Anda di halaman 1dari 33

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Self Esteem

1. Definisi Self Esteem

Self esteem merupakan cara bagaimana individu melakukan evaluasi terhadap diri. Evaluasi

ini akan memperlihatkan bagaimana penilaian individu mengenai penghargaan terhadap diri,

percaya bahwa individu memiliki kemampuan atau tidak, serta adanya pengakuan atau tidak.

Definisi self esteem menurut Coopersmith (1967), self esteem merupakan evaluasi yang dibuat

individu dan kebiasaan memandang diri, terutama mengenai sikap menerima atau menolak, dan

indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap keberartian, kemampuannya, kesuksesan, dan

keberhargaan.

Beane (1987), menyatakan bahwa self esteem berhubungan dengan efikasi diri individu

tentang yang bernilai dalam dirinya. Individu yang tidak menghargai atau menghormati dirinya

sendiri akan merasa kurang percaya diri dan banyak berjuang dengan segala keterbatasan dirinya,

sehingga sering mereka terlibat dalam tingkah laku yang salah atau rentan untuk dieksploitasi dan

disalahgunakan oleh orang lain. Individu yang memiliki perasaan menghargai diri yang rendah

timbul karena persepsi yang subjektif dan tidak selalu akurat dengan pandangan orang lain. Rasa

menghargai diri yang rendah seringkali berasal dari perbandingan yang tidak menyenangkan

tentang dirinya sendiri dan orang lain. Menurut Rosenberg (1982), bahwa individu yang memiliki

self esteem tinggi akan menghormati dirinya dan menganggap dirinya sebagai individu yang

berguna, sedangkan individu yang memiliki self esteem yang rendah kurang mampu menerima

dirinya dan cenderung menganggap diri tidak berguna serta serba kekurangan.
2

Dapat disimpulkan bahwa self esteem menggambarkan sejauh mana individu tersebut

menilai dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten.

Individiu dengan self esteem tinggi menunjukkan perilaku menerima diri apa adanya, percaya diri,

puas dengan karakter, dan kemampuan diri sedangkan individu yang memiliki self esteem rendah,

akan menunjukkan penghargaan buruk terhadap diri sehingga kurang mampu menyesuaikan diri

dengan lingkungan sosial.

2. Aspek-Aspek Self Esteem

Menurut Coopersmith (1967) self-esteem merupakan penilaian diri yang dilakukan oleh

seorang individu dan cenderung berkaitan dengan diri sendiri, evaluasi diri tersebut merupakan

hasil interaksi antara individu dengan lingkungan serta perlakuan orang lain terhadap dirinya.

Penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukan seberapa jauh

individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, serta berharga. Perkembangan self

esteem pada individu akan berpengaruh terhadap proses pemikiran, perasaan-perasaan, keinginan-

keinginan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan. Aspek-aspek pada self esteem menurut Coopersmith

(1967) adalah:

a. Keberartian (significance)

Keberartian atau significance merupakan sikap yang menunjukkan kepedulian, perhatian,

afeksi, dan ekspresi cinta yang diterima oleh individu dari lingkungan atau orang lain. Adanya

penerimaan dari lingkungan yang ditandai dengan kehangatan, ketertarikan lingkungan

terhadap individu, dan penerimaan dari lingkungan dengan apa adanya terhadap individu.

b. Kompetensi (Competence)

Setiap individu memiliki kemampuan atau competence yang berbeda dalam menunjukkan

performasi. Performasi yang tinggi dibutuhkan untuk mencapai sebuah prestasi (need of
3

achievement).Terjadi peningkatan self esteem yang lebih tinggi pada masa remaja ketika

mencapai tujuan. Remaja yang menghadapi masalah dan mampu untuk mengatasi masalah

mengalami peningkatan pada self esteem.

c. Kekuatan (Power)

Kekuatan atau power adalah kemampuan individu untuk dapat mengatur dan mengontrol

perilaku dan mendapatkan pengakuan dari orang lain. Kekuatan atau power ditunjukkan dengan

adanya pengakuan dan penghormatan yang diterima oleh individu dari orang lain. kemampuan

mengajukan pendapat yang berkualitas, serta penerimaan pendapat yang diutarakan oleh

individu pada orang lain.

d. Kebajikan (Virtue)

Kebajikan atau virtue merupakan suatu ketaatan untuk mengikuti aturan-aturan yang berlaku dalam

masyarakat, moral, etika, dan agama. Individu menghindari hal-hal yang buruk dan melakukan perilaku

yang baik menurut aturan, moral, etika, dan agama yang berlaku. Individu yang memiliki sikap

positif cenderung dapat membuat evaluasi positif terhadap diri, yang berarti individu dapat

mengembangkan self esteem positif terhadap diri sendiri.

Menurut Braden (dalam Coopersmith, 1967) hal-hal yang dapat menghambat pembentukan

self esteem adalah:

a. Perasaan takut dalam kehidupan sehari-hari untuk menempatkan diri secara realistis. Cara

menempatkan diri ini berbeda bagi setiap individu. Ada yang menghadapi fakta-fakta

kehidupan dengan penuh keberanian akan tetapi ada juga yang menghadapi dengan perasaan

yang tidak berdaya. Pangkal dari pada perasaan tidak berdaya ini adalah negatif terhadap

individu sehingga individu hidup dalam ketakutan. Ketakutan ini akan memengaruhi alam

perasaan individu, sehingga akan mengganggu keseimbangan alam emosinya, dan dalam
4

keadaan emosi yang labil, individu tidak dapat berfikir secara wajar, segala sesuatu diluar

dirinya dipersepsikan secara terdistorsi. Kecemasan ini akan membuat individu ragu-ragu yang

berarti tidak menunjang pembentukan self esteem.

b. Perasaan bersalah, terdapat 2 macam perasaan bersalah digolongkan menurut cara individu

mengalaminya yaitu:

1) Perasaan salah karena melanggar nilai-nilai moral sendiri. Perasaan ini dimiliki individu

yang mempunyai pegangan hidup berdasarkan kesadaran dan keyakinan sendiri. Individu

telah menentukan kriterianya mengenai mana yang baik dan buruk.

2) Individu menghayati kesalahannya sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai kehidupan yang

tidak ditanamkan oleh orang-orang penting dalam kehidupannya. Apabila individu dididik

untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, maka akan mengatasi secara represif yaitu

mencoba melupakan, menghilangkannya dalam alam bawah sadar. Rasa bersalah akan

bertambah besar dan lambat laun akan menjelma dalam bentuk kecemasan.

Coopersmith (1967), menyimpulkan 4 faktor utama yang memberi kontribusi pada

perkembangan self esteem, yaitu:

a. Respectful

Penerimaan dan perlakukan yang diterima individu dari significant others. Significant

others adalah orang yang penting dan berarti bagi individu, dimana individu menyadari peran

dari significant others dalam memberi dan menghilangkan ketidaknyamanan, meningkatkan

dan mengurangi ketidakberdayaan serta meningkatkan dan mengurangi keberhargaan diri. Self

esteem bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi merupakan faktor yang

dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu ketika berinteraksi dengan lingkungan
5

sosialnya. Dalam berinteraksi tersebut akan terbentuk suatu penilaian atas dirinya berdasarkan

reaksi yang ia terima dari orang lain.

b. Keberhasilan, status dan posisi yang pernah dicapai individu

Status dan posisi yang pernah dicapai individu tersebut akan membentuk suatu penilaian

terhadap dirinya, berdasarkan dari penghargaan yang diterima dari orang lain. Status

merupakan suatu perwujudan dari keberhasilan yang diindikasikan dengan pengakuan dan

penerimaan dirinya oleh masyarakat.

c. Nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi

Pengamalan-pengalaman individu akan diinterpretasi dan dimodifikasi sesuai dengan

nilai-nilai dan aspirasi yang dimilikinya. Individu akan memberikan penilaian yang berbeda

terhadap berbagai bidang kemampuan dan prestasinya. Perbedaan ini merupakan fungsi dari

nilai-nilai yang mereka internalisasikan dari orang tua dan individu lain yang signifikan dalam

hidupnya. Individu pada semua tingkat self esteem mungkin memberikan standar nilai yang

sama untuk menilai keberhargaannya, namun akan berbeda dalam hal bagaimana mereka

menilai pencapaian tujuan yang telah diraihnya.

d. Cara individu merespon evaluasi terhadap dirinya

Individu dapat mengurangi, mengubah, atau menekan dengan kuat perlakuan yang

merendahkan diri dari orang lain atau lingkungan, salahsatunya adalah ketika individu

mengalami kegagalan. Pemaknaan individu terhadap kegagalan tergantung pada caranya

mengatasi situasi tersebut, tujuan, dan aspirasinya. Cara individu mengatasi kegagalan akan

mencerminkan bagaimana ia mempertahankan self esteem dari perasaan tidak mampu, tidak

berkuasa, tidak berarti, dan tidak bermoral. Individu yang dapat mengatasi kegagalan dan

kekurangannya adalah dapat mempertahankan self esteem.


6

B. Citra Tubuh

1. Definisi Citra Tubuh

Papalia, Olds, dan Feldman (2008) mengartikan citra tubuh sebagai keyakinan deskriptif dan

evaluasi individu terhadap penampilan. Citra tubuh (body image) merupakan evaluasi dari

pengalaman subjektif individu tentang persepsi, pikiran, dan perasaan serta sikap terhadap

penampilan tubuh individu. Hal ini diperkuat oleh pendapat Fallon dan Ackard (dalam Cash dan

Pruzinky, 2002) yang menyatakan bahwa citra tubuh merupakan representasi mental dari tubuh

yang meliputi persepsi dari penampilan, perasaan dan pikiran tentang tubuh, bagaimana rasanya

berada di dalam tubuh, dan fungsi-fungsi tubuh dan kemampuannya. Cash (dalam Mukhlis 2013),

juga mengatakan bahwa citra tubuh mulai terbentuk pada saat anak-anak prasekolah

menginternalisasikan pesan-pesan dan standar-standar dari masyarakat dan kemudian menilai diri

mereka sendiri berdasarkan standar-standar tersebut.

Citra tubuh merupakan pemikiran individu mengenai penampilan tubuh yang menarik di

hadapan orang lain (Chaplin, 2011). Menurut Honigman dan Castle (2007) citra tubuh adalah

gambaran mental individu terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana individu

mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran

dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya.

Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa citra tubuh adalah persepsi, penilaian, dan

gambaran mental individu mengenai bentuk dan ukuran tubuh, serta bagaimana individu

mempersepsikan dan memberikan penilaian mengenai apa yang dipikiran, dirasakan terhdap

bentuk tubuh yang dimiliki, dan adanya persepsi terhadap diri sendiri dari sudut pandang orang
7

lain. Citra tubuh berhubungan dengan bagaimana individu melakukan evaluasi mengenai

penampilan diri.

2. Aspek-aspek Citra Tubuh

Perasaan mengenai bagian-bagian tubuh, penampilan, aspek perbandingan diri dengan orang

lain, serta aspek reaksi dengan orang lain mewakili tingkat kepuasan dan ketidakpuasan individu

terhadap tubuh dan sikap diwakili oleh harapan-harapan terhadap tubuh dengan akibat menjadi

tindakan demi mewujudkan harapan tersebut (Anwar, 2004). Hardy dan Hayes (1988) menyatakan

bahwa tingkat penerimaan citra tubuh sebagian besar individu didasarkan pada pengaruh sosial

budaya yang terdiri dari empat aspek yaitu, reaksi orang lain, perbandingan dengan orang lain,

peranan individu, dan indentifikasi terhadap orang lain.

Citra tubuh dalam Multidimensional Body-Self Relations Questions Appearance

Scales (MBSRQ-AS) yang dikembangkan oleh Cash (1996) dibagi menjadi lima dimensi yaitu:

a. Evaluasi Penampilan (Appearance Evaluation)

Pengukuran menggunakan dimensi berhubungan dengan evaluasi penampilan dan

keseluruhan tubuh mengenai menarik atau tidak menarik dan memuaskan atau tidak

memuaskan. Menurut Foland (2009), evaluasi penampilan merupakan perasaan daya tarik fisik

individu mengenai menarik atau tidak, serta memuaskan atau tidak penampilan individu

tersebut. Penilaian mengenai tubuh dengan hasil yang tinggi, sebagian besar menunjukkan

perasaan puas dan positif terhadap penampilan tubuhnya. Sedangkan penilaian dengan hasil

yang rendah memiliki rasa tidak bahagia dan perasaan kurang puas.

Evaluasi terhadap penampilan berkaitan dengan bagaimana individu merasa nyaman

dengan citra tubuh yang dimiliki, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Semakin baik

penampilan individu, maka persepsi yang dihasilkan terhadap dirinya akan baik, serta begitu
8

pula sebaliknya. Hal ini sangat berpengaruh dalam menghasilkan rasa nyaman terhadap

kesesuaian diri yang dirasakan oleh individu

b. Orientasi Penampilan (Appearance Orientation)

Dimensi yang diukur adalah tingkat perhatian individu terhadap penampilan dirinya dan

usaha yang dilakukan untuk memperbaiki serta meningkatkan penampilan diri. Sedangkan

menurut Foland (2009), orientasi penampilan merupakan tingkat investasi dalam penampilan

individu. Orientasi penampilan perlu dilakukan dalam memperbaiki citra tubuh individu,

karena orientasi yang tinggi merupakan suatu usaha untuk mencapai citra tubuh yang baik dan

dapat membuat individu mampu menyesuaikan diri dan lingkungan sekitar. Dalam hal ini

individu meminta nasihat dari orang yang lebih berpengalaman, yang dapat menjadi bahan

pertimbangan untuk disesuaikan dengan lingkungan individu.

c. Kepuasan terhadap Bagian Tubuh (Body Areas Satisfaction)

Kepuasan terhadap bagian tubuh diukur melalui bagian tubuh secara spesifik seperti

wajah, rambut, tubuh bagian bawah (pantat, pinggul, kaki), tubuh bagian tengah (pinggang,

perut), tubuh bagian atas (dada, bahu, lengan), dan penampilan secara keseluruhan. Kepuasan

adalah keadaan kesenangan dan kesenjangan yang disebabkan karena individu telah mencapai

satu tujuan atau sasaran (Chaplin, 2011). Kepuasan terhadap bagian tubuh didapat dari

bagaimana individu memberikan orientasi pada penampilan, dengan kepuasan yang dimiliki

individu akan membanggakan dirinya kepada lingkungan, hal itu merupakan hasil penilaian

tinggi dari orientasi yang dilakukan.

d. Kecemasan menjadi Gemuk (Overweight Preocupation)


9

Kecemasan menjadi gemuk adalah pengukuran kecemasan terhadap kegemukan,

kewaspadaan individu terhadap berat badan, kecenderungan melakukan diet untuk menurunkan

berat badan dan membatasi pola makan. Sedangkan menurut Foland (2009) kecemasan menjadi

gemuk adalah ketika individu merasa cemas terhadap bentuk tubuhnya yang bisa menjadi

gemuk. Sehingga hal ini memberikan dampak peningkatan perhatian pada penampilan

individu.

e. Pengkategorian Ukuran Tubuh (Self-Clasified Weight)

Pengkategorian ukuran tubuh merupakan pengukuran bagaimana individu

mempersepsikan dan menilai berat badan, dari yang dikategorikan sangat kurus hingga sangat

gemuk. Dijelaskan juga oleh Foland (2009) pengkategorian ukuran tubuh yaitu, persepsi

individu pada berat badannya, mulai dari kekurangan hingga kelebihan berat badan. Pandangan

individu mengenai proporsi tubuh sangat berpengaruh pada penampilan dihadapan masyarakat,

sehingga mereka akan sering melakukan perbandingan ukuran bentuk tubuh antara diri sendiri

dengan figure lain yang terlihat menarik menurut individu.

3. Faktor–Faktor yang Memengaruhi Citra Tubuh

Menurut Cash dan Fruzinsky (2002) mengemukakan faktor-faktor yang memengaruhi citra

tubuh adalah:

a. Usia

Santrock (2007) mengatakan bahwa perhatian terhadap citra tubuh pada individu sangat

kuat terjadi pada usia 12-18 tahun, baik pada remaja putra maupun remaja putri. Menurut

Papalia, Olds, dan Feldman (2008) pada tahap perkembangan remaja, body image menjadi

penting. Ketidakpuasan remaja putri meningkat pada hingga pertengahan usia remaja
10

sedangkan pada remaja putra yang semakin berotot juga semakin tidak puas dengan tubuhnya

(Papalia dan Olds, 2008).

b. Jenis Kelamin

Cash dan Pruzinsky (2002) mengatakan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang

memengaruhi citra tubuh individu. Pada penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa

wanita lebih negatif memandang citra tubuh dibandingkan dengan pria.

c. Media Massa

Tiggemann (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002) menyatakan bahwa media yang muncul

dimana-mana memberikan gambaran ideal mengenai figur perempuan dan laki-laki sehingga

dapat memengaruhi gambaran tubuh individu. Tiggemann (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002)

juga menyatakan media massa menjadi pengaruh yang paling kuat dalam budaya sosial.

d. Keluarga

Fisher, Fisher dan Strack (dalam Cash dan Purzinsky, 2002) menyatakan bahwa

gambaran tubuh melibatkan bagaimana orangtua menerima keadaan bayi yang dilahirkan baik

terhadap jenis kelamin dan bagaimana wajah bayi kelak. Ikeda dan Narworski (dalam Cash dan

Purzinsky, 2002) menyatakan bahwa komentar yang dibuat oleh orangtua dan anggota keluarga

mempunyai pengaruh yang besar dalam gambaran tubuh anak-anak.

e. Hubungan Interpersonal

Rosen dan koleganya (dalam Cash dan Purzinsky, 2002) menyatakan bahwa feedback

terhadap penampilan dalam hubungan interpersonal dapat memengaruhi bagaimana pandangan

dan perasaan mengenai tubuh. Menurut Dunn dan Gokee (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002)

menerima feedback mengenai penampilan fisik berarti individu mengembangkan persepsi

tentang bagaimana orang lain memandang dirinya.


11

Berdasarkan faktor-faktor yang dapat memengaruhi citra tubuh, dapat disimpulkan bahwa

bagaimana usia, jenis kelamin pria maupun wanita, media massa yang memunculkan figur ideal,

lingkungan keluarga, serta hubungan interpersonal dapat memengaruhi terbentuknya citra tubuh

pada individu.

C. Penerimaan Diri

1. Definisi Penerimaan Diri

Menurut Hurlock (2011) penerimaan diri adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan

dari individu itu sendiri untuk hidup dengan segala karakteristik yang dimiliki individu tersebut.

Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan

dirinya sendiri, yang tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga individu lebih

banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Bernard (2013)

mengungkapkan penerimaan diri melibatkan unsur realistis, subjektif, dan menyadari kelebihan

dan kekurangan dalam diri.

Menunjukkan kondisi psikologis individu yang sehat mental dan matang, yang dapat

mendukung terciptanya kondisi well-being di dalam diri individu itu sendiri merupakan salah satu

karakteristik sentral penerimaan diri (Ryff, 1996). Burns (1993) mengatakan bahwa penerimaan

diri sebagai bentuk tidak adanya sikap sinis terhadap diri sendiri dan hal ini mengindikasikan

bahwa orang yang menerima diri sendiri memandang dunia sebagai sebuah tempat yang lebih

menyenangkan. Menurut Shepard (dalam Bernard, 2013) penerimaan diri dapat dicapai dengan

berhenti mengkritik dan memperbaiki kekurangan dalam diri, lalu menerima semua hal itu untuk

ada di dalam diri, sehingga akan muncul toleransi diri akan ketidaksempurnaan di beberapa bagian

dalam diri. Fromm (dalam Burns, 1993) mengungkapkan bahwa dengan penerimaan diri dan rasa
12

puas terhadap diri sendiri yang dapat membuat individu merasa aman di dalam diri dan

menunjukkan kasih sayang terhadap orang lain di sekitarnya.

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerimaan

diri adalah sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri dan tidak bermasalah dengan

dirinya sendiri sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.

2. Aspek-Aspek Penerimaan Diri

Ada beberapa tokoh yang mengemukakan mengenai aspek-aspek dari penerimaan diri yaitu

Sheerer dan Supratiknya. Sheerer (dalam Sutadipura, 1984) menyebutkan beberapa aspek

penerimaan diri, yaitu:

a. Kepercayaan atas kemampuannya untuk dapat menghadapi hidupnya

Artinya individu tersebut memiliki keyakinan akan kemampuannya dalam menghadapi setiap

permasalahan.

b. Menganggap dirinya sederajat dengan orang lain

Artinya bahwa individu tidak merasa rendah diri dan merasa bahwa ia mampu berguna bagi

orang lain yang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

c. Tidak menganggap dirinya sebagai orang yang hebat atau abnormal dan tidak mengharapkan

bahwa orang lain mengucilkannya

Artinya bahwa individu tidak menganggap dirinya berbeda dengan orang lain sehingga individu

dapat menyesuaikan diri dengan baik di lingkungannya.

d. Tidak malu-malu atau serba takut dicela orang lain

Artinya bahwa individu tidak malu dalam bersosialisasi dan tidak takut apabila dicela oleh

orang lain.
13

e. Mempertanggungjawabkan perbuatannya

Artinya bahwa individu berani mempertanggungjawabkan dan mengambil resiko dari

perbuatan yang telah dilakukannya.

f. Mengikuti standar pola hidupnya dan tidak ikut-ikutan

Artinya bahwa individu mampu untuk menjadi diri sendiri dengan kelebihan dan keterbatasan

yang dimiliki tanpa harus mengikuti orang lain.

g. Menerima pujian atau celaan secara objektif

Artinya bahwa individu dapat menerima pujian dan celaan dari orang lain dan akan dijadikan

pembelajaran untuk menjadi lebih baik kedepannya.

h. Tidak menganiaya diri sendiri

Artinya bahwa individu tidak memaksakan dirinya untuk mencapai sesuatu di luar kemampuan

yang dimilikinya.

Supratiknya (1995), mengatakan bahwa aspek-aspek dari penerimaan diri adalah sebagai

berikut:

a. Penerimaan Diri yang Direfleksikan (Reflected Self Acceptance)

Jika orang lain menyukai diri kita maka kita akan cenderung untuk menyukai diri kita juga.

b. Penerimaan Diri Dasar (Basic Self Acceptance)

Perasaan yakin bahwa dirinya tetap dicintai dan diakui oleh orang lain walaupun tidak mencapai

patokan yang diciptakannya oleh orang lain terhadap dirinya.

c. Penerimaan Diri yang Dikondisikan (Conditional Self Acceptance)

Penerimaan diri yang didasarkan pada seberapa baik individu memenuhi tuntutan dan harapan

orang lain terhadap dirinya.


14

d. Evaluasi Diri (Self Evaluation)

Penelitian individu tentang seberapa positifnya berbagai atribut yang dimiliki orang lain yang

sebaya dengannya, individu membandingkan keadaan dirinya dengan keadaan orang lain yang

sebaya dengannya.

e. Perbandingan Diri Ideal dan Diri Sebenarnya (Real Ideal Comparison)

Derajat kesesuaian antara pandangan individu mengenai diri yang sebenarnya dan diri yang

diciptakan yang membentuk rasa berharga terhadap diri sendiri.

Berdasarkan beberapa aspek penerimaan diri yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

penelitian ini menggunakan aspek-aspek penerimaan diri yang dikemukakan oleh Supratiknya

(1995). Aspek-aspek penerimaan diri tersebut adalah penerimaan diri yang direfleksikan,

penerimaan diri dasar, penerimaan diri yang dikondisikan, evaluasi diri, serta perbandingan diri

ideal dan diri sebenarnya. Aspek-aspek tersebut dirasa tepat untuk digunakan sebagai indikator

dalam penelitian karena aspek-aspek tersebut dianggap dapat menjelaskan ciri-ciri yang ada dalam

diri individu yang memiliki penerimaan diri.

3. Ciri-Ciri Penerimaan Diri

Ciri-ciri penerimaan diri menurut Allport (dalam Hjelle dan Zieglar, 1992), antara lain:

a. Memiliki gambaran yang positif tentang diri

Individu yang memiliki gambaran positif tentang diri akan memiliki sikap percaya diri yang

tinggi dan menghargai dirinya sendiri.

b. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan keadaan emosi


15

Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik dapat mengatur keadaan emosinya.

c. Dapat berinteraksi dengan orang lain

Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik dapat melakukan interaksi dengan orang-

orang di sekitarnya.

d. Memiliki persepsi yang realistik dan kemampuan untuk menyesaikan masalah

Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik dapat menyelesaikan masalah dan memiliki

persepsi yang realistik.

Menurut Johnson (1993), ciri-ciri orang yang memiliki penerimaan diri, antara lain:

a. Menerima diri sendiri apa adanya

Jika individu mau menerima diri apa adanya, maka individu tersebut akan lebih

menghargai diri sendiri dan memberi tahu orang lain bahwa mereka seharusnya mau menerima

dan menghormati dirinya apa adanya. Individu tersebut juga mampu untuk menerima orang lain

dan tidak menuntut bahwa mereka harus mencoba untuk menyamai dirinya. Menerima diri

sendiri berarti merasa senang terhadap apa dan siapa diri sesungguhnya.

b. Tidak menolak dirinya sendiri apabila memiliki kelemahan dan kekurangan

Sikap atau respon dari lingkungan membentuk sikap terhadap diri individu. Individu yang

mendapat sikap yang sesuai dan menyenangkan dari lingkungannya cenderung akan menerima

dirinya. Tidak menolak diri adalah suatu sikap menerima kenyataan diri sendiri, tidak menyesali

diri sendiri, baik dulu maupun sekarang, tidak membenci diri sendiri dan jujur pada diri sendiri.

c. Memiliki keyakinan bahwa untuk mencintai diri sendiri, maka individu tidak harus dicintai dan

dihargai oleh orang lain

Individu yang dapat mengidentifikasi diri ataupun dengan orang lain dan memiliki

penyesuaian diri yang baik cenderung dapat menerima diri dan dapat melihat diri sama dengan
16

apa yang orang lain lihat pada dirinya. Mencintai diri sendiri dengan menerima segala

kekurangan yang ada pada diri sendiri, memaafkan kesalahan yang telah diperbuat, dan

menghargai setiap apa yang telah dicapai merupakan sebuah kekuatan besar untuk membangun

diri dan memiliki penghormatan tertinggi bagi pikiran, tubuh, dan jiwa.

d. Individu tidak perlu merasa benar-benar sempurna untuk merasa bahagia

Memandang diri secara positif merupakan sikap mental yang melibatkan proses

memasukkan pikiran, kata, dan gambaran yang konstruktif bagi pikiran. Pikiran positif tersebut

akan menghadirkan kebahagiaan, suka cita, kesehatan, dan kesuksesan dalam setiap situasi dan

tindakan.

Santrock (2003) menyebutkan beberapa ciri-ciri orang yang menerima diri, yaitu:

a. Individu yang menerima dirinya memiliki penghargaan yang realistis tentang sumber-sumber

dan kebergunaan pada dirinya. Individu yang menerima dirinya juga memiliki pandangan yang

realistis tentang keterbatasan pada diri tanpa menimbulkan penolakan diri yang rasional.

b. Individu yang menerima dirinya mengetahui dan menghargai potensi diri dan bebas mengikuti

perkembangannya.

c. Ciri yang paling menonjol pada individu yang menerima dirinya adalah spontanitas dan

tanggungjawabnya untuk dirinya sendiri. Mereka menerima kualitas-kualitas kemanusiaannya

tanpa mempermasalahkan dirinya bila terjadi hal-hal yang di luar kemampuannya untuk

mengontrolnya.

4. Faktor yang Berperan dalam Penerimaan Diri

Hurlock (2011) menjelaskan tentang faktor yang berperan dalam penerimaan diri yang

positif, yaitu:
17

a. Adanya pemahaman tentang diri sendiri

Individu dapat memahami bagaimana keadaan yang dialaminya, memahami kemampuan dan

ketidakmampuannya. Semakin individu dapat memahami dirinya, semakin ia dapat menerima

dirinya.

b. Adanya harapan yang realistis

Setiap individu memiliki harapan, akan tetapi harapan yang dimiliki harus realistis. Harapan

yang dimiliki oleh individu disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan diarahkan

oleh orang lain.

c. Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan

Individu dapat berinteraksi dengan baik di lingkungan sekitarnya untuk mencapai harapan dan

tujuan yang diinginkannya.

d. Sikap masyarakat yang menyenangkan

Jika individu memiliki lingkungan yang menyenangkan dan mendukung, hal ini dapat

menyebabkan individu memiliki penerimaan diri yang positif.

e. Tidak ada gangguan emosional yang berat.

Individu tidak memiliki gangguan emosional yang dapat mengganggu proses penerimaan

dirinya. Individu yang tanpa gangguan emosional akan merasa bahagia dan dapat bekerja

dengan baik.

f. Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatif maupun kuantitatif


18

Keberhasilan yang dialami individu dalam meningkatkan penerimaan diri, sedangkan individu

yang mengalami kegagalan akan melakukan penolakan diri.

g. Identifikasi dengan orang lain yang memiliki penyesuaian diri yang baik

Individu mengamati dan mencari informasi bagaimana individu bisa memiliki penyesuaian diri

yang baik. Individu yang mengidentifikasi orang lain dapat membangun sikap yang positif

terhadap penerimaan diri sendiri.

h. Adanya perspektif diri yang luas

Individu memiliki pandangan tentang diri yang luas, dapat melihat potensi-potensi yang

dimilikinya melalui pengalaman dan belajar.

i. Pola asuh masa kecil yang baik

Saat individu dididik dengan pola asuh yang baik saat kecil, ia akan cenderung menjadi orang

yang memiliki penerimaan diri yang positif.

j. Konsep diri yang stabil

Orang yang memiliki konsep diri yang stabil dapat menunjukkan siapa dia sebenarnya dan

individu tersebut akan memiliki penerimaan diri yang positif.

Bastaman (2006) menjelaskan beberapa komponen yang menentukan keberhasilan individu

dalam penerimaan diri, yaitu:

a. Pemahaman diri (self-insight)

Yakni peningkatan kesadaran atas buruknya kondisi diri saat ini dan adanya keinginan yang

kuat untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik.

b. Makna hidup (the meaning of life)

Yakni nilai-nilai penting bagi kehidupan pribadi individu yang berfungsi sebagai tujuan hidup

yang harus dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatannya.


19

c. Pengubahan sikap (changing attitude)

Yakni perubahan sikap dalam diri untuk menjadi positif dan lebih tepat dalam menghadapi

permasalahan.

d. Keikatan diri (self-commitment)

Yakni komitmen individu terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan yang ditetapkan.

e. Kegiatan terarah (directed activities)

Yakni upaya yang dilakukan secara sadar untuk pengembangan potensi-potensi pribadi (bakat,

kemampuan, keterampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang

tercapainya tujuan dan makna hidup.

f. Dukungan sosial (social support)

Yakni kehadiran individu atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya, dan selalu bersedia

memberi bantuan pada saat-saat diperlukan.

D. Remaja

1. Definisi Remaja

Masa remaja (adolescence) merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-

kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-

emosional. Ketiga perubahan tersebut dapat berkisar mulai dari perkembangan fungsi seksual,

proses berpikir abstrak, hingga kemandirian (Santrock, 2007). Menurut Papalia, dkk (2008), masa

remaja merupakan perubahan perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang

mengakibatkan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Menurut Sarwono (2013), remaja adalah
20

masa pertumbuhan ke arah kematangan fisik, sosial, maupun psikologis, dan perubahan dari

kanak-kanak menuju dewasa. Hurlock (2011) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan

masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai ketika individu mengalami

kematangan seksual dan berakhir ketika mencapai usia matang secara hukum.

Menurut WHO (2004), definisi mengenai remaja dibagi menjadi tiga kriteria yaitu biologis,

psikologis, dan sosial ekonomi. Menurut WHO, remaja merupakan suatu masa di mana individu

berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda seksual sekundernya sampai mencapai

kematangan seksual individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak-

anak menjadi dewasa. WHO menetapkan batasan usia konkritnya adalah berkisar antara 10-20

tahun. Kemudian WHO membagi kurun usia tersebut dalam dua bagian yaitu remaja awal 10-14

tahun, dan remaja akhir 15-20 tahun.

Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut Depkes RI adalah

antara 10 sampai 19 tahun dan belum menikah. Berdasarkan penjelasan sebelumnya masa remaja

adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja,

yakni antara usia 10-19 tahun adalah suatu periode masa pematangan organ reproduksi manusia,

dan sering disebut masa pubertas.

Remaja memiliki tiga tahap proses perkembangan dalam proses menuju kedewasaan,

dengan karakteristiknya (Monks, 2001), yaitu:

a. Remaja awal (13 – 16 tahun)

Remaja pada tahap ini masih terkaget-kaget dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada

dirinya, serta dorongan-dorongan yang menyertai perubahan tersebut. Adanya pikiran-pikiran

baru yang berkembang, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Hal
21

ini dihadapi dengan kurangnya pengendalian terhadap ego dan menyebabkan remaja sulit

mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa.

b. Remaja madya (16-18 tahun)

Remaja pada tahap ini sangat membutuhkan teman dan terdapat kecenderungan yang

berhubungan dengan narsistik yaitu, mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai

teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Adanya perasaan

kebingungan dan keraguan harus memilih peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, dan

sebagainya.

c. Remaja akhir (18-21 tahun)

Masa ini ditandai dengan beberapa pencapaian, yaitu:

1. Memiliki minat yang lebih besar terhadap fungsi-fungsi intelek.

2. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan mendapatkan

pengalaman baru.

3. Terbentuknya identitas seksual

4. Terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri atau egosentrisme diganti dengan

keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

5. Muncul pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum.

Pada masa remaja mengalami perubahan sosial yang meliputi meningkatnya pengaruh

kelompok sebaya, pola perilaku sosial yang lebih matang, pengelompokkan sosial baru, dan nilai-

nilai baru dalam pemilihan pemimpin, serta dalam dukungan sosial. Remaja menengah ditandai

dengan hampir lengkapnya pertumbuhan pubertas, munculnya keterampilan berpikir yang baru,

meningkatnya pengenalan terhadap masa dewasa dan keinginan untuk meningkatkan kemapanan

jarak emosional dan psikologis dengan orangtua. Remaja akhir ditandai dengan persiapan untuk
22

peran sebagai seorang dewasa, termasuk klarifikasi dan tujuan pekerjaan dan internalisasi suatu

system nilai pribadi (Hurlock, 2011).

Berdasarkan pemaparan uraian teori diatas dapat dikatakan bahwa ciri-ciri masa remaja

adalah periode yang penting, meliputi periode peralihan, periode usia yang bermsalah, mencari

identitas, usia yang menimbulkan ketakutan, masa yang tidak realistik dan diambang masa

kedewasaan.

2. Ciri-Ciri Masa Remaja

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2011), ciri-ciri masa remaja adalah sebagai berikut:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

b. Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat dan semua perkembangan itu

menimbulkan penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.

c. Masa remaja sebagai periode peralihan

d. Peralihan merupakan perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan

berikutnya. Dapat di artikan bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya akan memengaruhi pola

perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya.

e. Masa remaja sebagai periode perubahan

f. Perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja memiliki tingkat yang sama dengan

perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi dengan pesat diikuti dengan perubahan perilaku

dan sikap yang juga berlangsung pesat. Sebaliknya juga jika perubahan fisik menurun, maka

perubahan sikap dan perilaku juga menurun.

g. Masa remaja sebagai usia bermasalah


23

Menurut Hurlock (2011) masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh

laki-laki ataupun perempuan dengan alasan, yaitu:

a. Remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah karena sepanjang masa kanak-kanak

sebagian masalah diselesaikan oleh orangtua dan guru.

b. Remaja merasa mandiri, sehingga mereka memiliki keinginan untuk menyelesaikan

masalahnya sendiri.

c. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

d. Penyesuaian diri dengan kelompok pada masa remaja merupakan hal yang penting. Namun

seiring berjalannya waktu mereka mulai menginginkan identitas diri dengan menjadi pribadi

yang berbeda dengan orang lain.

e. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

f. Stereotype budaya mengatakan bahwa remaja adalah anak yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya

dan cenderung berperilaku merusak. Hal ini menyebabkan orang dewasa harus membimbing

dan mengawasi kehidupan remaja.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis

h. Remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain seperti apa yang diinginkan dan bukan

sebagaimana adanya. Remaja akan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau ketika

tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan.

i. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

j. Remaja mulai memfokuskan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yang

termasuk perilaku dewasa yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan

dan terlibat dalam perbuatan seks dengan anggapan perilaku tersebut memberikan citra yang

mereka inginkan.
24

3. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja

Menurut Hurlock (2011) tugas-tugas perkembangan pada masa remaja adalah sebagai

berikut:

a. Menuntut perubahan besar dalam sikap dan perilaku anak
hanya sedikit anak laki-laki dan anak

perempuan yang dapat diharapkan untuk menguasai tugas-tugas tersebut selama awal masa

remaja, apalagi bagi remaja yang terlambat dalam kematangan. 


b. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif seringkali sulit bagi para

remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila sejak kanak-kanak remaja tersebut telah

mengagungkan konsep tentang penampilan diri pada waktu dewasa nantinya. 


c. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
bagi remaja yang

sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri secara emosional dari orangtua dan

orang-orang dewasa lain merupakan tugas perkembangan yang mudah. Kemandirian emosi

tidaklah sama dengan kemandirian perilaku. Hal ini menonjol pada remaja yang statusnya

dalam kelompok sebaya tidak meyakinkan atau yang kurang memiliki hubungan yang akrab

dengan anggota kelompok. 


4. Perubahan Sosial pada Masa Remaja

Menurut Hurlock (2011) salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah

yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Perubahan- perubahan yang terjadi ketika

memasuki masa remaja adalah sebagai berikut:

a. Kuatnya pengaruh kelompok sebaya
remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan

teman-teman sebaya sebagai kelompok. Pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan,

minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga.


25

b. Perubahan dalam perilaku sosial
wawasan sosial semakin membaik pada remaja awal.

Semakin banyak partisipasi sosial, semakin besar kompetensi sosial remaja. Bertambah dan

berkurangnya prasangka dan diskriminasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan teman

sebaya.

c. Pengelompokan sosial baru
geng pada masa kanak-kanak berangsur-angsur bubar pada masa

pubertas dan awal masa remaja, maka terjadi pengelompokan sosial baru. Kelompok sosial

remaja diantaranya adalah teman dekat, kelompok kecil, kelompok besar, kelompok yang

terorganisir, kelompok geng. 


d. Nilai baru dalam memilih teman
remaja menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai

yang sama, dapat mengerti, membuatnya aman, dan dapat mempercayakan masalah-

masalahnya. 


e. Nilai baru dalam penerimaan sosial
penerimaan bergantung pada sekumpulan sifat dan pola

perilaku yang disenangi remaja dan dapat menambah gengsi dari klik atau kelompok besar yang

diidentifikasikannya. 


f. Nilai baru dalam memilih pemimpin-pemimpin kelompok sebaya mewakili remaja di dalam

masyarakat, remaja menginginkan pemimpin yang berkemampuan tinggi, yang akan dikagumi

dan dihormati oleh orang lain.

5. Perubahan Minat pada Masa Remaja

Menurut Hurlock (2011) perubahan-perubahan minat yang dimulai pada masa remaja adalah

sebagai berikut:

a. Minat rekreasi
pada awal masa remaja, aktivitas permainan dari tahun-tahun sebelumnya

beralih dan diganti dengan bentuk rekreasi baru dan lebih matang. Permainan kekanak- kanakan
26

menghilang, oleh karena itu remaja memilih jenis-jenis kegiatan yang paling disukai atau yang

paling dikuasai remaja.

b. Minat sosial
minat yang bersifat sosial bergantung pada kesempatan yang diperoleh remaja

untuk mengembangkan minat tersebut. Kepopulerannya di dalam kelompok sangat

berpengaruh terhadap minat tersebut. Remaja yang tidak populer memiliki minat sosial yang

terbatas.

c. Minat pribadi
remaja sadar bahwa dukungan sosial sangat dipengaruhi oleh penampilan diri.

Kelompok sosial menilai dirinya berdasarkan benda-benda yang dimilikinya, sekolah, dan

keanggotaan sosial. Hal tersebut merupakan simbol status.

d. Minat pendidikan
remaja yang tidak berminat pada pendidikan biasanya membenci sekolah.

Remaja yang kurang berminat pada pendidikan biasanya menunjukkan prestasi yang rendah.

E. Remaja Putri

1. Karakteristik Perkembangan Remaja Putri

Karakteristik perkembangan remaja putri menurut Hurlock (2011), yakni:

a) Perubahan Tubuh pada Masa Puber

1. Perubahan ukuran tubuh

Perubahan fisik yang utama terjadi pada masa pubertas adalah perubahan ukuran tubuh

dalam tinggi dan berat badan. Remaja perempuan, mengalami rata-rata peningkatan

sebanyak 3 inci sebelum mengalami menstruasi, namun peningkatan dapat pula terjadi

sebanyak 5 hingga 6 inci. Setelah mengalami menstruasi tingkat pertumbuhan mengalami

penurunan sebanyak 1 inci, serta pertumbuhan berakhir pada usia 18 tahun.

2. Perubahan proporsi tubuh

Kematangan yang tercapai lebih cepat dari bagian tubuh yang lain, dimana bagian
27

tubuh yang sebelumnya kecil ketika kematangan terjadi lebih cepat seringkali berubah

menjadi terlampau besar. Ukuran badan yang kecil dan panjang cenderung melebar dibagian

pinggul dan bahu, pinggang tampak panjang akibat kaki menjadi lebih panjang dari badan.

3. Karakteristik Seks Primer

Semua organ reproduksi wanita tumbuh selama masa pubertas, meskipun dalam

tingkat kecepatan yang berbeda. Berat uterus anak usia sebelas atau dua belas tahun berkisar

5,3 gram, pada usia enam belas tahun rata-rata beratnya 43 gram. Tuba faloppi, telur- telur,

dan vagina juga tumbuh pesat pada saat ini. Petunjuk pertama bahwa mekanisme reproduksi

perempuan menjadi matang adalah ketika sudah mengalami menstrusai. Ini adalah

permulaan dari serangkaian pengeluaran darah, lendir, dan jaringan sel yang hancur dari

uterus secara berkala, yang akan terjadi kira-kira setiap dua puluh delapan hari sampai

mencapai menopause. Periode menstruasi umumnya terjadi pada jangka waktu yang sangat

tidak teratur dan durasi berbeda pada tahun-tahun pertama.

4. Karakteristik Seks Sekunder

a. Pinggul

Pinggul menjadi bertambah lebar dan bulat sebagai akibat membesarnyya tulang

pinggul dan berkembangnya lemak bawah kulit.

b. Payudara

Segera setelah pinggul mulai membesar, payudara juga berkembang. Puting susu

membesar dan menonjol, dan dengan berkembangnya kelenjarr susu, payudara menjadi

lebih besar dan lebih bulat.

c. Rambut
28

Rambut kemaluan timbul setelah pinggul dan payudara mulai berkembangg. Bulu ketiak

dan bulu pada kulit wajah mulai tampak setelah haid. Semua rambut kecuali rambut

wajah mulai lurus dan terang warnanya, kemudian menjadi lebih subur, lebir kasar, lebih

gelap dan agak keriting.

d. Kulit

Kulit menjadi lebih kasar, lebih tebal, agak pucat dan lubang pori-pori bertambah besar.

e. Kelenjar

Kelenjar lemak dan kelenjar keringat menjadi lebih aktif. Sumbatan kelenjar lemak

dapat menyebabkan jerawat. Kelenjar keringat di ketiak mengeluarkan banyak keringat

dan baunya menusuk sebelum dan selama masa haid.

f. Otot

Otot semakin besar dan semakin kuat, terutama pada pertengahan dan menjelang akhir

masa puber, sehingga memberikan bentuk pada bahu, lengan dan tungkai kaki.

g. Suara

Suara menjadi lebih penuh dan lebih semakin merdu. Suara serak dan suara yang pecah

jarang terjadi pada anak perempuan.

F. Peran Citra Tubuh dan Penerimaan Diri terhadap Self Esteem

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah citra tubuh, penerimaan diri, dan self

esteem. Ketiga variabel diasumsikan memiliki keterkaitan, yaitu citra tubuh dan penerimaan diri

terhadap self esteem remaja putri. Pernyataan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
29

Terdapat tiga variabel dalam penelitian ini yaitu, variabel citra tubuh, penerimaan diri, dan

self esteem. Pengertian citra tubuh (body image) menurut Arthur dan Emily (2010), adalah suatu

imaginasi subjektif yang dimiliki individu mengenai tubuh, terkait dengan penilaian orang lain,

dan gambaran ideal mengenai tubuh individu disesuaikan dengan persepsi- persepsi diri dan

lingkungan. Sejak masa anak-anak, pola pikir individu sangat dipengaruhi oleh media hal ini terus

terjadi hingga remaja sehingga individu melakukan identifikasi terhadap figur tubuh ideal. Selama

masa remaja, citra tubuh mengalami perubahan seiring dengan perubahan fisik remaja. Hal

tersebut dapat melalui proses pembandingan antara perubahan yang terjadi pada tubuh dan standar

ideal dengan penampilan fisik yang diinginkan, oleh karena itu citra tubuh perlu diperhatikan

untuk kehidupan remaja.

Kesalahan mengenai pandangan citra tubuh pada remaja dapat dikarenakan oleh

membandingan atau meniru terhadap objek yang salah, sehingga akhirnya remaja sulit memahami

kondisi diri sendiri. Individu yang memiliki pandangan mengenai tubuh yang positif maka akan

memiliki citra tubuh yang positif, sedangkan apabila individu memiliki pandangan negatif

terhadap tubuh maka akan memiliki citra tubuh yang negatif. Individu yang memiliki persepsi

positif terhadap citra tubuh akan lebih mampu menghargai diri, cenderung menilai diri memiliki

kepribadian cerdas, asertif, dan menyenangkan. Individu yang memasuki masa remaja tentu

mengalami perubahan-perubahan yang terjadi pada diri, baik secara fisik seperti peningkatan

tinggi dan berat badan, perubahan kognitif yang meliputi perubahan cara berpikir individu,

maupun secara psikologis. Setiap remaja memiliki perasaan dan penerimaan yang berbeda-beda

dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Ada remaja yang mampu menerima perubahan diri

dengan positif namun ada juga yang memiliki persepsi negatif terhadap diri. Penerimaan diri

muncul ketika individu memiliki persepsi yang positif mengenai diri, dapat mengatur dan
30

bertoleransi dengan keadaan emosi, dapat berinteraksi dengan orang lain, serta memiliki

pandangan yang realistik.

Terdapat hubungan antara citra tubuh dan self esteem, tinggi rendahnya self esteem pada

individu juga dipengaruhi oleh adanya komparasi sosial karena individu cenderung

membandingkan diri dengan teman sebaya yang mengakibatkan self esteem menjadi rendah.

Menurut Santrock (2007) penerimaan diri merupakan kesadaran untuk menerima diri sendiri apa

adanya. Penerimaan diri yang dimaksukan adalah tidak hanya berarti menerima begitu saja kondisi

diri tanpa berusaha mengembangkan diri lebih lanjut. Proses bagaimana seorang individu

mendapat keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungannya.

Merupakan suatu proses yang dialami sepanjang kehidupan manusia. Konfik dapat saja muncul

dalam proses penerimaan diri remaja, adanya tekanan, frustrasi, yang dapat mendorong remaja

untuk mengamati berbagai kemungkinan perilaku untuk menghindari diri dari kegagalan. Remaja

putri yang memiliki penerimaan diri positif diharapkan dapat memiliki harga diri yang tinggi

sehingga memudahkan remaja untuk menjalin hubungan interpersonal yang baik dalam

kehidupan. Terdapat dimensi fisik dalam self esteem yang tentu saja berpengaruh terhadap

perkembangan citra tubuh dan penerimaan diri individu.

Self esteem pada individu terbentuk dari citra tubuh yang dimiliki, hal tersebut muncul dari

reaksi lingkungan yang memberikan pengaruh terhadap diri individu tersebut. Beane (1987),

menyatakan bahwa self esteem berhubungan dengan kemampuan diri individu mengenai nilai

dalam dirinya. Individu yang tidak menghargai atau menghormati dirinya sendiri akan merasa

kurang percaya diri dan banyak berjuang dengan segala keterbatasan dirinya, sehingga sering

mereka terlibat dalam tingkah laku yang salah atau rentan untuk dieksploitasi serta disalahgunakan

oleh orang lain. Individu yang memiliki perasaan menghargai diri yang rendah timbul karena
31

persepsi yang subjektif dan tidak selalu akurat dengan pandangan orang lain. Rasa menghargai diri

yang rendah seringkali berasal dari perbandingan yang tidak menyenangkan tentang dirinya sendiri

dan orang lain.

Penelitian ini telah dperkuat dengan penelitian-penelitian sebelumnya, Ratnasari, Yunani,

Prasida (2014) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa adanya hubungan citra tubuh dengan

harga diri pada remaja putri. Penelitian yang dilakukan Rahmania dan Yuniar (2012) menunjukkan

beberapa faktor yang menyebabkan individu mengalami body dysmorphic disorder, salah satunya

ialah self esteem yang rendah. Penelitian yang dilakukan Rahmania dan Yuniar (2012) dapat

memperkuat penelitian ini terkait dengan citra tubuh dan penerimaan diri terhadap self esteem

remaja putri yang sedang memasuki masa remaja .

Dinamika antar variabel tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini:
32

a. Evaluasi penampilan
b. Orientasi penampilan
c. Kepuasan terhadap bagian
tubuh
d. Kecemasan menjadi
gemuk

Citra Tubuh (X1)

Self Esteem (Y)

Penerimaan Diri (X2)

a. Kesuksesan
b. Value
c. Aspirasi
d. Defens
a. Mengontrol emosi yang
berlebihan
b. Meminimalkan mekanisme
pertahanan diri
c. Mengurangi rasa frustrasi
d. Berpikir rasional dan mampu
mengarahkan diri
e. Kemampuan untuk belajar
f. Memanfaatkan pengalaman masa
lalu
g. Sikap realistis dan objektif

Gambar 1. Diagram Citra Tubuh dan Penerimaan Diri terhadap Self Esteem
Keterangan:
: Menghubungkan antara variabel bebas dengan variabel tergantung
: Menghubungkan dimensi dengan variabel
: Variabel yang diteliti
: Dimensi variabel yang diteliti
33

G. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian. Hipotesis dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Hipotesis Mayor

Citra tubuh dan penerimaan diri berperan terhadap self esteem pada remaja putri di Kota

Denpasar.

a. Hipotesis Minor I: Citra tubuh berperan terhadap self esteem pada remaja putri di Kota

Denpasar.

b. Hipotesis Minor II: Penerimaan diri berperan terhadap self esteem pada remaja putri di

Kota Denpasar.

2. Hipotesis Nol

Citra tubuh dan penerimaan diri tidak berperan terhadap self esteem pada remaja putri di Kota

Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai