Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka
1. Self Esteem
1.1 Definisi Self Esteem
Morris Rosenberg (dalam Mruk, 2006) mendefinisikan self
esteem sebagai sikap positif atau negatif terhadap diri sendiri. (Mruk,
2006) menjelaskan bahwa Rosenberg telah memperkenalkan cara lain
dalam mendefinisikan self esteem yaitu sebagai bentuk rangkaian
sikap individu tentang apa yang ia nilai terhadap dirinya berdasarkan
persepsi perasaan, yaitu perasaan tentang “keberharga” dirinya atau
nilai sebagai seorang pribadi.
Menurut Branden dalam Nikmarijal (dalam Sylvia, 2016) self
esteem adalah keyakinan dan kemampuan untuk bertindak dan
menghadapi tantangan hidup ini. Keyakinan dalam hak untuk bahagia,
perasaan berharga, dan layak. Cara memandang dan merasakan diri
sendiri yang akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Cara
pandang dan merasakan diri ini terbentuk dari pengalaman dalam
keluarga, sekolah, hubungan pertemanan dan lingkungan sosial. Self
esteem merupakan salah satu aspek kepribadian yang merupakan
kunci dalam pembentukan perilaku seseorang, karena akan sangat
berpengaruh pada proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang
diambil pada nilai-nilai tujuan hidup seseorang yang memungkinkan
seseorang mampu menikmati dan menghayati kehidupan.
Coopersmith (dalam Putra, 2017) juga mengungkapkan bahwa
self esteem merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan
memandang dirinya terutama mengenai sikap menerima dan menolak,
juga indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuannya,
keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan. Secara singkat self esteem
adalah “personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti
yang diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya.
Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rusli Lutan (dalam
Putra, 2017) yang memaparkan bahwa self esteem adalah penerimaan
diri sendiri, oleh diri sendiri berkaitan bahwa kita pantas, berharga,
mampu dan berguna tak peduli dengan apa pun yang sudah, sedang
atau bakal terjadi. Tumbuhnya perasaan aku bisa dan aku berharga
merupakan inti dari pengertian self-esteem.
Menurut Coopersmith (dalam Habsy, 2017) harga diri
mempunyai tiga jenis tingkatan yaitu harga diri tinggi, harga diri
sedang dan harga diri rendah. Untuk menilai dimensi harga diri remaja
tergantung pada sejauh mana remaja menganggap dan menilai dirinya,
dan tergantung dari teori yang dipakai. Menurut teori Coopersmith
mengklasifikasikan harga diri berdasar atas dua hal yaitu sikap
realistik individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan dan
bagaimana individu berpikir tentang diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
Remaja yang memiliki harga diri tinggi, bangga dengan sikap
dan kemampuan yang dimilikinya, serta mampu mempercayai
persepsi diri sendiri sehingga tidak terpaku pada kesukaran-kesukaran
personal, memanfaatkan kritikan dari lingkungan sebagai bahan untuk
evaluasi diri, memandang diri sebagai seorang yang bernilai, penting
dan berharga, memiliki harapan dan tujuan tinggi, dan berusaha
merealisasikan dari lingkungan sosialnya. Sedangkan remaja yang
memiliki harga diri rendah tidak mempunyai kepercayaan diri dan
tidak mampu menilai kemampuan dalam dirinya, merasa terasing
karena memiliki keyakinan bahwa dirinya tidak dicintai, terlalu lemah
dalam mengakui kekurangan, peka terhadap kritik, terbenam dalam
masalahmasalah pribadi dan melarikan diri dari interaksi sosial
(Coopersmith dalam Habsy, 2017)
Menurut Michener dan DeLamater (dalam Prawesti & Dewi,
2016) individu dengan harga diri tinggi bersikap asertif, terbuka, dan
memiliki kepercayaan terhadap dirinya. Sikap asertif tersebut
memungkinkan mereka untuk dapat menyatakan diri apa adanya
sehingga pengungkapan diri yang dilakukan bukan sebagai topeng
untuk menutupi kelemahannya.Individu dengan harga diri rendah
menunjukkan perilaku yang menghambat pengungkapan diri. Menurut
Burns (dalam Prawesti & Dewi, 2016) individu tersebut cenderung
tidak dapat mengekspresikan diri serta mengalami kesulitan dalam
menunjukkan diri, perasaan, dan pikirannya yang disebabkan oleh
adanya penilaian yang negative terhadap diri sendiri maupun orang
lain serta menganggap bahwa hubungan dengan orang lain merupakan
sebuah ancaman.
1.2 Aspek-aspek Self Esteem
Menurut Rosenberg (dalam Ghaisani & Nugraha, 2016) terdapat
tiga aspek self esteem individu, yaitu sebagai berikut:
a. Physical self esteem
Aspek ini berhubungan dengan kondisi fisik yang dimiliki oleh
seorang individu. Apakah seorang individu menerima keadaan
fisiknya atau ada beberapa bagian fisik yang ingin diubah.
b. Social self esteem
Aspek ini berhubungan dengan kemampuan individu dalam
bersosialisasi. Apakah seorang dividu membatasi orang lain untuk
menjadi teman atau menerima berbagai macam orang sebagai
teman. Selain itu, aspek ini mengukur kemampuan individu dalam
berkomunikasi dengan orang lain dalam lingkungannya.
c. Perfomance self esteem
Aspek ini berhubungan dengan kemampuan dan prestasi
individu. Apakah seorang individu merasa puas dan percaya diri
dengan kemampuan dirinya atau tidak.
1.3 Karakteristik Self Esteem
a. Karakteristik harga diri tinggi
Karakteristik individu yang memiliki harga diri yang tinggi
menurut Clemes dan Bean (dalam Putra, 2017) antara lain:
1) Bangga dengan hasil kerjanya
2) Bertindak mandiri
3) Mudah menerima tanggung jawab
4) Mengatasi prestasi dengan baik
5) Menanggapi tantangan baru dengan antusiasme
6) Merasa sanggup mempengaruhi orang lain
7) Menunjukkan jangkauan perasaan dan emosi yang luas.
b. Karakteristik harga diri rendah
Karakteristik individu dengan harga diri yang rendah menurut
Clemes, Bean dan Clark (dalam Putra, 2017) adalah sebagai
berikut:
1) Menghindari situasi yang dapat mencetuskan kecemasan
2) Merendahkan bakat dirinya
3) Merasa tak ada seorangpun yang menghargainya,
4) Menyalahkan orang lain atas kelemahannya sendiri
5) Mudah dipengaruhi oleh orang lain
6) Bersikap defensif dan mudah frustrasi
7) Merasa tidak berdaya.
1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Esteem
Rusli Lutan (dalam Putra, 2017) mengemukakan faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan self-esteem yaitu sebagai berikut:
a) Orang tua, Pemberian yang paling berharga dari orang tua adalah
meletakkan landasan self-esteem yang kokoh, mengembangkan
kepercayaan diri dari hormat diri.
b) Para sejawat dan Teman, Orang-orang terdekat dalam kehidupan
keseharian akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan self-
esteem. Ketika anak berada di lingkungan sekolah dengan teman
yang sering memperoloknya, maka lingkungan tersebut kurang
baik bagi pertumbuhan self-esteem yang sehat, dan sebaliknya.
c) Pencapaian Prestasi, Hasil yang dicapai dan memadai merupakan
salah satu faktor bagi pengembangan self-esteem. Penciptaan
perasaan tenang, yakin, dan mampu melaksanakan suatu tugas
merupakan bibit bagi pengembangan self-esteem.
d) Diri Sendiri, Sumber utama bagi pengembangan self-esteem adalah
diri sendiri. Seseorang yang sehat self-esteemnya ditandai oleh
beberapa ciri diantaranya adalah: Selalu memberi dorongan,
motivasi kepada diri sendiri. Selalu memandang pada apa yang
dikerjakan dan pada apa yang telah dilakukan.
e) Guru, Guru sangat berpotensi membangun atau bahkan
menghancurkan self-esteem siswa. Guru dapat mengembangkan
self-esteem dengan cara menempatkan siswa dalam kedudukan
merasa berharga, merasa diakui dan mampu melakukan sesuatu
menurut ukuran masing-masing. Jika guru lebih suka mengkritik
dengan pedas atas setiap penampilan siswa, maka hal ini
merupakan biang bagi terciptanya self-esteem yang negatif.
2. Kesepian
2.1 Definisi Kesepian
Menurut Peplau & Perlman (dalam Hidayati, 2015) kesepian
merupakan pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan ketika
seseorang mengalami penurunan hubungan sosial baik secara kualitas
dan kuantitas.
Kesepian mengacu pada ketidaknyamanan subjektif yang
dirasakan seseorang apabila beberapa kriteria penting dari hubungan
sosial individu terhambat atau tidak terpenuhi. Kekurangan tersebut
dapat bersifat kuantitatif seperti merasa tidak memiliki teman dan juga
dapat bersifat kualitatif seperti merasa bahwa hubungan sosial yang
dibina hanya bersifat seadanya (Peplau & Perlman, 1982 dalam Dini &
Indrijati, 2014).
Menurut Gierveld, dkk. (dalam Dini & Indrijati, 2014) kesepian
adalah situasi yang dialami oleh seseorang dimana ia merasakan
hubungan yang kurang menyenangkan dan tidak diterima ke dalam
sebuah hubungan yang diinginkan.
Kesepian menurut Russel, Peplau dan Cutrona (dalam Sari &
Listiyandini, 2015) merupakan emosi negatif yang muncul karena
kesenjangan hubungan sosial yang diharapkan.
2.2 Tipe-tipe Kesepian
Perlman dan Peplau (dalam Agusti & Leonardo, 2015) juga
membagi kesepian menjadi dua tipe, yakni :
a) Kesepian emosional, merupakan jenis kesepian yang terjadi ketika
seseorang tidak memiliki figure attachment yang intim, seperti
yang mungkin diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka
atau orang dewasa dengan pasangannya atau teman dekat.
b) Kesepian sosial, ialah merupakan jenis kesepian yang terjadi ketika
seseorang tidak memiliki rasa integrasi sosial atau keterlibatan
masyarakat yang mungkin disediakan oleh jaringan teman-teman,
tetangga, atau rekan kerja.
2.3 Aspek-aspek Kesepian
Adapun aspek kesepian menurut Russell (dalam Krisnawati &
Soetjiningsih, 2017) yang digunakan sebagai dasar penyusunan UCLA
Loneliness Scale adalah :
a) Trait loneliness yaitu adanya pola yang lebih stabil dari perasaan
kesepian yang terkadang berubah dalam situasi tertentu, atau
individu yang mengalami kesepian karena disebabkan kepribadian
mereka. Kepribadian yang dimaksud adalah seseorang yang
memiliki kepercayaan yang kurang dan ketakutan akan orang
asing.
b) Social desirability loneliness yaitu terjadinya kesepian karena
individu tidak mendapatkan kehidupan sosial yang diinginkan pada
kehidupan di lingkungannya.
c) Depression loneliness yaitu terjadinya kesepian karena
terganggunya perasaan seseorang seperti perasaan sedih, murung,
tidak bersemangat, merasa tidak berharga dan berpusat pada
kegagalan yang dialami oleh individu.
2.4 Tahapan Kesepian
Lake (dalam Hidayati, 2015) merumuskan bahwa terdapat tiga
tahap kesepian, yaitu:
a) Keadaan yang membuat seseorang memutuskan hubungannya
dengan orang lain sehingga ia akan kehilangan beberapa perasaan
yaitu : disukai, dicintai, atau diperhatikan orang lain.
b) Hilangnya rasa percaya diri dan interpersonal trust, yang terjadi
ketika sesorang tidak dapat menerima dan memberikan perilaku
yang menentramkan kepada orang lain.
c) Menjadi apatis, yang terjadi ketika seseorang merasa bahwa tak
seorangpun peduli sedikitpun tentang apa yang sedang dialaminya,
dimana seringkali kondisi ini menimbulkan keinginan untuk
mengakhiri hidup atau bunuh diri.
3. Nomophobia
3.1 Definisi Nomophobia
Nomophobia adalah singkatan dari no-mobile-phone phobia,
dan ini pertama kali diciptakan selama penelitian yang dilakukan pada
tahun 2008 oleh Kantor Pos Inggris untuk menyelidiki kecemasan
yang diderita pengguna ponsel (SecurEnvoy dalam Yildirim &
Correia, 2015).
Nomophobia (King, Valenca, & Silva, 2014) adalah ketakutan
modern karena tidak mampu berkomunikasi melalui ponsel atau
Internet. Kata "nomophobia" berasal dari bahasa Inggris, dari
ungkapan "No Mobile Phobia", yaitu fobia tanpa smartphone.
Nomophobia adalah sebuah istilah yang merujuk pada kumpulan
perilaku atau gejala terkait untuk penggunaan smartphone.
Dalam salah satu studi penelitian pertama terhadap nomophobia
(King, Valença, & Nardi, dalam Yildirim & Correia, 2015),
nomophobia dianggap sebagai gangguan abad ke-21 yang dihasilkan
dari teknologi baru. Nomophobia menunjukkan ketidaknyamanan atau
kecemasan ketika keluar dari ponsel atau kontak komputer. Hal
tersebut berupa sebuah rasa takut untuk tidak dapat berkomunikasi,
jauh dari ponsel atau tidak terhubung ke web. Jadi, definisi ini
sepertinya tidak hanya mencakup ponsel tetapi juga komputer.
Nomophobia (Bragazzi & Puente, 2014) dianggap sebagai
gangguan masyarakat digital dan virtual kontemporer dan mengacu
pada ketidaknyamanan, kecemasan, kegugupan, atau kesedihan yang
disebabkan oleh tidak bersentuhan dengan ponsel atau komputer.
Secara umum, itu adalah ketakutan patologis untuk tetap tidak
terhubung dengan teknologi.
Yildirim dan Correia (2015) berpendapat bahwa smartphone
meningkatkan nomophobia karena berbagai fasilitas atau layanan
yang disediakan (misalnya akses Internet, media sosial dan aplikasi
lainnya, pemberitahuan instan), yang mengarah pada peningkatan
keterlibatan pengguna dengan smartphone mereka dan perasaan yang
lebih kuat dari kecemasan dan kesulitan ketika mereka tidak dapat
menggunakan layanan tersebut.
Menurut Pavithra et el (dalam Widyastuti & Muyana, 2018)
nomophobia mengacu pada ketidaknyamanan, kegelisahan,
kegugupan atau kesedihan yang disebabkan karena tidak berhubungan
dengan telepon seluler. Bentuk ketidak nyamanan, kegelisahan,
kecemasan, atau kesedihan pada penderita nomophobia sudah
melebihi batas wajar dan mengarah para perilaku adiksi.
3.2 Ciri-ciri Nomophobia
Bragazzi dan Del Puente (2014) menjelaskan beberapa ciri-ciri
orang yang menderita nomophobia, yaitu sebagai berikut:
a) Menggunakan ponsel secara teratur dan menghabiskan banyak
waktu dalam menggunakannya, memiliki satu atau lebih
perangkat, selalu membawa pengisi daya.
b) Merasa cemas dan gelisah ketika kehilangan ponsel atau ketika
ponsel tidak tersedia di dekatnya atau tidak dapat digunakan
karena kurangnya jangkauan jaringan, baterai habis, kurangnya
pulsa/data seluler, dan sesering mungkin mencoba untuk
menghindari tempat-tempat dan situasi di mana penggunaan
perangkat dilarang.
c) Melihat layar ponsel untuk memastikan apakah ada pesan atau
panggilan yang diterima (kebiasaan itu disebut oleh David
Laramie sebagai "ringxiety" -dering dan kecemasan).
d) Memastikan ponsel selalu dihidupkan (24 jam sehari), tidur
dengan ponsel di tempat tidur.
e) Memiliki sedikit interaksi sosial tatap muka dengan manusia yang
akan menyebabkan kecemasan dan stres; lebih suka
berkomunikasi menggunakan teknologi.
f) Berhutang atau mengeluarkan biaya yang besar dalam penggunaan
ponsel.
3.3 Dimensi Nomophobia
Adapun dimensi nomophobia menurut (Yildirim & Correia,
2015) adalah sebagai berikut :
a) Tidak bisa berkomunikasi (not being able to communicate)
Aspek pertama mengacu pada perasaan kehilangan ketika tidak
bisa berkomunikasi secara instan dengan orang-orang terdekat dan
tidak dapat menggunakan layanan yang memungkinkan untuk
melakukan komunikasi, baik itu menghubungi atau dihubungi.
b) Kehilangan konektivitas (Losing Connectedness)
Aspek kedua merujuk pada perasaan kehilangan ketika tidak dapat
terhubung dengan layanan pada smartphone, dan keberadaannya
terputus dari identitas online seseorang, terutama di media sosial.
c) Tidak mampu mengakses informasi (not being able to access
information)
Aspek ketiga mencerminkan perasaan ketidaknyamanan ketika
kehilangan akses informasi melalui smartphone, yakni tidak dapat
mengambil atau mencari informasi melalui smartphone.
d) Menyerah pada kenyamanan (giving up convenience)
Aspek keempat mencerminkan keinginan untuk memanfaatkan
kenyamanan memiliki smartphone.
4. Pengaruh Self Esteem dan Kesepian terhadap Nomophobia
Kuss dan Griffiths (dalam Aldianita & Maryatmi, 2019)
menjelaskan bahwa nomophobia adalah hasil dari pengembangan
teknologi dan kemajuan yang mengusung komunikasi virtual.
Nomophobia mengacu pada perasaan tidak nyaman, cemas, gugup atau
kesedihan yang diakibatkan karena tidak berhubungan dengan ponsel.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Ehrenberg, dkk (dalam
Mayangsari, Ariana, 2015) bahwa self esteem menjadi predikator yang
kuat bagi individu untuk kecenderungan kecanduan telepon genggam,
hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Ehrenberg melaporkan bahwa
individu yang memiliki harga diri yang rendah akan lebih banyak
mengirim pesan teks. Hal tersebut juga disampaikan oleh Bianchi &
Philips (dalam Mayangsari, Ariana, 2015) bahwa self esteem yang
rendah dapat memprediksi penggunaan telepon genggam yang
bermasalah. Orang-orang dengan pandangan diri yang buruk atau
negatif memiliki kecenderungan yang besar untuk mencari kepastian,
tetpon genggam memberikan kesempatan setiap orang untuk bisa
dihubungi kapan saja, dari sinilah tidak mengherankan jika orang-
orang dalam menggunakan telepon genggam secara tidak tepat atau
berlebihan.
Menurut Cherry (dalam Hidayati, 2015) kesepian atau loneliness
merupakan sebuah perasaan yang umum terjadi pada seseorang dimana
sebenarnya perasaan tersebut kompleks dan unik pada masing-masing
individu. Seorang anak yang sedang berjuang untuk menjalin
pertemanan di lingkungan sekolahnya mempunyai kebutuhan yang
berbeda dengan seorang dewasa kesepian yang baru saja ditinggal
meninggal oleh pasangannya. Penelitian yang dilakukan oleh (Gezgin,
Hamutoglu, Sezen-Gultekin, & Ayas, 2018) memaparkan bahwa ada
hubungan yang signifikan secara statistik antara nomofobia dan
kesepian, dan dapat dipastikan bahwa kesepian remaja memprediksi
tingkat nomofobia mereka dapat sampai batas tertentu.
B. Kerangka Berpikir
Uma Sakaran dalam bukunya Business Research (1992)
mengemukakan bahwa, kerangka berpikir merupakan model konseptual
tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai factor yang telah
diidentifikasi sebagai masalah yang penting (Sugiyono, 2014).
Pertama, self esteem dapat mempengaruhi kecenderungan
nomophobia karena seseorang yang menilai atau memandang dirinya
sebagai sosok yang rendah, melihat dirinya dalam sisi negatif, maka ia
cenderung menarik diri dari lingkungan sosial. Hal tersebut juga
disampaikan oleh Bianchi & Philips (dalam Mayangsari, Ariana, 2015)
bahwa self esteem yang rendah dapat memprediksi penggunaaan telepon
genggam yang bermasalah.
Kedua, kesepian juga dapat mempengaruhi kecenderungan
nomophobia, dimana hal tersebut menunjukkan bahwa ia kekurangan
relasi dengan orang lain yang berarti peluang untuk dapat mengalihkan
perhatian terhadap telepon genggam menjadi meningkat.
Ketiga, kontrol diri juga dapat mempengaruhi kecenderungan
nomophobia. Dalam penggunaan telepon genggam, kontrol diri menjadi
salah satu hal yang penting agar seseorang tersebut tidak melebihi batas
penggunaan sewajarnya.
Keempat, big five personality (kemufakatan, ekstraversi,
kesungguhan, neurotis, dan keterbukaan) dapat mempengaruhi
kecenderungan nomophobia. Menurut Bianchi & Phillips (Prasetyo &
Ariana, 2016) salah satu prediktor psikologis nomophobia dan penggunaan
smartphone bermasalah adalah Extraversi tinggi. Bianchi & Phillips
(2005) menunjukan hubungan antara ekstraversi yang tinggi, kecemasan
tinggi dengan ketakutan dan perilak penyalagunaan telepon genggam.
Kelima, perilaku impulsif. Dalam sebuah studi terhadap
mahasiswa, Roberts dan Pirog (dalam Aldianita & Maryatmi, 2019)
menemukan bahwa perilaku impulsif yang dikaitkan dengan materialisme
bersifat langsung memiliki hubungan positif dengan kecanduan teknologi
ponsel atau nomophobia.
Berdasarkan faktor-faktor yang telah diuraikan diatas, maka
peneliti memilih faktor self esteem (X1) dan kesepian (X2) sebagai
variabel yang akan diteliti. Adapun faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi kecenderungan nomophobia namun tidak diteliti oleh
penulis adalah big five personality, konsep diri, dan kontrol diri.

Self Esteem Big Five Personlity


(X1)

Nomophobia
Kesepian (Y1)
(X2)

Perilaku
Impulsif Kontrol Diri

Gambar 1. Kerangka Berpikir


C. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan
masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan
dalam bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2014). Berdasarkan
pengertian tersebut, maka peneliti membuat beberapa hipotesis tentang
pengaruh self esteem dan kesepian terhadap kecendrungan nomophobia
pada mahasiswa di Universitas Islam 45 Bekasi yang akan diujikan dalam
penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
Ha₁ : Terdapat hubungan antara self esteem dengan kecendrungan
nomophobia pada mahasiswa Universitas Islam 45 Bekasi.
Ha₂ : Terdapat hubungan antara kesepian dengan kecendrungan
nomophobia pada mahasiswa Universitas Islam 45 Bekasi.
Ha₃ : Terdapat pengaruh antara self esteem dan kesepian dengan
kecendrungan nomophobia pada mahasiswa Universitas Islam 45 Bekasi.
Ho₁ : Tidak terdapat hubungan antara self esteem dengan kecendrungan
nomophobia pada mahasiswa Universitas Islam 45 Bekasi.
Ho₂ : Tidak terdapat hubungan antara kesepian dengan kecendrungan
nomophobia pada mahasiswa Universitas Islam 45 Bekasi.
Ho₃ : Tidak terdapat pengaruh antara self esteem dan kesepian dengan
kecendrungan nomophobia pada mahasiswa Universitas Islam 45 Bekasi.

D. Orisinilitas Penelitian yang Akan Dilakukan


Penelitian tentang nomophobia sebelumnya sudah cukup banyak
dilakukan, baik di luar negeri maupun di Indonesia sendiri. Adapun
diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan oleh (Sudarji, 2017) mengenai
“Hubungan antara Nomophobia dengan Kepercayaan Diri”. Penelitian
tersebut dilakukan pada 162 responden dengan teknik non-probability
sampling yang yang mana hasil analisa data korelasi antara nomophobia
dan kepercayaan diri menunjukkan nilai p = 0,626 > α = 0,05. Hal tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara nomophobia dengan
kepercayaan diri.
Penelitian tentang “Kontrol Diri dengan Kecemasan Jauh dari
Smartphone (Nomophobia) pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politis Universitas Diponegoro Semarang” oleh
(Asih & Fauziah, 2017) diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang
negatif dan signifikan antara kontrol diri dengan kecemasan jauh dari
smartphone (nomophobia). Semakin tinggi kontrol diri individu maka
tingkat kecemasan jauh dari smartphone (nomophobia) yang dialami
semakin rendah. Sebaliknya, apabila individu dengan kontrol diri rendah
maka tingkat kecemasan jauh dari smartphone (nomophobia) semakin
tinggi. Kontrol diri mempengaruhi munculnya kecemasan jauh dari
smartphone (nomophobia) yang dialami individu.
Dalam penelitian “Hubungan antara The Big Five Personality
dengan Nomophobia pada Wanita Dewasa Awal” (Prasetyo & Ariana,
2016) mendapati hasil bahwa tidak ada hubungan antara neurotis
(neuroticism) dengan nomophobia pada wanita dewasa awal. Tidak ada
pula hubungan antara keterbukaan (openness) dengan nomophobia pada
wanita dewasa awal. Hubungan antara kesungguhan (conscientiousness)
dengan nomophobia pada wanita dewasa awal juga tidak ditemukan.
Begitu pula dengan hubungan antara kemufakatan (agreeableness) dengan
nomophobia pada wanita dewasa awal, juga tidak ditemukan.
Penelitian yang dilakukan terhadap siswa SMK N 5 Yogyakarta
dan siswa SMK Muhammadiyah 1 Yogyakarta oleh Dian Ari Widyastuti
dan Siti Muyana (2018) memaparkan bahwa sebagian remaja SMK kota
Yogyakarta mengalami nomophobia pada kategori tinggi. Dari jumlah
total 540 remaja SMK terdapat sejumlah 28 remaja yang memiliki
nomophobia pada kategori sangat tinggi dan sejumlah 166 remaja yang
memiliki nomophobia pada kategori tinggi. Remaja yang memiliki
nomophobia pada kategori rendah sebanyak 131 remaja dan 24 remaja
berada pada kategori sangat rendah. Sedangkan jumlah terbanyak remaja
yang memiliki nomophobia berada pada kategori sedang sebanyak 191
remaja.
Dari penelitian “Hubungan Self Esteem dengan Kecenderungan
Nomophobia pada Remaja” oleh Arie Putri Mayangsari dan Artika Dian
Ariana (2015). Subjek penelitian adalah remaja akhir sebanyak 99 dengan
rentang usia 18-23 tahun, dengan cara menyebarkan kuesioner secara
online. Dan diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara self esteem dengan nomophobia pada remaja. Arah dari hubungan
tersebut negatif yang berarti bahwa ketika individu memiliki self esteem
yang tinggi maka kecenderungan untuk nomophobia rendah, begitu pula
sebaliknya ketika individu memiliki self esteem yang rendah maka
kecenderungan untuk nomophobia tinggi. Dan hal ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ehrenberg, dkk (2008) bahwa self esteem
menjadi predikator yang kuat bagi individu untuk kecenderungan
kecanduan telepon genggam, hasil penelitian yang dilakukan oleh
Ehrenberg, dkk (2008) melaporkan bahwa individu yang memiliki harga
diri yang rendah akan lebih banyak mengirim pesan teks.
Dari pemaparan diatas diketahui bahwa penggunaan variabel dalam
penelitian tersebut tidak ada kesamaan secara keseluruhan dengan judul
penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Hal yang dapat membedakan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya juga terkait mengenai subjek
dan tempat penelitian, dimana penelitian kali ini akan diterapkan terhadapa
mahasiswa Universitas Islam 45 di kota Bekasi. Oleh karena itu,
penelitian yang akan dilakukan oleh penulis kali ini adalah penelitian yang
bersifat orisinil yang belum pernah diteliti sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Agusti, R. D. C. W., & Leonardo, T. (2015). Hubungan Antara Kesepian dengan


Problematic Internet Use pada Mahasiswa. Jurnal Psikolog Klinis Dan
Kesehatan Mental, 04(1), 9–13.
Aldianita, N., & Maryatmi, A. S. (2019). Hubungan Kontrol Diri dan Perilaku
Impulsif dengan Nomophobia pada Remaja Pengguna Instagram di Kelas XI
IPS SMAN 31 Jakarta Timur. Jurnal IKRA-ITH Humaniora, 3(3), 188–196.
Asih, T. A., & Fauziah, N. (2017). HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI
DENGAN KECEMASAN JAUH. Jurnal Empati, 6(2), 15–20.
Bragazzi, N. L., & Puente, G. Del. (2014). A proposal for including nomophobia
in the new DSM-V. Psychology Research and Behavior Management, 7,
155–160.
Dini, F. O., & Indrijati, H. (2014). Hubungan antara Kesepian dengan Perilaku
Agresif pada Anak Didik di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar. Jurnal
Psikologi Klinis Dan Kesehatan Mental, 03(01), 30–36.
Gezgin, D. M., Hamutoglu, N. B., Sezen-Gultekin, G., & Ayas, T. (2018). The
Relationship Between Nomophobia and Loneliness Among Turkish
Adolescents The Relationship Between Nomophobia and Loneliness Among
Turkish Adolescents. International Journal of Research in Education and
Science, 10(10).
Ghaisani, N. S. G., & Nugraha, S. (2016). Hubungan Self Esteem dan Loneliness
pada Pelaku Cybersex di Bandung. Prosiding Psikologi, 2(1), 225–228.
Habsy, B. A. (2017). MODEL KONSELING KELOMPOK COGNITIVE
BEHAVIOR UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM SISWA SMK.
Perspektif Ilmu Pendidikan, 31(1), 21–35.
Hidayati, D. S. (2015). Self Compassion dan Loneliness. Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan, 03(01), 154–164.
King, A. L. S., Valenca, A. M., & Silva, A. C. (2014). “ Nomophobia ”: Impact of
Cell Phone Use Interfering with Symptoms and Emotions of Individuals with
Panic Disorder Compared with a Control Group. Clinical Practice &
Epidemiology in Mental Health, 10, 28–35.
Krisnawati, E., & Soetjiningsih, C. H. (2017). HUBUNGAN ANTARA
KESEPIAN DENGAN SELFIE - LIKING PADA MAHASISWA. Jurnal
Psikologi, 16(2), 122–127.
Prasetyo, A., & Ariana, A. D. (2016). Hubungan antara The Big Five Personality
dengan Nomophobia pada Wanita Dewasa Awal. Jurnal Psikologi Klinis
Dan Kesehatan Mental, 5(1), 1–9.
Prawesti, F. S., & Dewi, D. K. (2016). Self Esteem dan Self Disclosure Pada
Mahasiswa Psikologi Pengguna Blackberry Messenger. Jurnal Psikologi
Teori Dan Terapan, 7(1), 1–8.
Putra, H. P. (2017). Peningkatan Self Esteem melalui Layanan Bimbingan
Kelompok dengan Teknik Sugesti. Islamic Counseling, 1(01), 95–111.
Sari, I. P., & Listiyandini, R. A. (2015). HUBUNGAN ANTARA RESILIENSI
DENGAN KESEPIAN ( LONELINESS ) PADA DEWASA MUDA
LAJANG. Prosiding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur &
Teknik Sipil), 6, 45–51.
Sudarji, S. (2017). Hubungan antara nomophobia dengan kepercayaan diri. Jurnal
Psikologi Psibernetika, 10(1), 51–61.
Sylvia, R. (2016). Hubungan Self Esteeem dan Motivasi Belajar terhadap
Pendidikan Kewarganegaraan. Jurnal Pendidikan Dasar, 7, 311–328.
Widyastuti, D. A., & Muyana, S. (2018). Potret Nomophobia ( No Mobile Phone
Phobia ) di Kalangan Remaja. Jurnal Fokus Konseling, 4(1), 62–71.
Yildirim, C., & Correia, A. (2015). Exploring the dimensions of nomophobia :
Development and validation of a self-reported questionnaire. Computers in
Human Behavior, 49, 130–137. https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.02.059
Mayangsari, A. P., Ariana, A.D., (2015). Hubungan antara Self Esteem dengan
Kecenderungan Nomophobia pada Remaja. Jurnal Psikologi Klinis dan
Kesehatan Mental, 4 (3), 157-163
Mruk, Christoper J. (2006). Self-Esteem Research, Theory, and Practice. Springer
Publishing Company: New York.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Alfabeta:
Bandung.
Yildirim, C., Sumuer, E., Adnan, M., Yildirim, S. (2015). A growing fear:
Prevalence of nomophobia among Turkish college students. Information
Development, 32(5), 1322-1331.

Anda mungkin juga menyukai