PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
(METODE LOKA KARYA)
DOSEN PENGAMPU : Ns. Tedy Asharyadi, S.Kep, M.Kep
DI SUSUN OLEH :
MARISA OKTAVIA
(173001010010)
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah Pemberdayaan Masyarakat.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.2. Identifikasi Masyarakat...................................................................................……………6
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan keseharian kata workshop tidak jarang kali dipakai terutama untuk semua
pelaku di dunia usaha ataupun dunia pendidikan. Bagi banyak sekali orang yang berkecimpung
di dunia tersebut, workshop pastinya bukanlah suatu kata yang asing di telinga mereka. Hal ini
lumrah saja menilik dua bidang pekerjaan ini adalahdua bidang yang sangat sering mengadakan
sekian banyak macam pekerjaan workshop. Akan namun hal ini akan paling jauh bertolak
belakang dengan orang-orang awam. Kebanyakan orang awam melulu sekedar mendengar kata
workshop saja tanpa memahami apa makna dari kata tersebut.
Workshop, atau yang tidak jarang disebut dengan istilah lokakarya, berasal dari kata “work”
yang dengan kata lain kerja, dan “shop” yang dengan kata lain toko. Dengan demikian,
workshop adalahtempat berkumpulnya para pribadi yang sehubungan dan berinteraksi satu sama
beda dengan memaparkan usulan yang mereka miliki, supaya mereka dapat menyelesaikan
sebuah permasalahan.
Kata workshop juga dapat diartikan sebagai lokasi berkumpulnya sebanyak orang yang
mempunyai latar belakang yang sama, yang bertukar pikiran tentang suatu persoalan dengan
teknik memberi usulan / pendapat mengenai masalah tersebut.
Sedangkan menurut keterangan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, workshop adalahpertemuan
yang dilaksanakan untuk saling bertukar ilmu pengetahuan dan pengalaman salah satu para
peserta yang mempunyai profesi atau kemahiran yang sama. Workshop bermanfaat untuk
meningkatkan ilmu pengetahuan atau mendapatkan penyelesaian terbaik atas persoalan tertentu.
1
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja konsep perilaku manusia.
1. Mengetahui Tujuan Mengorganisirkan Masyarakat
2. Mengetahui Identifikasi Masyarakat
3. Mengetahui Dasar Pengelompokan Masyarakat
4. Mengetahui Apa Itu Dinamika Kelompok
5. Mengetahui Contoh Lokakarya di Masyarakat
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sadar Ketertindasan
Semenjak orde baru berkuasa rakyat sudah tidak mempunyai ruang gerak, rakyat
dibungkam dalam kekritisannya, apalagi sejak peristiwa malari, tidak tampak nuansa perlawanan
rakyat lagi. Rakyat benar-benar “dininabobokan” dengan ilusi-ilusi yang menggiurkan,
mahasiswa yang merupakan bagian dari rakyat diajak untuk berdansa-dansi dan jauh dari
kehidupan politik dengan diberlakukannya NKK-BKK, organisasi-organisasi Mahasiswa yang
dulunya menjadi organisasi intra-universiter harus “terusir” dari kampusnya dikarenakan
kebijakan NKK-BKK tersebut dan harus berideologi Pancasila sebagai asas tunggal dari
organisasi mereka. Padahal kalau dilihat dari filosofis Pancasila sendiri memahami keterbedaan.
Bagi mereka yang melawan maka organisasinya akan di “bredel”.
Sementara petani tidak lagi dapat menguasai alat produksinya yaitu tanah, tanah-tanah
mereka dirampas dengan dalih untuk pembangunan, padahal dalih semacam itu tidaklah benar,
yang benar adalah negara lebih mementingkan konsep developmentalisme yang didukung
investor asing dengan melakukan eksploitasi sumber daya di Indonesia baik sumber daya alam
maupun sumber daya manusianya. Kalau mereka melawan maka mereka akan dibunuh oleh
rejim Soeharto pada saat itu, peristiwa Lampung, Peristiwa Kedung Ombo, Peristiwa Jenggawah,
Peristiwa Nipah dan peristiwa-peristiwa yang lainnya adalah bukti nyata ketertindasan
masyarakat petani bahwa mereka sudah tidak mampu lagi berkuasa akan tanah mereka sendiri
dan negara sudah mengkhianati amanah pasal 33 UUD 1945. Buruh-buruh juga tidak dapat
menentukan nasib mereka sendiri, upah mereka sangat tidak layak, buruh perempuan juga tidak
ada jaminan untuk melaksanakan hak-haknya, kebebasan mereka untuk berserikat juga dibatasi,
cerminan kematian marsinah sang pahlawan buruh adalah salah satu contoh dari ketertindasan
yang dialami oleh buruh.
3
Kaum nelayan tradisional juga demikian, mereka sudah tidak bisa lagi menangkap ikan
di laut karena ikan-ikan habis ditangkapi oleh Kapal-kapal Trawl yang cukup canggih milik
korporasi-korporasi borjuasi yang diijinkan oleh negara dan itu sangat merusak ekosistem laut.
2. Sadar Melawan
Setelah kesadaran kritis akan ketertindasan mereka terbangun maka yang harus dicapai
adalah kesadaran massa rakyat akan melawan. Mereka harus bangkit untuk melawan dari
ketertindasan. Mereka harus segera merebut kedaulatannya dari pemerintah yang lalim dan
dzalim serta pemerintahan yang hanya berpihak kepada kaum pemodal dan imperialisme asing.
Karena kesadaran dari ketertindasan akan menjadi kesadaran semu apabila tidak
diberikan pendidikan kesadaran akan melawan. Benar bahwa mereka sudah sadar dari
ketertindasan, tetapi kemudian mereka tidak tahu bagaimana mereka harus melawan, yang pada
akhirnya hal tersebut akan bermuara pada kepasrahan dan sikap skeptis pada keadaan. Kalaupun
mereka sudah tumbuh kesadaran akan melawan hanyalah kesadaran perindividu sehingga
gerakan mereka tidaklah massive dan dapat dipatahkan.
4
Disinilah seorang organizer haruslah bekerja ekstra keras dan dengan kesabaran mereka
mencoba meyakinkan massa rakyat bahwa kesadaran akan melawan itu adalah kesadaran
kolektif dan harus dipunyai oleh setiap individu serta dengan memberikan pemahaman bahwa
“Diam tertunduk untuk ditindas atau bangkit mentap untuk melawan sebab mundur adalah
pengkhianatan” ini adalah salah satu jargon yang efektif agar mereka memiliki kesadaran untuk
melawan.
3. Sadar Organisasi
Setelah dicapai kesadaran kolektif maka capaian terakhir dalam pengorganisiran rakyat
adalah sadar organisasi. Artinya disini setelah massa rakjat mengalami kesadaran untuk melawan
maka perlu dipahamkan bahwa ketika kesadaran kolektif untuk melawan muncul akan cukup
efektif apabila ada suatu wadah atau organisasi sebagai alat perjuangannya, jadi bukan melawan
tanpa wadah karena kalau melawan tanpa wadah ataupun melawan secara sendiri-sendiri maka
akan mudah dipatahkan dan hanya bisa dikatakan gerak gerik bukan gerakan atau gerakan tanpa
bentuk.
Untuk itu seorang organizer haruslah segera bertindak dengan memberikan pembelajaran
kepada massa rakyat untuk segera berorganisasi. Organisasi inipun berfungsi sebagai alat untuk
mendidik penguasa bahwa rakyat mampu melakukan perlawanan secara kolektif melalui
organisasi. Organisasi yang berbasis masyarakat atau Community Based Organization (CBO)
haruslah mempunyai program kerja yang jelas dan sistematis termasuk persoalan kaderisasi.
Untuk itu seorang organizer haruslah memikirkan tentang sistematika kaderisasi untuk
kelangsungan kelembagaan masyarakat yang dibuat tersebut dan juga harus mampu menciptakan
seorang community organizer dari lingkungan community based organization tersebut. Dengan
adanya pola kaderisasi yang tersisitematis maka akan ada keberlanjutan (suistainability) terhadap
organisasi rakyat tersebut.
5
Disamping itu organisasi bentukan masyarakat yang difasilitasi oleh Community
organizer harus mampu untuk melakukan advokasi sendiri tanpa tergantung dari community
organizer, jadi pendidikan yang nantinya diberikan haruslah bernuansa pembebasan bukan
malah menimbulkan patronase. Organisasi tersebut selain harus dihilangkan rasa ketergantungan
pada seorang organizer maka organisasi tersebut haruslah dimaknai sebagai kerja kolektif
(Collective Collegia) dan tidak tergantung pada satu orang pemimpin, karena kalau tergantung
pada satu orang community organizer ataupun seorang pemimpin maka ketika community
organizer-nya sudah tidak ada lagi mendampingi ataupun ketika pemimpin organisasi tersebut
sudah tidak bisa menjalankan organisasi tersebut dengan baik yang terjadi adalah organisasi
tersebut mengalami stagnasi. Harus dipahami prinsip kerja collective colegia adalah
mengedepankan prinsip partisipatif secara menyeluruh.
2.Identifikasi Masyarakat
Dilakukan identifikasi kebutuhan dan harapan masyarakat, kelompok masyarakat, dan individu
yang merupakan sasaran kegiatan.” Pembuktian yang bisa disampaikan disini adalah bukti
pelaksanaan kegiatan identifikasi kebutuhan masyarakat :
Bukti-bukti dari pelaksanaan kegiatan survei, bukti pertemuan dengan tokoh masyarakat
dan lainnya, yang merupakan bahan identifikasi kebutuhan masyarakat. Bila bukti beru
Bukti rekapitulasi hasil survei dan bagaimana menjelaskan bahwa dari hasil survei
tersebut ada kebutuhan masyarakat.
6
3.Dasar Pengelompokan Masyarakat
Ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan agar tidak salah dalam mengonsep
penyelenggaraan workshop. Pertama, sebuah workshop harus menghadirkan minimal satu orang
pakar dan materi yang dikupas sangat detail, spesifik, dan fokus. Bukan isu umum yang
mencakup banyak hal.
Keaktifan peserta dalam menanggapi materi yang diberikan adalah kunci sukses dari sebuah
workshop. Karena itu, penting bagi panitia untuk menjaga situasi tetap kondusif untuk
berlangsungnya diskusi.
Selain itu, usahakan peserta juga dapat praktik langsung agar ilmu dan pengalaman yang didapat
lebih maksimal.Hal ini selaras dengan tujuan utama penyelenggaraan workshop. Tak hanya
supaya peserta mendapat ilmu dan sudut pandang baru, namun juga meningkatkan keterampilan
peserta.Contohnya, workshop pemasaran digital melalui media sosial. Peserta tak hanya menjadi
paham pentingnya memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan penjualan, namun juga
mencoba secara langsung bagaimana caranya memanfaatkan tools yang tersedia di media sosial
untuk promosi.
4.Dinamika Kelompok
KITA sering mengeluh betapa sulitnya menemukan kepemimpinan yang cukup “menggigit” di
dalam organisasi. Kita tidak perlu membicarakan pemimpin tingkat negara. Dalam kelompok
kecil pun, katakanlah 15 sampai 20 orang, kita sering menjumpai kurangnya komunikasi satu
sama lain, tidak ada sambung rasa di antara mereka.
Banyak di antara kelompok-kelompok ini berkinerja baik. Artinya, tidak ada tugas yang tidak
diselesaikan, apalagi yang berkaitan dengan kepuasan pelanggan. Namun demikian, bila kita
telaah lebih dalam, terasa betapa kurang adanya api dalam semangat kerja berkelompoknya.
Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan emosi, seperti rasa empati dan simpati, tidak berkembang
di lingkungan kelompok.
Dari sini kita bisa membaca bahwa kelompok bisa saja berkerja sama dalam tugas karena
masing-masing individu memang memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk penyelesaian
tugas tersebut. Namun, belum tentu ada keterlibatan individunya yang bisa menghasilkan
inisiatif dan inovasi. Kita bisa bayangkan betapa sulitnya manajer kelompok menguasai anggota
kelompoknya bila perasaan tidak dilibatkan di situ. Tidak menyadari bahwa anggota
kelompoknya sedang tidak berbicara dengan anggota yang lain atau bahkan dengan manajer itu
sendiri. Bisa juga tidak tahu bahwa anggota kelompoknya sedang galau dan tidak bisa
memfokuskan perhatian ke pekerjaannya.
7
Hal-hal seperti ini mungkin untuk jangka pendek tidak mengganggu kinerja kelompok. Namun,
tentunya akan sulit untuk membuat kelompok going extra mile, berpikir lebih jauh menembus
batas-batas dari apa yang dimiliki selama ini. Sudah lama nampaknya kita berkutat pada kinerja
pemimpin dan kelompoknya, tetapi tidak sampai menelaah perasaan anggota-anggotanya secara
mendalam.
Pada 1946, ahli Psikologi Sosial Kurt Lewin mengembangkan konsep dinamika kelompok.
Bahkan, Lewin menggunakan istilah sensitivity untuk empati, yaitu kemampuan individu untuk
meraba rasakan perasaan dan pikiran orang lain yang pasti berbeda dengan pendapatnya sendiri.
Pelatihan sensitivity dikembangkan agar para peserta dapat meningkatkan kesadaran dan
perasaan terhadap reaksi-reaksi emosional dalam dirinya sendiri dan orang lain beserta
konsekuensinya.
Selanjutnya, anggota kelompok bisa melihat dan mengembangkan nilai pribadinya dan
menyesuaikan dengan sasaran yang ingin dicapai kelompok. Workshop sejenis ini berkembang
terus sampai beberapa decade, tetapi kemudian mulai dikalahkan oleh berkembangnya
individualisme, yang berusaha melihat kinerja orang per orangnya dan bukan per kelompok lagi.
Orang mulai memfokuskan perhatian pada penilaian karya individual, coaching dan pelatihan,
sementara dinamika kelompok sudah ditempatkan pada prioritas yang lebih rendah.
Pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kerja kelompok lebih difokuskan kepada output semata.
Bahkan, kemudian timbul semacam spirit di mana getting the jobs done lebih penting daripada
hubungan antarmanusia. Sehingga, individu yang sanggup mencetak kinerja yang signifikan
dihargai semakin tinggi. We, as a culture, are hooked on individual accountability.
Kita sebenarnya bisa merasakan bila kelompok berdinamika positif. Di sana setiap anggota
kelompok bisa berkomentar apa saja, pengambilan keputusan terjadi secara kolektif dan masing-
masing anggota kelompok peduli terhadap kinerja temannya. Bahkan, hasil penelitian
mengatakan bahwa kelompok yang berdinamika positif dua kali lebih kreatif dari kelompok rata-
rata.
8
Sebaliknya, dalam kelompok yang berdinamika negatif, anggotanya sedikit demi sedikit
merongrong kinerja kelompoknya. Bisa saja pengambilan keputusan melambat, atau bahkan
memilih keputusan yang salah, karena proses semacam brainstorming tidak dijalankan dengan
cerdik. Dinamika negatif ini bisa disebabkan kepemimpinan yang lemah, lambat, bahkan salah
dalam mengambil keputusan. Ataupun kelompok yang tidak bisa memilih jalannya sendiri
karena menunggu keputusan dari otoritas yang lebih tinggi. Memang ada anggota kelompok
yang sulit, seperti terlalu agresif, pesimis, terlalu menarik diri ataupun tidak pernah serius. Ada
juga anggota kelompok yang hanya memikirkan dirinya sendiri, hanya berkinerja sesuai
porsinya.
Banyak sekali pemimpin kelompok yang menyadari tentang hal ini, tetapi tidak merasakan sense
of urgency untuk membenahi kelompoknya. Seorang pemimpin perlu mengupayakan “tahu,
mampu, dan mau” anggota kelompoknya secara seimbang. Pemimpin kelompok juga perlu
mempelajari dan mengenali peran-peran informal yang bisa tumbuh dalam kelompoknya,
meredam yang negatif serta menghidupkan yang positif. Ia pun perlu menyadari apakah ia sudah
menjaga keseimbangan pendekatannya sendiri terhadap anggota-anggota kelompoknya. Ia juga
perlu mengulas kembali: apa masalah yang dihadapi masing-masing anggotanya, apa hasil dan
sasaran yang sebenarnya diharapkan dan mengapa hal itu penting menurut mereka.
“Pay attention”
Dengan sangat pentingnya perilaku berkelompok di zaman digital ini, pemimpin benar-benar
perlu mengasah kepekaan, mengenali anggota kelompoknya secara individual dan mempelajari
persepsi mereka. Siapa yang butuh perhatian lebih dan siapa yang senang menyendiri. Jeli
mengenali siapa yang bersikap tulus, siapa yang bersikap “dua muka”. Target dan tuntutan
perusahaan maupun pelanggan yang kian menantang sering membuat kita lupa pada proses
internal dalam kelompok. Jangan sampai kita menyesal karena tidak menggarap dinamikanya
lebih intensif sebelumnya.
Tujuan umum Lokakarya Mini Puskesmas adalah untuk meningkatkan fungsi Puskesmas melalui
penggalangan kerja sama tim baik lintas program maupun lintas sektor serta terlaksananya
kegiatan Puskesmas sesuai dengan perencanaan.
9
Sedangkan tujuan khusus Minlok Puskesmas antara lain untuk :
Mini lokakarya Puskesmas merupakan salah satu bentuk upaya untuk penggalangan dan
pemantauan berbagai kegiatan melalui pertemuan.
Lintas Sektor: Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dan dukungan sektor-sektor
yang bersangkutan dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan. Pertemuan dilaksanakan untuk :
Tujuan umum Lokakarya Bulanan Intern Puskesmas adalah untuk pemantauan hasil kerja
petugas Puskesmas dengan cara membandingkan rencana kerja bulan lalu dari setiap petugas
dengan hasil kegiatannya dan membandingkan cakupan kegiatan dari daerah binaan dengan
targetnya serta tersusunnya rencana kerja bulan berikutnya.
10
Sedangkan Tujuan Khusus untuk :
Masukan
1. Penggalangan tim dalam bentuk dinamika kelompok tentang peran, tanggungjawab staf
dan kewenangan Puskesmas.
2. Informasi tentang kebijakan, program dan konsep baru berkaitan dengan Puskesmas.
3. Informasi tentang tatacara penyusunan rencana kegiatan (Plan Of Action = POA)
Puskesmas.
Proses
Keluaran
11
Lokakarya Mini Bulanan Rutin
Lokakarya Bulanan Puskesmas ini diselenggarakan sebagai tindak lanjut dari Lokakarya Mini
Bulanan yang pertama. Lokakarya Bulanan Rutin ini dilaksanakan untuk memantau pelaksanaan
POA Puskesmas, yang diiakukan setiap bulan secara teratur.
Masukan
Proses
Keluaran
12
4. Demikian halnya dengan waktu penyelenggaraan diatur oleh Puskesmas, misalnya
penyelenggaraan pada jam 10.00 — 15.00.
5. Prinsip yang harus dipegang adalah bahwa Lokakarya Mini Bulanan dilaksanakan dengan
melibatkan seluruh petugas Puskesmas, tanpa mengganggu aktivitas pelayanan serta
dapat tercapai tujuan.
6. Acara: Pada dasarnya susunan acara Lokakarya Mini Bulanan bersifat dinamis, dapat
disusun sesuai dengan kebutuhan, ketersediaan waktu dan kondisi Puskesmas setempat.
Sebagai contoh susunan acara Lokakarya Mini adalah sebagai berikutLokakarya Mini
Bulanan Yang pertama disebut juga dengan Lokakarya Penggaiangan Tim
1. Pembukaan
2. Dinamika kelompok
3. Pengenalan program baru
4. POA Puskesmas
5. Analisa beban kerja petugas
6. Pembagian tugas dan desa binaan
7. Kesepakatan untuk melaksanakan rencana kerja baru
1. Pennbukaan
2. Dinamika Kelompok; menumbuhkan motivasi
3. Pengenalan program baru
4. Inventarisasi kegiatan bulan !arta
5. Analisa pemecahan masalah dan pemecahan
6. Penyusunan kegiatan bulan yang akan datang
7. Pembagian tugas bulan yang akan datang
8. Kesepakatan untuk melaksanakan rencana kerja baru
5. Tempat : Diupayakan agar Lokakarya Mini dapat diselenggarakan di Puskesmas, apabila tidak
memungkinkan dapat menggunakan tempat lain yang Iokasinya berdekatan dengan Puskesmas.
Ruang yang dipakai hendaknya cukup untuk menampung semua peserta.
.13
BAB III
PENUTUP
Kelebihan Workshop
Peserta workshop memperoleh informasi atau keterangan teoritis yang mendalam tentang
permasalahan tertentu.
Peserta workshop memperoleh berbagai petunjuk praktis guna melaksanakan tugasnya.
Peserta workshop dilatih untuk bersikap dan berpikir secara ilmiah.
Peserta workshop dilatih agar mampu bekerjasama dengan orang lain.
Kekurangan Workshop
Tujuan Workshop
Tujuan dari workshop ialah untuk memperoleh informasi melalui pengalaman langsung dan saling
menyampaikan informasi.
14
DAFTARA PUSTAKA
https://www.jatikom.com/pengertian-workshop-beserta-jenisnya/
http://www.indonesian-publichealth.com/panduan-lokakarya-mini-puskesmas/
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjnquLdpJ_pAhX
VT30KHXYYCLoQFjACegQIARAB&url=https%3A%2F%2Fwww.experd.com%2Fid
%2Farticles%2F2019%2F02%2F1237%2Fdinamika-
kelompok.html&usg=AOvVaw3MAdBYd3iGqgrbvWPHdPrt