Anda di halaman 1dari 16

0

Tiga Landasan Filsafat Pendidikan (Ontologi, Epistimologi, Aksiologi)


Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Pada mata kuliah “Filsafat Pendidikan”

Dosen Pengampu:
Bustanul Yuliani, M.Pd.

Disusun oleh kelompok:

Diana Ambarsari : 210317313


Yoyok Hadi Yatmoko : 210317328
Rizqi Suryani : 210317339

Kelmpok 1. PAI J
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2018
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita tahu bahwasannya ilmu dan pengetahuan itu sangat berpengaruh
untuk perkembangan dan kemajuan dalam peradaban manusia. Di era yang
penuh dengan kemajuan – kemajuan ini pastilah banyak ilmu–ilmu serta
pengetahuan yang harus kita bedah dan utuk kita kehui demi pendidikan diri
dalam keseharian kita. Untuk menambah wawasan serta ide-ide demi
menujukkan kehebatan profesionalnya kita dalam memainkan kata-kata, atas
nama kelompok kami yang pertama ini menyarankan alangkah baiknya jika
kita mempelajari sebuah ilmu yang bernama filsafat pendidikan.
Ilmu filsafat pendidikan mengcakup beberapa materi, dimana kami sebagai
penulis tidak mungkin mampu untuk mempelajari secara keseluruhan dengan
singkatnya waktu yang telah diberikan oleh ibu dosen. Oleh karena itu demi
penguasaan materi, makalah ini berisi tentang tiga landasan filsafat
pendidikan. Kerena kita tahu, dalam suatu pembelajaran itu betapa
pentingnya yang namanya landasan itu.
Tiga ladasan filsafat pendidikan ini berisi tentang landasan ontologi,
landasan epistomologi, dan landasan aksiologi. Pembahasan yang lebih detail
bias dipelajari disetiap poin- poin yang telah kami siapkan sebagaimana
makalah pada umumnya, supaya mempermudah penguasaan materi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Ontologi Pendidikan?
2. Bagaimana Epistimologi Pendidikan?
3. Bagaimana Aksiologi Pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi Pendidikan
Menurut bahasa, ontologi ialah berasal dari bahasa Yunani yaitu,
On/Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu yang tentang
2

ada. Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat
yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk
jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.1
Subtansi pendidikan dalam semua prespektifnya, sebagaimana melihat
pendidikan dari tujuan esensialnya sebagai pencapaian maksimal dari
pendidikan.2
Ontologi menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang
sangat terbatas bagi pancaindra kita. Bagaimana realita yang ada ini, apakah
materi saja, apakah wujud sesuatu ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan,
apakah realita berbentuk satu unsur (monoisme), dua unsur (dualisme),
ataukah terdiri dari unsur yang banyak (pluralisme).3
Berbicara masalah ontologi tidak terlepas dari filsafat karena filsafat
diperlukan untuk menjelaskan dasar ontologis dari ilmu, termasuk dalam
kajian pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan bidang filsafat terapan,
bermula dari bidang tradisional filsafat, seperti ontologi, etika, epistimologi,
dan pendekatan (filsafat spekulatif, preskriptif, dan analitis) untuk menjawab
pertanyaan mengenai kebijakanpendidikan, perkembangan manusia, dan teori
kurikulum. Dengan kata lain, filsafat pendidikan adalah studi filosofis tentang
tujuan, proses, alam, dan cita-cita pendidikan. Sebagai contoh, filsafat
pendidikan mencakup hal berikut.
1. Mempelajari definisi mengasuh dan mendidik;
2. Mendalami dan mempelajari pengaplikasian nilai-nilai dan norma-norma
lalu diterapkan melalui sistem pendidikan dan praktik pendidikan itu
sendiri;
3. Mempelajari batas-batas dan legitimasi pendidikan sebagai disiplin
akademis;

1
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 134
2
Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan(Bandung: Pustaka Setia, 2011) , 23
3
Jalaluddin dan Abdullah Idi, FILSAFAT PENDIDIKAN: Manusia, Filsafat, dan
pendidikan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), 77
3

4. Mempelajari hubungan antara teori dan praktik pendidikan pada


umumnya.4
Filsafat pendidikan dapat dianggap sebagai cabang dari filsafat dan
pendidikan. Banyaknya cara dalam memahami pendidikan ditambah dengan
berbagai bidang dan pendekatan filsafat, membuat filsafat pendidikan tidak
hanya menjadi bidang yang dimiliki konteks sangat beragam, tetapi juga
menjadikan filsafat pendidikan tidak mudah didefinisikan. Meskipun ada
ketimpangan di sini, filsafat tidak boleh digabungkan dengan teori
pendidikan. Hal tersebut karena filsafat pendidikan tidak mendefinisikan
secara khusus dan teori pendidikan itu nantinya malah ditanyakan oleh
filsafat. Kalau teori pendidikan sama dengan filsafat pendidikan, bidang apa
yang memverivikasi atau mengkritisi teori pendidikan? Sebab, filsafat
mempertanyakan segala teori dan berfungsi menyintesiskan menjadi teori
lebih baik.
Meskipun filosuf di seluruh dunia telah mengajukan pertanyaan mengenai
pendidikan selama ribuan tahun, sebagai disiplin akademis (bidang akademis
di universitas), filsafat pendidikan merupakan ilmu baru. Hebatnya lagi,
filsafat pendidikan merupakan bidang internasional yang telah mapan bekerja
sama dengan departemen dan berbagai program di seluruh dunia.
Filsafat pendidikan dijabarkan dari filsafat, artinya filsafat pendidikan
tidak boleh bertentangan dengan filsafat. Secara ontologis, filsafat pendidikan
berusaha mengkaji secara mendalam hakikat pendidikan dan semua unsur
yang berhubungan dengan pendidikan.
Menurut Made Pidarta, ontologi filsafat pendidikan mempertanyakan hal-
hal berikut.
1. Apakah pendidikan itu?
2. Apa yang hendak dicapai?
3. Bagaimana cara terbaik merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan?
4. Bagaimana sifat pendidikan itu?
5. Bagaimana perbedaan pendidikan teori dengan praktik?

4
Ibid, 78
4

6. Bagaimana hakikat kurikulum yang disajikan?


7. Siapa dan bagaimana para peserta didiknya?
8. Bagaimana sistem pengembangan bakat dan minat anak didik?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memberikan inspirasi terhadap upaya
pengembangan pendidikan yang bertujuan membentuk manusia yang berbudi
luhur, rasional, terampil, dan mandiri. Manusia yang bertanggung jawab
terhadap masa depan kehidupan diri, keluarga, masyarakat, dan negara. Akan
tetapi, jawaban terhadap semua pertanyaan ontologis biasanya memerlukan
penelitian, analisis, deskripsi, dan penjabaran. Oleh karena itu, dari ontologi
filsafat pendidikan dilanjutkan oleh epistimologi filsafat pendidikan.
Pendekatan ontologi atau metafisik menekankan pada hakikat keberadaan,
dalam hal ini keberadaan pendidikan itu sendiri. Keberadaan pendidikan tidak
terlepas dari keberadaan manusia. Oleh sebab itu, hakikat pendidikan
berkenaan dengan hakikat manusia. Dalam pendekatan ini, keberadaan
peserta didik dan pendidik tidak terlepas dari makna keberadaan manusia itu
sendiri. Apakah manusia itu, dan apakah makna keberadaan manusia itu?
Pertanyaan-pertanyaan metafisik tersebut juga merupakan pertanyaan-
pertanyaan yang esensial dalam proses pendidikan.
Kedua jenis pendidikan mengenai hakikat pendidikan, baik pendekatan
ontologismaupun pendekatan metafisik, mempunyai kebenaran masing-
masing. Ilmu pendidikan sebagai ilmu, tentunya mempunyai objek,
metodologi, serta analisis mengenai proses pendidikan. Sekalipun demikian,
objek ilmu pendidikan atau subjek ilmu pendidikan adalah anak manusia
sehingga tidak terlepas dari pertanyaan mengenai hakikat manusia. Memang,
ada ahli filsafat yang meredusir hakikat manusia sebagai manusia yang
berpikir. Sekalian demikian, pendekatan-pendekatan tersebut tidak
menyajikan suatu pengertian yang utuh mengenai manusia dan mengenai
hakikat pendidikan.
Pendekatan-pendekatan mengenai hakikat pendidikan telah melahirkan
berbagai jenis teori mengenai apakah sebenarnya pendidikan itu. Pendidikan
bukan hanya satu kata benda, tetapi merupakan suatu proses atau kata kerja.
5

Pengertian pendidikan merupakan suatu hasil, dan suatu proses adalah sangat
penting untuk mengerti hakikat pendidikan tersebut.
Tilaar menjelaskan berbagai pendekatan mengenai hakikat pendidikan
dapat digolongkan atas dua kelompok besar, yaitu pendekatan reduksionisme
dan pendekatan holistik integratif.5
Dalam perspektif holistik integratif, pendidikan pada hakikatnya
merupakan usaha memanusiakan manusia. Pendidikan diarahkan sepenuhnya
untuk memberdayakan manusia secara lahiriah dan rohaniah. Dengan
pendidikan, manusia bukan hanya harus dilatih dan dikembangkan cara
berpikirnya sehingga diperoleh kecerdasan intelektualnya, melainkan dilatih
dan dicerdaskan emosionalnya dan spiritualnya. Dengan pemahaman tersebut,
sudah tentu hakikat pendidikan atau ontologi pendidikan berakar dari
kebutuhan manusia terhadap proses pelatihan kemandirian berpikir, mandiri
mengambil keputusan, mandiri dalam bekerja untuk mempertahankan
kehidupannya, mandiri dalam mengamankan kehormatan dan harga dirinya,
dan manusia yang mengerti tujuan hidup hari ini, besok, dan yang akan
datang.6
B. Epistimologi Pendidikan
Epistimologi berasal dari yunani, yaitu Epistime yang berarti pengetahuan.
Persoalan pokok yang dipertanyakan adalah tentang bagaimana sesuatu yang
benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana pula kita
membedakan yang benar dan yang salah.7
Epistimologi pendidikan menyelidiki sumber ajaran atau prinsip yang
terdapat dalam pendidikan serta dasar atau asas yang digunakan untuk
pendidikan yang dimaksudkan. Berbagai teori pendidikan dikaji secara
mendalam sehingga latar belakang kelahirannya diketahui secara
aplikatifberkaitan dengan pendidikan.8

5
Anas Salahudin, ibid., 128-130
6
Ibid, 130-131
7
Prasetya, Filsafat Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 143
8
Anas Salahudin, ibid.
6

Epistimologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan. Kebenaran


pengetahuan dibagi menjadi dua macam, yaitu kebenaran mutlak atau absolut
dan kebenaran relatif atau nisbi. Kebenaran mutlak adalah kebenaran yang
tidak berubah-ubah dan tidak dapat dipengaruhi oleh yang lain. Artinya,
kebenaran yang sudah ada pada hakikat dirinya sendiri, misalnya kebenaran
adanya Tuhan. Adapun kebenaran relatif atau nisbi adalah kebenaran yang
berubah-ubah, tidak tetap, dan dapat dipengaruhi oleh hal lain diluar hakikat
dirinya. Misalnya, fungsi mata dalam melihat sesuatu. Kebenaran dari cara
melihat dan hasil dari penglihatan tidak pernah tetap. Jika terdapat cahaya
warna sesuatu akan terlihat putih, tetapi ketika lampu padam, warna yang
putih menjadi terlihat hitam kelam.9
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-
lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya
adalah:
1. Metode Induktif
Induksi yaitu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan
hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.
Dan menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris
ditandai oleh metode induktif, suatu inferensi bisa disebut induktif bila
bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai
hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyatan-pernyataan
universal.
David Hume (1711-1716), telah membangkitkan pertanyaan mengenai
induksi yang membingungkan para filosof dari zamannya sampai
sekarang. Menurut Hume, pernyataan yang berdasarkan observasi
tunggal betapapun besar jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan
suatu pernyataan umum yang tak terbatas.
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan
dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau
logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu

9
Ibid, 132
7

bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari
contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu
pengetahuan yang disebut juga dengan pengetahuan sintetik.
2. Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data
empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.
Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya
perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada
penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut
mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-
teori lain dan ada pengujuan teori dengan jalan menerapkan secara
empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
Poppertidak pernah menganggap bahwa kita dapat membuktikan
kebenaran-kebenaran teori dari kebenaran pernyataan-pernyataan yang
bersifat tunggal. Tidak pernah ia menganggap bahwa berkat kesimpulan-
kesimpulan yang telah diverifikasikan, teori-teori dapat dikukuhkan
sebagai benar atau bahkan hanya mungkin benar, contoh: jika penawaran
besar, harga akan turun. Karena penawaran beras besar, maka harga beras
akan turun.
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini
berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia
menyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta.
Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara
positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian
metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada
bidang gejala-gejala saja.
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung
dalam tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis,
orang berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan
kehendak khusus.
8

Pada tahap metafisis, kekuatan adikrodati itu diubah menjadi kekuatan


yang abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang
bersifat umum yang disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari
segala gejala.
Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik
pengetahuan teologis maupun metafisis dipandang tidak berguna,
menurutnya, tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh
alam; melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yag paling penting
menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada
fakta-fakta dengan pengamatan dan penggunaan akal.
4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia
untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihassilkan pun
akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang
disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa
diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-
Ghazali.
Intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma’rifah yaitu pengetahuan
yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Al-Ghazali
menerangkan bahwa pengetahuan intuisi atau ma’rifah yang disinarkan
oleh Allah secara langsung merupakan pengetahuan yang paling benar.
Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini hanya bersifat individual
dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu
pengetahuan yang dewasa ini bisa dikomersilkan.

5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab
untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates.
Namun Plato mengartikan diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap
9

logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan,


juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang
terkandung dalam pandangan.
Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk
melakukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk
pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu
seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.
Hegel menggunakan metode dialektis untuk menjelaskan filsafatnya,
lebih luas dari itu, menurut Hegel dalam realitas ini berlangsung
dialektika. Dan dialektika disini berarti mengompromikan hal-hal yang
berlawanan seperti:
a. Diktator. Disini manusia diatur dengan baik, tetapi mereka tidak
punya kebebasan (tesis).
b. Keadaan diatas menampilkan lawannya, yaitu negara anarki (anti
tesis) dan warga negara mempunyai kebebasan tanpa batas, tetapi
hidup dalam kekacauan.
c. Tesis dan anti tesis ini disintesis, yaitu negara demokrasi. Dalam
bentuk ini kebebasan warga negara dibatasi oleh undang-undang dan
hidup masyarakat tidak kacau.10
C. Aksiologi Pendidikan
Aksiologi menyangkut nilai-nilai yang berupa pertanyaan-pertanyaan
apakah yang baik atau bagus itu. Dalam definisi lain, aksiologi merupakan
suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut
dalam kehidupan manusia. Untuk selanjutnya, nilai-nilai tersebut ditanam
dalam kepribadian anak.11
Aksiologi pendidikan yaitu penyelidikan mengenai kegunaan fundamental
dalam pendidikan, baik secara jasmani maupun rohani, dampak pendidikan
secara fungsinal terhadap kehidupan manusia, terhadap akal dan hati semua
anak didik; aspek-aspek yang menyangkut fungsi nilai, estetika, dan tujuan

10
Amsal Bakhtiar, ibid., 152-156
11
Jalaluddin dan Abdullah Idi, ibid, 78
10

pragmatis pendidikan terkaji secara mendalam, radikal, logis, dan


sistematis.12
Aksiologi sebagai cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai
buruk, indah dan tidak indah (jelek), erat berkaitan dengan pendidikan, karena
dunia nilai akan selalu dipertimbangkan, atau akan menjadi dasar
pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan.13
Pendidikan secara langsung berkaitan dengan nilai berdasarkan nilai
tersebut, pendidikan dapat menentukan tujuan, motivasi, kurikulum, metode
belajar, dan sebagainya. Pendidikan terlebih dahulu harus menentukan nilai
mana yang akan dianut sebelum mentukan kegiatannya. Hal ini berarti bahwa
nilai terletak dalam tujuan. Pembahasan nilai-nilai pendidikan terletak di
dalam rumusan dan uraian tentang tujuan pendidikan. Di dalam tujuan
pendidikan itulah tersimpul semua nilai pendidikan yang hendak diwujudkan
di dalam pribadi peserta didik.
Proses pendidikan tidak mungkin berlansung tanpa arah tujuan yang
hendak dicapai sebagai garis kebijakannya, sebagai progam, dan sebagai
tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan dalam isinya maupun rumusnya tidak
mungkin ditetapkan tanpa mengerti dan mengetahui yang tepat tentang nilai-
nilai. Dalam upaya pendidikan seharusnya kita telah mampu memegang satu
keyakinan tentang nilai-nilai yang kita anggap sebagai suatu kebenaran.
Pendidikan, pada hakekatnya merupakan interaksi manusia sesamanya,
merupakan suatu interaksi sosial. Dalam proses interaksi inilah diperlukan
nilai-nilai, yang merupakan factor inhern di dalamnya. Nilai merupakan
fungsi hubungan sosial. Dalam arti di dalam hubungan social antara manusia
merupakan suatu kemutlakan adanya nilai.
Upaya pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu amanah dari Tuhan
Yang Maha Esa. Oleh karena itu, manusia harus mempertanggung jawabkan
semua pendidikan kepada-Nya. Oleh karenalah, setiap upaya pendidikan
tidak hanya dilandasi oleh nilai nilai yang dihasilkan manusia sebagai hasil

12
Anas Salahudin, ibid.
13
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2003), 87
11

renungan dari pengalamannya, lebih jauh nialai-nilai ketuhanan dan nila yang
bersumber dari Tuhan harus dijadikan landasan untuk menilai pendidikan,
dan untuk menentukan nilai yang baik dan tidak baik didalam pendidikan.
Para guru berhubungan dengan nilai karena sekolah bukanlah suatu
aktifitas netral. Tidak ada sekolah yang bebas nilai, dan hal yang paling
mendasar dari sekolah mengekpresikan sejumlah nilai. Keputusan social dan
individual yang memberikan dan melaksanakan pendidikan yang didasarkan
pada sekumpulan nilai, dan aktifitas keseharian pendidikan itu adalah aktifitas
yang termuat nilai. Kita mendidik suatu tujuan yang kita anggap baik, dan apa
yang kita ajarkan adalah yang kita piker merupakan sesuatu yang baik.
Diantara pertanyaan pertanyaan aksiologis yang harus dijawab guru
sendiri adalah: nilai nilai apakah yang guru kenalkan pada siswa untuk
diadopsi? Nilai-nilai apakah yang mengangkat umat manusia pada ekspresi
kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apakah yang dipegang oleh orang
yang benar-benar terdidik?
Pada intinya, aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat
tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga
dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan itu.
Pengetahuan yang luas tidak dapat member keuntungan individu jika ia tidak
mampu menggunakan pengetahuan itu untuk kebaikan. Poin ini mengangkat
pertanyaan-pertanyaan? Pengalaman kurikuler apakah yang paling banyak
berkontribusi yang berkualitas kehidupan? Semua guru harus berurusan
dengan isu-isu yang diangkat oleh pertanyaaan pertanyaan.14
1. Etika
Istilah etika berasal dari kata “ethos” (bahasa Yunani) yang berarti
adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli menyebutnya dengan moral,
juga berarti kebiasaan, namun kedua kata ini memiliki arti berbeda, etika
bersifat teori sedangkan moral bersifat praktik. Etika merupakan cabang

14
Ibid., 88-89
12

filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dari sudut baik dan tidak
baik berlaku umum.15
Pengetahuan tentang etika dapat membantu guru memecahkan
banyak dilema yang muncul dikelas. Sering kali, para guru harus
mengambil tindakan dalam situasi-situasi dimana mereka tidak mampu
mengupulkan semua fakta relefan dan dimana tidak ada arah tindakan
yang tunggal yang secara total benar atau salah. Misalnya, seorang siswa
pada hasil pekerjaannya sebelumnya berada diatas rata-rata, menjiplak
suatu tugas makalah: haruskah guru membatalkan siswa tersebut untuk
mata pelajaran itu jika contah dari hukuman yang cepat dan tegas
kemungkinan akan mencegah parasiswa lain melakukan penjiplakan/
plagiatisme? Atau haruskah guru, yang mengikuti dugaan mengenai apa
yang akan terjadi pada minat jangka panjang siswa, menyuruh siswa itu
mengerjakan kembali makalah ujian itu dan mengambil risiko
kemungkinan para siswa lain melakukan gagasan yang salah tersebut
sehingga plagiatisme tersebut tidak memiliki konsekuensi negatif?
Dilema etis lainnya: apakah seorang guru matematika dibenarkan dengan
memisahkan dua gadis yang mengganggu dan menempatkan salah
seorang disuatu kelompok matematika dibawah kemampuannya dalam
upaya meningkatkan prestasi kelas keseluruhan?
Etika dapat menyumbangkan kepada guru cara- cara berpikir
mengenai permasalahan-permasalahan yang sulit untuk menentukan arah
yang benar. Cabang dari filsafat ini juga membantu guru memahami
bahwa ”pemikiran etis dan pembuatan keputusan bukanlah semata-mata
mengikuti aturan”.
2. Estetika.
Cabangdariaksiologi yang
dikenalsebagaiestetikaituberhubungandengannilai-nilai yang
berkaitandengankeindahandanseni.Sekalipunkitaberharapbahwapara guru

15
Muhammad Kristiawan, FILSAFAT PENDIDIKAN: The Choice Is Yours, (Jogjakarta:
Valia Pustaka, 2016), 161
13

musik, seni, drama, sastra, dan guru


menulissecarateraturmemintaparasiswamembuatpenilaian-
penilaianmengenaikualitaskaryaseni,
kitadapatdenganmudahmengabaikanperan yang
harusdimainkanestetikadisemuabidangkurikulum. Harry broudy,
seorangfilosofpendidikan yang terkenal,mengatakanbahwaseniitupenting,
tidak ”semata-mataindah”. Persepsi-persepsi estetis, para siswa dapat
menemukan peningkatan makna dalam semua aspek kehidupan.
Estetika juga membantu guru meningkatkan keefektifanya.
Pengajaran, karena dapat dipandang sebagai suatu bentuk
ekspersiartistik, dapat dinilai menurut standar-standarartistik dari
keindahan dan kualitas. Perkenaan dengan nilai, guru adalah seorang
seniman dan secara terus-menerus berusaha meningkatkan kualitas
kerjanya.16
Perlu ditegaskan, tujuan pendidikan atau aksiologi pendidikan secara
esensial adalah terwujudnya anak didik yang memahami ilmu dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terwujudnya insan kamil,
yaitu manusia yang kembali pada fitrahnya dan pada tujuan kehidupannya
yang sejati.17
Dari tiga pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa ontologi adalah
ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmu,
sedangkan epistimologi adalah bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan
filsafat dan aksiologi adalah ilmu membicarakan tentang tujuan ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Jadi dapat kita ambil kesimpulan bahwa hubungan antara ketiganya bahwa
(epistimologi) yaitu bagaimana kita memperoleh ilmu pengetahuan,
kemudian (ontologi) bagaimana kita menggunakan ilmu itu dengan baik,
bermanfaat buat kita sendiri dan untuk masyarakat banyak dan (aksiologi) apa
tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri? Salah satu contohnya: (ontologi) Cara

16
Uyoh Sadulloh, ibid., 89-90
17
Anas Salahudin, ibid., 39
14

untuk mempermudah Proses pembelajaran dikelas. (epistemologi) Maka


munculnya strategi, pendekatan maupun gaya belajar dalam pembelajaran
dikelas. (Aksiologi) Untuk mempermudah siswa menerima ilmu pengetahuan
dari pendidik atau guru.

BAB III
KESIMPULAN
Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun
rohani/abstrak. Ontologi pendidikan adalah subtansi pendidikan dalam
semua prespektifnya, sebagaimana melihat pendidikan dari tujuan
esensialnya sebagai pencapaian maksimal dari pendidikan.Hakikat
pendidikan atau ontologi pendidikan berakar dari kebutuhan manusia
terhadap proses pelatihan kemandirian berpikir.
Epistimologi berasal dari yunani, yaitu Epistime yang berarti
pengetahuan. Persoalan pokok yang dipertanyakan adalah tentang
bagaimana sesuatu yang benar itu datang dan bagaimana kita
mengetahuinya, bagaimana pula kita membedakan yang benar dan yang
salah. Epistimologi pendidikan yaitu menyelidiki sumber ajaran atau
15

prinsip yang terdapat dalam pendidikan serta dasar atau asas yang
digunakan untuk pendidikan yang dimaksudkan.
Aksiologi merupakan suatu pendidikan yang menguji dan
mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia.
Aksiologi membahas tentang etika dan estetika. Tujuan aksiologi adalah
terwujudnya anak didik yang memahami ilmu dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan hubungan antara ketiganya bahwa
(epistimologi) yaitu bagaimana kita memperoleh ilmu pengetahuan,
kemudian (ontologi) bagaimana kita menggunakan ilmu itu dengan baik,
bermanfaat buat kita sendiri dan untuk masyarakat banyak dan (aksiologi)
apa tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Idi, Abdullah dan Jalaluddin. 2013.FILSAFAT PENDIDIKAN: Manusia, Filsafat,


dan pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Kristiawan, Muhammad. 2016. FILSAFAT PENDIDIKAN: The Choice Is Your.
Jogjakarta: Valia Pustaka.
Prasetya. 1997. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Sadulloh, Uyoh. 2003.Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.

Salahudin, Anas. 2011.Filsafat Pendidika. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai