TINJAUAN PI STAKA
A. SelfEsteem
1. Pengertian SelfEsteem
Kepribadian sebagai salah satu aspek penting dari setiap individu mempunyai
arti yang sangat berharga. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila masalah
selfesteem menjadi salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam kehidupan
seseorang. SelfEsteem merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku seseorang. Branshaw (1981) menyatakan bahwa selfesteem merupakan
penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Menurut Coopersmith (1967) self
esteem merupakan suatu hasil dari penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri.
Penilaian diri ini dipengaruhi oleh sikap penghargaan dan penerimaan orang lain
terhadap individu yang diterima melalui interaksi sosialnya (Bee, 1981 dalam
Lestari,1995).
Selfesteem merupakan obyek dan kesadaran diri dan penentu penlaku, oleh
sebab itu perilaku merupakan indikasi dari self esteem individu yang
bersangkutan. Self esteem akan muncul dalam perilaku yang dapat diamati.
Seorang individu akan menyukai dan menghargai dirinya sendiri apabila ia
mampu menerima diri pribadinya. Penilaian terhadap diri sendiri ini akan
13
14
esteem adalah dimensi evaluatif global dari diri. Self esteem juga diacu sebagai
nilai diri dan citra diri.
penghargaan dan penerimaan orang lain terhadap dirinya dimana ptoses tersebut
perilakunya.
2. Perkembangan SelfEsteem
Self esteem bukanlah merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan
faktor yang dapat dipelajari dan dapat dibentuk. Pandangan tentang selfesteem ini
berkembang secara bertahap sepanjang pengalaman hidup seorang individu.
Hurlock (1996) mengatakan bahwa self esteem terbentuk pada masa kanak-
sangat ditekankan, karena hal ini sangat menentukan perasaan berharga pada diri
seorang anak. Dikatakan oleh Peiham dan Swann (Lestari, 1995) bahwa perasaan
berharga pada anak akan menjadi dasar untuk mengembangkan selfesteernnya.
Seiring dengan bertambahnya usia, anak mulai mengadakan kontak sosial
dengan lingkungan yang luas. Melalui pengalaman melakukan interaksi ini anak
akan mengembangkan gambaran dirinya melalui sikap dan respon orang lain
15
terhadap dirinya (Koentjara, 1989), Selain itu dengan bertambahnva usia, anak
mulai dapat mengembangkan sistem kognitifnya, yaitu kepercayaan diri dan cara
individu membuat kerangka penilaian dirinya, sehingga self esteem pada saat
selanjutnya akan ditentukan oleh faktor kognitif di samping faktor afektif(Pelham
dan Swann dalam Lestari, 1995).
3. Ciri-ciri SelfEsteem
Self Esteem yang dimiliki oleh masing-masing individu akan berbeda satu
dengan lainnya, ada yang negatif dan ada yang positif. Coopersmith (1968)
mcngemukakan ciri-ciri selfesteem ke dalam tiga macam tingkatan, yaitu:
a. Jika individu mempunyai selfesteem yang positif maka individu tersebut akan
bersikap aktif, ekspresif, cenderung sukses dalam bidang akademis dan
kehidupan sosialnya, percaya diri, optimis dan mau menerima kritik dan
perbedaan pendapat.
dirinya sebagai seorang yang berhasil dan realistis dalam melihat kemampuan dan
dalam hubungan interpersonal ia dapat dengan mudah menerima orang lain dan
orang Iain pun dapat dengan mudah menerima dirinya. (Di Vista dan Thompson
dalam Handayani, 1997). Individu yang mempunyai self esteem negatif sering
menunjukkan keputusasaan dan depresi atau tidak mampu mengekspresikan atau
mempertahankan diri, terlalu lemah untuk mengatasi dan menghadapi
kekurangannya, sering dihadapkan oleh persoalan-persoalan dari dalam dirinya
(Coopersmith, 1968), cenderung menolak dirinya, menunjukkan sifat tergantung.
kurang percaya diri dan biasanya mengalami kesulitan dalam proses sosialisasi
(Di Vista dan Thompson dalam Lestari, 1995).
Self esteem yang positif merupakan fungsi dari pengalaman masa lalu dan
adanya penguat positif terhadap usaha yang diiakukan oleh individu. Mereka yang
mengalami kesuksesan cenderung memiliki self esteem yang lebih positif daripada
individu yang mengalami kegagalan.
4. Aspek-aspek SelfEsteem
a. Power yaitu kamampuan untuk bisa mengatur dan mengontrol tingkah laku
orang lain yang didasarkan oleh adanya pengakuan dan rasa hormat yang
diterima individu dan orang lain..
b. Significance yaitu kepedulian, perhatian dan afeksi yang diterima individu dari
orang lain yang mengindikasikan penerimaan dan popularitas individu di
lingkungan sosialnya.
c. Virtue yaitu adanya suatu ketaatan untuk mengikuti standar moral dan etika
dimana individu akan memauhi tingkah laku yang harus dihindari dan
melakukan tingkah laku yang dibolehkan atau diharaskan untuk moral etika
dan agama.
Faktor yang dapat mempengaruhi self esteem dapat dibedakan menjadi dua
faktor yaitu faktor yang berasai dari dalam diri individu sendiri (internal) dan
faktor yang berasai dan luar diri individu (eksternal), antara lain:
b. Lingkungan keluarga
c. Lingkungan sosial
Menurut Coopersmith (1967) self esteem ini tidak terlepas dari pengaruh
lingkungan sosial, karena self esteem terbentuk dari interaksi dengan
lingkungan, khususnya lingkungan sosial.
Hal ini sejalan dengan pendapat Klass dan Hodge (Koentjara, 1989) yang
mengatakan bahwa self esteem terbentuk melalui interaksi individu dengan
Hal ini didukung pula oleh penelitian Coopersmith (1967), Leung dan Sand
(Lestari, 1995) yang menyatakan bahwa selfesteem pria sedikit lebih positif
daripada selfesteem wanita.
a. Sikap
Sikap yang negatif merefleksikan keadaan individu yang lemah, inferior yang
mempengaruhi orang lain atau kelompok tertentu. Selain itu sikap juga
dalam satu situasi yang baru. Harapan-harapan terhadap kesuksesan nampak pada
kecemasan dan kurang persisten. Jadi orang-orang dengan sikap diri negatif akan
b. Perilaku
Manifestasi perilaku orang yang memiliki self esteem negatif dan positif itu
berbeda. Individu yang self esteemnya positif cenderung dominan dan asertif
sedangkan orang yang self esteemnya negatif akan menarik diri dari pergaulan
a. Ideal diri
Ideal diri merupakan diri (self) yang diinginkan meliputi aspirasi, moral
ideal, dan nilai-nilai. Hal yang penting dalam ideal din adalah realistis atau
b. Konsep diri
Melihat diri sendiri secara jelas merupakan komponen yang sangat penting
Individu menyadari adanya ketidaksesuaian antara ideal diri dan konsep diri
pada dirinya. Semakin lebar jurang antara konsep diri dan ideal diri maka
2. Penerimaan
Orang yang mempunyai penerimaan diri adalah orang yang menyadari area
Ada tiga pendekatan umum yang dapat diiakukan yaitu evaluasi ulang konsep
Harter (I960, dalam Santrock, 2002a) percaya bahwa intervensi harus terjadi
pada level penyebab self esteem bila selfesteem individual harus ditingkatkan
secara signifikan. Anak-anak memiliki self esteem yang paling positif bila
bidang-bidang kompetensi.
2. Dukungan emosional dan persetujuan sosial (social approval)
Santrock, 2002a). Beberapa anak yang memiliki self esteem negatif biasanya
3. Prestasi
4. Menghadapi masalah
Self esteem sering meningkat bila anak-anak mengalami suatu masalah dan
Wells, & Peterson, 1989; Lazarus 1991 dalam Santrock, 2002a). Bila
dan bertindak realistis, jujur dan tidak defensif Hal ini akan menghasilkan
(1976) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan self esteem adalah
sikap dan perilaku. Adapun cara-cara untuk meningkatkan self esteem adalah
kompetensi yang penting bagi dirinya, dukungan emosional dan persetujuan sosial
proses, tidak sekedar mengindera atau menilai terhadap obyek. Seseorang yang
proses penginderaan.
benda, kejadian, tingkah laku manusia atau hal-hal lam yang ditemuinya sehari-
psikologik yang berupa kejadian, idc atau situasi dipengaruhi oleh faktor
emosional seperti perasaan senang dan tidak senang, sedangkan komponen konasi
(Hurlock, 1978).
Periakuan orangtua ini bisa terbentuk dari hasil interaksi antara anak dengan
yang lain, masing-masing saling memberikan stimulus dan respon (Marx, 1976:
Young, 1956 dalam Walgito 1990). Dengan interaksi antara anak dengan orangtua
sikap anak. Hal serupa juga dikemukakan oleh Hurlock (1973) yang menyatakan
periakuan mereka terhadap anak akan mempengaruhi sikap dan perilaku anak
terhadap mereka. Hal tersebut sejalan dengan hasil observasi terhadap kasus
penyesuaian diri pada anak maupun orang dewasa yang buruk. Setelah ditelusuri
sebagai hasil persepsi masing-masing pihak terhadap obyek sikap. Sebagai contoh
misalnya bila anak menurut apa yang digariskan oleh orangtua, maka persepsi
orangtua terhadap anak tersebut sebagai anak penurut, anak yang baik dan
pada anak yang bersangkutan. Tetapi sebaliknya bila anak sering melanggar yang
digariskan oleh orangtua, maka persepsi orangtua terhadap anak tersebut sebagai
anak yang bandel, anak yang tak tahu aturan dan sebagainya, dan hal ini
menimbulkan sikap yang negatif, sikap menoiak pada anak yang bersangkutan.
Orangtua mungkin bersikeras, tak acuh atau bahkan menoiak pada anak yang
melihat perilaku anak sebagai perilaku yang tidak diharapkan, tidak diinginkan
oleh orangtua. Perilaku anak sebagai stimulus dan sikap orangtua sebagai
27
puia oleh bagaimana persepsi anak terhadap sikap dan perilaku orangtuanya. Bila
anak mempersepsi orangtuanya kurang baik, maka hal tersebut akan membentuk
sikap anak terhadap orangtuanya yang bersifat negatif, sikap yang kurang baik.
Sebaliknya bila orangtua dipersepsi anak sebagai orangtua yang baik, maka hal ini
juga akan membentuk sikap anak terhadap orangtua yang positif, sikap yang baik.
Oleh karena itu orangtua harus bijaksana, menyadari dengan baik akan posisinya
sebagai orangtua, perlu memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya. Salah
satunya dengan perbuatan dan hal-hal lain yang baik, karena orangtua akan
dijadikan modelnya (Bandura, 1977).
Medinus (1974) dalam melihat hubungan anak dengan orangtua pada umumnya
dapat dilihat dari dua arah yang terpisah satu dengan yang lain, yaitu dari segi
peneriniaan-penolakan (acceptance-rejection) dan oionomi-kontrol (autonomy-
control). Pendapat mi senada dengan yang dikemukakan oleh Hetherington dan
Parke (1977) yaitu warmth hostility dan restrictiveness-permissiveness.
pada anak yaitu anak menjadi kurang mempunyai kepercayaan diri, agresif dan
dianggap sebagai anak yang membandel, anak yang nakal dan istilah-istilah lain
yang menggambarkan bahwa anak tidak tunduk kepada apa yang telah ditetapkan
orangtua. Bila hal tersebut terjadi, maka jelas sikap orangtua akan tidak begitu
kepada anak yang bersangkutan. Sebaliknya bila anak menuruti apa yang telah
yang keras untuk memaksakan perilaku yang diinginkan. Tehnik ini ditujukan
kepada anak yang tidak dapat memenuhi standar harapan orangtua berupa
terhadap perilaku anak, anak diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan
berbuat sesuai kehendak hati anak. Cara ini mengakibatkan anak bingung
untuk mengatasi masalah anak tanpa bimbingan atau pengendalian.
hubungan orangtua dengan anak dalam kaitannya dengan dengan pemberian atau
penanaman disiplin pada anak. Pada suasana otonomi atau permisif orangtua
memberikan kebebasan pada anak, orangtua tidak atau kurang memberikan
kontrol. Jika periakuan permisif ini tidak beriebihan akan mengakibatkan anak
menjadi cerdik, mandiri, memiliki penyesuaian sosial yang baik, menumbuhkan
kepercayaan diri, kreatif dan mempunyai sikap matang. Namun jika beriebihan
akan menimbulkan akibat yang buruk pada anak yaitu anak menjadi kurang
percaya diri, agresif dan menuruti keinginannya sendiri sehingga kurang bisa
mengendalikan diri. Sebaliknya pada control restrictiveness orangtua sangat ketat
memberikan kontrol pada anak-anaknya, orangtua memberikan pengarahan
tertentu dan anak tinggal menurut apa yang telah ditetapkan oleh orangtua.
Bila anak salah menginterpretasikan perilaku orangtua dan yakin bahwa
orangtua menoiak atau kurang mencintai anak mengakibatkan anak merasa cemas,
merasa tidak aman dan merasa tidak berharga di depan orangtua. Periakuan
orangtua terhadap anak juga ditandai oleh cara orangtua menanamkan disiplin
terhadap anak, yaitu cara mendisiphn otoriter. Cara tersebut menggunakan
peraturan dan pengaturan yang keras untuk memaksakan perilaku yang
dringinkan. Teknik ini ditujukan kepada anak yang tidak dapat memenuhi standar
harapan orangtua berupa hukuman badan. Cara mendisiphn yang paling baik agar
anak dapat mengendalikan perilakunya adalah cara mendisiphn demokratis yaitu
dengan menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk memberikan
Esteem
Orangtua dituntut agar bisa membimhing dan mengarahkan anak dengan baik
luar dirinya maupun mengenai dirinya sendiri. Dalam keluargalah anak mulai
terbentuk selfesteemnya. Dari lingkungan keluarga juga anak menyadari self dan
bahwa sikap demokratik yang diterapkan orangtua merupakan sikap yang sangat
menguntungkan baik dalam segi keberartian, power, ketaatan maupun dalam segi
performance. Demikian pula sikap serba boleh akan dapat memperlemah dalam
segala segi, baik pada segi keberartian, power, ketaatan serta performance-nya.
orangtua dengan selfesteem anak memberikan hasil bahwa anak yang mempunyai
self esteem positif terdapat pada anak-anak yang orangtuanya mempunyai sikap
yang demokratik terhadap anak. Anak yang self esteemnya positif mempunyai
sifat-sifat aktif, ekspresif, suka memberikan pendapat, tidak menoiak bila dikritik,
Sebaliknya anak yang self esteemnya negatif mempunyai sifat-sifat rendah diri,
tidak percaya pada diri sendiri, tidak senang bila dikritik, merasa terisolasi, pasif,
orang lain.
ukur selfesteem diberikan kepada anak laki-laki sekolah dasar, dan anak laki-laki
perilaku orangtua berikut diasosiasikan dengan self esteem positif yang dimiliki
anak-anak, yaitu:
1. Ekspresi afeksi
dengan jelas.
Para ahli perkembangan sepakat bahwa kualitas hubungan antara orang tua
dan perilaku anak mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung
satu sama lain (Belsky dalam Santrock, 1999). Self esteem termasuk dalam
Menurut Johnson dan Medinus (1974) dalam melihat hubungan anak dengan
orangtua umumnya dapat dilihat dari dua arah yang terpisah satu dengan yang
permissiveness.
orangtua dengan anak. Pada aspek penerimaan ditandai oleh orangtua yang
merawat anak dengan perhatian dan kasih sayang terhadap anak. Orangtua sangat
memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat
anak, dengan sikap orangtua yang demikian membuat selfesteem anak meningkat
karena anak merasa kehadirannya dibutuhkan, diterima dan anak juga merasa
dirinya dihargai. Anak yang diterima pada umumnya memiliki ciri-ciri dapat
dan ceria. Sebaliknya pada aspek penolakan, antara orangtua dengan anak ada
permusuhan pada anak terutama terhadap orang yang lebih lemah dan kecil.
Selain sikap pemiusuhan, aspek ini juga menumbuhkan dendam, perasaan tidak
berdaya, frustasi, perilaku gugup dan menurunnya self esteem anak karena anak
merasa dirinya ditolak kehadirannya dan merasa bahwa dalam dirinya tidak ada
yang berharga.
penanaman disiplin pada anak. Dalam suasana otonomi atau permisif orangtua
kontrol kepada anak. Jika periakuan permisif tidak beriebihan dapat meningkatkan
self esteem anak, karena dengan kebebasan yang diberikan orangtua anak merasa
mempunyai sikap matang. Namun jika periakuan permisif ini beriebihan maka
akan menimbulkan akibat yang buruk pada anak yaitu anak menjadi kurang
pengarahan tertentu dan anak tinggal menurut apa yang telah ditetapkan oleh
orangtua, maka anak oleh orangtua dianggap sebagai anak yang membandel, anak
yang nakal dan istilah-istiiah lain yang menggambarkan bahwa anak tidak tunduk
kepada apa yang telah ditetapkan orangtua. Bila hal tersebut terjadi, maka jelas
sikap orangtua akan tidak begitu kepada anak yang bersangkutan. Sebaliknya bila
anak menuruti apa yang telah ditetapkan oleh orangtua kepadanya maka anak
dimata orangtua dipandang sebagai anak yang baik, anak yang penurui Namun,
kontrol/ restrictiveness dapat menurunkan self esteem anak karena dengan sikap
orangtua yang selalu mengontrol anak dengan ketat tersebut mengakibatkan anak
perilakunya hams di bawah kontrol orangtuanya. Anak juga merasa dirinya tidak
berharga karena setiap perilaku yang tidak sesuai dengan orangtua selalu salah.
D. Hipotesis Penelitian
Ada koreiasi positif antara persepsi periakuan orangtua dengan self esteem.
Semakin positif persepsi anak terhadap periakuan orangtua, maka semakin positif
JI
self esteem anak. Sebaliknya, semakin negatif persepsi anak terhadap perlakuan
orangtua maka semakin negatif.self esteem anak.