Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan

DOSEN PEMBIMBING :
Drs. Budi Purnomo, M.Hum, M.Pd

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2
Nur Widad Wahdini Wafiroh_A1A222045
Friska Bintang Saputri_A1A222055
Vina Ayu Niswari_A1A222071
Giska Puspita_A1A222081
Ultifa Khoeriah_A1A222087
Anny Rutmauli Manullang_A1A222089

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
FEBRUARI, 2023
KATA PENGANTAR

Setelah bergelut dengan perjuangan yang panjang, makalah ini akhirnya


dapat selesai juga. Tentu saja, kami sebagai tim penyusun makalah ini sangat
bersyukur atas selesainya makalah ini. Kami menghaturkan syukur yang paling
dalam kepada Allah Yang Maha Pembimbing. Kami pun juga ingin menyampaikan
terima kasih kepada pihak-pihak yang terkait untuk memberi dukungan bagi kami
dalam penyelesaian makalah ini.
Makalah ini disusun guna memberikan pemaparan mengenai landasan atau
dasar-dasar filsafat dalam pendidikan. Dimana landasan tersebut memiliki arti
penting dan mendorong munculnya pendidikan bagi manusia. Ada tiga landasan
dalam filsafat tersebut yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang akan
dibahas dalam makalah ini. Harapan kami, makalah ini dapat memberikan manfaat
sebesar mungkin bagi siapa pun yang membacanya. Semoga para pembaca juga
berkenan memaafkan apabila dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
kesalahan. Kami pun akan merasa lebih senang bila ada pembaca yang berkenan
memberikan saran dan kririk yang membangun bagi kami. Jadi, di penyusunan
makalah berikutnya, kami dapat menyajikan sesuatu yang lebih baik. Terima kasih.

Jambi, 5 Februari 2023

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................. 1
1.3. Tujuan Penulisan .............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
2.1. Definisi Landasan Filsafat Pendidikan ............................................ 3
2.2. Landasan Ontologi............................................................................ 3
2.3. Landasan Epistemologi .................................................................... 4
2.4. Landasan Aksiologi .......................................................................... 8
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 9
3.1. Kesimpulan ....................................................................................... 9
3.2. Saran .................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Dizaman ini teknologi semakin mengalami perkembangan yang semakin
pesat. Bukan hanya di kota-kota besar saja, tetapi sudah meluas di berbagai
penjuru desa bahkan daerah-daerah pinggir perbatasan di Indonesia.
Perkembangan teknologi tersebut telah mempengaruhi pola pikir dan tingkah
laku masyarakat tidak hanya perubahan secara positif tetapi juga perubahan
negatif. Perubahan-perubahan tersebut juga merambat ke dunia pendidikan
serta mempengaruhi pola pikir, pola interaksi dan perilaku warga sekolah, siswa
maupun guru. Pergeseran serta perubahan positif bisa ditinjau dengan
peningkatan kualitas pembelajaran, media pembelajaran, materi, networking
dan lain-lain. Tetapi di sisi negative terjadi pergeseran pola perilaku, moral atau
etika siswa. Pergeseran itu terlihat pada pola perilaku, tutur kata, dan kebiasaan.
Memang tidak dapat dihindarkan bahwa karakter yang kuat akan
berpengaruh pada kehidupan seseorang dalam setiap tahap perkembangannnya
yang kemudian menjadi gerbang sukses di masa depannya. Karakter dan
kepribadian yang kuat akan membentuk mental yang kuat begitu pula
sebaliknya. Kemauan untuk menjadikan kembali proses pendidikan sebagai
usaha penyadaran pentingnya norma aturan serta nilai-nilai kehidupan. Hal
itulah yang mendorong untuk mengetaui lebih jauh mengenai sumber landasan
yang menopang berdirinya pendidikan sebagai suatu kewajiban yang harus
dilakukan dan diterima oleh manusia. Pendidikan menyangkut moral, etika,
perilaku, dan karakter seseorang. Karakter tidak dapat dibangun hanya satu dua
bulan atau satu dua tahun tanpa implementasi dan dukungan total dalam setiap
lini, menjadi nafas dari semua lingkungan sekolah serta sarat dengan nilai-nilai
luhur yang dipercaya dan diterapkan secara bersama-sama oleh semua anggota
sekolah. Inilah yang menjadi ketertarikan kami untuk mencoba menganalisa
konsep landasan filsafat pendidikan secara ontologi, epistemologi dan
aksiologi, sebab dengan meneliti secara konseptual terlebih dahulu tentunya
akan memberikan sketsa secara nyata sebelum melangkah ke tahap
implementasi.
1.2.Rumusan Masalah
1) Apakah definisi landasan filsafat pendidikan?
2) Bagaimana peran landasan ontologi dalam filsafat pendidikan?
3) Bagaimana peran landasan epistemologi dalam filsafat pendidikan?
4) Bagaimana peran landasan aksiologi dalam filsafat pendidikan?

1
1.3.Tujuan Penulisan
1) Mengetahui dan memahami definisi landasan-landasan filsafat
pendidikan.
2) Mengetahui dan memahami hubungan antara ontologi dengan
pendidikan.
3) Mengetahui dan memahami hubungan antara epistemologi dengan
pendidikan.
4) Mengetahui dan memahami hubungan antara aksiologi dengan
pendidikan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Landasan Filsafat Pendidikan


Landasan filsafat pendidikan merupakan seperangkat pendapat yang
berasal dari filsafat dan dijadikan titik tolak di dalam pendidikan. Landasan
filosofis pendidikan sebenarnya ialah suatu sistem gagasan mengenai
pendidikan dan dijabarkan dari suatu sistem gagasan filsafat umum yaitu,
ontologi, epistemologi, dan aksiologi, yang dianjurkan dari suatu aliran
filsafat tertentu. Hal ini bisa dipahami sebagaimana dikemukakan oleh
Callahan dan Clark (1983) dalam karyanya “Foundations of Educations”,
dan sebagaimana dikemukakan oleh Edward J. Power (1982) dalam
karyanya “Philosophy of Educations, Studies in Philosophies, Schooling
and Educational Policies”. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa
terdapat relasi yang menghubungkan antara gagasan-gagasan dalam cabang
filsafat umum terhadap gagasan pendidikan.

2.2. Landasan Ontologi


Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ontos: being, serta
Logos:logic. Jadi, ontologi adalah the theory of being qua being (teori
mengenai keberadaan sebagai keberadaan) atau ilmu tentang yang ada.
Ontologi diartikan sebagai suatu cabang metafisika yang berkaitan dengan
kajian mengenai eksistensi itu sendiri. Clauberg menyebutkan ontologi
sebagai “ilmu pertama,” yaitu studi tentang yang ada sejauh yang ada. Studi
ini dianggap berlaku untuk semua entitas, termasuk Tuhan dan semua
ciptaan, yang mendasari teologi serta fisika. Pertanyaan yang berkaitan
obyek apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi), bagaimana cara
mengetahui pengetahuan tersebut (epistemologi), dan apa fungsi dari
pengetahuan tersebut (aksiologi). Ontologi adalah salah satu kajian filsafat
yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Kajian tersebut membahas
mengenai keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang
mempunyai pandangan yang bersifat ontologis adalah Thales, Plato, dan
Aristoteles. Misalnya, Thales, melalui perenungannya terhadap air yang ada
di mana-mana, ia sampai berfikir dengan kesimpulan bahwa air merupakan
“substansi terdalam” yang merupakan asal muasal dari segala
sesuatu.

Yang penting sesungguhnya bukanlah ajarannya yang mengatakan air


itulah asal mula segala sesuatu, melainkan pendiriannya bahwa “mungkin
sekali segala sesuatu berasal dari satu substansi belaka.” Menurut The Liang
Gie, ontologi ialah bagian dari filsafat dasar yang mengungkapkan makna
dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan
sebagai berikut:
(a) apakah artinya ada, sesuatu yang ada?;

3
(b) apakah golongan-golongan dari sesuatu yang ada?;
(c) apakah sifat dasar kenyataan dan sesuatu ada?;
(d) apakah cara-cara yang berbeda dalam entitas dari kategori-kategori logis
yang berbeda (seperti objek-objek fisis, pengertian unuiversal, abstraksi dan
bilangan) dapat dikatakan ada?
Kemudian dalam Ensiklopedi Britannica dijelaskan bahwa ontologi
merupakan teori atau studi mengenai yang ada (being/wujud) seperti
karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ontologi bersinonim dengan
metafisika, yaitu studi filosofis guna menentukan sifat nyata yang asli dari
suatu benda untuk menentukan arti, struktur, dan prinsip dari benda tersebut.

 Ontologi Sebagai Landasan Filsafat Penddikan


Ontologi adalah suatu kajian keilmuan yang berpusat pada
pembahasan mengenai hakikat. Ketika ontologi dihubungkan dengan
filsafat pendidikan, maka akan muncul suatu relasi tentang ontologi filsafat
pendidikan. Pendidikan merupakan suatu aktivitas yang sadar dengan
tujuannya. Disini berarti bahwa adanya pendidikan dimaksudkan untuk
mencapai tujuan, maka dengan ini tujuan menjadi hal yang sangat penting
dalam pelaksanaan pendidikan. Secara umum bisa dikatakan bahwa
pendidikan dapat membawa anak menuju kedewasaannya, dewasa baik itu
dari segi jasmani maupun rohani. Dengan mengetahui arti pendidikan maka
arti ontologi dalam pendidikan itu sendiri ialah analisis mengenai objek
materi yang berasal dari ilmu pengetahuan. Berisi tentang hal-hal yang
bersifat empiris dan mempelajari tentang apa yang ingin diketahui oleh
manusia dan objek apa yang diteliti ilmu. Dasar atau landasan ontologi
pendidikan ialah objek materi pendidikan dimana sisi yang mengatur semua
kegiatan kependidikan. Jadi relasi antara ontologi dengan pendidikan
menempati posisi landasan yang paling dasar dari fondasi ilmu dimana
disitulah letak undang-undang dasarnya dunia ilmu. Diatas sudah
disebutkan bahwa pendidikan dilihat dari sisi ontology, berarti persoalan
mengenai hakikat keberadaan pendidikan. Fakta telah menunjukkan bahwa
pendidikan selalu berada dalam relasinya dengan eksistensi kehidupan
manusia. Tanpa adanya pendidikan, manusia tidak mungkin dapat
melaksanakan tugas dan kewajibannya di dalam kehidupan, pendidikan
secara
khusus difungsikan untuk menumbuh kembangkan semua potensi kodrat
(bawaan) yang ada di dalam diri manusia. Oleh karena itu, bisa dipahami
bahwa ontologi pendidikan adalah pendidikan dalam relasinya dengan asal
muasal, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia.

2.3. Landasan Epistemologi


Epistemologi berasal dari kata Yunani “Episteme” dan “Logos”.
“Episteme” berarti pengetahuan (knowledge), serta “logos” berarti teori.
Dengan demikian, pengertian epistemologi secara etimologis ialah teori

4
pengetahuan. Epistemologi mengkaji tentang apa sesungguhnya ilmu, dari
mana asal sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya ilmu. Dengan
menyederhanakan batasan tersebut, Brameld mendefinisikan epistimologi
sebagai “it is epistemologi that gives the teacher the assurance that he is
conveying the truth to his student”. Pengertian tersebut dapat diterjemahkan
sebagai berikut “epistemologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi
guru bahwa ia memberikan kebenaran pada murid-muridnya”. Disamping
pengertian itu banyak juga sumber yang mendefinisikan pengertian
epistemologi di antaranya:
a. Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mengenarahi
masalah-masalah filosofikal yang berkaitan dengan teori ilmu
pengetahuan.
b. Epistemologi merupakan pengetahuan sistematis yang membahas
mengenai terjadinya pengetahuan sebagai sumber pengetahuan, asal
mula adanya pengetahuan, metode atau teknik memperoleh
pengetahuan, validitas, dan kebenaran pengetahuan (ilmiah)
Untuk lebih detailnya perhatikan contoh berikut ini, contohnya ‘kursi’
adalah cara kerja pikiran guna menangkap substansi sebuah kursi. Dalam
realita konkretnya, selalu ditemui berbagai macam kursi dalam jenis, sifat,
bentuk, dan perwujudannya yang berbeda-beda. Diklasifikasikan menurut
jenis bentuk, posisi, dan fungsinya ada kursi belajar, kursi goyang, kursi
tamu, kursi makan, dan lain sebagainya. Namun, terlepas dari itu semua
‘kursi’ tetaplah kursi bukan ‘meja’ meskipun dapat digunakan sebagai meja
atau sebagai alat (benda buatan) dalam bentuk yang lain, yang digunakan
sebagai ‘tempat duduk’. Sementara duduk adalah suatu aktivitas seseorang
dengan posisi meletakkan semua tubuh dengan bermacam jenis, sifat,
bentuk hal atau benda dalam kondisi seperti apapun, di mana, bahkan
kapanpun berada dan yang biasanya digunakan sebagai tempat duduk.
Berikut adalah aliran-aliran dalam epistemologis:
a) Rasionalisme
Aliran ini berasumsi bahwa seluruh pengetahuan berasal dari akal
pikiran atau rasio. Tokohnya antara lain Rene Descartes (1596-1650), yang
membedakan adanya tiga ide, yakni innate ideas (ide bawaan), sejak
manusia dilahirkan atau juga dikenal dengan adventitinous ideas, yakni ide
yang bersumber dari luar manusia, dan faktitinousideas, atau ide yang
dihasilkan dari pikiran itu sendiri. Tokoh lain yaitu Spinoza (1632-1677),
dan Leibniz (1666-1716).
b) Empirisme
Aliran ini berpegang teguh pada keyakinan bahwa seluruh
pengetahuan manusia didapat melalui pengalaman indra. Indra mendapat
pengalaman (kesan-kesan) dari alam empiris, berikutnya kesan-kesan
tersebut terkumpul dalam diri manusia dan berubah menjadi pengalaman.
Tokohnya antara lain:
1) John Locke (1632-1704), berasumsi bahwa pengalaman bisa dibedakan
menjadi dua macam, yakni (1) pengalaman luar (sensation), yaitu

5
pengalaman yang didapat dari luar dan (2) pengalaman dalam, batin
(reflexion). Kedua pengalaman tersebut adalah idea yang sederhana dan
kemudian dengan proses asosiasi membentuk idea yang lebih kompleks.
2) David Hume (1711-1776), yang melanjukan tradisi empirisme. Hume
berasumsi bahwa ide yang sederhana ialah salinan dari ide-ide sederhana
atau kesan-kesan yang kompleks. Aliran ini kemudian berkembang dan
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan terutama saat abad 19 dan 20.
c) Realisme
Realisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa objek-
objek yang diserap melalui indra ialah nyata dalam diri objek tersebut.
Objek-objek tersebut tidak
bergantung pada subjek yang mengetahui atau dengan kata sederhananya
tidak bergantung pada pikiran subjek. Pikiran serta dunia luar saling
berinteraksi, tetapi interaksi tersebut memengaruhi sifat dasar dari dunia
tersebut. Dunia sudah ada sebelum pikiran menyadari dan akan tetap ada
setelah pikiran berhenti menyadari. Tokoh aliran ini adalah Aristoteles
(384-322 SM), menurutnya, realitas ada dalam benda-benda konkret atau
dalam proses-proses perkembangannya. Bentuk atau ide atau prinsip
keteraturan serta materi tidak bisa dipisahkan. Kemudian, aliran ini terus
berkembang menjadi sebuah aliran realisme baru dengan tokoh George
Edward Moore, Bertrand Russell, sebagai reaksi dari aliran idealisme,
subjektivisme, dan absolutisme. Menurut realisme baru menyatakan
keberadaan objek tidak bergantung pada diketahuinya objek tersebut.
d) Kritisisme
Menurut aliran ini akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari
empiris (yang berarti indra dan pengalaman). Kemudian akal akan
memosisikan, mengatur, dan menertibkan dalam bentuk-bentuk
pengamatan yakni ruang dan waktu. Pengamatan
ialah bermulanya pengetahuan sedangkan pengolahan akal ialah
pembentukannya. Tokoh aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804).
Kant mempadukan antara rasionalisme dan empirisme.
e) Positivisme
Tokoh aliran ini ialah August Comte, yang mempunyai opini sejarah
perkembangan pemikiran umat manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga
tahap, yaitu:
1) Tahap Theologis, ialah tahap manusia masih yakin bahwa pengetahuan
atau pengenalan yang mutlak. Manusia pada tahap ini masih mempercayai
takhayul-takhayul sehingga subjek dengan objek tidak dibedakan.
2) Tahap Metafisis, ialah pemikiran manusia berusaha memahami dan
memikirkan
kenyataan, tetapi belum mampu membuktikan dengan fakta yang ada.
3) Tahap Positif, tahap ini ditandai dengan adanya pemikiran manusia untuk
menemukan hukum-hukum dan saling berkaitan melalui fakta. Oleh sebab

6
itu, pada tahap ini pengetahuan manusia bisa berkembang serta dibuktikan
dengan fakta.
f) Skeptisisme
Aliran ini meyakini bahwa indra ialah bersifat menipu atau
menyesatkan. Namun, di masa modern berkembang menjadi skeptisisme
medotis (sistematis) yang memberikan syarat adanya bukti sebelum suatu
pengalaman diakui benar. Tokoh skeptisisme ialah Rene Descartes (1596-
1650).
g) Pragmatisme
Aliran ini tidak mempermasalahkan mengenai hakikat pengetahuan,
namun mempertanyakan mengenai pengetahuan dengan manfaat atau
fungsi dari pengetahuan tersebut. Dengan pengertian lain kebenaran
pengetahuan hendaklah dihubngkan dengan manfaat serta sebagai sarana
bagi suatu perbuatan. Tokoh aliran ini, adalah C.S Pierce (1839-1914),
mengatakan bahwa yang paling penting adalah manfaat apa (pengaruh apa)
yang bisa dilakukan suatu pengetahuan dalam suatu rencana. Pengetahuan
tentang sesuatu hal tidak lain ialah gambaran yang diperoleh tentang akibat
yang bisa disaksikan. Tokoh yang lain adalah Willian James (1824-1910)
mengatakan bahwa ukuran kebenaran sesuatu hal ialah ditentukan oleh
akibat praktisnya.

 Epistemologi Sebagai Landasan Filsafat Pendidikan


(Rukiyati dan Zuchdi, 2016: 34) menyatakan bahwa epistemologi ialah
cabang filsafat yang juga disebut teori mengetahui dan pengetahuan.
Epistemologi membahas mengenai konsep dasar dan umum dari proses
mengetahui, sehingga sangat erat hubungannya dengan metode ilmiah.
Suatu penelitian harus mempunyai langkah-langkah yang sistematis.
Sistematis yang dimaksud ialah pengetahuan yang bisa dirumuskan atau
diuraikan secara teratur dan logis sehingga terbentuk suatu sistem yang
menyeluruh, terpadu, dan utuh mampu memaparkan rangkaian kausalitas
yang menyangkut obyeknya. Dalam mengetahui dan menggali segala
sesuatu yang ada di alam, diperlukan usaha untuk mencari tahu baik itu dari
segi internal maupun eksternal. Mencari tahu kebenaran yang sebenar-
benarnya bukanlah suatu hal yang mudah, perlu bukti dan fakta yang
relevan agar suatu pengetahuan menjadi jelas keberadaannya. Bagaimana
caranya untuk mencari tahu kebenaran tersebut? Yaitu dengan
menggunakan metode atau cara tertentu, tujuannya agar dapat terungkap
fakta dibalik fenomena yang terjadi sehingga pengetahuan itu menjadi
terang keberadaannya. Dengan diperkuat oleh fakta dan bukti-bukti ilmiah
atau hal lainnya yang tervaliditas. Misalnya, mengapa pada masa
megalitikum dipercaya sebagai masa yang merupakan awal tumbuhnya
kepercayaan? Karena pada masa itu ditemukan benda-benda kebudayaan
bersifat spiritual yang difungsikan sebagaisarana ibadah. Mengapa manusia
tahu bahwa itu adalah masa megalitikum? Karena para sejarawan telah
melakukan klasifikasi zaman berdasarkan angka tahun yang dibantu dengan

7
penelitian ilmu lain seperti secara geografi, paleontologi, sosiologi,
antropologi, dan lain sebagainya. Sehingga asal muasal zaman tersebut
dapat digambarkan dengan spesifik oleh para sejarawan.

2.4. Landasan Aksiologi


Secara etimologis, aksiologi bersumber dari bahasa Yunani kuno, yaitu
“aksios” yang bermakna nilai dan kata “logos” berarti teori. Jadi, aksiologi
ialah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai. Dengan pengertian
lain, aksiologi merupakan teori nilai. Suriasumantri mengungkapkan
pengertian aksiologi sebagai teori nilai yang berhubungan dengan fungsi
dari pengetahuan yang di peroleh. Aksiologi dalam Kamus Bahasa
Indonesia (1995) ialah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan
manusia, kajian mengenai nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono
seperti yang dikutip dari Surajiyo (2007), aksiologi merupakan nilai-nilai
sebagai tolak ukur kebenaran, etika serta moral sebagai dasar normatif
penelitian dan penggalian, dan penerapan ilmu. Dalam Encyclopedia of
Philosophy dipaparkan bahwa aksiologi disamakan dengan value and
valuation. Membicarakan mengenai aksiologi tentu membahas dan
membedah masalah nilai. Apa sebenarnya itu nilai? Bertens memaparkan
nilai sebagai sesuatu yang menarik bagi seseorang, sesuatu yang
menyenangkan, sesuatu yang dicari, sesuatu yang disukai dan diinginkan.
Pendeknya, nilai merupakan sesuatu yang baik. Lawan dari nilai ialah non-
nilai atau disvalue. Ada yang mengatakan disvalue sebagai nilai yang
negatif. Sedangkan sesuatu yang baik ialah nilai positif. Hans Jonas, seorang
filsuf Jerman-Amerika, menyatakan nilai sebagai the addresse of a yes.
“Sesuatu yang ditujukan dengan ya”. Nilai merupakan sesuatu yang diiya-
kan atau yang diaminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi yang positif.

 Aksiologi Sebagai Landasan Filsafat Pendidikan


Peran aksiologi dalam dunia pendidikan ialah menguji dan menyatukan
nilai tersebut ke dalam kehidupan manusia dan membinanya dalam
kepribadian peserta didik. Memang untuk memaparkan apakah yang baik
itu, benar, buruk serta jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, baik,
benar, indah serta buruk, dalam arti mendalam maksudnya untuk membina
kepribadian peserta didik. Memang untuk membimbing kepribadian ideal
anak, jelas adalah tugas utama pendidikan. Pendidikan wajib memberikan
pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk dan sebagainya kepada
peserta didik secara komprehensif dalam arti ditinjau dari sisi etika, estetika,
serta nilai sosial. Dalam masyarakat, nilai-nilai itu saling menyatu dan
berinteraksi. Nilai-nilai di dalam rumah tangga/keluarga, tetangga, kota,
negara ialah nilai-nilai yang tidak mungkin dikesampingkan dunia
pendidikan bahkan sebaliknya harus mendapat perhatian.

8
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Landasan filsafat pendidikan merupakan seperangkat pendapat
yang berasal dari filsafat dan dijadikan titik tolak di dalam pendidikan.
Landasan filosofis pendidikan sebenarnya ialah suatu sistem gagasan
mengenai pendidikan dan dijabarkan dari suatu sistem gagasan filsafat
umum yaitu, ontologi, epistemologi, dan aksiologi, yang dianjurkan dari
suatu aliran filsafat tertentu
Ontologi adalah suatu kajian keilmuan yang berpusat pada
pembahasan mengenai hakikat. Ketika ontologi dihubungkan dengan
filsafat pendidikan, maka akan muncul suatu relasi tentang ontologi filsafat
pendidikan. Secara umum bisa dikatakan bahwa pendidikan dapat
membawa anak menuju kedewasaannya, dewasa baik itu dari segi jasmani
maupun rohani. Dengan mengetahui arti pendidikan maka arti ontologi
dalam pendidikan itu sendiri ialah analisis mengenai objek materi yang
berasal dari ilmu pengetahuan.
Epistemologi membahas mengenai konsep dasar dan umum dari
proses mengetahui, sehingga sangat erat hubungannya dengan metode
ilmiah. Suatu penelitian harus mempunyai langkah-langkah yang sistematis.
Sistematis yang dimaksud ialah pengetahuan yang bisa dirumuskan atau
diuraikan secara teratur dan logis sehingga terbentuk suatu sistem yang
menyeluruh, terpadu, dan utuh mampu memaparkan rangkaian kausalitas
yang menyangkut obyeknya.
Peran aksiologi dalam dunia pendidikan ialah menguji dan
menyatukan nilai tersebut ke dalam kehidupan manusia dan membinanya
dalam kepribadian peserta didik. Memang untuk memaparkan apakah yang
baik itu, benar, buruk serta jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi,
baik, benar, indah serta buruk, dalam arti mendalam maksudnya untuk
membina kepribadian peserta didik. Memang untuk membimbing
kepribadian ideal anak, jelas adalah tugas utama pendidikan. Pendidikan
wajib memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk dan
sebagainya kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti ditinjau
dari sisi etika, estetika, serta nilai sosial.

3.2. Saran
Disarankan bagi pembaca untuk mengkaji lebih lanjut berbagai
landasan filosofis pendidikan yang ada supaya dapat dipahami, memilah
dan memilih gagasan-gagasannya yang positif serta tidak bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila untuk diambil hikmahnya demi pengembangan
dan memperkaya pengetahuan pendidikan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Rukiyati dan Zuchdi, D. (2016). Filsafat Ilmu. UNY.

Mubin dan Fatkhul. Filsafat Modern: Aspek Ontologis, Epistemologis, dan


Aksiologis.

Ngazimah dan Zuchdi. 2020. Landasan Ontologi, Epistemologis, dan


Aksiologis Dalam Kajian Pendidikan Karakter. UNY.

Barnadib, I. (1993). Filsafat Pendidikan: Sistem Dan Metode. IKIP.

Rahmadani, Armanto, Safitri, dkk. (2021). Ontologi, Eoistemologi,


Aksiologi Dalam Pendidikan Karakter. UNIMED.

Soeprapto, Sri. Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional Indonesia


Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan. Universitas Gadjah Mada.

Djumberansyah, Indar. (1994). Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya


Abditama.

Surajiyo. (2007). Filsafat Ilmu Dan Perkembangannya Di Indonesia.


Jakarta: Bumi Aksara.

Suriasumantri, Jujun, S. (1994). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.


Jakarta: Swadaya.

Arifin, H.M. (2000). Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Suharto, Toto. (2011). Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz


Media.

10

Anda mungkin juga menyukai