Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN DASAR

“Konsep Dasar Filsafat Pendidikan”

Dosen Pengampu:
Prof. Zelhendri Zen, M.Pd., Ph.D
Prof. Dr. Neviyarni, M.S.

Disusun Oleh Kelompok 1:

Disha Hikarahmi Ramfineli 23124005


Arfa Novia Santi 23124035
Suci Kurnia 23124028

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR


SEKOLAH PASCASARJA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan

sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa

pertolongan-Nya tentunya penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan

makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada

baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan

syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat

sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis

mampu untukmenyelesaikan tugas makalah ini dalam mata kuliah “Landasa

Filosofis Pendidikan Dasar”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna

dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,

penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,

supayamakalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon

maaf yang sebesar-besarnya. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Padang, Februari 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................................................1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................2

C. Tujuan Masalah ........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3

A. Konsep Pendidikan dan Pendidikan Dasar ..................................................3

B. Kajian Ontology, Epistimologi, dan Aksiologi Pendidikan Dasar .............. 9

C. Filsafat Pendidikan Dasar .......................................................................... 18

BAB III PENUTUP ..............................................................................................31

A. Kesimpulan ................................................................................................31

B. Saran .......................................................................................................... 32

DAFTAR RUJUKAN .......................................................................................... 33

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia sebagai makhluk hidup berpikir dan selalu

berusaha untuk mengetahui segala sesuatu, tidak mau menerima begitu saja

apa adanya sesuatu itu, selalu ingin tahu apa yang ada dibalik yang dilihat

dan diamati. Segala sesuatu yang dilihatnya, dialaminya, dan gejala yang

terjadi di lingkungannya selalu dipertanyakan dan dianalisis atau dikaji. Ada

tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu keheranan,

kesangsian, dan kesadaran atas keterbatasan. Berfilsafat kerap kali didorong

untuk mengetahui apa yang telah tahu dan apa yang belum tahu, berfilsafat

berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam

kemestaan yang seakan tak terbatas.

Filsafat memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan

manusia. Setidaknya ada tiga peran utama yang dimiliki yaitu sebagai

pendobrak, pembebas, dan pembimbing. Pendidikan adalah upaya

mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik

potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan

dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita

kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam

keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan

hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam

studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Hal ini lah yang menjadi

1
latarbelakang penulisan makalah ini dengan memaparkan konsep dasar

filsafat pendidikan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari

makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep pendidikan dan pendidikan dasar?

2. Bagaimana kajian Ontology, Epistimologi, dan Aksiologi pendidikan dasar?

3. Bagaimana filsafat pendidikan dasar?

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari makalah ini adalah

sebagai berikut:

1. Menjelaskan konsep pendidikan dan pendidikan dasar

2. Menjelaskan kajian Ontology, Epistimologi, dan Aksiologi pendidikan dasar

3. Menjelaskan filsafat pendidikan dasar

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Pendidikan dan Pendidikan Dasar

1. Pendidikan

Sasaran pendidikan adalah manusia, yang mengadung banyak

aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sangat kompleks tersebut,

tidak ada satu batasan yang bisa menjelaskan Hakikat pendidikan secara

lengkap. Batasan yang diberikan para ahli beranekaragam, karena

orientasi, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan

atau falsafah yang mendasarinya juga berbeda.

Pendidikan berlangsung selama sepanjang hayat (long life

education). Pengajaran dalam pengertian luas juga merupakan sebuah

proses kegiatan mengajar, dan melaksanakan pembelajaran itu bisa

terjadi di lingkungan manapun dan kapanpun ( Amirin dalam Annisa,

2022).

Secara harfiah arti pendidikan adalah mendidik yang

dilaksanakan oleh seorang pengajar kepada peserta didik, diharapkan

orang dewasa pada anak-anak untuk bisa memberikan contoh tauladan,

pembelajaran, pengarahan, dan peningkatan etika-akhlak, serta menggali

pengetahuan setiap individu. Pengajaran yang diberikan pada peserta

didik bukan saja dari pendidikan formal yang dilaksanakan oleh

pemegang kekuasaan, namun dalam hal ini fungsi keluarga serta

masyarakatlah yang amat penting dan menjadi wadah pembinaan yang

3
bisa membangkitkan serta mengembangkan pengetahuan serta

pemahaman.

Pendidikan dalam arti kata sempit adalah sebuah Sekolah. Sistem

itu berlaku untuk orang dengan berstatus sebagai murid yaitu siswa di

sekolah, atau peserta didik pada suatu universitas (lembaga pendidikan

formal). Bapak penididikan Ki Hajar Dewantara dengan pedomannya

yang masyur yaitu, “Ing Ngarso Sung Tulodo” (di depan memberikan

contoh), “Ing Madyo Mangun Karso” (di tengah membangun dan

memberi semangat), Tut Wuri Handayani (di belakang memberi

dorongan) dan (Febriyanti, 2021). Seandainya kita dapat memahami isi

semboyan tersebut, oleh karenanya bias disimpulkan bahwa peran guru

sebagai pondasi dan ujung tombak dalam melaksanakan laju Pendidikan

Nasional. Pendidikan merupakan segala efektivitas yang diusahakan

sebuah lembaga kepada peserta didik untuk diberikan kepadanya dengan

harapan mereka memiliki kompetensi yang baik dan jiwa kesadaran

penuh terhadap suatu ikatan dan permasalahan sosialnya. Dalam

kegiatan pengajaran disekolah atau lembaga formal terdapat batasan

akhir masa belajar atau waktu tempuh dalam mengikuti pembelajaran

sangat bervariasi, misalnya tiga tahun, enam tahun dan sebagainya.

Pelatihan dasar adalah tingkat Pendidikan yang mendasari tingkat

pendidikan tambahan yang diadakan untuk mempersiapkan siswa untuk

mengikuti tingkat pendidikan di pusat dengan dilengkapi dengan

informasi, kemampuan, kemajuan perspektif penting (Syafii, 2004).

4
Berikut ini dikemukakan beberapa pendapat para ahli tentang

Hakikat pendidikan :

a. T. Raka Joni (1982)

Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang

ditandai oleh keseimbangan kedaulatan subjek didik dengan

kewibawaan pendidik. Pendidikan merupakan usaha penyiapan

subjek didik menghadapi lingkungan hidup yang mengalami

perubahan yang semakin pesat. Pendidikan meningkatkan kualitas

kehidupan pribadi yang semakin pesat. Pendidikan berlangsung

seumur hidup. Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan

prinsip iptek bagi pembentukan manusia seutuhnya.

b. Ki Hadjar Dewantara

Hakikat pendidikan ialah proses penanggulangan

masalah-masalah serta penemuan dan peningkatan kualitas hidup

pribadi serta masyarakat yang berlangsung seumur hidup. Pada

tingkat permulaan pendidik lebih menentukan dan mencampuri

pendidikan peserta didik. Setelah itu pendidik hanya sebagai

pengasuh yang mendorog, membimbing, memberi teladan,

menuntun serta menyediakan dan mengatur kondisi untuk

membelajarkan peserta didik sehingga dapat menghasilkan peserta

didik yang mampu memperbaharui diri secara terus menerus dan

aktif menghadapi lingkungan hidupnya. Semua itu terlihat pada

semboyan dan perlambangan yang dikemukakan oleh Ki Hadjar

5
Dewantara yaitu, ing ngarso sung tuludo artinya kalau pendidik

berada dimuka, ia memberi tauladan kepada pendidiknya; ing

madya mangun karso artinya kalau pendidik berada di tengah, dia

membangun semangat berswakarya dan berkreasi pada peserta

didiknya; dan tut wuri handayani artinya kalau pendidik berada di

belakang, dia mengikuti dan mengarahkan peserta didiknya agar

berani berjalan di depan dan sanggup bertanggungjawab serta

mencari jalan sendiri.

c. Aristoteles

Filsuf terbesar Yunani, guru Iskandar Makedoni, yang

dilahirkan pada tahun 384 SM-322 SM mengatakan bahwa:

“Pendidikan itu ialah menyiapkan akal untuk pengajaran.”

d. John Dewey

Filsuf Chicago, 1859 M - 1952 M mengatakan bahwa:

"Pendidikan adalah membentuk manusia baru melalui perantaraan

karakter dan fitrah, serta dengan mencontoh peninggalan-

peninggalan.”

Jadi bisa dikatakan mendidik dan pendidikan merupakan dua hal

yang saling behubungan. Dari segi bahasa mendidik adalah kata kerja

dan pendidikan adalah kata benda. Kalau mendidik kita melakukan suatu

kegiatan atau tindakan, kegiatan mendidik berarti ada yang mendidik dan

ada yang dididik. Pendidikan sebagai usaha mengubah tingkah laku

individual (orang per orang) dalam kehidupan pribadinya, dalam

6
kehidupan sosial (kemasyarakatan) nya dan dalam kehidupan di

lingkungan alam sekitar melalui suatu proses. Pendidikan adalah suatu

proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat (behavior)

manusia. Sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat,

dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan,

yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk

mempersiapkan peserta didik agar dapat mempermainkan peranan dalam

berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan dating.

Dapat disimpulkan bahwa Pendidikan merupakan “usaha sadar

dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran yang

menyenangkan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya dan masyarakat”. Pendidikan meliputi pengajaran

keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih

mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan

kebijaksanaan. Pendidikan merupakan usaha suatu kebulatan yang terdiri

atas beberapa unsur yang saling berkaitan menurut fungsional dalam

rangka meraih maksud Pendidikan (mentransformasi input menjadi

output). maksud Pendidikan ialah menuntun seluruh kodrat yang terdapat

pada anak-anak, supaya mereka bisa meraih keselamatan dan

kebahagiaan yang setinngitingginya baik sebagai manusia ataupun

sebagai warga masyarakat. Alasan untuk sekolah adalah untuk

7
mengubah subjek pelatihan menjadi orang dewasa yang memiliki

perhatian, kapasitas, informasi terbesar dengan menumbuhkan

kemungkinan yang ada dalam dirinya (Wardani, 2014).

2. Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar adalah pendidikan yang memberikan

pengetahuan dan keterampilan, menumbuhkan sikap dasar yang

diperlukan dalam masyarakat, serta mempersiapkan peserta didik untuk

mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan dasar diselenggarakan

untuk memberikan bekal dasar yang diperlukan untuk hidup dalam

masyarakat berupa pengembangan sikap, pengetahuan dan keterampilan

dasar. Pendidikan dasar disebut sekolah dasar (SD) yaitu lembaga

pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan sebagai dasar

untuk mempersiapkan siswanya yang dapat ataupun tidak dapat

melanjutkan pelajarannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi,

untuk menjadi warga negara yang baik. berikut pengertian pendidikan

dasar termaktub Dalam undang – undang sistem pendidikan nasional bab

VI pasal 17 menyebutkan:

a. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi

jenjang pendidikan menengah.

b. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah

ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah

menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTS) atau

bentuk lain yang sederajat. Dalam pendidikan ini akan terjadi

8
peletakan dasar dari pembangunan manusia. Esensi pendidikan

yang dialami oleh manusia pada permulaan hidup lebih

ditekankan pada fakta dan membaca fakta – fakta dalam

pergelaran obyektifitas di alam ini. Maka dalam pendidikan dasar,

orang tua tidak boleh bertengkar atau berbuat apa saja ya ng

belum pantas diketahui oleh anak, sebab hal itu akan merusak

sistem dan suasana hati yang sedang dibangun, karena alam ini

tertib, maka rumah tangga serta lingkungannya harus tertib.

Orang tua adalah panutan bagi anak-anaknya, untuk itu orang tua

harus membimbing dan mengarahkan mereka pada hal-hal yang baik dan

mendidik. Adapun tujuan pendidikan dasar adalah meletakan dasar

kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan

untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Secara garis

besar dapat disimpulkan sebagai berikut, bahwa penyelenggaraan

pendidikan dasar ini adalah ditekankan pada peletakan dasar

pengetahuan dan keterampilan di mana pada tingkat ini siswa atau anak

hanya menangkap dan mengelola fakta-fakta yang ada.

B. Kajian Ontology, Epistimologi, dan Aksiologi Pendidikan Dasar

Filsafat pendidikan dasar sebagai mana cabang filsafat lainnya

mencakup sekurang-kurangnya tiga cabang utama dari filsafat aspek ontologi

(teori hakikat / theory of being), epistemologi (teori pengetahuan/ theory of

knowledge), dan aksiologi (teori nilai/ theory of meaning) (dalam Keramas,

2008). Ketiga komponen teori di atas sebenarnya sama-sama membahas

9
tentang hakikat, hanya saja berangkat dari hal yang berbeda dan tujuan yang

beda pula. Epistemologi sebagai teori pengetahuan membahas tentang

bagaimana mendapat pengetahuan, bagaimana kita bisa tahu dan dapat

membedakan dengan yang lain. Ontologi membahas tentang apa objek yang

kita kaji, bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya

pikir. Sedangkan aksiologi sebagai teori nilai membahas tentang pengetahuan

kita akan pengetahuan di atas, klasifikasi, tujuan danperkembangannya.

1. Ontologi

Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani, yaitu Ontos: being,

dan Logos: Logic. Jadi, ontologi adalah the theory of being qua being

(teori tentang keberadaan sebagai keberadaan) atau ilmu tentang yang

ada. Ontologi diartikan sebagai suatu cabang metafisika yang

berhubungan dengan kajian mengenai eksistensi itu sendiri. Ontologi

mengkaji sesuai yang ada, sepanjang sesuatu itu ada. Clauberg menyebut

ontologi sebagai “ilmu pertama,” yaitu studi tentang yang ada sejauh ada.

Studi ini dianggap berlaku untuk semua entitas, termasuk Allah dan

semua ciptaan, dan mendasari teologi serta fisika. Pertanyaan yang

berhubungan dengan obyek apa yang dikaji oleh pengetahuan itu

(ontologi), bagaimana cara mengetahui pengetahuan tersebut

(epistemologi), dan apa fungsi pengetahuan tersebut (aksiologi). Secara

terminologi, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang

ada yang merupakan realitas, baik berbentuk jasmani atau konkrit

maupun rohani atau abstrak.

10
Ada beberapa pengertian dasar mengenai apa itu “ontologi.”

Pertama, ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial” dari Yang

Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang

ada secara khusus. Dalam mempelajari ‘yang ada’ dalam bentuknya yang

sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan, seperti “Apa itu

Ada dalam dirinya sendiri?” Kedua, ontologi juga bisa mengandung

pengertian sebuah cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur

realitas dalam arti seluas mungkin yang menggunakan kategori-kategori,

seperti ada/menjadi, aktualitas/potensialitas, esensi, keniscayaan dasar,

yang ada sebagai yang ada. Ketiga, ontologi bisa juga merupakan cabang

filsafat yang mencoba melukiskan hakikat Ada yang terakhir. Ini

menunjukkan bahwa segala hal tergantung pada eksistensinya. Keempat,

ontologi juga mengandung pengertian sebagai cabang filsafat yang

melontarkan pertanyaan apa arti Ada dan Berada dan juga menganalisis

bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan

Ada. Kelima, ontologi bisa juga mengandung pengertian sebuah cabang

filsafat yang: a). menyelidiki status realitas suatu hal. Misalnya, “apakah

obyek penerapan atau persepsi kita, nyata atau bersifat ilusif (menipu)?

“apakah bilangan itu nyata?” “apakah pikiran itu nyata?” b). menyelidiki

apakah jenis realitas yang dimiliki sesuatu. Misalnya, “Apa jenis realitas

yang dimiliki bilangan? Persepsi? Pikiran” dan c). menyelidiki realitas

yang menentukan apa yang kita sebut realitas.

11
Dari beberapa pengertian dasar tersebut bisa disimpulkan bahwa

ontologi mengandung pengertian “pengetahuan tentang yang ada.”

Istilah ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke-17.

2. Epistemologi

Secara etimologis “Epistemologi” berasal dari dua suku kata

(Yunani), yakni ‘epistem’ yang berarti pengetahuan atau ilmu

(pengetahuan) dan ‘logos’ yang berarti ‘disiplin’ atau teori. Dalam

Kamus Webster disebutkan bahwa epistemologi merupakan “Teori ilmu

pengetahuan (science) yang melakukan investigasi mengenai asal-usul,

dasar, metode, dan batas-batas ilmu pengetahuan.”

Hollingdale menyatakan bahwa epistemologi merupakan bagian

dari filsafat pengetahuan yang membahas tentang cara dan alat untuk

mengetahui. Ia mendefinisikan epistemologi secara sederhana sebagai

teori mengenai asal usul pengetahuan dan merupakan alat “to know”

(untuk mengetahui) dan “means” (alat-alat) menjadi kata kunci dalam

proses epistemologis. Bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu, serta

metode (teknik, instrument, dan prosedur) apa yang kita gunakan untuk

mencapai pengetahuan yang bersifat ilmiah? Inilah inti pembahasan yang

menjadi perhatian epistemologi.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Epistemologi

adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang

batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan

kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.

12
Epistemologi berdasarkan akar katanya episteme (pengetahuan)

dan logos (ilmu yang sistematis, teori). Secara terminologi, epistemologi

adalah teori atau pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar

pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas

pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.. (dalam

Muhmidayeli, 2011).

Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi daripada

epistemologi adalah P. Hardono Hadi . Menurut beliau epistemologi

adalah cabang yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan

skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta

pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang

dimiliki. Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemologi adalah

D.W Hamlyin, beliau mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang

yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan

pengandaian – pengandaian serta secara umum hal itu dapat

diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan

(dalam Mustansyir dan Munir, & Misnal, 2001).

Epistimologi adalah proses dalam mendapatkan ilmu

pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah yang

melalui proses penyelidikan sehingga menjadi sebuah

pengetahuan.Jacques Martain (Devi et al., 2022) Untuk mengatakan

alasan epistymologi bukanlah hal utama untuk menanggapi pertanyaan,

apakah saya dapat menyadari, namun untuk menemukan keadaan yang

13
memungkinkan saya untuk menyadari. Ini menunjukkan bahwa motivasi

di balik episymologi bukan untuk mendapatkan informasi meskipun

fakta bahwa keadaan saat ini tidak dapat dihindari, namun titik fokus

pertimbangan tujuan episymologis adalah prioritas yang lebih tinggi dari

itu, Saya mungkin harus bisa mendapatkan informasi. Epistemologi

diperlukan dalam pendidikan, antara lain, sesuai dengan kesiapan

program pendidikan penting. Informasi apa yang harus diberikan kepada

siswa, yang ditunjukkan di sekolah dan bagaimana memperoleh

informasi dan bagaimana menyampaikannya seperti apa? Semua ini

adalah epistemologi pelatihan.

3. Aksiologi

Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi

berasal dari kata axio dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang

berharga, dan logos artinya akal, teori, axiologi artinya teori nilai,

penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari

nilai.Aksiologi sebagai cabang ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki

hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan

(dalam Mustansyir & Munir, 2001).

Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya "Filsafat Ilmu,"

mendefinisikan aksiologi dalam dua tahap. Tahap pertama, ilmu yang

otonom terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik (bebas nilai)

sehingga dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya (fungsi

internal). Tahap kedua, ilmu juga bertujuan memanipulasi factor-faktor

14
yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan

proses yang terjadi. Berbekal konsep mengenai kaitan antara hutan

gundul dan banjir umpamanya, ilmu mengembangkan teknologi untuk

mencegah banjir. Untuk membahas ruang lingkup yang menjadi

tanggung jawab seorang ilmuwan maka hal ini dapat dikembalikan

kepada hakikat ilmu itu sendiri. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah

konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang sering dilakukan,

atau ilmu itu terkait bebas dari bebas nilai. Ilmu itu sendiri netral dan

para ilmuwanlah yang memberinya nilai. Melihat ilmu dari tiga hal ini

berarti mendekatinya dari sudut pandang filosofis.

Aksiologi adalah bagian dari penalaran tentang hipotesis nilai

bagaimana seseorang menggunakan atau menggunakan ilmu

pengetahuan yang didapat dalam kehidupan seharihari. Perwujudan

aksiologi yang diinginkan untuk dicapai khawatir tentang masalah nilai

handiness sains karena sains harus disesuaikan dengan sosial dan

kebajikan sehingga nilai nilai sains dapat dirasakan oleh daerah setempat.

(Santosa, 2012). Aksiologi adalah bagian dari penalaran sains yang

membahas tentang motivasi di balik sains itu sendiri dan bagaimana

orang memanfaatkan sains. Kapasitas dan tujuan sekolah dasar

menyinggung kapasitas dan sasaran pelatihan publik sebagaimana

tertuang dalam peraturan nomor 20 tahun 2003 pasal 3 tentang sistem

sekolah umum. Kapasitas pelatihan publik untuk menumbuhkan

kapasitas dan membentuk pribadi dan peradaban negara terhormat untuk

15
menginstruksikan kehidupan negara, Berharap dapat menumbuhkan

kemampuan siswa untuk menjadi orang yang menerima dan takut akan

Tuhan yang maha kuasa, orang yang terhormat, solid, terpelajar, mahir,

inovatif, otonom, dan menjadi penduduk yang berbasis suara dan dapat

diandalkan.

Nilai Intrinsik, contohnya pisau dikatakan baik karena

mengandung kualitas-kualitas pengirisan didalam dirinya, sedangkan

nilai instrumentalnya ialah pisau yang baik adalah pisau yang dapat

digunakan untuk mengiris, jadi dapat menyimpulkan bahwa nilai

Instrinsik ialah nilai yang yang dikandung pisau itu sendiri atau sesuatu

itu sendiri, sedangkan Nilai Instrumental ialah Nilai sesuatu yang

bermanfaat atau dapat dikatakan Niai guna (dalam Nuraini, 2011).

Berikut beberapa peran filsafat pendidikan terhadap pendidikan dasar,

yaitu sebagai berikut:

1. Peran Ontologi Terhadap Pendidikan Dasar

Menurut Suharto (dalam Devi et al., 2022) ”Dasar-dasar

kosmologi pada sekolah akan memeriksa gagasan tentang kehadiran

instruksi yang terkait dengan gagasan kehidupan manusia. Kosmologi

adalah pemeriksaan objek material ilmu pengetahuan. Berisi hal-hal

observasional dan studi apa yang perlu disadari orang dan objek apa

yang dipelajari sains. Premis metafisika instruktif adalah bahwa objek

materi instruktif adalah sisi yang mengarahkan setiap tindakan instruktif

tunggal. Dengan demikian, tugas Ontologi dengan sekolah melibatkan

16
posisi sentral dalam terang dasar ilmu pengetahuan di mana ada hukum

penting dari alam semesta ilmu pengetahuan.

2. Peran Epistemologi Terhadap Pendidikan Dasar

Premis epistemologi terhadap pelatihan akan memecah gagasan

wawasan yang terkait dengan realitas hipotesis instruktif. Tugas

epistimologi dengan pendidikan adalah untuk menumbuhkan ilmu

pengetahuan secara bermanfaat dan penuh perhatian dan memberikan

garis besar realitas yang ditunjukkan dalam siklus instruktif. (Suharto,

2011).

3. Peran Aksiologi Terhadap Pendidikan Dasar

Landasan aksiologi terhadap pendidikan akan membekali para

pendidik berpikir klarifikatif tentang hubungan antara tujuan-tujuan

hidup dan pendidikan sehingga akan mampu member bimbingan dalam

mengembangkan suatu program pendidikan yang berhubungan secara

realitas dengan konteks dunia global. Aksiologi mempelajari mengenai

manfaat apa yang diperoleh dari ilmu pengetahuan, menyelidiki hakikat

nilai, serta berisi mengenai etika dan estetika. Penerapan aksiologi dalam

pendidikan misalnya saja dengan adanya mata pelajaran ilmu sosial dan

kewarganegaraan yang mengajarkan bagaimana etika atau sikap yang

baik itu, Terlebih lagi, ini adalah subjek keahlian yang menunjukkan

gaya atau keunggulan karya manusia. Premis aksiologis sekolah adalah

handiness hipotesis instruktif fundamental sebagai ilmu independen serta

17
diharapkan untuk memberikan premis terbaik untuk pelatihan sebagai

kursus tercerahkan budaya manusia (Devi et al., 2022).

C. Filsafat Pendidikan Dasar

1. Pengertian Filsafat
Secara etimologis, dalam bahasa Inggris filsafat disebut philosophy,

dalam bahasa Arab disebut filsafat, gabungan dari kata tersebut dalam bahasa

Yunani disebut falsafah atau philosophia, kata majemuk yang berasal dari

kata Philos yang artinya cinta atau suka, dan kata Sophia yang artinya

bijaksana. Dengan demikian secara etimologis, filsafat memberikan

pengertian cinta kebijaksanaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata

filsafat berarti pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai

hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Sedangkan dalam

pengertian praktisnya filsafat adalah alam pikiran atau alam berpikir.

Berfilsafat artinya berpikir, Namun tidak semua kegiatan berpikir disebut

filsafat, hanya berpikir secara mendalam dan sungguh-sunguh serta secara

radikal/ mendasar sampai ke akar-akarnya dan sistematis yang disebut dengan

berfilsafat.

Menurut Dodi (2014: 3-4) Banyak sekali definisi yang diberikan oleh

para filosuf-filosuf mengenai filsafat, diantaranya:

1. Plato (tahun 427 SM-347 SM), menurutnya filsafat adalah pengetahuan

tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai

kebenaran yang sesungguhnya).

18
2. Aristoteles (tahun 382 SM-322 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan

yang meliputi kebenaran, yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu

metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat

menyelidiki sebab dan asas segala benda).

3. Al-Farabi (wafat 950 M), filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam

maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.

4. Immanuel Kant (1724 -1804), filsafat adalah itu ilmu pokok dan pangkal

segala pengetahuan yang mencangkup di dalamnya ada empat persoalan,

yaitu: apa yang dapat kita ketahui? (dijawab metafisika), apa yang boleh

kita kerjakan? (dijawab etika), apa yang bisa kita harapkan? (dijawab

oleh agama), apa manusia itu? (dijawab antropologi).

Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi

manusiawi peserta didik, baik potensi fisik, potensi cipta, rasa maupun

karsanya agar dasar kependidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal.

Karenanya pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan,

kesatuan, organis, dinamis, guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan,

melalui filsafat kependidikan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang

digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

2. Pengertian Filsafat Pendidikan


Filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang

menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan

memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat

menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk

19
mencapainya. Dalam hal ini, filsafat, filsafat pendidikan, dan pengalaman

kemanusiaan merupakan faktor yang integral. Filsafat pendidikan juga bisa

didefinisikan sebagai kaidah filosof dalam bidang pendidikan yang

menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dalam upaya

memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara peraktis.

Menurut Jhon Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu

pembentukan kemampuan dasar yang fudamental, baik yang menyangkut

daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju tabiat

manusia. Menurut Imam Barnadib filsafat pendidikan merupakan ilmu

uang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan

dalam bidang pendidilkan. Baginya filsafat pendidikan merupakan aplikasi

suatu analisis filosof terhadap pendidikan.

Pendidikan adalah bimbingan ecara sadar dari pendidik terhadap

perkembangan jasmani dan ruhani anak didikmenuju terbentuknya manusia

yang memiliki yang utama dan ideal. Dalam pandangan Jhon Dewey,

pendidikan adalah sebagai proses pembentukan kemampuan dasar yang

fudamental, yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya rasa

(emosi). Dalam hubungan ini Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan

adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya

sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan kehidupan alam sekitarnya.

Dengan demikian, dari uraian di atas dapat kita tarik suatu

pengertian bahwa filsafat pendidikan sebagai ilmu pengetahuan normatif

dalam bidang pendidikan merumuskan kaidah-kaidah norma-norma dan

20
atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh

manusia dalam hidup dan kehidupannya.

Filsafat, jika dilihat dari fungsinya secara peraktis, adalah sebagai

sarana bagi manusia untuk dapat memecahkan berbagai problematika

kehidupan yang dihadapinya, termasuk dalam problematika dalam

pendidikan. Oleh karena itu di simpulkan bahwa filsafat merupakan arah

dan pedoman atau pijakan dasar bagi ilmu yang pada hakikatnya

merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan

yang merupakan penerapan analisis filosofis dalam lapangan pendidikan.

3. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan

Menurut (Harisah, 2021) secara makro, apa yang menjadi objek

pemikiran filsafat, yaitu permasalahan kehidupan manusia, alam semesta

dan alam sekitarnya, juga merupakan objek pemikiran filsafat pendidikan.

Namun secara mikro, ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi:

1. Merumuskan secara tegas sifat hakiki pendidikan (the nature of

education).

2. Merumuskan sifat hakikat manusia, sebagai objek dan subjek

pendidikan (the nature of man).

3. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan,

agama, dan kebudayaan.

4. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, dan teori

pendidikan.

21
5. Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideoogi), filsafat

pendidikan, dan politik pendidikan (sistem pendidikan).

6. Merumuskan sistem nilai norma atau isi moral pendidikan yang

merupakan tujuan pendidikan (Tim Dosen IKIP Malang : 65).

Dengan demikian, dari uraian diatas di peroleh suatu kesimpulan

bahwa yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan itu ialah semua aspek

yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami

hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana

pelaksanaan pendidikan yang baik dan bagaimana tujuan pendidikan itu

dapat di capai seperti yang dicita-citakan.

4. Fungsi Filsafat Pendidikan


Brubacher menulis tentang fungsi filsafat pendidikan secara

terperinci, pokok-pokok pikirannya dapat dilihat sebagai berikut :

1. Fungsi Spekulatif

Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan

pendidikan dan mencoba merumuskannya dalam satu gambaran

pokok-pokok sebagai pelengkap bagi data-data yang telah ada dari

segi ilmiah. Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan

persoalan pendidikan dan antar hubungannya denganfactor-faktor

lain yang mempengaruhi pendidikan.

2. Fungsi Normatif

Sebagai penentu arah, pedoman untuk apa pendidikan itu. Asas

ini tersimpuldalam tujuan pendidikan, jenis masyarakat apa yang

22
ideal yang akan kita bina. Khususnya norma moral yang bagaimana

sebaiknya yang manusia cita-citakan. Bagaima filsafat pendidikan

memberikan norma dan pertimbangan bagi kenyataan normative dan

kenyataan ilmiah, yang pada akhirnya membentuk kebudayaan.

3. Fungsi Kritik

Terutama untuk memberi dasar bagi pengertian kritis rasional

dalam pertimbangan dan menafsirkan data-data ilmiah misalnya,

data pengukuran analisa evaluasi baik kepribadian maupun prestasi.

Fungsi kritik berarti pula analisis dan komparatif atas sesuatu, untuk

mendapat kesimpulan bagaimana menetapkan klasifikasi prestasi itu

secara tepat dengan data-data objektif (angka, statistic). Juga untuk

menetapkan asumsi atau hipotesis yang lebih rasionable. Filsafat

harus kompeten, mengatasi kelemahan-kelemahan yang ditemukan

oleh bidang ilmiah, mlengapi dengan data dan argumentasi yang

tidak didapat dari data ilmiah.

4. Fungsi Teori Bagi Praktek

Semua ide, konsepsi, analisa dan kesimpulan filsafat pendidikan

adalah berfungsi teori. Dan teori ini adalah dasar bgi pelaksanaan

atau praktek pendidikan. Filsafat memberikan prinsip-prinsip umum

bagi suatu praktek.

5. Fungsi Integrartif

Mengingat fungi filsafat pendidikan sebagai asas kerohanian

atau rohnya pendidikan, maka ungsi integrative filsafat adalah wajar.

23
Artinya sebagai pemadu fungsional semua nilai dan asas normative

dalam ilmu kependidikan.

5. Hubungan Filsafat dengan Filsafat Pendidikan

Dalam berbagai bidang ilmu sering kita dengar istilah vertikal dan

horisontal. Istilah ini juga akan terdengar pada cabang filsafat bahkan filsafat

pendidikan. Antara filsafat dan pendidikan terdapat hubungan horisontal,

meluas kesamping yaitu hubungan antara cabang disiplin ilmu yang satu

dengan yang lain yang berbeda-beda, sehingga merupakan synthesa yang

merupakan terapan ilmu pada bidang kehidupan yaitu ilmu filsafat pada

penyesuaian problema-problema pendidikan dan pengajaran. Filsafat

pendidikan dengan demikian merupakan pola-pola pemikiran atau

pendekatan filosofis terhadap permasalahan bidang pendidikan dan

pengajaran.

Adapun filsafat pendidikan menunjukkan hubungan vertikal, naik ke

atas atau turun ke bawah dengan cabang-cabang ilmu pendidikan yang lain,

seperti pengantar pendidikan, sejarah pendidikan, teori pendidikan,

perbandingan pendidikan dan puncaknya filsafat pendidikan. Hubungan

vertikal antara disiplin ilmu tertentu adalah hubungan tingkat penguasaan

atau keahlian dan pendalaman atas rumpun ilmu pengetahuan yang sejenis.

Maka dari itu, filsafat pendidikan sebagai salah satu bukan

satu-satunya ilmu terapan adalah cabang ilmu pengetahuan yang memusatkan

perhatiannya pada penerapan pendekatan filosofis pada bidang pendidikan

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup dan penghidupan manusia

24
pada umumnya dan manusia yang berpredikat pendidik atau guru pada

khususnya.

Dalam buku filsafat pendidikan karangan Prof. Jalaludin dan Drs.

Abdullah Idi mengemukakan bahwa Jhon S. Brubachen mengatakan

hubungan antara filsafat dan pendidikan sangat erat sekali antara yang satu

dengan yang lainnya. Kuatnya hubungan tersebut disebabkan karena kedua

disiplin tersebut menghadapi problema-problema filsafat secara

bersama-sama.

Hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan, yaitu

sebagai berikut :

1. Filsafat, dalam arti filosofis merupakan satu cara pendekatan yang

dipakai dalam memecahkan proplematika pendidikan dan menyusun

teori-teori pendidikan oleh para ahli.

2. Filsafat, berfungsi member arah bagi teori pendidikan yang telah ada

menurut aliran filsafat tertentu yang memiliki relevansi dengan

kehidupan yang nyata.

3. Filsafat, dalam hal ini filsafat pendidikan, mempunyai fungsi untuk

memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori

pendidikan menjadi ilmu pendidikan (paedagogik).

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan, bahwa antara filsafat

pendidikan dan pendidikan terdapat hubungan yang erat sekali dan tak

terpisahkan. Filsafat pendidikan mempunyai peranan yang amat penting

dalam suatu system pendidikan karena filsafat merupakan pemberi arah dan

25
pedoman dasar bagi usaha-usaha perbaikan, meningkatkan kemajuan dan

landasan kokoh bagi tegaknya system pendidikan

6. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan

a. Implikasi Bagi Guru

Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan

pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak

yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup bila

seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana

mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi

seorang tukang.

Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang

tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan

setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan

dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu

menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan

tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada

tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih

operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu

maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta

non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan

tenaga kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara

pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan

sendirinya melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari pada sekedar

26
pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang dicekik

dengan batasan-batasan behavioral secara berlebihan.

Dimuka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik

melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat

profesional yang dinamakan pendidikan itu; hanyalah tahap proses

pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik

dan subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan

pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata

bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka

kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai

kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan,

tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur

kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn

bagi subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya

sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982). Hanya individu-individu yang

demikianlah yang mampu membentuk masyarakat belajar, yaitu

masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin

lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.

Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga

pendidikan formal hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak

kehilangan hak hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan

dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia

untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah harus

27
menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan

sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak

dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki

adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan

martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan

menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.

Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentu

dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada

hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses

pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya

berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi

personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu

dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan

masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses

pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian

bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan

anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas

pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi

yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.

b. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan

Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita

belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal

ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri

28
untuk menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang

pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya,

kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam

berbagi kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang

diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan bangunan dasarnya.

Hal diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan

bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru

itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang

tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris,

tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang

panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru

yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun

terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme

seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti

pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang

memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru

sehingga bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu

saja semua saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan,

sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila di implementasikan,

sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan

guru dan tenaga kependidikan yang efektif.

Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang

produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam

29
merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan

tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas

keguruan didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan

dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan

bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli,

termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas

kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang

dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan

kritis itu, seperti telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka,

dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang

memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang

dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud

merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi

program, maupun didalam “mempertahankan” program dari

penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan

konseptual.

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Filsafat pendidikan itu adalah usaha-usaha untuk memahami

sedalam-dalamnya hakikat pendidikan dari berbagai segi seperti eksistensi,

fungsi, ciri-ciri, kegunaan, pelaku, hasil-hasil, tujuan, kurikulum,

masalah-masalah serta cara-cara memecahkan masalah itu/ Substansi Filsafat

Pendidikan kedudukan dalam jajaran ilmu pengetahuan adalah sebagai bagian

dari fundasi- fundasi pendidikan. Berarti bahwa filsafat pendidikan perlu

menengahkan tentang konsep-konsep dasa pendidikan.

Filsafat pendidikan sebagai mana cabang filsafat lainnya mencakup

sekurang-kurangnya tiga cabang utama dari filsafat yakni ontology,

epistomologi dan aksiologi. Dalam dunia pendidikan, filsafat pendidikan

adalah bagian dari fundasi-fundasi pendidikan. Yang berarti bahwa filsafat

pendidikan perlu mengetengahkan konsep-konsep dasar pendidikan. Di

Indonesia sendiri Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan

undang-undang pendidikan merupakan dasar atau landasan utama terhadap

pelaksanaan pendidikan. Hal ini yang menjadikan Pancasila, atau khususnya

Filsafat Pancasila mempunyai kedudukan sentral dalam wawasan

kependidikan, dan nilai-nilai serta norma-norma Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 itu melingkupi pendidikan secara keseluruhan,

baik itu mengenai teori maupun mengenai praktek.

31
Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan filsafat pendidikan

tetapi sudut pandangannya berlainan. Hubungan antara filsafat dan

pendidikan terkait dengan persoalan logika, yaitu: logika formal yang

dibangun atas prinsif koherensi, dan logika dialektis dibangun atas prinsip

menerima dan membolehkan kontradiksi. Hubungan interakif antara filsafat

dan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural dan pada akhirnya

menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan.

B. Saran

Menyadari peran penting pendidikan, maka langkah pertama yang

harus dilakukan adalah memahami terlebih dahulu filsafat dan hakikat filsafat

pendidikan.Pemahaman tersebut akan menyebabkan kita memahami

peran,mendudukkannya,dan menilai pendidikan secara proporsional.

32
DAFTAR RUJUKAN

Annisa, D. (2022). Jurnal Pendidikan dan Konseling. Jurnal Pendidikan Dan


Konseling, 4(1980), 1349–1358.

Devi, M. Y., Desyandri, & Murni, I. (2022). Pendidikan dan Pendidikan Dasar,
Kajian Ontology, Epistimologi,dan Aksiologi Serta Perannya di Pendidikan
Dasar. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(1), 10798–10802.

Febriyanti, N. (2021). Implementasi konsep pendidikan menurut Ki Hajar


Dewantara. Jurnal Pendidikan Tambusai, 5(1), 1631–1638.
https://jptam.org/index.php/jptam/article/view/1151/1031

Komar, O. (2016). Body of Knowledge Pendidikan Dasar. PEDAGOGIA Jurnal


Ilmu Pendidikan, 12(2), 85. https://doi.org/10.17509/pedagogia.v12i2.3330

Sadulloh, U. (2012). Pengantar Filsafat Pendidikan. Alfabeta.

Santosa, N. E. T. I. (2012). Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Akhir Zaman.


Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

Suharto, T. (2011). Filsafat Pendidikan Islam. Ar-Ruzz Media.

Syafii, I. K. (2004). Pengantar Filsafat. Refika Aditama.

Wardani. (2014). Filsafat Pendidikan Dasar. Universitas Terbuka.

Zelhendri, Z. (2014). Filsafat Pendidikan. Sukabina Press.

33

Anda mungkin juga menyukai