1
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Alih Bahasa. (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 1993), hal 22.
2
Theguh Saumantri and Abdu Zikrillah, “Teori Simulacra Jean Baudrillard Dalam Dunia Komunikasi Media
Massa,” ORASI: Jurnal Dakwah dan Komunikasi 11, no. 2 (2020): 247.
3
Mangihut Siregar, “Teori Gado-Gado Pierre-Felix Bourdieu,” Jurnal Studi Kultural 1, no. 2 (2016): 79–82.
waktu, dan berpakaian rapi yang dilakukan oleh mahasiswa. Kebiasaan-
kebiasaan ini sebenarnya muncul dari individu yang kemudian merebak ke
masyarakat banyak. Sehingga, apabila ada individu yang tidak melakukan apa
yang mayoritas lakukan, maka hal itu sudah dipastikan dianggap kesalahan.
Begitulah “habit”. Kebiasaan latah, tidak peduli apakah itu benar apakah itu
salah, apakah itu perlu apakah itu tidak, bukan menjadi persoalan. Dimana
informasi ada, di sana masyarakat ada. Sudah latah, mudah tersulut emosinya,
mudah percaya padahal itu memang penggiringan opini, ditimpa lagi dengan
adanya artificial intelligence. Hal ini harusnya saat ini menjadi sebuah momok
yang sangat menakutkan bagi kader-kader PMII karena esensi kita sebagai
mahasiswa yang harusnya agent of change ternyata malah ikut terjerumus. Lalu
siapa lagi yang mau ditampar sehingga sadar daruratnya kondisi saat ini?
Renungkan!
4
Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, hal 85.
5
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008).
dimana spesies dialogis tersebut menjadi hegemoni untuk kemudian
dimanifestasikan pada emansipasi kultural.
Emansipasi singkatnya adalah pembebasan. Pembebasan atas apa? Kultural
yang seperti apa? Sebagaimana dijelaskan pada poin problematika di atas. Para
spesies dialogis tadi kemudian memiliki tujuan di kancah masyarakat yakni
perubahan tatanan sosial. Kultur yang saat ini ada, terlebih kultur yang salah
kaprah akan dibebaskan menuju kultural yang sehat sesuai nalar dan akal sehat
manusia dialogis tadi.
Spesies dialogis itu kritis dan tahu bahwa meskipun di dalam kekuatan
manusia untuk mencipta dan mengubah, dalam sebuah situasi pengasingan yang
konkret, seseorang bisa salah dalam menggunakan kekuatan tersebut. Ia yakin
bahwa kekuatan untuk menciptakan dan mengubah cenderung akan lahir
kembali. Kelahiran itu akan datang melalui perjuangan pembebasan, karena
tanpa keyakinan ini pada manusia, dialog adalah sebuah lelucon yang pasti akan
jatuh ke dalam manipulasi paternalistik.
Ketika penyadaran sudah ada, maka biarlah masyarakat yang menilai, mau
dibawa kemana pendidikan kita? Biar masyarakat sendiri yang memilih mana
yang perlu dan mana yang tidak perlu. Maka apabila tatanan sosial sudah baik,
tidak akan berkhianat pula pendidikan juga akan menjadi baik.
Daftar Pustaka
Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Alih Bahas. Yogyakarta: Penerbit Narasi,
1993.
Jakarta, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Mangihut Siregar. “Teori Gado-Gado Pierre-Felix Bourdieu.” Jurnal Studi Kultural 1, no. 2
(2016): 79–82.
Saumantri, Theguh, and Abdu Zikrillah. “Teori Simulacra Jean Baudrillard Dalam Dunia
Komunikasi Media Massa.” ORASI: Jurnal Dakwah dan Komunikasi 11, no. 2 (2020):
247.