Dosen Pengampu:
Bustanul Yuliani, M.Pd.
Kelmpok 1. PAI J
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita tahu bahwasannya ilmu dan pengetahuan itu sangat berpengaruh
untuk perkembangan dan kemajuan dalam peradaban manusia. Di era yang
penuh dengan kemajuan – kemajuan ini pastilah banyak ilmu–ilmu serta
pengetahuan yang harus kita bedah dan utuk kita kehui demi pendidikan diri
dalam keseharian kita. Untuk menambah wawasan serta ide-ide demi
menujukkan kehebatan profesionalnya kita dalam memainkan kata-kata, atas
nama kelompok kami yang pertama ini menyarankan alangkah baiknya jika
kita mempelajari sebuah ilmu yang bernama filsafat pendidikan.
Ilmu filsafat pendidikan mengcakup beberapa materi, dimana kami sebagai
penulis tidak mungkin mampu untuk mempelajari secara keseluruhan dengan
singkatnya waktu yang telah diberikan oleh ibu dosen. Oleh karena itu demi
penguasaan materi, makalah ini berisi tentang tiga landasan filsafat
pendidikan. Kerena kita tahu, dalam suatu pembelajaran itu betapa
pentingnya yang namanya landasan itu.
Tiga ladasan filsafat pendidikan ini berisi tentang landasan ontologi,
landasan epistomologi, dan landasan aksiologi. Pembahasan yang lebih detail
bias dipelajari disetiap poin- poin yang telah kami siapkan sebagaimana
makalah pada umumnya, supaya mempermudah penguasaan materi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Ontologi Pendidikan?
2. Bagaimana Epistimologi Pendidikan?
3. Bagaimana Aksiologi Pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi Pendidikan
Menurut bahasa, ontologi ialah berasal dari bahasa Yunani yaitu,
On/Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu yang tentang
2
ada. Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat
yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk
jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.1
Subtansi pendidikan dalam semua prespektifnya, sebagaimana melihat
pendidikan dari tujuan esensialnya sebagai pencapaian maksimal dari
pendidikan.2
Ontologi menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang
sangat terbatas bagi pancaindra kita. Bagaimana realita yang ada ini, apakah
materi saja, apakah wujud sesuatu ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan,
apakah realita berbentuk satu unsur (monoisme), dua unsur (dualisme),
ataukah terdiri dari unsur yang banyak (pluralisme).3
Berbicara masalah ontologi tidak terlepas dari filsafat karena filsafat
diperlukan untuk menjelaskan dasar ontologis dari ilmu, termasuk dalam
kajian pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan bidang filsafat terapan,
bermula dari bidang tradisional filsafat, seperti ontologi, etika, epistimologi,
dan pendekatan (filsafat spekulatif, preskriptif, dan analitis) untuk menjawab
pertanyaan mengenai kebijakanpendidikan, perkembangan manusia, dan teori
kurikulum. Dengan kata lain, filsafat pendidikan adalah studi filosofis tentang
tujuan, proses, alam, dan cita-cita pendidikan. Sebagai contoh, filsafat
pendidikan mencakup hal berikut.
1. Mempelajari definisi mengasuh dan mendidik;
2. Mendalami dan mempelajari pengaplikasian nilai-nilai dan norma-norma
lalu diterapkan melalui sistem pendidikan dan praktik pendidikan itu
sendiri;
3. Mempelajari batas-batas dan legitimasi pendidikan sebagai disiplin
akademis;
1
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 134
2
Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan(Bandung: Pustaka Setia, 2011) , 23
3
Jalaluddin dan Abdullah Idi, FILSAFAT PENDIDIKAN: Manusia, Filsafat, dan
pendidikan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), 77
3
4
Ibid, 78
4
Pengertian pendidikan merupakan suatu hasil, dan suatu proses adalah sangat
penting untuk mengerti hakikat pendidikan tersebut.
Tilaar menjelaskan berbagai pendekatan mengenai hakikat pendidikan
dapat digolongkan atas dua kelompok besar, yaitu pendekatan reduksionisme
dan pendekatan holistik integratif.5
Dalam perspektif holistik integratif, pendidikan pada hakikatnya
merupakan usaha memanusiakan manusia. Pendidikan diarahkan sepenuhnya
untuk memberdayakan manusia secara lahiriah dan rohaniah. Dengan
pendidikan, manusia bukan hanya harus dilatih dan dikembangkan cara
berpikirnya sehingga diperoleh kecerdasan intelektualnya, melainkan dilatih
dan dicerdaskan emosionalnya dan spiritualnya. Dengan pemahaman tersebut,
sudah tentu hakikat pendidikan atau ontologi pendidikan berakar dari
kebutuhan manusia terhadap proses pelatihan kemandirian berpikir, mandiri
mengambil keputusan, mandiri dalam bekerja untuk mempertahankan
kehidupannya, mandiri dalam mengamankan kehormatan dan harga dirinya,
dan manusia yang mengerti tujuan hidup hari ini, besok, dan yang akan
datang.6
B. Epistimologi Pendidikan
Epistimologi berasal dari yunani, yaitu Epistime yang berarti pengetahuan.
Persoalan pokok yang dipertanyakan adalah tentang bagaimana sesuatu yang
benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana pula kita
membedakan yang benar dan yang salah.7
Epistimologi pendidikan menyelidiki sumber ajaran atau prinsip yang
terdapat dalam pendidikan serta dasar atau asas yang digunakan untuk
pendidikan yang dimaksudkan. Berbagai teori pendidikan dikaji secara
mendalam sehingga latar belakang kelahirannya diketahui secara
aplikatifberkaitan dengan pendidikan.8
5
Anas Salahudin, ibid., 128-130
6
Ibid, 130-131
7
Prasetya, Filsafat Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 143
8
Anas Salahudin, ibid.
6
9
Ibid, 132
7
bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari
contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu
pengetahuan yang disebut juga dengan pengetahuan sintetik.
2. Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data
empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.
Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya
perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada
penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut
mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-
teori lain dan ada pengujuan teori dengan jalan menerapkan secara
empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
Poppertidak pernah menganggap bahwa kita dapat membuktikan
kebenaran-kebenaran teori dari kebenaran pernyataan-pernyataan yang
bersifat tunggal. Tidak pernah ia menganggap bahwa berkat kesimpulan-
kesimpulan yang telah diverifikasikan, teori-teori dapat dikukuhkan
sebagai benar atau bahkan hanya mungkin benar, contoh: jika penawaran
besar, harga akan turun. Karena penawaran beras besar, maka harga beras
akan turun.
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini
berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia
menyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta.
Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara
positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian
metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada
bidang gejala-gejala saja.
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung
dalam tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis,
orang berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan
kehendak khusus.
8
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab
untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates.
Namun Plato mengartikan diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap
9
10
Amsal Bakhtiar, ibid., 152-156
11
Jalaluddin dan Abdullah Idi, ibid, 78
10
12
Anas Salahudin, ibid.
13
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2003), 87
11
renungan dari pengalamannya, lebih jauh nialai-nilai ketuhanan dan nila yang
bersumber dari Tuhan harus dijadikan landasan untuk menilai pendidikan,
dan untuk menentukan nilai yang baik dan tidak baik didalam pendidikan.
Para guru berhubungan dengan nilai karena sekolah bukanlah suatu
aktifitas netral. Tidak ada sekolah yang bebas nilai, dan hal yang paling
mendasar dari sekolah mengekpresikan sejumlah nilai. Keputusan social dan
individual yang memberikan dan melaksanakan pendidikan yang didasarkan
pada sekumpulan nilai, dan aktifitas keseharian pendidikan itu adalah aktifitas
yang termuat nilai. Kita mendidik suatu tujuan yang kita anggap baik, dan apa
yang kita ajarkan adalah yang kita piker merupakan sesuatu yang baik.
Diantara pertanyaan pertanyaan aksiologis yang harus dijawab guru
sendiri adalah: nilai nilai apakah yang guru kenalkan pada siswa untuk
diadopsi? Nilai-nilai apakah yang mengangkat umat manusia pada ekspresi
kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apakah yang dipegang oleh orang
yang benar-benar terdidik?
Pada intinya, aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat
tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga
dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan itu.
Pengetahuan yang luas tidak dapat member keuntungan individu jika ia tidak
mampu menggunakan pengetahuan itu untuk kebaikan. Poin ini mengangkat
pertanyaan-pertanyaan? Pengalaman kurikuler apakah yang paling banyak
berkontribusi yang berkualitas kehidupan? Semua guru harus berurusan
dengan isu-isu yang diangkat oleh pertanyaaan pertanyaan.14
1. Etika
Istilah etika berasal dari kata “ethos” (bahasa Yunani) yang berarti
adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli menyebutnya dengan moral,
juga berarti kebiasaan, namun kedua kata ini memiliki arti berbeda, etika
bersifat teori sedangkan moral bersifat praktik. Etika merupakan cabang
14
Ibid., 88-89
12
filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dari sudut baik dan tidak
baik berlaku umum.15
Pengetahuan tentang etika dapat membantu guru memecahkan
banyak dilema yang muncul dikelas. Sering kali, para guru harus
mengambil tindakan dalam situasi-situasi dimana mereka tidak mampu
mengupulkan semua fakta relefan dan dimana tidak ada arah tindakan
yang tunggal yang secara total benar atau salah. Misalnya, seorang siswa
pada hasil pekerjaannya sebelumnya berada diatas rata-rata, menjiplak
suatu tugas makalah: haruskah guru membatalkan siswa tersebut untuk
mata pelajaran itu jika contah dari hukuman yang cepat dan tegas
kemungkinan akan mencegah parasiswa lain melakukan penjiplakan/
plagiatisme? Atau haruskah guru, yang mengikuti dugaan mengenai apa
yang akan terjadi pada minat jangka panjang siswa, menyuruh siswa itu
mengerjakan kembali makalah ujian itu dan mengambil risiko
kemungkinan para siswa lain melakukan gagasan yang salah tersebut
sehingga plagiatisme tersebut tidak memiliki konsekuensi negatif?
Dilema etis lainnya: apakah seorang guru matematika dibenarkan dengan
memisahkan dua gadis yang mengganggu dan menempatkan salah
seorang disuatu kelompok matematika dibawah kemampuannya dalam
upaya meningkatkan prestasi kelas keseluruhan?
Etika dapat menyumbangkan kepada guru cara- cara berpikir
mengenai permasalahan-permasalahan yang sulit untuk menentukan arah
yang benar. Cabang dari filsafat ini juga membantu guru memahami
bahwa ”pemikiran etis dan pembuatan keputusan bukanlah semata-mata
mengikuti aturan”.
2. Estetika.
Cabangdariaksiologi yang
dikenalsebagaiestetikaituberhubungandengannilai-nilai yang
berkaitandengankeindahandanseni.Sekalipunkitaberharapbahwapara guru
15
Muhammad Kristiawan, FILSAFAT PENDIDIKAN: The Choice Is Yours, (Jogjakarta:
Valia Pustaka, 2016), 161
13
16
Uyoh Sadulloh, ibid., 89-90
17
Anas Salahudin, ibid., 39
14
BAB III
KESIMPULAN
Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun
rohani/abstrak. Ontologi pendidikan adalah subtansi pendidikan dalam
semua prespektifnya, sebagaimana melihat pendidikan dari tujuan
esensialnya sebagai pencapaian maksimal dari pendidikan.Hakikat
pendidikan atau ontologi pendidikan berakar dari kebutuhan manusia
terhadap proses pelatihan kemandirian berpikir.
Epistimologi berasal dari yunani, yaitu Epistime yang berarti
pengetahuan. Persoalan pokok yang dipertanyakan adalah tentang
bagaimana sesuatu yang benar itu datang dan bagaimana kita
mengetahuinya, bagaimana pula kita membedakan yang benar dan yang
salah. Epistimologi pendidikan yaitu menyelidiki sumber ajaran atau
15
prinsip yang terdapat dalam pendidikan serta dasar atau asas yang
digunakan untuk pendidikan yang dimaksudkan.
Aksiologi merupakan suatu pendidikan yang menguji dan
mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia.
Aksiologi membahas tentang etika dan estetika. Tujuan aksiologi adalah
terwujudnya anak didik yang memahami ilmu dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan hubungan antara ketiganya bahwa
(epistimologi) yaitu bagaimana kita memperoleh ilmu pengetahuan,
kemudian (ontologi) bagaimana kita menggunakan ilmu itu dengan baik,
bermanfaat buat kita sendiri dan untuk masyarakat banyak dan (aksiologi)
apa tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA