Anda di halaman 1dari 39

MATA KULIAH

MENAJEMEN KEBIJAKAN DAN PENGELOLAAN


PENDIDIKAN DASAR

MAKALAH TERKAIT MENAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Sufyarma Mursidin, M. Pd
Dr. Anisah, M. Pd

Oleh:
KELOMPOK
2

INTAN AULIA RAHMI (23124012)


NURBAITI MASNI (23124021)
RINA DEVI (23124042)

KELAS B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN


DASAR PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, yaitu
Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa
ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh
alam semesta.
Penulis bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas mata
kuliah Menajemen dengan judul “Menajemen Berbasis Sekolah”. Kemudian, kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
pembuatan makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Kami berharap adanya kritik dan saran
dari pembaca terhadap makalah ini agar ke depannya bisa diperbaiki. Akhirul kalam,
semoga makalah ini bisa bermanfaat.

Padang, 19 Februari 2024

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.....................................................................................1


B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN...................................................................................................3

A. Definisi Menajemen Berbasis Sekolah...............................................................3


B. Karakteristik Menajemen Berbasis Sekolah.....................................................4
C. Tujuan Menajemen Berbasis Sekolah.............................................................11
D. Manfaat Menajemen Berbasis Sekolah...........................................................12
E. Implementasi Menajemen Berbasis Sekolah...................................................14
F. Faktor – faktor yang perlu diperhatikan dalam Manajeman Berbasis
Sekolah................................................................................................................16
G. Strategi Menajamen Berbasis Sekolah............................................................19
H. Prinsip-prinsip Menajemen Berbasis Sekolah................................................25

BAB 3 PENUTUP..........................................................................................................34

A. Kesimpulan..............................................................................................................34
B. Saran........................................................................................................................35

DAFTAR KEPUSTAKAAN.........................................................................................36

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Merujuk pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,


penyelenggaraan Pendidikan merupakan salah satu keharusan yang menjadi
wewenang pemerintah kabupaten/kota. Di sisi lain Undang-undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta diskriminatif degan
menunjukkan tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa.

Dua landasan normative tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi rambu-rambu


bagi pelaksana desentralisasi Pendidikan. akan tetapi perlu adanya standarisasi dan
pengendalian mutu secara nasional sebagai upaya membentuk kesatuan referensi
daalm mencapai Pendidikan yang berkualitas. Standar Pendidikan ini telah
diperkuat dengan adanya PP. No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.

Pemberian otonomi Pendidikan yang luas kepada Lembaga Pendidikan di Indonesia


merupakakn wujud kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul
dalam masyarakat, disamping sebagai upaya peningkatan mutu Pendidikan secaar
umum dan sebagai sarana peningkatan efisiensi peemrataan Pendidikan, peran serta
masyarakat dan akuntabilitas public. Secara esesnsial, landasan filosofis otonomi
daerah adalah pemberdayaan dan kemandirian darrah menuju kematangan dan
kualitas masyarakat yang dicita-citakan.

Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan menajemen yang lebih kondusif d


sekolah. Agar dapat mengadopsi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan
berbagai komponen masyarakat secara efektif guna mendukung kemajuan dan
system yang ada di sekolah. Dalam kerangka inilah MBS (Menajemen Berbasis
Sekolah) tampil sebagai alternative paradigma baru menajemen Pendidikan yang

1
ditawarkan. MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi kepada
kepala sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi dan pemerataan
Pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta
menjalin kerjasama yang era tantara sekolah, masyaraakt dan pemerintah.

B. Rumusan Masalah
Menyimak uraian latar belakang di atas, muncul pertanyaan yang menjadi
permasalahan dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut.
1. Apa itu Definsi Menajemen Berbasis Sekolah?
2. Bagaimana Karakteristik Menajemen Berbasis Sekolah?
3. Apa tujuan Menajemen Berbasis Sekolah?
4. Apa Manfaat Menajemen Berbasis Sekolah?
5. Bagaimana Implementasi Menajemen Berbasis Sekolah?
6. Apa Faktor – faktor yang perlu diperhatikan dalam Manajeman
Berbasis Sekolah?
7. Apa Strategi Menajamen Berbasis Sekolah?
8. Bagaimana Prinsip-prinsip Menajemen Berbasis Sekolah?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Sekaitan dengan perumusan masalah itu, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah yaitu sebagai berikut.
1. Untuk Menjelaskan Definisi Menajemen Berbasis Sekolah
2. Untuk Menjelaskan Karakteristik Menajemen Berbasis Sekolah
3. Untuk Menjelaskan Tujuan Menajemen Berbasis Sekolah
4. Untuk Menjelaskan Manfaat Menajemen Berbasis Sekolah
5. Untuk Menjelaskan Implementasi Menajemen Berbasis Sekolah
6. Untuk Menjelaskan Faktor – faktor yang perlu diperhatikan dalam
Manajeman Berbasis Sekolah
7. Untuk Menjelaskan Strategi Menajamen Berbasis Sekolah
8. Untuk Menjelaskan Prinsip-prinsip Menajemen Berbasis Sekolah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Menajemen Berbasis Sekolah


Menajemen Berbasis Sekolah MBS atau School-Based Management
merupakan strategi untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif.
MBS merupakan suatu paradigma baru menajemen Pendidikan, yang
memberikan otonomi luas pada sekolah, dan pelibatan masyarakat dalam
kerangka kebijakan Pendidikan nasional (Nadeak, 2022). Otonomi diberikan
agar sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber
dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan,
serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
MBS merupakan salah satu wujud reformasi Pendidikan yang
memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengatur kehidupan sesuai
dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhannya. Otonomi dalam menajemen
merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para tenaga
kependidikan, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait,
dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap Pendidikan (Anwar,
2018).
Menurut Departemen Pendidikan Nasional, Menajemen Berbasis
Sekolah (MBS) adalah sebagai model menajemen yang memberikan
keleluasaan dan kebebasan kepada kepala sekolah dan menimbulkan adanya
pengambilan keputusan secara musyawarah mufakat antar semua pihak
sekolah meliputi kepala sekolah, para guru, wali murid sebagai upaya
meningkatkan mutu sekolah yang berpedoman pada kebijakan pendidikan
nasional (Depdiknas, 2001).
Dari berbagai definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa inti dari MBS
pertama, sekolah memiliki otonomi dalam melakukan aktivitas manajerial
sesuai kemampuan dan potensi sekolah. Kedua, pengambilan keputusan di

3
tingkat sekolah melibatkan warga sekolah atau stakeholder sekolah.
Ketiga, MBS merupakan strategi untuk meningkatkan mutu Pendidikan.
keempat, pemberdayaan SDM di sekolah dengan melibatkan warga sekolah
dalam aktivitas menajerial di sekolah.
Pada sistem MBS, sekolah memiliki “full authority and responsibility”
dalam menetapkan program-progam pendidikan dan berbagai kebijakan
sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan (Mohrman and Wihlsetter,
dalam Mulyasa, 2012). Untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan tersebut,
sekolah dituntut untuk menetapkan berbagai program dan kegiatan,
menentukan prioritas, mengendalikan pemberdayaan berbagai potensi
sekolah dan lingkungan sekitar, serta mempertanggungjawabkannya kepada
masyarakat dan pemerintah.
Dalam MBS, semua kebijakan dan program sekolah ditetapkan oleh
Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Badan ini merupakan lembaga yang
ditetapkan berdasarkan musyawarah dari pejabat daerah setempat, komisi
pendidikan pada dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), pejabat
pendidikan daerah, kepala sekolah, tenaga kependidikan, perwakilan orang
tua peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah yang menetapkan
segala kebijakan Sekolah berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang
pendidikan yang berlaku. Selanjutnya, komite sekolah perlu merumuskan
dan menetapkan visi, misi, dan tujuan sekolah dengan berbagai implikasinya
terhadap program-program kegiatan operasional untuk mencapai tujuan
Sekolah.

B. Karakteristik Menajemen Berbasis Sekolah


MBS merupakan bentuk operasional desentralisasi pendidikan dalam
konteks otonomi daerah akan memberikan wawasan baru terhadap sistem
yang sedang berjalan selama ini. Hal ini diharapkan dapat membawa dampak
terhadap peningkatan efisiensi dan efektivitas kinerja sekolah, dengan
menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap

4
kebutuhan masyarakat. Mengingat peserta didik datang dari berbagai latar
belakang kesukuan dan tingkat sosial, salah satu perhatian sekolah harus
ditujukan pada asas pemerataan, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun
politik. Di sisi lain, sekolah juga harus meningkatkan efisiensi, partisipasi,
dan mutu, serta bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
Manajemen berbasis sekolah memiliki karakteristik yang perlu dipahami
oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin
berhasil dalam menerapkan MBS, maka beberapa karakteristik MBS perlu
dipelajari dan dipahami dengan baik. Membahas karakteristik MBS tidak
dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MBS dianggap
sebagai wadah/kerangkanya maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh
sebab itu, karkteristik MBS memuat elemen-elemen sekolah efektif yang
dikategorikan menjadi input, proses dan output (Hamid, 2018).
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena
dibutuhkan untuk berlangsungnya suatu proses. Sesuatu yang dimaksud
berupa sumber daya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai
pemandu berlangsungnya proses. Input sumberdaya meliputi sumberdaya
manusia (kepala sekolah, guru, konselor, karyawan, peserta didik) dan
sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan,dsb) (Hamid,
2018).
Proses merupakan berubahnya ”sesuatu” menjadi ”sesuatu yang lain”.
Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input,
sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Pada penyelenggaraan
pendidikan di sekolah-sekolah, yang dimaksud dengan proses pendidikan
meliputi empat hal yaitu: 1) Proses pengambilan keputusan. 2) Proses
pengelolaan kelembagaan. 3) Proses pengelolaan program. 4) Proses belajar
mengajar.
Output pendidikan adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses
pembelajaran dan manajemen. Output sekolah dapat diukur dengan kinerja

5
sekolah yang terdiri dari: (1) Efeketifitas; (2) Kualitas; (3) Produktivitas; (4)
Efisiensi; (5) Inovasi; (6) Kualitas kehidupan kerja; dan (7) Moral kerja.
Gambaran mengenai otonomi menajemen seolah dan desentralisasi
fungsi menajemen sekolah adaalh sebagai berikut:

Karakteristik MBS bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah


dapat mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran, pengelolaan sumber
belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem administrasi
secara keseluruhan. Berdasarkan analisis dari berbagai sumber, dapat
diidentifikasikan beberapa karakteristik dasar MBS sebagai berikut.
1. Pemberian Otonomi Luas Kepada Sekolah
MBS memberikan otonomi luas kepada sekolah, disertai
seperangkat tanggung jawab untuk mengelola sumber daya dan
pengembangan strategi sesuai dengan kondisi setempat. Sekolah
diberi kewenangan dan kekuasaan yang luas untuk mengembangkan
program-program kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan kondisi
dan kebutuhan peserta didik serta tuntutan masyarakat. Sekolah juga
diberikan kewenangan untuk menggali dan mengelola sumber dana
sesuai dengan prioritas kebutuhan.

6
Melalui otonomi yang luas, sekolah dapat meningkatkan kinerja
tenaga kependidikan dengan menawarkan partisipasi aktif mereka
dalam pengambilan keputusan dan tanggungjawab bersama dalam
pelaksanaan keputusan yang diambil secara proporsional, dan
profesional.
2. Tingginya Partisipasi Masyarakat dan Orang Tua
Dalam MBS, pelaksanaan program-program sekolah didukung
oleh tingginya partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik.
Orang tua peserta didik dan masyarakat tidak hanya mendukung
sekolah melalui bantuan keuangan, tetapi melalui Komite Sekolah
dan Dewan Pendidikan merumuskan serta mengembangkan program-
program yang dapat meningkatkan kualitas sekolah Masyarakat dan
orang tua menjalin kerja sama untuk memberikan bantuan, dan
pemikiran, serta menjadi nara sumber pada berbagai kegiatan
peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah.
3. Kepemimpinan yang Demokratis dan Profesional
Dalam MBS, pelaksanaan program-program sekolah didukung oleh
adanya kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional.
Kepala Sekolah dan guruguru sebagai aktor utama program sekolah
merupakan figur yang memiliki kemampuan dan integritas
profesional. Kepala Sekolah merupakan manajer pendidikan
profesional yang direkrut Komite Sekolah untuk mengelola segala
kegiatan sekolah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan.
Guru-guru yang direkrut oleh sekolah adalah pendidik
profesional dalam bidangnya masing-masing, sehingga mereka
bekerja berdasarkan pola kinerja profesional yang disepakati bersama
untuk memberi kemudahan dan mendukung keberhasilan
pembelajaran peserta didik. Dalam proses pengambilan keputusan,
kepala sekolah mengimplementasikan proses “bottom-up”
secara demokratis,

7
sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap keputusan
yang diambil beserta pelaksanaannya.
4. Tim Kerja yang Kompak dan Transparan
Dalam MBS, keberhasilan program-program sekolah didukung
oleh kinerja tim yang kompak dan transparan dari berbagai pihak
yang terlibat dalam pendidikan di sekolah. Dalam dewan pendidikan
dan Komite Sekolah misalnya, pihak-pihak yang terlibat bekerja
sama secara harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing untuk
mewujudkan suatu “sekolah yang dapat dibanggakan” oleh semua
pihak. Mereka tidak saling menunjukkan kuasa atau paling berjasa,
tetapi masing-masing berkontribusi terhadap upaya peningkatan mutu
dan kinerja sekolah secara menyeluruh.
Dalam pelaksanaan program misalnya, pihak-pihak terkait
bekerjasama secara profesional untuk mencapai tujuan-tujuan atau
target yang disepakati bersama. Dengan demikian, keberhasilan MBS
merupakan hasil sinergi (sinergistic effect) dari kolaborasi tim yang
kompak dan transparan. Dalam konsep MBS yang utuh kekuasaan
yang dimiliki sekolah, terutama mencakup pengambilan keputusan
tentang manajemen kurikulum dan pembelajaran; rekruitmen dan
manajemen tenaga kependidikan; serta manajemen keuangan
sekolah. Empat faktor penting yang perlu diperhatikan dalam
implementasi MBS, yakni kekuasaan, pengetahuan dan
keterampilan, sistem informasi, serta sistem penghargaan
(diadaptasikan dari Depdiknas,
2002).
a. Kekuasaan yang dimiliki sekolah
Kepala Sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk
mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan dibandingkan
dengan sistem manajemen pendidikan yang dikontrol oleh pusat.
Besarnya kekuasaan sekolah bergantung bagaimana MBS dapat
diimplementasikan. Pemberian kekuasaan secara utuh seperti

8
dituntut manajemen tidak mungkin dilaksanakan sekaligus, tetapi
memerlukan proses transisi dari manajemen terpusat ke MBS.
Kekuasaan lebih besar yang dimiliki oleh Kepala Sekolah dalam
pengambilan keputusan perlu dilaksanakan secara demokratis,
antara lain dengan melibatkan semua pihak khususnya guru dan
orang tua peserta didik; membentuk pengambil keputusan dalam
hal-hal yang relevan dengan tugasnya; serta menjalin kerjasama
dengan masyarakat dan dunia kerja.
Sebagai contoh: Dalam pengembangan kurikulum, semua
muatannya merupakan urusan pusat, kepala sekolah dan guru
harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknisnya. Demikian halnya dengan anggaran
pendidikan yang mengalir dari pusat ke daerah, melewati saluran
birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing
menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima
oleh sekolah telah menyusut lebih dari separuhnya.
Berbagai permasalahan di atas dapat dihindarkan dengan
menerapkan MBS, yang memberikan kewenangan kepada
sekolah dalam mengelola kurikulum, pembelajaran, pendanaan,
dan pengembangan sumber-sumber daya sekolah.
b. Pengetahuan dan keterampilan
Kepala Sekolah beserta seluruh warganya harus menjadi
“learning person”, yang senantiasa belajar untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan secara terus menerus (continuous
improvement).
Seluruh warga sekolah perlu memiliki pengetahuan untuk
meningkatkan prestasi, memahami dan melaksanakan berbagai
teknik, seperti quality assurance, quality control, self-assessment,
school review, benchmarking, dan analisis SWOT. Untuk itu,
sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya

9
manusia (SDM) yang diwujudkan melalui pelatihan. Hal ini dapat
dilakukan, terutama dengan mengembangkan manajemen yang
transparan dan akuntabel. Misalnya: melibatkan berbagai pihak,
seperti Komite Sekolah dalam mengelola dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).
c. Sistem informasi yang jelas
Sekolah yang melaksanakan MBS perlu memiliki
informasi yang jelas tentang program yang netral dan transparan,
karena dari informasi tersebut seseorang akan mengetahui kondisi
sekolah. Informasi ini diperlukan untuk monitoring, evaluasi, dan
akuntabilitas sekolah. Informasi yang amat penting untuk dimiliki
sekolah, antara lain berkaitan dengan kemampuan guru, prestasi
peserta didik, kepuasan orang tua dan peserta didik, serta visi dan
misi sekolah.
Hal tersebut dapat dilakukan, misalnya: melalui
pengelolaan pangkalan data secara online, yang dapat dilihat oleh
semua pihak sehingga setiap orang dapat mengetahui informasi
sekolah, baik yang berkaitan dengan sumber daya sekolah,
maupun prestasi yang dimilikinya. d. Sistem penghargaan
Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem
penghargaan bagi warganya yang berprestasi, untuk mendorong
kariernya. Sistem ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi
dan produktivitas kerja dari kalangan warga sekolah. Oleh karena
itu, sistem penghargaan yang dikembangkan harus bersifat
proporsional, adil, dan transparan. Misalnya: kepala sekolah
memberikan hadiah kepada guru olah raga yang mampu
mengantarkan peserta didik untuk mengikuti pertandingan tingkat
regional atau nasional.

10
C. Tujuan Manajeman Berbasis Sekolah
Tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah
meningkatkan efisiensi mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan
efisiensi dicapai melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada,
partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan
mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan
sekolah, peningakatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan
hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuh
kembangkan suasana yang kondusif (Itisam, 2012).
Menurut Slamet PH (2000:611), menyatakan tujuan manajemen
berbasis sekolah adalah untuk memberdayakan sekolah terutama
sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa,
orangtua siswa, dan masyarakat sekitar) melalui pemberian
kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan
persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan.
Menurut Kustini Hardi, ada tiga tujuan manajemen berbasis
sekolah (MBS). Pertama, mengembangkan kemampuan kepala sekolah
bersama guru dan unsur komite sekolah dalam aspek manajemen
berbasis sekolah (MBS) untuk meningkatkan mutu sekolah. Kedua,
mengembangkan kemampuan kepala sekolah bersama guru dan unsur
komite sekolah dalam pelaksanaan pembelajaran yang aktif dan
menyenangkan, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan
setempat. Ketiga, mengembangkan peran serta masyarakat yang lebih
aktif dalam masalah umum persekolahan dari sekolah untuk membantu
peningkatan mutu sekolah.
Kementerian Pendidikan Nasional mendeskripsikan bahwa
tujuan pelaksanaan MBS adalah meningkatkan mutu pendidikan
melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan
memberdayakan sumber daya yang tersedia, meningkatkan kepedulian
warga sekolah dan masyarakat dalam peyelenggaran pendidikan
melalui pengambilan

11
keputusan bersama, meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada
orang tua, masyarakat dan pemerintah tentang mutu sekolahnya, serta
meningkatkan kompetensi yang sehat antarsekolah tetang mutu
pendidikan yang akan dicapai.
Secara umum dapat diinterpretasikan bahwa dalam
penyelenggaraan MBS setidaknya ada empat aspek penting yang harus
dijadikan pertimbangan, yaitu kualitas (mutu) dan relevansi, keadilan,
efektivitas dan efisiensi, serta akuntabilitas. Manajemen berbasis
sekolah (MBS) bertujuan mencapai mutu (quality) dan relevasi
pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolak ukur penilaian pada
hasil (output dan outcome) bukan pada metodologi atau prosesnya. Ada
yang memandang mutu dan relevansi ini sebagai satu kesatuan
substansi, artinya sebagai hasil pendidikan yang bermutu sekaligus
relevan dengan berbagai kebutuhan dan konteksnya. Bagi yang
memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk pada manfaat dari
apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan dalam berbagai
lingkup/tuntutan kehidupan (dampak), termasuk jumlah ranah
pendidikan yang tidak diujikan.

D. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah


Manajemen berbasis sekolah (MBS) memberikan kebebasan dan
kewenangan yang luas kepala sekolah disertai seperangkat tanggung
jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab
pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat
meningkatkan kesejahteraan guru sehingga guru dapat berkonsentrasi
dalam tugas utamanya, yaitu mengajar. Sejalan dengan pemikiran
diatas, B Suryosubroto mengutarakan bahwa otonomi diberikan agar
sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta agar
sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan lingkungan setempat. Maka
dengan adanya otomoni tersebut,

12
sekolah akan lebih leluasa dalam mengimprovisasi dirinya sesuai
dengan kemapuan.
Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang
menyangkut proses pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya
cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga
tidak perlu diangkat ke tingkat pemerintah daerah apalagi ke tingkat
pusat yang “jauh panggang dari api”. Dengan keleluasaan mengelola
sumber daya dan juga adanya partisipasi masyarakat, mendorong
profesionalisme kepemimpinan sekolah yaitu kepala sekolah baik
dalam peran sebagai manajer maupun sebagai sebagai pemimpin
sekolah. Dan dengan diberikan kesempatan kepada sekolah dalam
mengembangkan kurikulum, guru didorong untuk mengimprovisasi dan
berinovasi dalam melakukan berbagai eksperimentasi di lingkungan
sekolah dengan tujuan menemukan kesesuaian antara teori dengan
kenyataan.
Perubahan yang paling mendasar dalam aspek manajemen
kurikulum, bahwa pendidikanharus mampumengoptimalisasikan semua
potensi kelembagaan yang ada dalam masyarakat, baik pada lembaga-
lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah, masyarakat ataupun
swasta. Persyaratan dasar penetapan jenis kurikulum antara lain:
1. Kurikulum dikembangkan berdasarkan minat dan bakat peserta
didik.
2. Kurikulum berkaitan dengan karakteristik potensi wilayah
setempat, misalnya: sumber daya alam ekonomi, pariwisata, sosial-
budaya
3. Dapat dikembangkan secara nyata sebagai dasar penguat
sektor usah pemberdayaan ekonomi masyarakat
4. Pembelajaran berorientasi pada peningkatan kompetensi
keterampilan untuk belajar dan bekerja, lebih bersifat aplikatif dan
operasional
5. Jenis pengelola program bersama-sama dengan peserta didik, orang
tua, tokoh masyarakat, dan mitra kerja.

13
Dengan demikian manajemen berbasis sekolah (MBS)
mendorong profesionlisme guru dan terutama kepala sekolah sebagai
pemimpin pendidikan yang ada di garda depan. Melalui pengembangan
kurikulum yang efektif dan fleksibel, rasa tanggap sekolah terhadap
kebutuhan masyarakat setempat akan meningkat serta layanan
pendidikan akan sesuai dengan tuntutan peserta didik dan masyarakat
seiring perkembangan zaman yang terus berubah.

E. Implementasi Manajemen Berbasi Sekolah (MBS)


Dari waktu ke waktu kesadaran masyarakat terhadap urgensi
pendidikan semakin meningkat dan mulai tampak dipermukaan. Hal ini
dapat diindikasikan dengan animo masyarakat yang banyak
menyekolahkan anak-anak mereka ke lembaga yang kredibel. Mereka
sadar bahwa untuk menghadapi tantangan yang semakin berat yang
disebabkan oleh perubahan dan tantangan zaman adalah kesiapan pada
penguasaan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu lembaga pendidikan
yang maju dan mampu memberikan layanan yang maksimal sesuai
dengan kebutuhan masyarakat akan menjadi sekolah favorit (Herawati,
2016).
Dalam hal ini bukan hanya instansi yang bersifat komersial yang
dituntut untuk berkompetisi, akan tetapi lembaga pendidikan juga
dituntut untuk bersaing dengan lembaga pendidikan yang lain guna
menawarkan jasa yang mempunyai kesesuaian dan keserasian dengan
kebutuhan masyarakat sebagai unsur edukasi. Oleh sebab itu lembaga
pendidikan harus memiliki sistem manajemen pendidikan yang baik
dan mampu menyongsong era kompetisi. Jika pendidikan ingin
dilaksanakan secara terencana dan teratur maka berbagai eleman yang
terlibat dalam kegiatan perlu dikenali. Untik itu, diperlukan pengkajian
usaha pendidikan sebagai suatu sistem. Sejalan dengan tuntutan
tersebut, pendidikan sudah mulai berbenah diri dan mengalami
reformasi sebagai bentuk konsekuensi dari tuntutan itu. Pemerintah
dalam hal ini sudah

14
menyiapkan konsep pengelolaan pendidikan, yaitu konsep manajemen
berbasis sekolah untuk diterapkan dilembaga-lembaga pendidikan
sebagai jawaban atas tuntutan zaman.
Implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS), pada
hakekatnya adalah pemberian otonomi yang lebih luas kepada sekolah
dengan tujuan akhir meningkatkan mutu hasil penyelenggaraan
pendidikan, sehingga bisa menghasilkan prestasi yang sebenarnya
melalui penyelenggaraan manajerial yang mapan. Melalui peningkatan
kinerja dan partisipasi semua stakeholder- nya maka sekolah pada
semua jenjang dan jenis pendidikan pada otonominya akan menjadi
suatu instansi pendidikan yang organik, demokratis, kreatif, inovatif
serta unik dengan ciri khas sendiri untuk melakukan pembaruan sendiri
(self reform). Dalam kontek ini sekolah memiliki wewenang untuk
mengambil keputusan. Menurut Mulyasa (2011), kekuasaan yang
dimiliki sekolah antara lain mengambil keputusan dengan rekruitmen
serta pengelolaan guru dan pegawai administrasi serta keputusan
berkaitan dengan pengelolaan sekolah. Adapun komponen yang
didesentralisasikan adalah manajemen kurikulum, manajemen tenaga
kependidikan, manajemen kesiswaan, manajemen pendanaan serta
manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat. Secara visualistis,
implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS) yang dimaksud dapat
dilihat pada skema dibawah ini.

15
F. Faktor – faktor yang perlu diperhatikan dalam Manajeman
Berbasis Sekolah (MBS)
Kajian yang dirumuskan oleh BPPN dan Bank Dunia
merumuskan beberapa faktor yang berkaitan dengan manajemen berbasis
sekolah (MBS) dintaranya adalah (Suparlan, 2013):
1. Kewajiban Sekolah
Manajemen berbasis sekolah (MBS) yang menawarkan
keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar
dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sisitem
pendidikan profesional. Oleh karena itu pelaksanaannya harus
disertai seperangkat kebijakan, serta monitoring dan tuntutan
pertangungjawaban (akuntabel) yang relatif tinggi, untuk
menjamin bahwa sekolah selain memiliki otonomi juga
mempunyai kebijakan melaksanakan kebijakan pemerintah dan
memenuhi harapan masyarkat sekolah. Dengan demikian, sekolah
dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara
transparan, demokratis, tanpa monopoli dan tanggung jawab baik
terhadap masyarakat maupun pemerintah, dalam rangka
meningkatkan kapasitas pelayanan terhadap peserta didik.
2. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan
nasional berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi
prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan program
peningkatan melek huruf dan angka (literacy and numeracy),
efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Dalam hal-hal
tersebut, sekolah tidak diperbolehkan untuk belajar sendiri
dengan mengabaikan kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh
pemerintah yang dipilih secara demokratis. Agar prioritas-
prioritas pemerintah dilakukan oleh sekolah dan semua aktivitas
ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik
sehingga dapat

16
belajar dengan baik, pemerintah perlu merumuskan seperangkat
pedoman tentang pelaksanaan MBS. Pedoman-pedoman tersebut,
terutama ditujukan untuk menjamin bahwa hasil pendidikan
(student outcomes) terevalusi dengan baik, kebijakan-kebijakan
pemerintah dilaksanakan secara efektif, sekolah dioperasikan
dalam rangka yang disetujui pemerintah, dan anggaran
dibelanjakan sesuai dengan tujuan.
3. Peranan Orang Tua dan Masyarakat
MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan
berkualitas untuk membangkitkan motivasi kerja yang lebih
produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta
mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang
tumpang tindih. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan
partisipasi masyaraka dan hal ini merupakan salah satu aspek
penting dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Melalui
dewan sekolah (school council), orang tua dan masyarakat dapat
berpartisipasi dalam pembuatan berbagai keputusan. Dengan
demikian, masyarakat dapat lebih memahami, serta mengawasi
dan membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk kegiatan
belajar- mengajar. Besarnya partisipasi masyarakat dalam
pengeloaan sekolah tersebut mungkin dapat menimbulkan
rancunya kepentingan antar sekolah, orang tua, dan masyarakat.
Dalam hal ini pemerintah perlu merumuskan bentuk partisipasi
(pembagian tugas) setiap unsur secara jelas dan tegas.
4. Peranan Profesionalisme dan Manajerial
Manajemen berbasis sekolah (MBS) menuntut perubahan-
perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan tenaga
administrasi dalam mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS
berpotensi meningkatkan gesekan pranata yang bersifat
profesional dan manajerial. Untuk memenuhi persayaratan

17
pelaksanaan MBS, kepala sekolah, guru, tenaga administrasi
harus memiliki kedua sifat tersebut yaitu profesional dan
manjerial. Mereka harus memiliki pengetahuan yang mendalam
tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan untuk
menjamin bahwa keputusan penting yang dibuat oleh sekolah,
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pendidikan. Kepala
sekolah khususnya, perlu mempelajari dengan teliti, baik
kebijakan dan prioritas pemerintah maupun prioritas sekolah
sendiri. Untuk kepentingan tersebut, kepala sekolah harus:
a. Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan
masyarakat sekitar sekolah
b. Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori
pendidikan dan pembelajaran
c. Memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menganalisis
situasi sekarang berdasarkan apa yang seharusnya serta
mampu memperkirakan kejadian di masa depan berdasarkan
situasi sekarang
d. Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi
masalah dan kebutuhan yang berkaitan dengan efektivitas
pendidikan di sekolah;
e. Mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan
tantangan sebagai peluang, serta mengkonseptualkan arah
baru untuk perubahan.
Pemahaman terhadap sifat profesional dan manjerial
tersebut sangat penting agar peningkatan efisiensi, mutu, dan
pemerataan serta supervisi dan monitoring yang direnacanakan
sekolah betul-betul untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai
dengan kerangka kebijakan pemerintah dan tujuan sekolah.

18
5. Pengembangan Profesi
Dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) pemerintah
harus manjamin bahwa semua unsur penting tentang
kependidikan (sumber manusia) menerima pengembangan profesi
yang diperlukan untuk mengelola sekolah secara efektif. Agar
sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan MBS, perlu
dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi, yang
berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga
kependidikan untuk MBS. Selain itu, penting untuk dicatat
sebaik- baiknya sekolah dan masyarakat perlu dilibatkan dalam
proses MBS sedini mungkin. Mereka tidak perlu hanya
menunggu, tetapi melibatkan diri dalam diskusi-diskusi tentang
MBS dan berinisiatif untuk menyelenggarakan tentang aspek-
aspek yang terkait (Suparlan, 2013).

G. Strategi Penerapan Menajemen Berbasis Sekolah


Agar penerapan manajemen berbasis sekolah berjalan dengan
efektif dan efesien, maka diperlukan upaya perencanaan yang ditetapkan
secara sengaja yang disebut dengan Strategi. (Winoto, 2020)
Konsep strategi yang semula diterapkan dalam kemiliteran dan
dunia politik kemudian banyak diterapkan pula dalam bidang
manajemen, dunia usaha, pengadilan, dan pendidikan. Salah satunya
dalam Manajemen Berbasis Sekolah.
Dalam penerapan manajemen berbasis sekolah strategi dapat
diartikan sebagai suatu upaya atau cara melaksanakan manajemen berbasis
sekolah dalam rangka meningkatan mutu sekolah secara lebih efektif.
Agar pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah lebih efektif.
Kepala sekolah diharapkan untuk membuat strategi tertentu diharapkan
Kepala Sekolah membuat strategi tertentu, yaitu garis besar tindakan
untuk mencapai tujuan peningkatan mutu pendidikan yang telah

19
ditetapkan sekolah. Strategi tersebut dapat direfl eksikan dalam langkah-
langkah sekolah/madrasah sebagai berikut:
1. Persiapan
Dalam konteks penerapan manajemen berbasis sekolah/ madrasah
persiapan merupakan strategi yang sangat penting dalam menjamin
keberhasilannya. Tahap persiapan pelaksanaan MBS/M, hal yang harus
dilakukan sekolah/ madrasah adalah hal sebagai berikut:
a. Sosialisasi MBS/M
Sebelum melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah/ Madrasah
diharapkan konsep MBS/M sudah disosialisasikan terlebih dahulu
kepada warga sekolah, orang tua siswa, dan komite sekolah/madrasah.
Sosialisasi ini diperlukan untuk membangun, menyamakan persepsi dan
pemahaman tentang pelaksanaan menejemen berbasis Sekolah/madrasah
(Samani, 1999). Hal ini sangat penting dilakukan oleh Kepala
Sekolah/Madrasah agar tidak terjadi kesalahpahaman dan hambatan
dalam pelaksanaannya.
b. Menyusun Tim Pengembang mutu sekolah/madrasah
Strategi utama yang harus ditempuh setelah sosialisasi adalah
pembentukanTim pengembang peningkatan mutu di sekolah. Tim ini
terdiri dari: Kepala Sekolah, wakil kepala sekolah, guru, para pakar yang
menguasai Menejemen Berbasis Sekolah/Madrasah. Tugas pokok dari
tim pengembang adalah membuat perencanaan, pengembangan, sistem
monitoring dan evaluasi, membuat standar mutu dan indikator
keberhasilannya. Tim pengembangan mutu sekolah/madrasah
seharusnya, pertama, melakukan kajian sasaran output sekolah. Strategi
ini menuntut kemampuan kepala sekolah dan tim untuk melakukan
kajian sasaran output yang diharapkan sekolah. Kajian ini akan
menghasilkan tantangan keadaan sekarang. Manajemen Berbasis Sekolah
dengan output yang diharapkan. Hal ini menjadi dasar bagi sekolah
untuk menentukan output yang diharapkan.

20
Kedua, merumuskan sasaran. Berdasarkan hasil kajian terhadap sasaran
peningkatan mutu, strategi berikutnya adalah merumuskan sasaran mutu
yang akan dicapai oleh sekolah. Perumusan sasaran itu harus mengacu
pada: visi, misi, dan tujuan sekolah. Sebab pada hakikatnya sasaran
peningkatan mutu merupakan penjabaran dari tujuan sekolah, sedangkan
tujuan merupakan penjabaran dari misi sekolah, dan mis merupakan
penjabaran dari visi sekolah.
Ketiga, melakukan analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity,
and Thriet). Setelah merumuskan sasaran peningkatan mutu sekolah,
langkah berikutnya adalah mengidentifikasi komponen–komponen
sekolah: kurikulum, ketenagaan, pembinaan kesiswaan, sarana prasarana,
pengembangan iklim sekolah, dan pengembangan hubungan masyarakat.
Komponen-komponen itu perlu ditentukan tingkat kesiapannya melalui
analisis SWOT, yaitu: strength (Kekuatan), Weakness (Kelemahan),
Opportunity (Peluang), dan Threat (Ancaman). Analisis SWOT
dilakukan untuk mengetahui tingkat kesiapan masing-masing komponen
sekolah dalam melaksanakan Menejemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah. Kesiapan masing-masing komponen harus memenuhi standar
yang diperlukan untuk mencapai sasaran mutu. Selanjutnya
diklasifikasikan menjadi faktor internal untuk kekuatan, dan faktor
ekstrnal untuk peluang. Sedangkan komponen yang kurang kesiapannya
diklasifi kasikan dalam faktor internal untuk kelemahan, dan faktor
eksternal untuk ancaman. Dari analisis di atas, dapat ditentukan langkah-
langkah pemecahannya, yaitu tindakan yang diperlukan untuk mengubah
komponen-komponen yang tidak siap menjadi siap untuk melaksanakan
menejemen Peningkatan berbasis Sekolah.
Keempat, menyusun program peningkatan mutu. Hasil penyusunan
program yang telah dihasilkan tim pengembang disosialisaikan kepada
warga sekolah/madrasah untuk memperoleh input yang dibutuhkan
sebelum program disyahkan oleh kepala sekolah bersama ketua komite

21
sekolah. Oleh karena itu, program peningkatan mutu sekolah seharusnya
disusun bersama-sama antara tim pengembang sekolah dengan
masyarakat terutama komite sekolah /madrasah. Keikutsertaan
masyarakat tersebut diperlukan, agar lebih memahami kebutuhan dan
program pengembangan sekolah. Duhou (1999: 66) menjelaskan tentang
pengalaman sekolah yang telah menjalankan manajemen berbasis
sekolah di Victoria’s school, Australia.
Dipaparkan bahwa, salah satu tugas komite sekolah yang dikembangkan
adalah komite sekolah terlibat dalam membuat dan menyusun berbagai
kebijakan pendidikan di sekolahnya. Untuk itu, komite sekolah
diharapkan memainkan perannya sebagai pemberi pertimbangan
(advisory agency) dalam penyusunan program peningkatan mutu, komite
sekolah diharapkan menjadi pendamping dan penyeimbang bagi sekolah,
sehingga setiap program yang disusun oleh sekolah dapat diberi masukan
yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang diwakili komite sekolah.
Terkait dengan kebijakan dan program sekolah ini, komite sekolah dapat
menyatakan setuju atau tidak setuju dengan argumentasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Program penigkatan mutu sekolah dibuat dalam
bentuk jangka pendek, menengah dan panjang. Program tersebut, harus
dapat menjelaskan secara jelas dan mendetail tentang aspek mutu yang
ingin dicapai, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang
melaksanakan, kapan kegiatan dilaksanakan, dan berapa biaya yang
diperlukan. Hal ini diperlukan untuk memudahkan sekolah dalam
menjelaskan dan memperoleh dukungan orang tua siswa.
Aspek penting yang harus diperhatikan dalam membuat program
peningkatan mutu sekolah adalah kondisi sumber daya yang tersedia dan
prioritas. Oleh karena itu, kondisi sumber daya yang ada, mendorong
sekolah untuk membuat skala prioritas program. Sehingga dimungkinkan
program tertentu lebih penting dari program lainnya dalam memenuhi

22
kebutuhan siswa untuk belajar. Terkait dengan tugas tim pengembang
dalam menyusun perencanaan mutu menurut Sallis (1993),
Ada beberapa rangkaian perencanaan yang dapat diadaptasi oleh
lembaga pendidikan di sekolah adalah (1) visi, misi, dan tujuan, (2)
analisis kebutuhan, (3) analisis SWOT (Strength, Weakness, Opprtunity,
and Threat), (4) perencanaan operasi dan bisnis, (5) kebijakan dan
perencanaan mutu, (6) biaya mutu, dan (7) monitoring dan evaluasi.
Sementara itu, Depdiknas (2001) menganjurkan langkah-langkah sebagai
berikut: (1) mengidentifi kasi tantangan nyata sekolah, (2) merumuskan
visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah, (3) mengidentifikasi fungsi-fungsi
yang diperlukan untuk mencapai sasaran, (4) melakukan analisi SWOT,
(4) alternatif langkah pemecahan masalah, (5) menyusun rencana dan
program peningkatan mutu pendidikan, (6) melaksanakan rencana
peningkatan mutu pendidikan, (7) melakukan evaluasi pelaksanaan, dan
(8) merumuskan sasaran mutu baru.
2. Tahap Implementasi
Pada tahap implementasi Kepala sekolah dan Tim pengembang
melakukan pengumpulan informasi tentang peningkatan mutu.
Kemudian informasi yang terkumpul diolah secara cermat untuk
dijadikan dasar laporan dan rekomendasi dalam peningkatan mutu
pendidikan di sekolah. Selanjutnya laporan dan rekomendasi yang sudah
tersususun dilaporkan pada pihak yang terkait dengan pelaksanaan
Menejemen Berbasis Sekolah/Madrasah. Dalam melaksanakan program
peningkatan mutu, sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk
mewujudkan sasaran- sasaran yang telah ditetapkan.
Kepala sekolah, guru dan staf diharapkan mendayagunakan sumber daya
pendidikan yang tersedia semaksimal mungkin, dan menggunakan
kemampuan serta pengalamannya yang dianggap efektif dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran.

23
Kepala sekolah dan guru bebas mengambil inisiatif dan kreatif dalam
menjalankan program-program yang diproyeksikan dapat mencapai
sasaran yang telah ditetapkan. Untuk menghindari berbagai
penyimpangan, kepala sekolah seharusnya melakukan supervisi dan
monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan mutu di sekolah.
Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin pendidikan di sekolah
berhak dan memiliki tanggung jawab memberi arahan, bimbingan,
dukungan, dan teguran kepada guru dan staf sekolah. Namun demikian,
bimbingan, arahan teguran dan dukungan jangan sampai membuat guru
terkekang.
3. Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah/madrasah
harus membuat dan melaksanakan evaluasi pelaksanaan program, baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Evaluasi jangka pendek
dilakukan setiap semester, dengan tujuan untuk mengetahui keberhasilan
dan ketidak berhasilan program secara bertahap.
Evaluasi jangka panjang dilakukan setiap akhir tahun, tujuannya untuk
mengetahui seberapa jauh program peningkatan mutu telah mencapai
sasaran mutu yang telah ditetapkan. Dengan evaluasi ini akan diketahui
kekuatan dan kelemahan program untuk diperbaiki pada tahun
berikutnya. Dalam melaksanakan evaluasi, kepala sekolah diharapkan
mengikutsertakan setiap unsur yang terlibat dalam program, khususnya
guru dan staf sekolah lainnya. Demikian pula, orang tua siswa dan
masyarakat (Komite Sekolah/madrasah) harus dilibatkan untuk menilai
keberhasilan program yang dilaksanakan. Namun agar penilaian yang
dilakukan oleh sekolah dan masyarakat tidak terjadi perbedaan yang
bersifat prinsipil, maka perlu dibuat kesepakatan standar penilaian.
Selanjutnya hasil evaluasi ditindaklanjuti oleh Kepala sekolah, guru, dan
orang tua siswa untuk menyusun skala prioritas, menetapkan sasaran dan

24
target sekolah, dan menyusun program kerja untuk meningkatkan mutu
pendidikan.

H. Prinsip-prinsip Menajemen Berbasis Sekolah


Bertolak dari pembahasan pada Unit 1 tentang berbagai pengertian
MBS Pada dasarnya terdapat empat prinsip MBS yaitu otonomi sekolah,
fleksibilitas, dan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam
mengatur dan mengurus dirinya sendiri (pengelolaan mandiri). Dalam
hal prinsip pengelolaan mandiri dibedakan dari pandangan yang
menganggap sekolah hanya sebagai satuan organisasi pelaksana yang
hanya melaksanakan segala sesuatu berdasarkan pengarahan, petunjuk,
dan instruksi dari atas atau dari luar.
Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur
utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang
berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup
dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama
dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola, swadana,
swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan
sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai
dengan peraturan perundang- undangan pendidikan nasional yang
berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh
sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang
terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat,
kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan
memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi
dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan
sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan
berkolaborasi, serta kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Namun

25
perlu digarisbawahi bahwa kemandirian tersebut tidak bersifat mutlak,
absolut, atau semaunya. Kemandirian yang ada tetap harus bertolak pada
ketentuan, peraturan, dan perundangan yang berlaku. Sebagai salah satu
contoh peningkatan mutu pendidikan di sekolah, guru sebagai
profesional memiliki keleluasaan untuk menerapkan kiat-kiat
pembelajaran yang efektif untuk mencapai kompetensi yang telah
ditetapkan.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang
diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan
memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk
meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan sekolah yang lebih
besar, sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari
atasannya untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber
daya. Dengan prinsip fleksibilitas ini, sekolah akan lebih responsif dan
lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Seperti
pada prinsip otonomi di atas, prinsip fleksibilitas yang dimaksud tetap
mengacu pada kebijakan, peraturan dan perundangan yang berlaku.
Contoh fleksibilitas yang dapat dilakukan oleh seorang guru di sekolah
adalah guru yang profesional memiliki kewenangan untuk memilih,
menentukan metode, alat dan sumber belajar yang ia yakini efektif untuk
mencapai tujuan pembelajaran dan ia akan mempertanggungjawabkannya.
Dalam konteks penyusunan program, masing-masing sekolah dapat
menentukan prioritas- prioritas program yang dapat dilakukan sesuai
kondisi masing-masing sekolah yang disesuaikan dengan lingkungan
sekolah. Dengan demikian, program dan penyusunan Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) akan berbeda antara sekolah
yang
satu dengan sekolah lainnya, bahkan ketika alokasi anggaran yang
dimiliki sekolah jumlahnya sama, tetapi penekanan dan pemilihan
prioritas dapat berbeda. Prinsip ini membuka kesempatan bagi kreativitas
sekolah untuk melakukan upaya-upaya inovatif yang diyakini dapat
meningkatkan

26
efektivitas dan efisiensi pengelolaan sekolah, terutama proses
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan
yang terbuka dan demokratik. Warga sekolah (guru, siswa, karyawan)
dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan,
dan sebagainya) didorong untuk terlibat secara langsung dalam
penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan,
pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat
meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa
jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan
pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki”
terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung
jawab dan berdedikasi dalam mencapai tujuan sekolah. Singkatnya,
makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin
besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin
besar rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja
pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus
mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya
dengan tujuan partisipasi.
Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan: (a) keterbukaan
(transparansi); (b) kerja sama yang kuat; (c) akuntabilitas; dan (d)
demokrasi pendidikan.
Pertama, transparansi (keterbukaan) yang dimaksud adalah keterbukaan
dalam program dan keuangan. Kerja sama yang dimaksud adalah adanya
sikap dan perbuatan lahiriah kebersamaan untuk meningkatkan mutu
sekolah.
Kedua, kerja sama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan
antarwarga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat,
dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil
kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Artinya, prestasi yang diraih
ataupun

27
mutu yang dicapai merupakan jerih payah upaya kolektif antara kepala
sekolah, seluruh staf, dan dibantu oleh orang tua dan masyarakat dalam
wadah Komite Sekolah. Oleh karena itu, kepemimpinan yang diterapkan
di sekolah adalah kepemimpinan partisipatif, kolaboratif, dan
demokratis. Dengan kepemimpinan partisipatif, akan tumbuh komitmen
bersama untuk meningkatkan mutu pendidikan sebagai realisasi program
yang dibuat/ disusun dengan melibatkan warga sekolah dan wakil orang
tua dan masyarakat.
Ketiga, akuntabilitas adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga
sekolahnya, masyarakat, dan pemerintah melalui pelaporan dan
pertemuanyang dilakukan secara terbuka. Jika mengacu pada pasal 2
Standar Nasional Pendidikan, akuntabilitas tidak terlepas dari delapan
standar nasional pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan
standar penilaian pendidikan. Ketercapaian 8 standar nasional pendidikan
di sekolah menunjukkan sejauh mana mutu pendidikan atau kinerja suatu
sekolah. Sebagai contoh, wujud akuntabilitas mengenai pengelolaan dan
penggunaan dana serta pemanfaatan sumber daya lainnya secara efisien
dan efektif dapat dituangkan ke dalam berbagai pelaporan, dokumentasi,
dan sebagainya. Sisi lain yang tidak kalah pentingnya adalah
akuntabilitas dalam ketercapaian standar pendidik dan tenaga
kependidikan. Standar ini pada prinsipnya mengacu pada akuntabilitas
profesionalisme tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan. Demikian
juga dengan akuntabilitas terhadap kompetensi lulusan, atau mutu atau
kinerja yang dicapai sekolah. Keempat, demokrasi pendidikan adalah
kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan
menghargai perbedaan, hak asasi manusia, serta kewajibannya dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Jadi, peningkatan partisipasi warga
sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan
mampu menciptakan keterbukaan

28
(transparansi), kerja sama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi
pendidikan.
Mutu pendidikan, merupakan sasaran yang ingin dicapai oleh MBS.
Ketiga prinsip di atas yaitu otonomi, fleksibilitas, dan partisipasi
merupakan prinsip yang mendasari pencapaian mutu pendidikan. Oleh
karena itu, setiap satuan pendidikan betapapun kondisi dan konteksnya
mempunyai peluang untuk maju dan karenanya dapat ditingkatkan
mutunya. Artinya, pengembangan sekolah atau peningkatan mutu
pendidikan pada level sekolah harus berangkat dari potensi diri satuan
pendidikan dari berbagai aspeknya. Oleh karena itu, upaya peningkatan
mutu pada tingkat satuan pendidikan bukanlah suatu pekerjaan mudah
dan dapat dicapai dalam satu kali program. Mutu pendidikan dicapai
secara bertahap; direncanakan, dan dilaksanakan secara sungguh-
sungguh; pada setiap tahapan waktu ada target dan tujuan spesifik yang
jelas, sehingga setiap tahun jelas ada kemajuannya. Prinsip ini juga
mengandung implikasi bahwa satuan pendidikan yang sudah bermutu
pun masih terus- menerus meningkatkan mutunya, karena tuntutan
perkembangan ilmu dan teknologi serta tuntutan masyarakat senantiasa
berubah, demikian pula tuntutan stakeholders lainnya. Kita menganut
definisi mutu yang dinamis, yang mengharuskan satuan pendidikan
selalu merespon tuntutan eksternal dan internal secara layak.
Prinsip peningkatan mutu secara berkelanjutan dan konsep mutu yang
dianut membawa konsekuensi tertentu. Sekolah perlu memiliki visi ke
depan, misi yang jelas serta tujuan yang fokus, serta perencanaan
strategis dan jangka pendek pada tiap satuan pendidikan. Prinsip ini juga
menghendaki perubahan cara pandang kita terhadap sekolah/madrasah
dari pandangan sebagai lembaga/organisasi baku yang setiap komponen
atau bagiannya memiliki tugas pokok dan fungsi serta kinerja yang baku
(standar), menjadi cara pandang yang mengakui bahwa
sekolah/madrasah sebagai unit organisasi apa adanya dengan segala
kekurangan dan

29
kelebihannya, dan merupakan organisasi pembelajar atau “learning
organization”, yang terus-menerus merevitalisasi dan memperbaiki diri
untuk merespon tuntutan perubahan yang terjadi di sekitarnya.
Dengan pengertian di atas, maka sekolah memiliki kewenangan
(kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan
sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu,
melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi
pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan
sumber daya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari
kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan
kepemilikan keempat prinsip di atas, maka sekolah akan merupakan unit
utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit di atasnya (Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan
Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan
pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri: tingkat
kemandirian tinggi atau tingkat ketergantungan rendah, bersifat adaptif
dan antisipatif/ proaktif sekaligus, memiliki jiwa kewirausahaan tinggi
(ulet, inovatif, gigih, berani mengambil risiko, dan sebagainya),
bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang kuat
terhadap input manajemen dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang
kuat terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya, serta
prestasi menjadi acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, sumber daya
manusia sekolah yang berdaya ditandai dengan: pekerjaan adalah
miliknya, bertanggung jawab, pekerjaannya memiliki kontribusi,
mengetahui posisinya di mana, memiliki kontrol terhadap pekerjaannya,
serta pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga
sekolah adalah: pemberian kewenangan, pemberian tanggung jawab,
pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah secara teamwork, variasi

30
tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerja
sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-
ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, control
yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus,
sumber daya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan
sebagai manusia
ciptaan Tuhan yang memiliki martabat tinggi.
Menurut Nurkholis (2003:52) terdapat empat prinsip untuk mengelola
sekolah dengan menggunakan MBS, yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip
desentralisasi, prinsip sistem pengelolaan mandiri, dan prinsip inisiatif
sumber daya manusia. Menurutnya, prinsip ekuifinalitas didasarkan pada
teori manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat cara yang
berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan
fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut
kondisi mereka masing-masing.
Perbedaan kondisi sekolah dapat dilihat dari aspek perbedaan tingkat
akademik siswa dan situasi komunitasnya, sekolah tidak dapat dijalankan
dengan struktur yang standar di seluruh kota, provinsi, apalagi negara.
Oleh karena itu permasalahan yang dihadapi sekolah, harus dapat
dipecahkan sekolah dengan cara yang paling tepat dan sesuai dengan
situasi dan kondisinya. Walaupun sekolah yang berbeda memiliki
masalah yang sama, cara penanganannya akan berlainan antara sekolah
yang satu dengan yang lain.
Prinsip equifinalitas menimbulkan sejumlah konsekuensi. Pertama, guru
sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan pembelajaran mempunyai
kewenangan untuk memilih, menentukan metode, alat dan sumber
belajar yang ia yakini efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran dan ia
akan mempertanggungjawabkannya. Mengapa demikian? Karena
berbagai kebijakan pendidikan nasional yang ada sekarang ini menuntut
kreativitas dan fleksibilitas dalam mendesain pembelajaran,
termasuk materi

31
pembelajaran yang disusun untuk mencapai kompetensi standar yang
ditetapkan.
Kedua, fleksibilitas dalam pengelolaan sekolah. Setiap sekolah dapat
merencanakan tujuan dan program sekolah sesuai dengan kondisi
sekolah masing-masing, baik dari aspek sumber daya, keuangan, dan
kebutuhan baik kebutuhan warga sekolah, orang tua dan masyarakat, dan
yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan prinsip ini
setiap sekolah akan mempunyai rencana pengembangan sekolah (RPS)
dan rencana anggaran dan pendapatan sekolah (RAPBS) yang berbeda-
beda, kendati alokasi anggaran yang diberikan atau dimiliki sama
nilainya. Prinsip ini membuka kesempatan bagi sekolah untuk kreatif
dalam melakukan upaya- upaya inovatif yang diyakini dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan sekolah, terutama
proses pembelajaran yang lebih kontekstual.
Prinsip desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan
sekolah dan aktivitas pengajaran tak dapat dielakkan dari kesulitan dan
permasalahan. Pendidikan adalah masalah yang rumit dan kompleks
sehingga memerlukan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Prinsip
ekuifinalitas mendorong adanya desentralisasi kekuasaan dengan
mempersilakan sekolah memiliki ruang yang lebih luas untuk bergerak,
berkembang, dan bekerja menurut strategi-strategi unik mereka untuk
menjalankan dan mengelola sekolahnya secara efektif. Oleh karena itu,
sekolah harus diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan
masalahnya secara efektif dan secepat mungkin ketika masalah itu
muncul. Dengan kata lain tujuan prinsip desentralisasi adalah efisiensi
dalam pemecahan masalah, bukan menghindari masalah.
MBS harus mampu menemukan masalah dan memecahkannya tepat
waktu, serta memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektivitas
pembelajaran. Tanpa adanya desentralisasi, kewenangan kepada sekolah
itu sendiri, maka sekolah tidak akan dapat

32
memecahkan masalahnya secara cepat, tepat dan efisien.
Selanjutnya, pada prinsip pengelolaan mandiri, MBS memberikan
kewenangan kepada sekolah menjadi sistem pengelolaan secara mandiri,
di bawah kebijakannya sendiri. Dengan prinsip ekuifinalitas dan
desentralisasi di atas, sekolah memiliki otonomi tertentu untuk
mengembangkan tujuan pembelajaran, strategi manajemen, distribusi
sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan masalah,
dan mencapai tujuan berdasarkan kondisi mereka masing-masing.
Dengan prinsip pengelolaan secara mandiri maka sekolah lebih memiliki
inisiatif dan tanggung jawab.
Terakhir, pada prinsip inisiatif manusia mengakui bahwa manusia
bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh karena itu,
potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan
kemudian dikembangkan. Dengan demikian, lembaga pendidikan harus
menggunakan pendekatan pengembangan sumber daya manusia (human
resources development) yang memiliki konotasi dinamis dan
menganggap serta memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang
amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Prinsip
tersebut menunjukkan pentingnya faktor manusia pada efektivitas
organisasi. Perspektif sumber daya manusia menekankan bahwa orang
adalah sumber daya berharga di dalam organisasi sehingga butir utama
manajemen adalah mengembangkan sumber daya manusia di dalam
sekolah untuk berinisiatif. Berdasarkan perspektif ini, maka MBS
bertujuan membangun lingkungan yang sesuai untuk warga sekolah agar
dapat bekerja dengan baik dan mengembangkan potensinya. (Nadeak,
2022)

33
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Manajemen Berbasis sekolah adalah sekolah memiliki otonomi dalam
melakukan aktivitas manajerial sesuai kemampuan dan potensi sekolah, pengambilan
keputusan yang melibatkan warga sekolah dan stakeholder sekolah, strategi untuk
meningkatkan mutu pendidikan, dan pemberdayaan SDM di sekolah dengan melibatkan
warga sekolah dalam aktivitas manajerial di sekolah.
Karakteristik dasar MBS disekolah seperti Pemberian Otonomi luas kepada
kepala sekolah, tingginya partisipasi masyarakat dan orang tua, kepemimpinan yang
demokratis dan professional, Tim kerja yang kompak dan transparan. Strategi
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah merupakan upaya atau cara melaksanakan
manajemen berbasis sekolah dalam rangka meningkatkan mutu sekolah secara lebih
efektif.
Langkah-langkah strategi penerapan MBS, Tahap Persiapan, tahap
Implementasi dan tahap evaluasi/ tindak lanjut. Dalam pelaksanaan MBS terdapat
beberapa prinsip seperti, Otonomi sekolah (kemandirian), Fleksibilitas dan partisipasi
untuk mencapai sasaran mutu sekolah agar tercipta keterbukaan, kerjasama yang kuat,
akuntabilitas dan demokrasi pendidikan.
Tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah meningkatkan efisiensi
mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi dicapai melalui keleluasaan
mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan
birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan
pengelolaan sekolah, peningakatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman
sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuh kembangkan suasana yang
kondusif.
Implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS), pada hakekatnya adalah
pemberian otonomi yang lebih luas kepada sekolah dengan tujuan akhir meningkatkan
mutu hasil penyelenggaraan pendidikan, sehingga bisa menghasilkan prestasi yang
sebenarnya melalui penyelenggaraan manajerial yang mapan. Factor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam MBS yaitu kewajiban Sekolah, Kebijaka dan Prioritas Pemerintah,
Peran orang tua dan masyarakat, peran profesionalisme dan pengembangan profesi.

34
B. Saran
Makalah ini merupakan karya tulis berdasarkan himpunan material yang diambil
dari berbagai buku dan jurnal. Oleh karena itu, jika ada kesalahan dalam
penulisan dan dalam penyajian bahan maka penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran dari para pembaca agar terwujudnya kebenaran yang kita kehendaki
semua dan demi kesempurnaan penyelesaian makalah ini.

35
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anwar, M. (2018). Menajemen Berbasis Sekolah. Ekspose. Vol. 17, No. 2, Juli Desember
2018.
Departemen Pendidikan Nasion al Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Menuju Peningkatan Mutu
berbasis Sekolah-Buku 1. (2001). Jakarta: Depdiknas.
Hamid. (2018). Menajemen Berbasis Sekolah. Al-Khawariz: Jurnal Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. 1 (1), 87-96.
Herawati, S. (2016). Implementasi Kebijakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) Di Era Otonomi Daerah Smkn I Kuala Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu.
14, 21.
Itisam, A.-D. (2012). School-Based Management (Manajemen Berbasis Sekolah)
(Jakarta). Logos.

Mulyasa, E. (2012). Menajemen Berbasis Sekolah: Konsep. Strategi, dan implementasi.


Bandung: Rosda.
Mulyasa, E. (2011). Manajemen Berbasis Sekolah (Bandung). Remaja Rosdakarya.

Nadeak, B. (2022). Menajemen Berbasis Sekolah (MBS). Bandung: Widina Bhakti


Persada .
Suparlan. (2013). Manajemen Berbasis Sekolah Dari Teori Sampai Dengan Praktek
(Jakarta). Bumi Aksara.
Winoto, S. (2020). Manajemen Berbasis Sekolah. yogyakarta: LKiS.

36

Anda mungkin juga menyukai