Alhamdulillah, puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Masyarakat Madani Dalam Prespektif Islam” dengan
tepat waktu. Sholawat serta salam tak lupa kami sanjungkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya kelak di yaumul kiamah.
1. Ibu Dra. Saniah, selaku dosen pengampu yang telah memberikan arahan
kepada kami dalam rangka penyelesaian makalah ini.
2. Kepada orang tua memotivasi kami sehingga makalah ini terselesaikan.
3. Kepada teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
Tim Penulis
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul.......................................................................................................
Daftar Isi................................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian masyarakat madani?
2. Bagaimana sosio-histori masyarakat madinah pada zaman
Rasulullah?
3. Bagaimana karakteristik masyarakat madani?
4. Bagaimana masyarakat madani dalam prespektif islam?
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan
budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta
pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalamnya.
3. Menurut Kim Sunhyuk, masyarakat madani adalah suatu satuan
yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri
menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang
secara relative otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan
dasar dari reproduksi dan masyarakat politik yang mampu
melakukan kegiatan politik dalam ruang public, guna memajukan
kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralism
dan pengelolaan yang mandiri.
Akan tetapi secara global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik
benang emas, bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah
sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri
dihadapan penguasa dan Negara, memiliki ruang public dalam
mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiriyang
dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan public.
6
dengan landasan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT.
Kualitas manusia bertaqwa secara essensial adalah manusia yang
memelihara hubungan dengan Allah SWT (habl min Allah) dan
hubungannya dengan dengan sesama manusia (habl min al-nas).
Akhlakul karimah dapat terwujud manakala masing-masing individu
dan kelompok masyarakat terjadi saling membelajarkan atau berperan
sebagai pembawa kearah kebenaran yang digariskan oleh Allah. Karena
Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum manakala mereka tidak
berbuat kearah perbaikan yang dikehendakinya.
7
Tidak hanya itu, masyarakat madani kemudian juga dipakai sebagai cara
pandang untuk memahami universalitas fenomena demokrasi di
berbagai negara.
8
memiliki basis dan kekuatan yang memumpuni di samping melakukan
konsolidasi dan proses islamisasi untuk menggerakkan dan mengelola
berbagai sector kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti sector
ekonomi, politik, pemerintahan, pertahanan, dan lain-lain.
Kedua, penganut agama Yahudi, yang terdiri dari tiga kabilah besar,
yaitu Bani Qaynuqa, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzha. Ketiga kabilah inilah
yang dulu menghegemoni konstelasi politik dan perekonomian di Madinah,
hal tersebut disebabkan karena keahlian dan produktivitas mereka dalam
bercocok tanam dan memandai besi. Sementara kabilah-kabilah Arab yang
lain masih hidup dalam keadaan nomadic, atau karena keterbelakangan
mereka dalam hal tersebut. Adapun imbasnya adalah pengaruh mereka yang
begitu besar dalam memaunkan peranannya yang cenderung detruktif dan
provokatif terhadap kabilah-kabilah selain mereka. Hal tersebut
berlangsung dalam tempo yang sangat lama, hingga akhirnya Rasulullah
tiba di Madinah dan secara perlahan mereduksi pengaruh kaum Yahudi
yang oportunitis tersebut dengan prinsip-prinsip agung Islam yang
konstruktif dan solutif.
9
tatanan keislaman yang meliputi penyampaian dan penegakkan syariat
Tuhan secara utuh, dan tatanan kemasyarakatan yang meliputi
pembangunan masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip agung
Islam, berikut nilai dan norma yang ada pada al-Qur’an dan petunjuk nabi.
Sementara terkait dengan penganut kepercayaan lain, seperti kaum Yahudi
dan kaum Musyrikin, Nabi membuat sebuah piagam kebersamaan untuk
memperkokoh stabilitas sosial-politik antarwarga Madinah. Piagam itulah
yang kemudian disebut sebagai Piagam Madinah.
10
Yang dimaksud dengan Islam humanis di sini adalah bahwa
substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah, sepenuhnya
kompatibel dengan fitrah manusia. Allah berfirman :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah,
tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai
dengan fitrah tersebut. Tidak ada perubahan terhadap fitrah Allah,
akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Karena itu, dalam aktualisasinya, ajaran Islam yang disampaikan
oleh Rasulullah dengan mudah diterima oleh nurani dan nalar
manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam sejatinya adalah ajaran
yang memanusiakan manusia dengan sebenar-benarnya.
2) Islam yang moderat
Yang dimaksud dengan Islalm yang moderat adalah
keseimbangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan
manusia. Kemoderatan inilah yang diajarkan Rsulullah dengan
ajaran-ajaran lainnya, baik sebelum Rasulullah diutus maupun
sesudahnya. Secara etimologis, kata “modera” merupakan
terjemahan dari al-wasathiyah yang memiliki sinonim al-tawazun
(keseimbangan) dan al-I’tidal. Dalam hal ini Allah menjelaskan
karakteristik umat Rasulullah sebagai umat yang moderat.
Dalam catatan sejarahnya, karakteristik ini teraplikasikan
secara sempurna pada diri Rasulullah. Sesuai hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah pernah mengatakan dalam
penggalan doanya, “Ya Allah, perbaikilah agamaku sebab ia adalah
penjaga urusanku. Perbaikilah pula duniaku karena di sinilah
tempat hiduoku. Dan perbaikilah pula akhiratku karena di sanalah
tempat kembaliku.”
3) Islam yang toleran
Kata toleran merupakan terjemahan dari al-samahah atau al-
tasamuh yang merupakan sinonim dari kata al-tasahul atau al-
luyunah yang berarti kelonggaran, kemudahan, fleksibelitas, dan
11
toleransi itu sendiri. Kata “toleran” di dalam ajaran Islam memiliki
dua pengertian, yaitu yang berkaitan dengan panganut agama Islam
sendiri (Muslim), dan berkaitan dengan penganut agama lain (non
muslim).
Pada tataran aplikasi realnya, jika kita cermati hukum-
hukum Islam seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain, kita akan
mendapati kemudahan dan fleksibelitas di sana. Kita juga akan
mendapati berbagai indikasi augmentatif yang secara tidak
langsung mengukuhkan eksistensi setiap anggota masyarakat
sebagai khalifah di muka bumi, baik aspek personal maupun sosial,
seperti peningkatan mutu kepribadian seseorang, baik yang
berbentuk konkret maupun abstrak atau perintah untuk
membangkitkan kepekaan sosial yang dibangun atas dasar
persaudaraan, egalitarianisme, dan solidaritas. Karena itu, dalam
perjalanan sejarahnya syariat Islam tidak pernah menghambat laju
peradaban. Islam justru selalu mendorong umat manusia untuk
melakukan inovasi demi kemaslahatan manusia banyak. Islamlah
yang senantiasa menyeru umat manusia untuk tekun menuntut ilmu
dan melakukan berbagai kegiatan ilmiah guna menunjang eksistensi
mereka di dunia ini.
Sedangkan jika kata toleran dikatikan dengan Nonmuslim,
maka yang dimaksud adalah nilai-nilai toleransi yang dipahami
oleh khalayak pada umumnya. Dalam hal ini, ajaran Islam sangat
menghargai perbedaan keyakinan. Mereka yang berbeda keyakinan
akan mendapatkan hak-hak dan kewajiban yang sama sebagai
warga negara. Dengan kata lain, Islam benar-benar menjamin
keselamatan dan keamanan jiwa raga mereka, selama mereka
mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama.
Darah mereka haram ditumpahkan sebagaimana darah kaum
Muslimin. Allah berfirman, "Janganlah kalian membunuh jiwa
yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan ketentuan yang sesuai."
12
Rasulullah juga bersabda, "Barang siapa yang membunuh dzimmi
(non muslim yang hidup di daerah kaum Muslimin dengan
ketentuan yang telah disepakati) tanpa alasan yang jelas, maka
Allah mengharamkan baginya masuk surga."
13
kala itu telah melakukan lompatan jauh ke depan dengan kecanggihan tata
sosial dan pembangunan sistem politiknya (Hatta, 2001:1).
Nabi Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut,
dengan cara: pertama, membangun infrastruktur negara dengan masjid
sebagai simbol dan perangkat utamanya. Kedua, menciptakan kohesi sosial
melalui proses persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda, yaitu
Quraisy dan Yatsrib, serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam bingkai
solidaritas keagamaan. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup
berdampingan dengan komunitas lain, sebagai sebuah masyarakat
pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui Piagam Madinah.
Keempat, merancang sistem negara melalui konsep jihad fi sabilillah
(berjuang di jalan Allah).
Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun
oleh Nabi Muhammad SAW merupakan negara dan masyarakat yang kuat
dan solid. Peristiwa hijrah telah menciptakan keberagaman penduduk
Madinah. Penduduk Madinah tidak terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan
Yahudi saja, tetapi juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab lain. Nabi
SAW menghadapi realitas pluralitas, karena dalam struktur masyarakat
Madinah yang baru dibangun terdapat beragam agama, yaitu: Islam,
Yahudi, Kristen, Sabi’in, dan Majusi—ditambah ada pula yang tidak
beragama (atheis) dan bertuhan banyak (polytheis). Struktur masyarakat
yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi SAW di atas pondasi ikatan iman
dan akidah yang nilainya lebih tinggi dari solidaritas kesukuan (ashabiyah)
dan afiliasi-afiliasi lainnya.
Selain itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam beberapa
kelompok yang didasarkan atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun,
munafiqun, kuffar, musyrikun, dan Yahudi. Dengan kata lain, masyarakat
Madinah pada saat itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang
majemuk atau plural. Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan
membanjirnya kaum Muhajirin dari Makkah, hingga kemudian
mengakibatkan munculnya persoalan-persoalan ekonomi dan
14
kemasyarakatan yang harus diantisipasi dengan baik. Dalam konteks itu,
sosialisasi sistem persaudaraan menjadi kebutuhan mendesak yang harus
diwujudkan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Nabi Muhammad SAW
bersama semua unsur penduduk madinah secara konkret meletakkan dasar-
dasar masyarakat Madinah yang mengatur kehidupan dan hubungan
antarkomunitas, yang merupakan komponen masyarakat majemuk di
Madinah. Kesepakatan hidup bersama yang dituangkan dalam suatu
dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (Mitsaq al-Madinah)
dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Piagam
ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi satu-satunya
dokumen penting dalam perkembangan konstitusional dan hukum di dunia.
Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya
diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang
agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya
pertahanan secara bersama. Dalam piagam tersebut juga ditempatkan hak-
hak individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan,
persaudaraan (al-ukhuwwah) antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan
(al-'adalah), tidak membeda-bedakan (anti diskriminasi), dan menghargai
kemajemukan.
Dengan kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu
mempersatukan mereka. Fakta ini didasarkan pada: pertama, mereka hidup
dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk hidup dan bekerja bersama.
Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk mewujudkan
kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga, mereka
menerima Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang
otoritas politik yang legal dalam kehidupan. Otoritas tersebut juga
dilengkapi dengan institusi peraturan yang disebut Piagam Madinah yang
berlaku atas seluruh individu dan setiap kelompok.
15
Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada
dalam satu ikatan yang disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri
dari berbagai kelompok sosial yang disatukan dengan ikatan sosial dan
kemanusiaan yang membuat mereka bersatu menjadi ummah wahidah. Oleh
karena itu, perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam
mencipatakan suasana persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural.
Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa
agama bukanlah satu-satunya faktor ikatan sosial dalam suatu umat,
melainkan ada faktor universal yang dapat mendukung terwujudnya suatu
umat, yaitu unsur kemanusiaan. Karenanya unsur kemanusiaan sangat
dominan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk
politik. Demikian juga Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul
Mafhum al-Ummah fi Hadharat al-Islam, menyatakan bahwa umat yang
dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah merupakan umat yang
sekaligus bersifat agama dan politik (Bahri, 2001).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk Nabi
Muhammad SAW di kota Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu
menghimpun semua komunitas atau golongan penduduk Madinah, baik
golongan yang menerima risalah tauhid beliau maupun yang menolak.
Perbedaan akidah atau agama di antara mereka tidak menjadi alasan
untuk tidak bersatu-padu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Oleh karena itu, gagasan dan praktik membentuk satu umat dari berbagai
golongan dan unsur sosial pada masa itu merupakan sesuatu yang baru, yang
belum pernah dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun sehingga
seorang penulis Barat, Thomas W Arnold menganggapnya sebagai awal
dari kehidupan berbangsa dalam Islam, atau merupakan kesatuan politik
dalam bentuk baru yang disatukan oleh Piagam Madinah (Mitsaq al-
Madinah).
Konstitusi Piagam Madinah, yang berjumIah 47 pasal itu (Sukardja,
1995:47-57), secara formal mengatur hubungan sosial antarkomponen
dalam masyarakat. Pertama, antar sesama Muslim. Bahwa sesama Muslim
16
itu satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara
komunitas Muslim dengan non-Muslim didasarkan pada prinsip
bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi musuh
bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan
menghormati kebebasan beragama. Dari Piagam Madinah ini, setidaknya
ada dua nilai dasar yang tertuang sebagai dasar atau fundamental dalam
mendirikan dan membangun negara Madinah. Pertama, prinsip
kesederajatan dan keadilan (al-musawah wa al-’adalah). Kedua,
inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip ini, ditanamkan dalam bentuk
beberapa nilai humanis universal lainnya, seperti konsistensi (iltizam),
seimbang (tawazun), moderat (tawassut), dan toleransi (tasamuh).
Kesemuanya menjadi landasan ideal sekaligus operasional dalam menjalin
hubungan sosial-kemasyarakatan yang mencakup semua aspek kehidupan,
baik politik, ekonomi maupun hukum.
Pada masa awal Nabi SAW membangun Madinah, peran kelompok-
kelompok masyarakat cukup besar dalam pengambilan keputusan,
sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah. Tetapi seiring dengan
semakin banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah masa Nabi
kemudian berkembang menjadi “sistem teokrasi”. Negara, dalam hal ini
dimanifestasikan dalam figur Nabi SAW yang memiliki kekuasaan amat
besar, baik kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Segala sesuatu
pada dasarnya dikembalikan kepada Nabi SAW, dan ketaatan umat kepada
Nabi SAW pun semakin mutlak sehingga tidak ada kemandirian lembaga
masyarakat berhadapan dengan negara.
Meskipun demikian, berbeda dengan umumnya penguasa dengan
kekuasaan besar yang cenderung despotik (sewenang-wenang), Nabi SAW
justru meletakkan nilai-nilai dan norma-norma keadilan, persamaan,
persaudaraan, dan kemajemukan yang menjadi dasar dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, di samping mendukung keterlibatan
masyarakat (sahabat) dalam pengambilan keputusan secara musyawarah.
17
Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, sistem negara tidak lagi
berbentuk teokrasi melainkan “nomokrasi”, yaitu prinsip ketuhanan yang
diwujudkan dalam bentuk supremasi syariat. Namun peran masyarakat
menjadi lebih besar, di mana hal itu mengindikasikan mulai terbangunnya
masyarakat madani. Mereka melakukan kontrol terhadap pemerintah, dan
rekrutmen kepemimpinan pun yang didasarkan pada kapasitas individual.
Tetapi, setelah masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, situasi mulai berubah, peran
masyarakat mengalami penyusutan, rekrutmen pimpinan tidak lagi
berdasarkan pilihan rakyat (umat), melainkan atas dasar keturunan.
Lembaga keulamaan merupakan satu-satunya lembaga masyarakat madani
yang masih relatif independen. Pada masa kekhilafahan, yakni dari masa al-
Khulafa’ al-Rasyidun sampai menjelang runtuhnya Dinasti Ustmani akhir
abad ke-19, umat Islam telah memiliki struktur religio-politik (politik
berbasis agama) yang mapan, yakni lembaga legislatif dipegang oleh ulama.
Mereka memiliki kemandirian dalam berijtihad dan menetapkan hukum.
Dari pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya masyarakat
madani yang bernilai peradaban itu dibangun setelah Nabi Muhammad
SAW melakukan reformasi dan transformasi pada individu yang berdimensi
akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam praktiknya, iman dan moralitaslah yang
menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah. Prinsip-prinsip dan nilai-
nilai tersebut menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik,
ekonomi, dan hukum pada masa Nabi SAW.
Posisi Piagam Madinah adalah sebagai kontrak sosial antara Nabi
Muhammad SAW dengan penduduk Madinah yang terdiri dari pendatang
Quraisy, kaum lokal Yastrib, dan orang-orang yang menyatakan siap
berjuang bersama mereka. Posisi Rasul SAW adalah sebagai pimpinan yang
mereka akui bersama, dan telah meletakkan Islam sebagai landasan
bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya penjanjian tersebut, dalam
konteks teori politik, disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi
Madinah. Di dalamnya, terdapat pasal-pasal yang menjadi hukum dasar
sebuah negara kota yang kemudian disebut Madinah (al-Madinah al-
18
Munawarah atau Madinah al-Nabi). Nilai-nilai yang tercermin dalam
masyarakat Madinah saat itu pastilah nilai-nilai Islami yang tertuang di
dalam Piagam Madinah.
Kontrak sosial yang dilakukan Nabi SAW itu dinilai identik dengan
teori Social Contract dari Thomas Hobbes, berupa perjanjian masyarakat
yang menyatakan sumber kekuasaan pemerintah adalah perjanjian
masyarakat. Pemerintah memiliki kekuasaan, karena adanya perjanjian
masyarakat untuk mengurus mereka. Teori Social Contract J.J. Rousseau
bahwa otoritas rakyat dan perjanjian politik harus dilaksanakan untuk
menentukan masa depan rakyat serta menghancurkan monopoli yang
dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa atas nama kepentingan rakyat, juga
identik dengan teori Nabi Muhammad SAW ketika membangun ekonomi
dengan membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat Madinah
yang dibangun Nabi SAW itu sebenarnya identik dengan civil society,
karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau
peradaban. Nabi SAW menjadikan masyarakat Madinah pada saat itu
sebagai classless society (masyarakat tanpa kelas), yakni tidak membedakan
antara si kaya dan si miskin, pimpinan dan bawahan—di mana seluruhnya
sama dan sejajar di hadapan hukum.
Dari uraian di atas, secara terminologis masyarakat madani yang
berkembang dalam konteks Indonesia setidaknya berada dalam dua
pandangan, yakni: masyarakat Madinah dan masyarakat sipil (civil society).
Keduanya tampak berbeda, tetapi sama. Berbeda, karena memang secara
historis keduanya mewakili budaya yang berbeda, yakni masyarakat
Madinah yang mewakili historis peradaban Islam. Sedangkan masyarakat
sipil adalah hasil dari peradaban Barat, seperti telah dipaparkan di atas.
Perbedaan lainnya, masyarakat Madinah menjadi tipe ideal yang sangat
sempurna, karena komunitas masyarakat dipimpin langsung oleh Nabi
Muhammad SAW.
19
Apabila masyarakat madani diasosiasikan sebagai penguat peran
masyarakat sipil, maka masyarakat madani hanya bertahan di era empat al-
Khulafa’ al-Rasyidun. Setelah itu, masyarakat Islam kembali kepada masa
monarki, di mana penguasaan negara (state power) kembali menjadi besar,
dan peran masyarakat (society participation) menjadi kecil. Oleh sebab itu,
ketiga prinsip yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai elemen
penting terbentuknya “masyarakat madani”, yaitu masyarakat yang
memegang teguh ideologi yang benar, berakhlak mulia, bersifat mandiri
secara kultural-politik-ekonomi, memiliki pemerintahan sipil, memiliki
prinsip kesederajatan dan keadilan, serta prinsip keterbukaan.
Timbul pertanyaan, nilai substansial seperti apakah yang dapat
mewakili kecenderungan masyarakat Madinah? Apabila dikaji secara
umum, setidaknya nilai subtansial dari semangat Islam dalam
pemberdayaan masyarakat mencakup tiga pilar utama, yakni: musyawarah
(syura), keadilan (‘adl), dan persaudaraan (ukhuwwah). Sedangkan
masyarakat sipil (civil society) bermula dari semangat dan pergumulan
pemikiran masyarakat Barat untuk mengurangi peranan negara (state)
dalam kehidupan masyarakat.
Seperti diketahui bahwa pada abad pertengahan masyarakat Barat
dikuasai oleh dua kekuatan yang sangat dominan, yakni gereja dan kerajaan-
kerajaan. Sehingga para sejarahwan Barat menyebutnya sebagai Abad
Kegelapan (the Dark Ages). Selanjutnya, muncul gerakan perlawanan dari
para ilmuwan yang menghadirkan gerakan sekularisme dan humanisme, di
mana mereka menyatakan lepas dari keyakinan gereja, dan manusia
dianggap sebagai pusat segalanya (antrophosentris).
Dengan demikian, ada konsep baru yang ditawarkan Nabi SAW
bahwa negara itu melampaui batas-batas wilayah geografis. Negara itu lebih
cocok dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan (basic values of humanity),
sebab yang menjadi dasar utama kewarganegaraannya bukan nasionalisme,
suku, ras atau pertalian darah. Tetapi manusia dapat memilih konsep hidup
tertentu atau akidah tertentu. Manusia secara bebas dan merdeka
20
menentukan pilihan akidahnya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak
mana pun dan oleh siapa pun. Negara baru yang dibangun Nabi SAW adalah
negara ideologi yang didasarkan pada asas kemanusiaan yang terbuka,
sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah:256.
ي ِِّ الر ْشد ُ ِمنا ْالغا ِ اَل ِإ ْك اراها ِفي ال ِد
ُّ ِّين قادْ ت ا ابيَّنا
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasar pada permasalahan yang telah ditetapkan, dan kaitannya
dengan uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan
kesimpulan bahwa Masyarakat madani secara umum adalah sekumpulan
orang dalam suatu bangsa atau negara di mana mereka hidup secara ideal
dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan kemasyarakatan yang telah
ditetapkan. Masyarakat seperti ini sering disebut dengan istilah civil society
(masyarakat sipil) atau yang pengertiannya selalu mengacu pada “pola
hidup masyarakat yang tebaik, berkeadilan, dan berperadaban”. Dalam
istilah Alquran, kehidupan masyarakat madani tersebut dikontekskan
dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr.
Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya
kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat
membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat
menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang
ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita.
Adapun beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan
materi yang ada di bab II ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat
madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-
Sunnah yang diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat akhir
zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan
masyarakat madani itu dan bagaimana cara menciptakan suasana pada
masyarakat madani tersebut, serta ciri-ciri apa saja yang terdapat pada
masyarakat madani sebelum kita yakni pada zaman Rasullullah.
Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat
pada potensi manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia.
Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung kita untuk
mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang
22
dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan
semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang
memiliki potensi yang kurang di dalam membangun agamanya maka
hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita
berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui latihan-latihan
spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.
3.2 Saran
Demikian makalah ini saya buat, semoga apa yang ada didalamnya
dapat bermanfaat bagi para pembacanya. Apabila ada saran dan kritik yang
ingin disampaikan kepada saya namun tentunya para pembaca paham
bahwa hanya saran dan kritik yang membangun lah yang saya perlukan.
Dimana itu semua terbentuknya suatu makalah yang baik dan mudah untuk
dipahami.
Saya memohon maaf terhadap kesalahan atau kurangnya
kelengkapan materi yang dibahas pada makalah ini. Karena kesempurnaan
hanyalah milik Allah dan kami selaku hambanya tak luput dari salah, khilaf
dan lupa.
23
DAFTAR PUSTAKA
Din Syamsuddin. 1999. Etika Agama dalam membangun Masyarakat Madani. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hatta, Ahmad. 2001. Peradaban yang Bagaimana? Rincian Misi Negara Tauhid
Madinah. http: // rully-indrawan.tripod.com pada tanggal 14 Februari 2012.
Rahardjo,M. Dawam. 1996. Masyarakat Madani: Agama , Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES. 1999. cet. ke.1.
Sanaky, Hujair A.H. 2002. Paradigma Pendidikan Islam : Membangun Masyarakat
Madani Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insani Press.
Kholidah, Nur, dkk. 2011. Aktualisasi Pendidikan Islam. Respons Terhadap
Problematika Kontemporer. Malang: Hilal Pustaka.
Yusuf, Y.1998. Azas-azas Teologi dan filosofis Masyarakat Madani, Makalah
Seminar Pembanguan Akhlak Bangsa dalam Reformasi Menuju Masyarakat
Madani. Padang: 28-29 November 1998.
http://toniyp.blogspot.co.id/2013/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html
http://indonesiahistoric.blogspot.co.id/2013/01/masyarakat-madani-menurut-
islam.html
http://sitifatimahrosadi.blogspot.co.id/2014/02/masyarakat-madani-dalam-perspektif-
islam.html
24