Anda di halaman 1dari 10

DAFTAR ISI

LEMBAR COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI.................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 2

1 Latar Belakang........................................................................................... 2
2 Tujuan ....................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 4
a. Isi Buku Paulo Freire..................................................................................4
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Berpikir dan melakukan pengkajian saja tidak akan menghasilkan Pendidikan


Kaum Tertindas: buku ini berakar langsung dari situasi kongrit yang mewakili reaksi
kaum pekerja (petani maupun buruh perkotaan ) serta masyarakat kelas menengah
yang telah diamati oleh Freire secara langsung maupun tidak langssung sepanjang
pekerjaan pendidikannya.
Isi dari buku ini sangat meungkin akan menimbulkan reaksi negatif dari
sejumlahh pembaca. Sejumlah orang mungkin akan menganggap posisi Freire yang
berhadapan langsung dengan masalah pembebasan manusia itu sebagai sesuatu yang
murni idealistik atau bahkan mungkin menganggap pemabahasan tentang anggilan
ontologis, cinta kasih, dialog, harapan, kerendahan hati dan simpati sebagai omong
kosong raksioner.
Oleh karena itu, buku ini yang memang diakui masih sementara ini, hanyalah
cocok untuk orang orang radikal. Freire merasa pasti, bahwa orang kristen mauoun
marxist, walaupun mungkin tidak setuju dengan freire dalam beberapa hal atau dalam
keseluruhannya, aakan terus mebaca buku ini sampai selesai.

B. TUJUAN PEMBUATAN MAKALAH

a. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pembangunan Masyarakat


b. Untuk menambah wawasan
c. Untuk menambah pengetahuan tentang Teori yang dikemukakan oleh
Paulo Freire
d. Mengetahui apa saja isi dari buku Freire
BAB II
PEMBAHASAN

Apa sebenarnya arti pendidikan? Untuk perkembangan pengetahuan,


pemberdayaan masyarakat, alat bantu bertindak, metode mengatasi ketidakadilan,
atau argumen lain? Anggaplah, pendidikan telah mencapai kesemuanya di atas,
permasalahan mendasar adalah; saat pendidikan sudah jalan (anggaplah dengan
semestinya), di saat bersamaan, gap kaya miskin menjamur, perilaku korup para elit,
dan seterusnya, juga lahir di saat bersamaan.
Di titik ini, sebenarnya kita dapat saja menunjuk, terdapat kesalahan dalam
sistem pendidikan itu sendiri. Bagaimana ini dilihat? Tulisan ini akan menyajikan
garis besar pemikiran Paolo Freire, melalui satu buku berjudul “Pendidikan Kaum
Tertindas”, Terbitan Jakarta: LP3ES, 2011. Titik Tolak Freire; Humanisme,
Persamaan, dan Pembebasan
Persamaan, ini mungkin yang dapat kita lihat dari pemikiran besar Freire.
Persamaan dalam hal hak mendapat pendidikan, pengetahuan, informasi bagi seluruh
masyarakat. Pendidikan ini diarahkan guna menolong orang-orang yang dianggap
tertindas. Freire menganggap, pendidikan yang sudah berjalan seperti selama ini,
hanya melahirkan dikotomi masyarakat ‘elit-jelata’, ‘penindas-tertindas’, ‘kaya-
miskin’, dengan jarak yang semakin lebar.
Ketiadaan modalitas (pengetahuan, sosial, ekonomi, dst) oleh orang miskin,
menjadikan cita-cita menempatkan yang miskin menjadi kaya; adalah impian
mustahil. Untuk itu, pengentasan kondisi miskin di masyarakat (bc. tertindas) hanya
dapat dilakukan melalui pembelajaran bersama masyarakat secara langsung, bukan
memberikan pengetahuan pada mereka. Catatan paling penting di sini adalah,
pendidikan dilakukan ‘bersama’, bukan ‘untuk’ masyarakat. Konsep pendidikan
Freire, menempatkan masyarakat sebagai subjek aktif dalam pendidikan dan bukan
lagi objek. Konsekuensinya adalah, pendidikan merupakan metode yang dilakukan
melalui usaha ikut masuk dalam kehidupan masyarakat secara langsung. Hingga pada
satu titik, mengetahui permasalahan secara lebih akurat dan memunculkan
mekanisme solusi berdasarkan praktik masyarakat hidup.
Praktik suap penerimaan PNS di Indonesia merupakan hal kecil yang dapat kita
lihat dari sistem pendidikan yang berjalan selama ini. Sarjana lulusan strata satu (S1)
diharuskan membayar Rp. 175 juta hingga Rp. 225 juta untuk posisi seorang guru di
Nganjuk, Jawa Timur. Suap ini, kemudian dianggap ‘lumrah’ sebagai salah satu
prasyarat untuk menjadi seorang PNS. Secara administrative tidak dibenarkan, tapi
dilakukan sebagian besar masyarakat yang ingin menjadi PNS. “bayar piro wingi,
entek piro?”, pertanyaan semacam ini, seolah menjadi ‘kebenaran’ yang sudah
diterima masyarakat umum saat membicarakan mekanisme penerimaan PNS. Tentu
ini bermasalah.
Selain dimensi etis dan hukum, terdapat dua hal mendasar yang dapat kita
tunjuk sebagai permasalahan pada kasus di atas; hilangnya hak orang lain dan
kegagalan pendidikan itu sendiri. Jika jumlah uang Rp. 175-225 juta sebagai jaminan
diterima-tidakditerima sebagai PNS tanpa mendasarkan pada kualifikasi tertentu,
bagaimana dengan orang yang seharusnya masuk kualifikasi? Satu slot yang
diperoleh PNS yang masuk lewat suap tadi, merupakan bentuk penghilangan hak
orang lain yang seharusnya diterima berdasarkan kualifikasi tertentu. Bagaimana jika
dua slot, tiga slot, atau bahkan kesemua slot ‘dijual’ oknum tertentu pada para
pendaftar PNS?
Kedua, jika seorang sarjana jatuh dalam praktik suap, maka secara langsung
menggugurkannya sebagai seorang yang terdidik. Jika uang yang dikeluarkan untuk
suap sebesar Rp. 200 juta, sedang gaji perbulan seorang PNS sarjana sebesar 3jutaan,
berapa tahun untuk mencapai Break Event Point (BEP), mengembalikan modal yang
dikeluarkan untuk suap tadi? Jika PNS ini berfokus pada ‘proyek’ pengembalian
modal tadi, bagaimana tanggungjawabnya sebagai seorang guru? Lalu, jika dia
mendapat tempat strategis sebagai pengambil kebijakan seperti kepala sekolah,
adakah jaminan PNS macam ini tidak melakukan ‘pungutan’ untuk menebus biaya
yang dikeluarkan di awal, Rp. 200juta tadi?
Praktik suap di atas selanjutnya hanya melahirkan konsekwensi baru dengan
berbagai kemungkinan. Posisi PNS, anggaplah guru, hanya akan dijadikan sebagai
jenis pekerjaan sebagai seorang guru. Jika demikian, pembicaraan mengenai
pengetahuan tidak akan pernah terjadi. Jikapun terjadi, pembicaraan ini tidak akan
pernah serius dan semata dilihat sebagai komoditas guru tersebut untuk mendapat
gaji. Hasil akhirnya adalah, menciptakan masyarakat yang berpengetahuan asal-
asalan. Jika masyarakat yang tersentuh pendidikan sudah asal-asalan, bagaimana
dengan kelompok masyarakat yang tidak tersentuh pendidikan?
Anggaplah, masyarakat bantaran sungai Muharto, Kota Malang, Jawa Timur.
Sebagian besar hariannya dihabiskan untuk mencari sampah, barang bekas, dan benda
lain yang dapat dijual. Ketiadaan modalitas pengetahuan mengenai pendidikan,
memengaruhi pola pikir orang tua terhadap anaknya. Keberadaan seorang anak
kemudian ditempatkan sebagai bagian dari tulang punggung keluarga; membantu
mencari ‘rongsokan’ sebagai tambahan uang belanja. Soal pendidikan? Tidak
penting.
Masyarakat bantaran sungai di Muharto ini, merupakan hasil dari ketidakadilan
dalam sistem pendidikan itu sendiri (juga pertalian sistem lain; ekonomi, politik,
agama, dst). Pendidikan selama ini hanya mengarahkan pada kesuksesan material
yang bersifat elitis. Banyak hal yang menjadikan masyarakat sebagai orang miskin;
politik, hukum, budaya, dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana kita melihat dan
bertindak atasnya?
Radikalis sebagai Agen
Freire sendiri menolak dikatakan sebagai idealis yang merujuk pada pandangan
ideal mengenai masyarakat, dengan berbagai dogma, janji, dan pengandaian tanpa
menyentuh bagaimana praktik sosial di masyarakat. Freire beranggapan,
pemikirannya tentang pendidikan kaum tertindas ini hanya dapat diamini oleh orang-
orang yang bersikap radikal, bukan sektarian. Di mata Freire, radikal sebagai sesuatu
yang positif. Radikalisasi ditumbuhkan dari semangat kritis yang bersifat
membebaskan. Gerakan radikal mencakup peningkatan keyakinan terhadap posisi
yang dipilih seseorang. Keterlibatan dalam permasalahan yang semakin jauh akan
mendorong pada pemahaman masalah secara lebih tepat, dan dengan demikian
dianggap dapat mengubah realitas secara konkret dan objektif.
Sebaliknya, sektarianisme ditumbuhkan oleh fanatisme yang bersifat mengebiri
dan menjaga kemapanan hidup yang selama ini diperolehnya (status quo). Bagi
Freire, sektarianisme ini hanya akan mengarahkan pada pembangunan mitos dan
bersifat irrasional. Keadaan ini hanya melahirkan cara pandang bias terhadap realitas,
dan membalik realitas sebagai yang palsu (false reality). Karena itu, perubahan tidak
dapat lahir dari kelompok seperti ini. Sektarianisme, dengan demikian, merupakan
rintangan bagi setiap usaha emansipasi manusia.
Seorang radikal tidak pernah menjadi subjektivis. Menurut Freire, aspek
subjektif radikalis selalu dikaitkan dengan aspek objektif (realitas konkret yang
menjadi objek analisis). “Subjektivitas dan objektivitas dengan demikian bertemu
dalam kesatuan dialektis yang menghasilkan pengetahuan, yang diperkukuh dengan
tindakan, dan sebaliknya.” (Freire, 2011:6) Di titik ini, dialektika menjadi penting.
Pengetahuan dan tidakan bukan berjalan secara terpisah.
Menurut pandangan radikal, gerakan sectarian (yang disebut Freire sebagai
‘kanan’) selalu dibutakan irrasionalitas, dijinakkan, dan tidak akan dapat memahami
dinamika realitas yang berujung pada salah penafsiran. Jikapun golongan kanan ini
berfikir secara dialektis, Freire menganggap dialektika ini merupakan dialektika yang
telah dijinakkan.
Tidak hanya golongan kanan, golongan kiri yang menjadi sectarian juga
melihat realitas secara fatalis. Bedanya, kanan, mencoba menjinakkan masa kini agar
masa depan menjadi pengulangan masa kini. Sedang golongan kiri, masa depan telah
ditentukan sebelumnya dan tidak dapat dielakkan. Keduanya dianggap sebagai
kelompok reaksionaer. Keduanya mengembangkan bentuk tindakan yang menafikan
kebebasan manusia
“Orang radikal.. tidak akan menjadi tawanan dari sebuah lingkaran ‘kepastian’.
Sebaliknya, semakin radikal seseorang, semain jauh pula ia masuk ke dalam realitas,
hingga dapat tahu dengan lebih baik.. dia tidak menganggap diri sebagai pemilik
sejarah pembebas kaum tertindas’ tapi dia mengabdikan diri, dalam sejarah, untuk
berjuang di pihak mereka” (PKT, hal.8)
Siapakah orang tertindas? Freire memandang, manusia tertindas adalah
kelompok manusia yang tidak dimanusiakan (dehumanis), baik secara ekonomi,
dominasi struktur, maupun hak politik yang terkekang. Masalah humanisasi dan
dehumanisasi, merupakan kemungkinan yang selalu tersedia dan proses yang belum
selesai dalam menyadari ketidaksempurnaan hidup itu sendiri. Dehumanisasi adalah
bentuk penyimpangan yang menghindarkan manusia sebagai manusia sejati.
Penyimpangan ini terjadi sepanjang sejarah, fakta, tapi bukan fitrah sejarah.
Perjuangan menuju humanisasi, harus menempatkan dehumanisasi sebagai
posisi yang harus dilawan. Karena meskkpun dehumanisasi; ketidakadilan,
merupakan fakta sejarah kongkret, bukanlah suatu takdir yang tinggal diterima begitu
saja. Dehumanisasi, merupakan tatanan yang lahir dari kondisi tak adil, dilahirkan
dari dominasi, kekejaman penguasa, pemilik pengetahuan, yang kemudian
melahirkan orang-orang tertindas. Perjuangan ini baru dapat dikatakan bermakna, bila
perjuangan ini tidak diarahkan untuk membalik keadaan, menguasai kelompok
penindas tadi. Perjuangan pembebasan apapun, harus diarahkan untuk memulihkan
kemanusiaan keduanya. Menurut Freire, ini merupakan tugas kesejarahan yang
diemban; membebaskan diri sendiri dan penindasnya.
Pembebasan Lahir dari Mereka Sendiri
Lalu kemudian, siapa yang dapat mengusahakan dan mengentaskan masyarakat
tertindas ini? Pengentasan tidak dapat dilakukan oleh kelompok sectarian. Keadaan
yang ‘tidak adil’ ini sebagai pendorong untuk melakukan tindakan, perlawanan, dan
perjuangan.
Freire mengatakan, hanya orang tertindaslah yang dapat memerjuangkan nasib
mereka sendiri. Jika gerakan ini lahir dari ‘elit’, Freire sangsi. Segala usaha
pengentasan oleh elit ini dilihat, semata sebagai pelunakan palsu. Dengan dalih
mengentaskan kemiskinan, berbagai program yang diciptakan semata untuk menjaga
kelanggengan posisi kelas, bukan murni untuk mengentaskan. Bagaimana elit
mengerti permasalahan orang miskin, jika dia tidak pernah ada dalam kondisi
kemiskinan ini? inilah sebab, mengapa gerakan pengentasan ini harus dilakukan dan
lahir dari kelompoknya sendiri.
Pendidikan selama ini, yang banyak dilakukan, hanya mendasarkan pada
bagaimana kesuksesan, bagaimana menjaga keteraturan, dan sedikit usaha
mengentaskan ketidakadilan itu sendiri. Saat metode pendidikan ini dicerap
masyarakat miskin, masyarakat ini akan mengandaikan posisi yang sama dengan
pendidiknya; kenyamanan, kesuksesan, dan seterusnya. Struktur pikiran mereka
dibentuk dengan pola penindas, sehingga melahirkan pemikiran menjadi penindas
kecil. Menurut Freire (2011: 14), orang tertindas ini sebenarnya mengetahui posisinya
yang tertindas. Tapi, struktur pemikiran mereka telah dijinakkan oleh pola pendidikan
yang sama dengan penindas. Di titik ini, meski orang tertindas mengenyam
pendidikan, mereka tidak dapat dikatakan telah melibatkan diri ‘membebaskan’.
Freire menyebut sistem pendidikan semacam ini sebagai bentuk ‘pemolaan’ cara
berfikir elitis.
Untuk mengatasinya, Freire menyebutkan, orang tertindas ini harus melakukan
perjuangan untuk kebebasannya, memahami realitas penindasan. Mereka harus
melihat dunia secara terbuka, bahwa situasi terbatas dapat diubah dengan modalitas
kuat; pendidikan, ekonomi, sosial, politik dst. Bagaimana mereka mendapatkannya?
Tentu melalui pendidikan. Semua modalitas ini diperoleh melalui pendidikan
bersama mereka secara langsung.
Dialektika Subjektivitas-Objektivitas dan Realitas yang Dapat Diubah
Realitas penindasan, ini merupakan objek yang harus dilihat dan ditelaah lebih
lanjut. Realitas yang dimaksud adalah, kondisi-kondisi yang menyebabkan
penindasan ini berlangsung. Tentu, kondisi ini bukan sesuatu yang abstrak, tapi
konkret terjadi di masyarakat. Situasi konkret yang melahirkan penindasan inilah
yang harus diubah.
Untuk memahami situasi penindasan ini, subjektivitas dan objektivitas harus
berjalan secara bersama, tidak dapat dipisah. Melihat permasalahan secara subjektif;
melepaskan kondisi di luar dirinya, hanya akan menjatuhkan diri pada kondisi
subjektivisme. Sebaliknya, objektivitas hanya akan melahirkan cara pandang sesuai
yang diyakini sebagian besar orang. Freire menyebutnya sebagai ‘dunia tanpa
manusia’. Realitas sosial menjadi ada merupakan hasil konstruksi masyarakatnya,
tidak mengada secara kebetulan. Jika manusia membentuk realitas sosial, maka
merubahnya merupakan tugas kesejarahan manusia itu sendiri.
Metode analisis yang harus dilakukan adalah mendialektika subjektivitas dan
objektivitas itu sendiri. Dialektika antara manusia dan dunianya ini, yang kemudian
melahirkan sikap reflektif; sebuah usaha untuk terus menjelaskan ‘bersama’
masyarakat terhadap tindakannya sendiri. Praksis ini merupakan akar dari gerakan
pendidikan kaum tertindas, yang melibatkan masyarakat secara langsung terhadap
realitas dan bersikap atasnya.
Di titik ini, Freire kembali menegaskan bahwa, kondisi kemiskinan,
ketidakadilan, bukan merupakan sesuatu nasib yang lahir dengan sendirinya. Kondisi
tersebut merupakan hasil kontradiksi, persaingan, dan sistem yang melahirkan kondisi
‘miskin’ itu sendiri. Oleh sebab kondisi ini dicipta, Freire ingin meyakinkan kaum
tertindas, bahwa kondisi ini dapat diubah; menuju kondisi yang tidak miskin, adil,
dan mencapai derajat kemanusiaan yang setara.
Untuk mencapai kondisi ini, kaum tertindas harus melihat realitas secara kritis,
mengidentifikasi, kemudian bertindak terhadapnya. Freire ingin menciptakan
masyarakat tertindas yang berkesadaran atas kondisinya sendiri. Namun, sebuah
kesadaran tanpa melibatkan nalar kritis, tidak akan mengarahkan pada perubahan
realitas objektif, karena ini Freire menganggap kesadaran ini tidak benar, semu.
Pelaksanaan pendidikan kaum tertindas ini, merupakan proyek gerakan. Bentuk
proyek ini merupakan jawaban secara langsung dari pertanyaan; bagaimana jika
penerapan bentuk pendidikan membebaskan ini menuntut adanya kekuasaan politik,
yang justru tidak dimiliki kaum tertindas, lalu bagaimana mewujudkannya jika tanpa
melalui revolusi terlebih dahulu? Menurut Freire, pendidikan secara sistematis
(educational-system) hanya dapat diubah dengan kekuatan politik. Ketiadaan
modalitas politik ini, yang justru melahirkan pendidikan yang berbasis masyarakat,
pendidikan yang diselenggarakan bersama dan organisasi atas masyarakat (tertindas)
itu sendiri.
Dua Level Pendidikan Kaum Tertindas
Freire mengatakan, pendidikan berbasis masyarakat ini harus sampai pada dua
tahap. Pertama, kaum tertindas membongkar posisi mereka sendiri atas penindasan,
diikuti praksis; pelibatan diri untuk mengadakan perubahan. Tahap kedua, saat
realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan tidak lagi menjadi monopoli kaum
tertindas, tapi menjadi milik seluruh manusia sebagai pembebasan yang terus dijaga.
Kaum tertindas, tidak kemudian berbali menjadi penindas yang mengatasnamakan
kebebasan mereka. Dengan demikian, objek atas kekuasaan; faktor produksi,
sumberdaya, sumber produksi, dan manusia itu sendiri tidak jatuh pada reduksi atas
kemauannya. Sekali lagi, objek kuasa ini harus diarahkan pada kemaslahatan manusia
secara adil.
Melaksanakan pendidikan ini tidak lahir dari aktivisme murni, membicarakan
revolusi dengan duduk bersantai tanpa gerakan apapun. Freire menegaskan,
perjuangan ini dimulai dari penyadaran pada masyarakat, bahwa selama ini mereka
telah ditindas, dihancurkan, dan hasil dari ketidakdilan sistem yang meminggirkan
mereka. Untuk itu, setiap pengajar tidak lagi dapat boleh jatuh pada humanitarianisme
(eksploitasi humanisasi untuk kepentingan tertentu) manipulatif. Perlu dialog,
refleksi, dan usaha penempatan guru-murid sebagai subjek yang mengamati realitas.
Tidak hanya menyingkap realitas, tapi juga menjadikannya sebagai pengetahuan
untuk membentuk realitas baru; pelepasan dan pembebasan orang-orang tertindas ini.
Pendikan gaya Bank: sebuah Kritik Freire.
Freire memberikan kritik cukup keras terhadap gaya pendidikan yang selama
ini berjalan. Kritik ini terletak pada posisi berjarak antara guru-murid. Guru
mengajar, murid diajar; guru menjelaskan, murid mendengarkan, dan seterusnya.
Freire menyebutnya gaya pendidikan konvensional ini sebagaai pendidikan gaya
bank, yang merujuk pada tuntutan murid menerima pengetahuan, seperti pundi-pundi
uang masuk dalam rekening bank. Keberjarakan ini menciptakan ketiadaan nalar
kritis, karena memisahkan pengetahuan dan realitas sosial secara langsung.
Konsep pendidikan gaya bank, dianggap berusaha memitoskan realitas,
menyembunyikan fakta tertentu mengenai bagaimana manusia mengada di dunia.
Metode pendidikan ini meminggirkan dialog guru-murid, menempatkan
murid&masyarakat sebagai objek yang harus ditolong karena dianggap lemah dan
tidak memiliki pengetahuan cukup untuk mengubah. Jika demikian, posisi murid
dianggap Freire sebagai benda mati, yang harus diberi dan selalu disasar dengan cara
berfikir guru. Metode ini secara langsung akan menciptakan kondisi murid yang
tumpul dan kemungkinan besar memiliki cara berfikir sama seperti guru yang
dominan. Dengan demikian, permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan tidak akan
banyak disorot secara mendetail.
Sebagai akibatnya, praktik ini hanya melahirkan dominasi dalam skala kecil,
bahwa guru adalah subjek yang berkuasa atas murid (objek). Dominasi ini merupakan
bentuk segala penguasaan atas segala. Sebaliknya, pendidikan pembebasan, menurut
kerangka Freire, menghadirkan permasalahan secara langsung pada masyarakat.
Model pendidikan ‘hadap-masalah’ ini, mendorong manusia mengembangkan
kemampuannya untuk memahami cara mereka mengada secara kritis, dan bagaimana
mereka menemukan posisi dirinya sendiri dalam dunia itu. Guru-murid belajar secara
bersama untuk memandang dunia bukan entitas statis, tapi kehidupan dunia dibentuk
dan diciptakan yang terus berproses. Kemungkinan-kemungkinan yang lahir dari
proses ini, kemudian menuntut masyarakat dapat mengisi perjalanan sejarah itu
sendiri.
Selain itu, pendidikan pembebasan ini memerlukan dialog, sebagai bentuk
pendidikan ‘bersama’ masyarakat. Dialog, di mata Freire, bukan merupakan
pembicaraan kosong, bukan semata pertukaran kata dan kalimat. Tapi, dialog,
membutuhkan prasyarat secara khusus; refleksi dan tindakan. Artinya, di sini praksis
seseorang, baik guru dan murid dituntut mendahului. Dengan demikian, melakukan
dialog secara langsung merupakan usaha untuk merubah dunia.
Dialog yang dilakukan dalam pendidikan, bukan usaha untuk melakukan
dominasi, seperti praktik yang berlaku dalam sistem pendidikan gaya bank di atas.
Namun demikian, dialog atas permasalahan selalu berakar dari penguasaan atas
permasalahan tersebut, bukankah hal ini merupakan bentuk dominasi? Bagaimana
Freire menjelaskannya?
Freire menyebutkan, dominasi hanya bekerja atas usaha memahami dunia,
bukan terhadap manusia. Dominasi yang terdapat di dalam dialog hanya merupakan
usaha mengetahui dan mendekati dunia secara lebih dalam sebagai bagian dari cara
membebaskan manusia. Sebuah catatan penting aspek ‘dialogika’ dalam proses
pendidikan ini adalah; agar manusia merasa sebagai tuan bagi pemikirannya sendiri
dengan berdiskusi mengenai pemikiran dan pandangan tentang dunia. Rasa memiliki
ini lahir dari dialog yang terungkap dari tanggapan, pertanyaan, ungkapan, dan
bentuk diskusi lain yang lahir dari mereka sendiri.
Membaca Freire, seperti dibawa pada pengandaian utopis, seolah tidak dapat
diraih. Namun demikian, pemikiran Freire memiliki konsep yang jelas. Bahwa
pendidikan yang selama ini berjalan hanya melahirkan ‘kesuksesan’ pada segelintir
orang, dan menciptakan ketidakadilan yang lebih besar secara bersama-sama. Tidak
ada usaha serius untuk mengatasi permasalahan yang dialami kelompok terpinggir
ini. Oleh sebab itu, pengentasan terhadap kelompok terpinggir ini, harus dilakukan
melalui pembelajaran bersama mereka. Pembelajaran yang mengikutsertakan,
memahami secara bersama, membongkar mitos mengenai dunia dan ketidakadilan,
serta bergerak secara bersama untuk menciptakan realitas baru; kondisi masyarakat
yang adil.
Ide Freire memang tidak dapat lepas dari kritik, terutama pihak yang
menyebutnya sebagai uthopian. Dianggap mengandaikan realitas tanpa melihat
bagaimana realitas sesungguhnya sekarang. Namun, jika kita menelaah lebih dalam
dan melakukan refleksi secara terbuka terhadap kondisi sosial masyarakat, pemikiran
besar Freire akan tampak relevan untuk terus didiskusikan.
BAB III
PENUTUP

Daftar Pustaka

Paulo Freire (1972), cultural action for freedom, Penguin

Hans Freyer (1990), teoria de la Epoca Atual, Mexico

Erich Fromm (1965), The Application of humanist psychoanalysis to marxist theory,


Socialist Humanism, Allen Lane The Penguin Press

Che Guevera (1968) The Secret Papers of a Revolutionary : The Diary of Che
Guevera, The Ramparts Edition

Anda mungkin juga menyukai