Anda di halaman 1dari 5

KADERISASI ERA MILENIAL :

INTERNALISASI NILAI-NILAI KE-HMI-AN DALAM MENYIKAPI FENOMENA


POSTHUMAN DI ERA MILENIAL

Disusun oleh :
Abdullah Fadhlil Khaliq Maengkom
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Manado
Manado
2017
Pernahkah terbayang di benak kita, saat anak-cucu kita bermain dengan teman
sebayanya sembari mereka bermain dengan penuh keceriaan, rasa gembira, menangis dan
tertawa. Saat matahari sudah mau tenggelam hari pun mulai larut malam. Ketika anak-cucu kita
tertidur pulas di atas kasur yang empuk sedangkan temanya bergelantungan di sebelahnya
dengan kabel untuk mengisi daya. Maka hanya satu pertanyaan yang ingin di lontarkan oleh
penulis “itukah masa depan?”. Ini bukan lagi suatu yang khayal melainkan sesuatu yang nyata.
Di era milenial seperti ini sesuatu yang hanya ilusi;sains-fiksi bisa menjadi real;nyata dengan
menggunakan satu kata “teknologi”

Makin pesatnya perkembangan arus zaman menuntut setiap individu untuk bersikap
kritis agar selalu berinovasi. Maraknya pusat industri yang di isi oleh teknologi super canggih
membuat segalanya menjadi praktis. Dunia seakan memasuki era baru, dunia yang penuh
dengan multi-perspektif di dukung oleh teknologi memudahkan manusia melihat dunia hanya
dari genggaman tangan saja. Teknologi sangatlah berarti dalam perkembangan peradaban
manusia. Jikalau dulunya peralihan paradigma dari Kosmosentris-Teosentris-Antroposentris
yang selalu menjadi pergolakkan pemikiran di akhir era reformasi eropa. Namun saat ini di
awal abad ke-21 munculah sebuah paradigma baru yaitu Technosentris (Teknologi) yang akan
menggantikan posisi Antroposentris (manusia) sebagai pusat dari peradaban.

Dalam faktor produksi, tenaga kerja sangatlah penting dalam menghasilkan sebuah
produk barang atau jasa. Namun, dalam sisi lain tenaga kerja bisa saja di isi oleh mesin
ketimbang manusia dikarenakan perihal efisiensi. Perkembangan teknologi memang secara
nyata mempengaruhi realitas sosial, ruang publik yang tereduksi dan hilangnya ruang privat tak
terlepas dari lahirnya media sosial. Facebook, whats app, twitter, line, dsb. Merupakan realitas
digital yang mengsimulasikan kenyataan. Dalam bidang seni, penggunaan aplikasi-aplikasi
seperti Adobe Photoshop, Picasa, paint, dsb. Hadirnya aplikasi tersebut tanpa disadari
menggeser pengertian awal “kreativitas”. Kreativitas, yang mulanya berasal dari kreasi
langsung manusia “tangan manusia” ihwal tak langsung dan penuh dengan simulasi (rekayasa)
nonmanusia. (Baudrillard, 1983:76)

Inilah era yang tengah kita hadapi bersama, kini teknologi tak lagi dibawah manusia
melainkan sudah sejajar dengan manusia bahkan bisa melampaui atau disebut “Posthuman”.
Sebagaimana yang dikatakan Jacsques Ellul (1964) dalam bukunya The Technological Society,
jika dulunya manusia menggunakan teknologi hanya sebatas Sub-organisme. seperti manusia
mendapatkan kesulitan saat mengupas buah apel, manusia kemudian membuat pisau dari
tanduk rusa. Saat itu teknologi masih membutuhkan campur tangan manusia. Tapi saat ini,
lambat-laun prediksi yang dikatakan oleh Ellul tentang Mega-organisme seakan menjadi
kenyataan. Mega-organisme adalah teknologi yang sudah tidak lagi membutuhkan campur
tangan manusia untuk menjalankanya. Teknologi ini dikatakan Ellul sudah melampaui
Organisme (manusia) yaitu Mega-organisme (teknologi). Hal ini tentu saja seakan mengikis
peran manusia. Jikalau fitrah manusia sebagai khalifah fil ardh atau wakil tuhan di muka bumi,
akankah peran ini digantikan oleh teknologi ?
Kemunculan kecerdasan buatan “Aritificial Intelligence” atau disingkat AI seakan
menambah fenomena baru terkait dengan manusia vs teknologi “Human vs Posthuman”. AI di
definisiskan sebagai kecerdasan entitas ilmiah. Kecerdasan diciptakan dan simasukkan ke
dalam suatu mesin agar dapat melakukan pekerjaan khalayak manusia. AI difungsikan untuk
mengotomatisasikan tugas-tugas yang membutuhkan kecerdasan buatan seperti halnya
pengendalian, pengenalan, perencanaan, dan penjadwalan. Kecerdasan buatan mungkin saja
bisa menggantikan otoritas manusia seperti halnya dalam film fiksi-sains The Matrix,
Transcendence, Eagle Eye, dan The Terminator. Elon musk seorang pakar teknologi yang juga
CEO SpaceX turut angkat bicara tentang kecerdasan buatan “kecerdasan buatan akan menjadi
ancaman baru bagi peradaban manusia”(2014).

Kecerdasan mesin tentu saja berbeda dengan kecerdasan manusia. Seiring


perkembangan usia saat sel atau saraf otak manusia mati dia tak bisa berfungsi lagi. Berbeda
dengan kecerdasan mesin yang selalu diperbarui seiring perkembangan zaman (dr. Taufiq
Pasiak:1995). Secara ekonomi, problematika ini akan menjadi suatu fokus kajian baru karena
perihal manusia sebagai aktor ekonomi. Dalam hubungan transaksi antara produsen-konsumen
akankah hal ini memungkinkan digeser oleh mesin seperti halnya SOPHIA robot yang sudah
mendapatkan identitas kewarganegaraan seperti layaknya manusia pada umumnya. Di sisi
sosial nampak jauh berbeda, manusia sebagai mahluk sosial mengisyaratkan manusia untuk
selalu berkumpul, menjalin ikatan emosional, dan mempertegas identitas demi membangun
sebuah peradaban. Namun, hal ini tentu saja sudah sangat jarang terjadi. Jepang misalnya yang
mengalami kekurangan populasi secara drastis diakibatkan para pria di Jepang lebih memilih
robot sex untuk memuaskan nafsunya ketimbang seorang perempuan.

Peran manusia sebagai pusat peradaban kini harus bergelut dengan problematika zaman.
Terkhususnya dikalangan Himpunan Mahasiswa Islam, HMI yang dicitrakan sebagai
organisasi yang selalu menjawab tantangan zaman. Menuntut seluruh kader HMI untuk
menciptakan hal baru demi keberlangsungan keummatan. Dalam lintas sejarah bangsa
Indonesia, HMI begitu berperan penting. Sebuah catatan sejarah telah mengukir peran HMI dari
mengusir para penjajah hingga membubarkan PKI. Hal ini tentu merupakan sebuah catatan
yang gemilang. Bukan hanya sampai disitu saja, hingga saat ini para alumni-alumni HMI masih
tetap berperan aktif dan berkontribusi dalam kemajuan bangsa ini.

Sosok HMI yang sedemikian disebabkan oleh para kader-kadernya yang selalu bersikap
responsif dalam menjawab tantangan zaman. Tumbuhnya kesadaran serta respon yang sifatnya
konstruktif tak terlepas dari sistem pengkaderan yang ada dalam tubuh HMI. Sebagaimana yang
tertuang dalam bab IV pasal 8 Anggaran Dasar HMI bahwa “HMI berfungsi sebagai organisasi
kader”. Pengkaderan merupakan nafas bagi setiap organisasi, dengan adanya pengkaderan
sebuah organisasi dapat menjaga keberlangsungan tongkat estafet kepemimpinan. Di HMI
pengkaderan merupakan budaya untuk menjaga nilai dan eksistensi organisasi. HMI dan
pengkaderanya bagaikan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan untuk membentuk kader yang
mengemban tanggung jawab keislaman dan keindonesiaan.
Meskipun pengkaderan ditubuh HMI sudah menjadi tradisi, bukan berarti tidak ada
tantangan yang mempengaruhi sistem pengkaderan, pengaruh ini bisa datang dari dalam
maupun dari luar yang akan menjadi “penghambat” dan “pembangun” bagi keberlangsungan
organisasi. Untuk itu, seluruh kader HMI agar senantiasa selalu waspada. Pengkaderan dalam
hal ini jangan dipersempit hanya dalam wilayah training saja, karena pengkaderan diawali dari
pra anggota hingga pasca anggota, secara formal maupun informal. Penegasan ini dilakukan
agar lebih muda menganalisa pengaruh secara komprehensif yang senantiasa mempengaruhi
sistem pengkaderan. Pengaruh yang secara nyata dalam proses kaderisasi ialah kemajuan
zaman. Penguasaan teknologi, Bahasa, serta memiliki daya saing yang tinggi haruslah menjadi
pegangan bagi setiap kader HMI. Artinya adalah, sistem pengkaderan harus senantiasa
berkembang sesuai dengan konteks kekinian demi menciptakan kader-kader berkualitas.

Sebuah tawaran baru terhadap problem yang hari ini terjadi. penyatuan nilai-nilai
organisasi dengan metode Internalisasi untuk membentuk kader yang sadar akan tanggung
jawab atas kemaslahatan ummat. Berbicara mengenai nilai-nilai yang ada pada sistem
pengkaderan HMI tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah HMI, konstitusi, dan pedoman-
pedoman dasar organisasi. Selain itu juga perlu dipertimbangkan tentang posisi HMI yang
berkedudukan di Indonesia. Nilai-nilai dalam hal ini akan menjadi asupan utama bagi sistem
pengkaderan sehingga mampu mengintervensi konteks sosial masyarakat sebagai output dari
pengkaderan.

Secara umum internalisasi nilai-nilai diawali oleh simpati; pada posisi ini antara nilai
dengan objek masih ada jarak tetapi sudah ada ketertarikan yang positif sehingga nilai tersebut
hadir secara ontologis di diri objek. Hadirnya nilai pada objek ini penting untuk “membongkar”
nilai lama yang dianggap tidak signifikan terhadap keinginan sistem pengkaderan. Upaya untuk
menghadirkan nilai pada objek pengkaderan tidak bisa dilakukan dengan “sekali pukul” tapi
dilakukan secara bertahap. Dengan di dukung perlengkapan teknis untuk mengvirtualisasikan
realitas diharapkan objek mampu membuka kesadaran terhadap fakta-fakta yang terjadi.

Langkah internalisasi berikutnya adalah empati; pada posisi ini nilai dan objek telah
berada pada irisan yang sama. Ini terjadi akibat dari langkah efektif dari proses simpati. Nilai-
nilai lama telah tergerus dan digantikan dengan nilai baru sesuai dengan keinginan sistem
pengkaderan. Pada posisi ini objek baru berada pada tahap merasakan “romantisme” nilai. Nilai
baginya dianggap telah mampu menyelesaikan persoalan hidupnya. Hal ini wajar terjadi karena
nilai baru tersebut diawali oleh proses simpati bukannya doktrinisasi. Pada tahap empati ini
objek sangat membutuhkan pendampingan karena kalau dibiarkan secara “alami” maka dapat
mengarahkan dirinya pada pemahaman nilai doktrin.

Selanjutnya adalah asimilasi; pada posisi ini sosok objek pengkaderan diharuskan
berinteraksi dengan sosok obyek pengkaderan lainnya. Ini dimaksudkan untuk menyesuaikan
romantisme nilai yang terjadi pada tahap empati. Sang objek mulai me-rasa-kan bahwa ada
romantisme lain yang ternyata berbeda dengan dirinya bahkan bertolak belakang, diharapkan
proses ini akan memunculkan perasaan nilai kolektif. Pada posisi ini pendampingan perlu
semakin intensif dilakukan karena dapat mengarah ke romantisme-emotif yang dapat saja
mengarah pada hal yang destruktif.

Berikutnya adalah “pembauran sempurna”; suatu tahap yang mendudukkan objek


pengkaderan pada realitas persoalan sehingga nilai akan berinteraksi dengan realitas. Di sini
objek yang telah merasakan nilai akan secara perlahan menemukan kedewasaannya; bahwa
nilai ketika bertemu dengan realitas di luar nilai dapat ‘berjabatan tangan” dengan damai.
Konsekuensi logis dari pembauran sempurna ini adalah akan terjadi split personality apabila
tidak dibekali dengan kemampuan membaca realitas dan hal-hal teknis yang signifikan.

Untuk kesempurnaan internalisasi nilai-nilai maka langkah berikutnya adalah “aplikasi


trial-error”; pada tahap ini obyek pengkaderan diberi kesempatan untuk mengaplikasikan nilai
yang telah terinternalisasi dan dibekali oleh kemampuan membaca realitas sebagai peluang dan
hal-hal teknis dengan harapan bahwa ada keberhasilan dan kegagalan. Keberhasilan dan
kegagalan ini penting untuk proses internalisasi karena dengan ini ada proses pematangan
mental-spiritual. Sehingga, apabila hal ini dilakukan berulang-kali, akan semakin memperkuat
mental-spiritualnya. Kekuatan mental-spiritual ini akan menjadi bekal penting bagi kader dalam
berkehidupan. Apalagi ditengah kencangnya arus perubahan yang seringkali tidak linear.
Zaman yang begitu berkembang pesat kekuatan mental-spritual yang akan membentuk nalar
kreatif dan daya kritis untuk terus selalu berkembang seiring perkembangan zaman.

Anda mungkin juga menyukai