan Self

Esteem

Orangtua dituntut agar bisa membimhing dan mengarahkan anak dengan baik

karena anak mulai mengadakan hubungan langsung dengan lingkungan pertama-

tama adalah lingkungan keluarga terutama orangtua. Keluarga merupakan

lingkungan sosial yang pertama-tama bagi anak (Walgito, 1984). Dalam

lingkungan keluargalah anak mulai mengadakan persepsi baik mengenai hal-hal di

luar dirinya maupun mengenai dirinya sendiri. Dalam keluargalah anak mulai

terbentuk selfesteemnya. Dari lingkungan keluarga juga anak menyadari self dan

non-selfnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lingkungan keluarga,

terutama orangtua mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka

pembentukan selfesteem anak. (Buss, 1978; Coopersmith, 1967).

Dalam kaitannya dengan self esteem, Coopersmith (1967) mengungkapkan

bahwa sikap demokratik yang diterapkan orangtua merupakan sikap yang sangat

menguntungkan baik dalam segi keberartian, power, ketaatan maupun dalam segi

performance. Sebaliknya sikap otoriter dan sikap serba boleh, keduanya

merupakan sikap-sikap yang kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan

sikap demokratik, Sikap otoriter akan memperlemah keberartian, power dan

performance. Demikian pula sikap serba boleh akan dapat memperlemah dalam

segala segi, baik pada segi keberartian, power, ketaatan serta performance-nya.

Coopersmith (1968) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara sikap

orangtua dengan selfesteem anak memberikan hasil bahwa anak yang mempunyai

self esteem positif terdapat pada anak-anak yang orangtuanya mempunyai sikap
yang demokratik terhadap anak. Anak yang self esteemnya positif mempunyai

sifat-sifat aktif, ekspresif, suka memberikan pendapat, tidak menoiak bila dikritik,

mempunyai minat yang tinggi terhadap kejadian-kejadian dalam masyarakat,

percaya kepada diri sendiri,mempunyai sikap optimis dalam menghadapi masalah.

Sebaliknya anak yang self esteemnya negatif mempunyai sifat-sifat rendah diri,

tidak percaya pada diri sendiri, tidak senang bila dikritik, merasa terisolasi, pasif,

depresif, pesimistis dalam menghadapi masalah, suka menggantungkan kepada

orang lain.

Dalam penelitian mengenai relasi orangtua-anak dengan selfesteem, suatu alat

ukur selfesteem diberikan kepada anak laki-laki sekolah dasar, dan anak laki-laki

itu beserta ibunya diwawancarai tentang relasi keluarga mereka (Coopersmith,

1967 dalam Santrock, 2002). Berdasarkan penilaian (assesments) ini, perilaku-

perilaku orangtua berikut diasosiasikan dengan self esteem positif yang dimiliki

anak-anak, yaitu:

1. Ekspresi afeksi

2. Kepedulian terhadap masalah-masalah anak

3. Harmoni di dalam rumah (keluarga)

4. Partisipasi dalam kegiatan-kegiatan bersama keluarga

5. Kesiapan memberi bantuan yang kompeten dan terorganisasi kepada anak-

anak ketika mereka membutuhkannya

6. Penetapan aturan yang j elas dan adi 1

7. Ketaatan terhadap aturan ini


8. Pemberian kebebasan kepada anak-anak dalam batas-batas yang ditentukan

dengan jelas.

Demikian pula hasil penelitian Baumrind (1967a dalam Walgito, 1990)


menunjukkan hasil bahwa orangtua yang bersikap otoritatif memberikan pengaruh
baik dalam pembentukan self esteem anak, bila dibandingkan dengan sikap

orangtua yang otoriter dan permisif.

Para ahli perkembangan sepakat bahwa kualitas hubungan antara orang tua

dengan anak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya. Masalah


dalam keluarga (misalnya hubungan perkawman orang tua), periakuan orangtua

dan perilaku anak mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung

satu sama lain (Belsky dalam Santrock, 1999). Self esteem termasuk dalam

perilaku anak yang disebutkan di atas.

Menurut Johnson dan Medinus (1974) dalam melihat hubungan anak dengan

orangtua umumnya dapat dilihat dari dua arah yang terpisah satu dengan yang

lain, yaitu dari segi penerimaan-penolakan (acceptance-rejection) dan otonomi-

kontrol (autonomy-control). Pendapat ini senada dengan yang dikemukakan oleh

Hetherington dan Parke (1977) yaitu warmth hostility dan restrictiveness-

permissiveness.

Penerimaan-penolakan (acceptance-rejection) berkaitan dengan kehangatan dan

penolakan orangtua terhadap anak, ini merupakan aspek hubungan emosional.


Penerimaan orangtua terhadap anak ini berarti adanya kehangatan emosi antara

orangtua dengan anak. Pada aspek penerimaan ditandai oleh orangtua yang

merawat anak dengan perhatian dan kasih sayang terhadap anak. Orangtua sangat
memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat

anak, dengan sikap orangtua yang demikian membuat selfesteem anak meningkat

karena anak merasa kehadirannya dibutuhkan, diterima dan anak juga merasa

dirinya dihargai. Anak yang diterima pada umumnya memiliki ciri-ciri dapat

bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, mempunyai kestabilan emosi

dan ceria. Sebaliknya pada aspek penolakan, antara orangtua dengan anak ada

sikap bemiusuhan, orangtua terlalu banyak menuntut dan orangtua kurang

memperhatikan kesejahteraan anak. Pada aspek ini orangtua sendirilah yang

menanamkan sikap permusuhan sehingga menimbulkan munculnya sikap

permusuhan pada anak terutama terhadap orang yang lebih lemah dan kecil.

Selain sikap pemiusuhan, aspek ini juga menumbuhkan dendam, perasaan tidak

berdaya, frustasi, perilaku gugup dan menurunnya self esteem anak karena anak

merasa dirinya ditolak kehadirannya dan merasa bahwa dalam dirinya tidak ada

yang berharga.

Aspek otonomi-kontrol atau restrictiveness-permissiveness mencerminkan

hubungan orangtua dengan anak dalam kaitannya dengan pemberian atau

penanaman disiplin pada anak. Dalam suasana otonomi atau permisif orangtua

memberikab kebebasan pada anak, orangtua tidak atau kurang memberikan

kontrol kepada anak. Jika periakuan permisif tidak beriebihan dapat meningkatkan

self esteem anak, karena dengan kebebasan yang diberikan orangtua anak merasa

dirinya mempunyai kemampuan untuk mengurus diri sendiri. Dengan demikiam

anak merasa dirinya berharga di depan orangtuanya, Periakuan permisif yang

tidak beriebihan ini mengakibatkan anak menjadi cerdik, mandiri, memiliki


penyesuaian sosial yang baik, menumbuhkan kepercayaan diri, kreatif dan

mempunyai sikap matang. Namun jika periakuan permisif ini beriebihan maka

akan menimbulkan akibat yang buruk pada anak yaitu anak menjadi kurang

mempunyai kepercayaan diri, agresifdan menuruti keinginannya sendiri sehingga

kurang bisa mengendalikan diri. Sebaliknya pada kontrol/restrictiveness orangtua

sangat ketat memberikan kontrol kepada anak-anaknya, orangtua memberikan

pengarahan tertentu dan anak tinggal menurut apa yang telah ditetapkan oleh

orangtua, maka anak oleh orangtua dianggap sebagai anak yang membandel, anak

yang nakal dan istilah-istiiah lain yang menggambarkan bahwa anak tidak tunduk

kepada apa yang telah ditetapkan orangtua. Bila hal tersebut terjadi, maka jelas

sikap orangtua akan tidak begitu kepada anak yang bersangkutan. Sebaliknya bila

anak menuruti apa yang telah ditetapkan oleh orangtua kepadanya maka anak

dimata orangtua dipandang sebagai anak yang baik, anak yang penurui Namun,

kontrol/ restrictiveness dapat menurunkan self esteem anak karena dengan sikap

orangtua yang selalu mengontrol anak dengan ketat tersebut mengakibatkan anak

menjadi kurang percaya dm dengan kemampuannya, sehingga apapun

perilakunya hams di bawah kontrol orangtuanya. Anak juga merasa dirinya tidak

berharga karena setiap perilaku yang tidak sesuai dengan orangtua selalu salah.

D. Hipotesis Penelitian

Ada koreiasi positif antara persepsi periakuan orangtua dengan self esteem.

Semakin positif persepsi anak terhadap periakuan orangtua, maka semakin positif
JI

self esteem anak. Sebaliknya, semakin negatif persepsi anak terhadap perlakuan
orangtua maka semakin negatif.self esteem anak.

Anda mungkin juga menyukai