Anda di halaman 1dari 4

BEDAH TEMA

“Teror Habitus Simulakra; Amplifikasi Spesies Dialogis sebagai Manifestasi


Emansipasi Kultural”
A. Kilas Balik “Teater Para-Automaton”
“Tutup jendelanya!”, “buang kertas ini!”. Kemudian salah satu dari kalian
pergi menutup jendela dan membuang sampah pada saat itu. Masih ingatkah
kalian dengan momen itu? Ya, MAPABA 2022. Kala dimana paradigma sosial
yang melekat pada mindset kalian akan menganggap “nakal” apabila tidak
melakukan sesuatu yang diperintahkan. Sehingga mau tidak mau dengan sterotip
tersebut, kalian adalah orang-orang yang kami sebut Automaton.
Namun tidak hanya itu, beriringan dengan sterotip yang salah kaprah di
masyarakat kita ini, saat itu kalian berada dalam masa peralihan dari siswa
menuju mahasiswa sehingga yang dialami adalah sebuah kebingungan dan
hilang arah. Tetapi, sebagian besar dari kalian merasa sangat percaya diri atas
stagnansi ini, hingga pada akhirnya kami menambahkan kata Para dalam diksi
Automaton.
Teater membuat MAPABA 2022 menjadi panggung akbar untuk kalian bebas
mengekspresikan segala opini tanpa khawatir akan intervensi pihak luar.
Memupuk kesadaran tiap individu untuk melepaskan diri dari “kendang ayam”
sebagai manusia yang bebas dalam sektor pendidikan ialah kewajiban absolut
dan tanggungjawab moral kami. Saat kesadaran terkait pengekspresian diri
secara bebas ini telah tervalidasi oleh masing-masing kalian, maka kalian secara
tidak langsung sudah memahami konsep dasar pergerakan.

B. Metamorfosa Pengikut menuju Pengubah


Lalu mengapa? Begini sahabat-sahabat sekalian, apabila Para-Automaton di
MAPABA 2022 lalu kita artikan sebagai “orang yang ikut-ikutan” tanpa tau
mengapa ia harus ikut, sekedar berlandaskan pada stigma “kalau tidak manut
berarti nakal”, maka para Para-Automaton yang itu selama ini telah
memerdekakan dirinya, membunuh sosoknya sendiri dari yang awalnya ikut-
ikutan kemudian tergerak menjadi sosok pengubah, pemengaruh.
Walaupun realitanya, “kebebasan adalah sebuah persalinan yang
menyakitkan”1, tetapi perubahan dari yang awalnya hanya ikut-ikutan menjadi
sosok yang dalam mengubah—dalam bahasa kita agent of change merupakan
suatu hal yang patut diberikan penghargaan bukan? Karena menjadi sosok yang
seperti itu di tengah gempuran arus teknologi digital, media sosial, serta
maraknya kecerdasan buatan, membuat manusia saat ini berpikiran pragmatis
dan terlena dengan kehidupan yang saat ini dijalani. Kami menaruh percaya pada
kader-kader bahwa kalian sudah bukan lagi manusia yang ikut-ikutan, terlena
dengan pesatnya perkembangan zaman dan perlahan mewujud diri menjadi
sosok pengubah sebagaimana harapan kami.

C. Problematika Arus Modernitas


Kami yakin kalian pasti pernah mengalami suatu momen dimana smartphone
kalian mulai dari iklan bawaan, google, maupun media sosial kalian tiba-tiba
dalam waktu bersamaan memuat sesuatu yang sedang kalian pikirkan, kalian
inginkan. Bukankah hal tersebut membuat kalian bertanya-tanya? Kok bisa?
Namun hanya sekedar tanya sepersekian detik, setelah itu kalian lanjutkan
kegiatan scrolling tiktok, instagram yang sangat nikmat itu.
Kecanduan sarapan informasi fiktif—tidak dibutuhkan, algoritma sosial
media membuat manusia hidup dalam keterlenaan. Serba cepatnya informasi
dan komunikasi membuatnya kuwalahan dalam pencernaan informasi yang
masuk, sehingga semuanya diserap dan dikonsumsi tanpa adanya filtrasi. Hal ini
digambarkan Jean Baudrillard dalam teori simulacra “bahwa realitas dalam
media adalah realitas semu dimana sesuatu kebenaran dimanipulasi agar
masyarakat mengikuti dan mengkonsuminya”2.
Hal tersebut sudah melekat, menjadi kebiasaan pada masyarakat kita saat
ini. Menurut Bourdieu habitus merupakan suatu sistem melalui kombinasi
struktur objektif dan sejarah personal, disposisi yang berlangsung lama dan
berubah-ubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang
terstruktur dan terpadu secara objektif3. Sebagaimana juga belajar, kajian,
diskusi, datang tepat

1
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Alih Bahasa. (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 1993), hal 22.
2
Theguh Saumantri and Abdu Zikrillah, “Teori Simulacra Jean Baudrillard Dalam Dunia Komunikasi Media
Massa,” ORASI: Jurnal Dakwah dan Komunikasi 11, no. 2 (2020): 247.
3
Mangihut Siregar, “Teori Gado-Gado Pierre-Felix Bourdieu,” Jurnal Studi Kultural 1, no. 2 (2016): 79–82.
waktu, dan berpakaian rapi yang dilakukan oleh mahasiswa. Kebiasaan-
kebiasaan ini sebenarnya muncul dari individu yang kemudian merebak ke
masyarakat banyak. Sehingga, apabila ada individu yang tidak melakukan apa
yang mayoritas lakukan, maka hal itu sudah dipastikan dianggap kesalahan.
Begitulah “habit”. Kebiasaan latah, tidak peduli apakah itu benar apakah itu
salah, apakah itu perlu apakah itu tidak, bukan menjadi persoalan. Dimana
informasi ada, di sana masyarakat ada. Sudah latah, mudah tersulut emosinya,
mudah percaya padahal itu memang penggiringan opini, ditimpa lagi dengan
adanya artificial intelligence. Hal ini harusnya saat ini menjadi sebuah momok
yang sangat menakutkan bagi kader-kader PMII karena esensi kita sebagai
mahasiswa yang harusnya agent of change ternyata malah ikut terjerumus. Lalu
siapa lagi yang mau ditampar sehingga sadar daruratnya kondisi saat ini?
Renungkan!

D. Pengembangan Kesadaran Kader Menilik Kondisi Sosial


Maka PKD 2022 hadir dengan harapan membawa solusi atas problematika di
atas, menampar automaton-automaton yang sedang terlena di kandangnya.
Tema besar “Teror Habitus Simulakra” sudah dipastikan menjadi problem
yang harus dipecahkan oleh kader-kader, dibersamai dengan “Amplifikasi
Spesies Dialogis sebagai Manifestasi Emansipasi Kultural”.
“Dialog dibangun dengan cinta, kerendahan hati, dan keyakinan yang
menghasilkan hubungan horizontal di mana sikap saling mempercayai
di antara para pelakunya adalah sikap yang logis,” – Paulo Freire
dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas4
”Spesies dialogis” sarat akan makna perasaan yang timbul pada diri manusia
akibat rasa cinta dengan tujuan untuk memperbaiki sesuatu dengan hubungan
kesetaraan yang sejajar—horizontal. Dalam hal ini, yang sangat perlu diperbaiki
adalah pendidikan melalui tatanan sosialnya.
Amplifikasi berarti perluasan, peningkatan, kegiatan memperbanyak5.
“Amplifikasi Spesies Dialogis” mewujud sebagai “Manifestasi Emansipasi
Kultural”

4
Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, hal 85.
5
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008).
dimana spesies dialogis tersebut menjadi hegemoni untuk kemudian
dimanifestasikan pada emansipasi kultural.
Emansipasi singkatnya adalah pembebasan. Pembebasan atas apa? Kultural
yang seperti apa? Sebagaimana dijelaskan pada poin problematika di atas. Para
spesies dialogis tadi kemudian memiliki tujuan di kancah masyarakat yakni
perubahan tatanan sosial. Kultur yang saat ini ada, terlebih kultur yang salah
kaprah akan dibebaskan menuju kultural yang sehat sesuai nalar dan akal sehat
manusia dialogis tadi.
Spesies dialogis itu kritis dan tahu bahwa meskipun di dalam kekuatan
manusia untuk mencipta dan mengubah, dalam sebuah situasi pengasingan yang
konkret, seseorang bisa salah dalam menggunakan kekuatan tersebut. Ia yakin
bahwa kekuatan untuk menciptakan dan mengubah cenderung akan lahir
kembali. Kelahiran itu akan datang melalui perjuangan pembebasan, karena
tanpa keyakinan ini pada manusia, dialog adalah sebuah lelucon yang pasti akan
jatuh ke dalam manipulasi paternalistik.
Ketika penyadaran sudah ada, maka biarlah masyarakat yang menilai, mau
dibawa kemana pendidikan kita? Biar masyarakat sendiri yang memilih mana
yang perlu dan mana yang tidak perlu. Maka apabila tatanan sosial sudah baik,
tidak akan berkhianat pula pendidikan juga akan menjadi baik.

Daftar Pustaka
Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Alih Bahas. Yogyakarta: Penerbit Narasi,
1993.
Jakarta, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Mangihut Siregar. “Teori Gado-Gado Pierre-Felix Bourdieu.” Jurnal Studi Kultural 1, no. 2
(2016): 79–82.
Saumantri, Theguh, and Abdu Zikrillah. “Teori Simulacra Jean Baudrillard Dalam Dunia
Komunikasi Media Massa.” ORASI: Jurnal Dakwah dan Komunikasi 11, no. 2 (2020):
247.

Anda mungkin juga menyukai