0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
91 tayangan10 halaman
Teks tersebut membahas peran mahasiswa dalam pendidikan nasional dan perlunya merevitalisasi peran strategis mahasiswa untuk menjawab tantangan realitas. Ditegaskan bahwa pendidikan saat ini masih terfokus pada pengetahuan teoritis tanpa menyentuh masalah nyata masyarakat, sehingga mahasiswa perlu terlibat langsung dalam penyusunan kurikulum dan pembelajaran berbasis masyarakat.
Teks tersebut membahas peran mahasiswa dalam pendidikan nasional dan perlunya merevitalisasi peran strategis mahasiswa untuk menjawab tantangan realitas. Ditegaskan bahwa pendidikan saat ini masih terfokus pada pengetahuan teoritis tanpa menyentuh masalah nyata masyarakat, sehingga mahasiswa perlu terlibat langsung dalam penyusunan kurikulum dan pembelajaran berbasis masyarakat.
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Teks tersebut membahas peran mahasiswa dalam pendidikan nasional dan perlunya merevitalisasi peran strategis mahasiswa untuk menjawab tantangan realitas. Ditegaskan bahwa pendidikan saat ini masih terfokus pada pengetahuan teoritis tanpa menyentuh masalah nyata masyarakat, sehingga mahasiswa perlu terlibat langsung dalam penyusunan kurikulum dan pembelajaran berbasis masyarakat.
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Pendidikan , Mahasiswa: Pendidikan Berbasisi Realitas Kehidupan Masyarakat Oleh: Epi Suhaepi Membicarakan mengenai pendidikan memang tidak ada habisnya, dengan pendidikan terutama pendidikan Iormal, seseorang mendapatkan sebuah gelar intelektual yang dengannya selalu dipercaya menjadi prasyarat mutlak untuk mendapat sebuah pekerjaan. Berkaitan dengan masalah kepercayaan ini Paulo Freire (1999) dalam terjemahan bukunya Menggugat Pendidikan, menyampaikan bahwa pendidikan sejak semula beriringan dengan kepercayaan. Kepercayaann terhadap siIat hakiki kemanusiaan sendiri, Oleh karena itu dengan rasa kepercayaan yang tinggi terhadap pendidikan, mereka (orangtua) bekerja keras untuk menyekolahkan anak-anaknya dengan berbagai alasan-alasan yang sering kita dengar dalam obrolan-obrolan didalam masyarakat. Walaupun dengan biaya pendidikan yang makin menggunung, mereka tidak peduli yang penting anaknya bisa sekolah, lulus kemudian dapat mengamalkan ilmunya (bekerja). Padahal ada masalah lain yang lebih besar dalam tubuh pendidikan itu sendiri tapi jarang terlintas diIikiran mereka. Pendidikan selalu (seharusnya) berhubungan dengan tema-tema dan problem kemanusiaan. Artinya, pendidikan di selenggarakan dalam rangka untuk memberikan peluang bagi pengakuan derajat kemanusiaan. Minimal, manusia dihargai sebagai manusia. Pendidikan diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Akan tetapi, model pendidikan yang sekarang hanya membebani siswa dengan hapalan-hapalan rumus, teori, sekedar mengerjakan soal, tapi seringkali tidak sanggup untuk menerjemahkan kedalam realitas sosial. Fidaus M. Yunus (2004) menyampaikan keresahannya dalam buku 'Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, secara gamblang dia menuturkan mengenai Ienomena penyelenggaraan pendidikan yang hanya sekedar 'transfer of knowledge' sehingga kurang menyentuh aspek riil permasalahan masyarakat. Dalam buku itu digambarkan realitas pendidikan di indonesia sekaligus menunjukan betapa pentingnya pendidikan berbasis realitas sosial sebagai paradigma. Sebelumnya, Paulo Fraire (1976;214), mantan Menteri Pendidkan kota Sao Paolo Brazil tahun 1988 telah menyampaikan anggapannya, bahwa pendidikan merupakan ikhtiar untuk mengembalikan Iungsi pendidikan sebagai alat untuk ker[a keras karya nyaLa"
membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan yang dialami oleh masyarakat;baik dari soal kebodohan sampai ketertinggalan. Pendidikan menjadi tercabut dari problem riil yang seharusnya mereka jawab dan selesaikan. Menurut Chaedar Alwasih (1993;23) pendidikan kita selama ini hanya berIungsi untuk 'membunuh kreativitas siswa, karena lebih mengedepankan aspek verbalisme. Verbalisme merupakan suatu asas pendidikan yang menekankan hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan Iormulasi daripada substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian serta hura-hura klsikal bukanya petualangan intelektual. Model pendidikan seperti ini dikritik oleh Paulo Freire (1970;119) sebagai banking education, yaitu suatu model pendidikan yang tidak kritis, karena hanya diarahkan untuk domestiIikasi, penjinakan, penyesuaian sosial dengan keadaan penindasan. Melalui model pendidikan ini, menurut Chaedar Alwasih (1993;26) mungkin siswa hapal berbagai kosa kata, seperti kamus, furnal, tabloid, ensiklopedi, tapi tidak pernah melihatnya diperpustakaan. Dalam kondisi yang sudah seperti ini maka di perlukan adanya tindakan inovatiI dan kreatiI yang hanya dapat dilakukan oleh para intelektual-intelektual idealis yang tidak terkait kepentingan-kepentingan sesaat. Revitalisai Peran Strategis Mahasiswa untuk Menjawab Tantangan Realitas Perbincangan diseputar pendidikan adalah pada hakikatnya perbincangan mengenai manusia itu sendiri, artinya perbincangan diri sendiri sebagai yang berhak mendapatkan pendidikan. Mari kita telaah terlebih dahulu perbincangan mengenai manusia dikampus: mahasiswa. Sebagian aktivitas para mahasiswa senantiasa dihabiskan dengan hanya belajar dikelas, menerima dan mengerjakan tugas dan bermain. Begitulah pemandangan suram yang sering kita lihat dalam dunia kampus. Barangkali, apabila karena Iaktor internal (karena mahasiswa itu sendiri) maka bisa kita maklumi. Akan tetapi apabila hal ini karena akibat sistem yang membuat mereka seperti itu dalam kehidupan kampus, maka bukan waktunya lagi mahasiswa untuk diam dan jalan ditempat. Mari kita cermati, akibat tepenjaranya gagasan- gagasan mereka (mahasiswa) yang cerdas, maka tidak heran apabila kita melihat berbagai organisasi mahasiswa hanya terlihat nampak hidup dalam kampus (action in the box) bagaikan lembaga seminar, komunitas pembuat proposal, tempat mengobrol dan lain sebagainya. Walaupun begiru, ditengah meningkatnya atmosIer wabah hedonisme` yang menjangkit para mahasiswa masih kita lihat dan menemukan sosok-sosok mahasiswa idealis yang walaupun ker[a keras karya nyaLa"
mereka kaum minoritas tapi peran mereka mayoritas dalam memberikan solusi terhadap masalah yang ada,tentunya dengan kecerdasan pembuatan kebijakan-kebijakan yang mereka buat. Terdapat tiga 'saham pendidikan yang itu menjadi bahan dasar miniatur pendidik Iormal, yaitu mahasiswa sebagai agen pembelajar, sistem sebagai rule and law, dan kampus yang menjadi muara tempat mereka menimba ilmu. Sebagai sebuah bangunan, kampus membutuhkan dua bahan dasar utama : akademisi (mahasiswa) dan sistem. Apabila kedalam unsur utama itu kita masukan unsur knowledge dan unsur leadership maka ketiga unsur utama tersebut akan bersinergi dan tumbuh secara cepat. Walaupun secara implisit sebenarnya unsur knowledge sudah masuk kedalam sistem dan unsur leadership sudah masuk kedalam unsur manusia yang mana antara manusia dan sistem itu bersinergi dalam suatu wadah yang dinamakan kampus. Oleh karena itu tahapan langkah yang harus dilakukan adalah; Pertama, Tingkatkan kualitas manusia itu sendiri terutama mahasiswa. Manusialah yang akan mengisi suprastruktur, baik mahasiswa maupun dosen (birokrat) sehingga upaya peningkatan kualitas para akademisi mutlak harus dilakukan, misalnya diklat kepemimpinan. Tahapan pertama ini dapat menghilangkan atau minimal meminimalisir siklus permanen dari tahun ke tahun yang 'terwariskan oleh sebuah sistem budaya mahasiswa, yang apabila mereka melakukannya terasa sudah biasa dan pada akhirnya menghasilkan keikutsertaan yang mengasyikan tanpa memIungsikan asset kecerdasan sebagai landasan berIikir dan bertindak. 'Apatisme, virus inilah yang senantiasa menjadi perusak kecerdasan intelektualitas para pewaris peradaban di kampus. Menuju Kematangan Gerakan dari Suatu Proses Gagasan Kampus dalam persoalan ini adalah masalah kedua. Sebab yang mendiami didalamnya adalah manusia. Karena, kampus hanya akan menjadi penting ketika diisi oleh manusia-manusia yang siap mengabdi dan mereka membentuk komunitas sebagai agen pelaksana misi tridarma perguruan tinggi dalam wilayah teritorial untuk bergerak secara kolektiI, legal dan di akui sebagai lembaga Iormal tempat menimba ilmu (lembaga pendidikan). Oleh karena itu, gerak yang dilakukan oleh masyarakat kampus terutama mahasiswa seharusnya adalah sebuah 'metamorphosis out the box (campus)`.Akan tetapi proses metamorIosis ini tidak akan terasa indah tanpa ada bungkus (sistem) yang membuatnya indah dan tepat guna. Indah dalam pelaksanannya dan tepat guna dalam sasarannya. Sehingga, tahapan kedua adalah Perbaikan Sistem. Upaya yang dapat dilakukan adalah menata kembali sistem pembelajaran dikampus yang ker[a keras karya nyaLa"
berorientasi tidak hanya dalam prestasi dan belajar yang didapat wilayah teritorial kampus tapi harus juga langsung terjun ke masyarakat (out the box). Tanpa upaya ini, pemikiran-pemikiran mereka yang ingin memainkan peran sebagai problem solver telah terpenjara oleh agenda rutinitas kampus. Mungkin bisa dimaklumi apabila sistem menghendaki agar bagi mahasiswa semester-semester awal untuk terlebih dahulu menguasai konsep-konsep yang sangat ideal, tapi siklus tahunan belajar seperti itu tidak bisa dimaklumi lagi bagi tahun-tahun seterusnya yang mana mahasiswa membutuhkan pembelajaran realita yang hanya mereka dapatkan langsung terjun dimasyarakat. Apabila dalam langkah pertama dijelaskan bahwa manusialah yang akan mengisi suprastruktur,. maka sistem adalah perangkat lunak (sofware), yang didalamnya menerangkan tentang sesuatu dengan apa kampus bekerja. Dengan demikian, kampus yang sudah ideal sebagai gudangnya agen pelaksana misi tridarma perguruan tinggi yang ada dalam wilayah teritorial untuk bergerak secara kolektiI, legal dan di akui maka perlu dilibatkannya unsur akademisi dari mahasiswa dalam pembuatan,pelaksanaaan dan pengawalan proses pembelajaran dikampus. Hal ini perlu dilakukan karena mahasiswa itu sendiri yang akan menjadi konseptor dan aktor lapangan dimasa depan. Sejarah menghendaki kita melangkah lebih cepat untuk menyelamatkan bangsa ini. Tanpa bermaksud pesimis, barangkali merupakan kesalahan besar bagi kita untuk membebankan tugas sejarah ini kepada orang tua kita sekarang, karena anak-anak muda adalah energi peradaban yang senantiasa mengalirkan sungai sejarah, mereka bergerak dan berdiri digaris depan menyambut panggilan sejarah. Hal ini mungkin dirasa berlebihan, akan tetapi akan terasa berat bila kita ingin mewujudkan tujuan pendidikan itu sendiri (pasal 3 UU No 20 tahun 2003) yaitu untuk mencipatakan manusia yng beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatiI, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Mempertemukan Potensi Mahasiswa dengan Realitas Sosial Masyarakat Apabila mahasiswa dikampus masih dalam tataran 'experiment to learn` maka didalam kehidupan masyarakat, mahasiswa diajarkan 'experiment to action` yang kemudian setelah itu barulah ketika mereka benar-benar lulus dari kampus dan membaur dengan masyarkat maka itulah saatnya 'given the real contribution`, bukan waktunya experiment lagi . Oleh karena itu mahasiswa mempunyai potensi sebagai perencana sosial yang ulung yang mampu ker[a keras karya nyaLa"
mentransIormasikan wacana menjadi sebuah gerakan yang mana pikiran mereka adalah arah, sedangkan gerakannya adalah tanda kehidupan. Sejarah selalu menasehati kita dalam memberikan contoh tauladan seperti pada tahun 1970, gerakan mahasiswa yang waktu itu dimotori oleh Wilopo berani bergerak melawan praktek korupsi pemerintahan Orde Baru yang kemudian membentuk Gerakan Anti korupsi, belum lagi sejarah Ienomenal reIormasi tahun 1998 yang dikawal oleh mahasiswa, mereka bagaikan suatu arus yang mengalir deras karena segala aktivitas mereka dibendung oleh sistem otoriter yang menjadi contoh kebijakannya di kampus adalah Normalisasi Kehidupan Kampus yang kita kenal dengan nama NKK/BKK. Gerakan-gerakan yang dimotori Wilopo tahun 1970 dan reIormasi yang dimotori mahasiswa tahun 1998 merupakan tindakan yang telah menuju kematangan gerakan dari sebuah proses pemikiran untuk menyatu dengan realitas sosial. Apabila ketiga 'saham pendidikan ini (kampus, sistem dan mahasiswa) telah bersinergi menuju kematangannya maka dengan penuh kebanggaan, mereka (mahasiswa) harus di antarkan dengan karpet merah untuk melakukan misi selanjutnya, yaitu 'Ekspansi Akademik agar keluar dari kampus dan menyatu dengan realitas sosial., karena proses kebangkitan sebuah bangsa pertama-tama harus dipandang sebagai sebuah peradaban yang besar dan kompleks yang tentunya mencangkup masyarakat luas. Dengan performance kampus yang ideal, sistem out the box oriented dan dijalankan oleh aktor idealis dengan keberhasilan dalam naIas gerakannya, maka melalui gerak kontribusi yang keluar dari kampus akan terciptalah 'Intelek Yang Memasyarakat yang siap memberikan kontribusi nyata dan berjanji pada sejarah untuk pantang menyerah. Intelek Yang Memasyarakat adalah peran strategis dengan pemikiran idealis yang dengan potensi dan gagasannya akan mampu menjadi obat penawar dari realitas sosial masyarakat yang kompleks. Inilah yang kita sebut mempertemukan potensi mahasiswa dengan realitas sosial masyarakat. Sehingga kita dapat memandang lebih jauh bahwa bagaimana kontribusi mahasiswa kepada masyarakat ini dapat mengejewantahkan kehendak-kehendak masyarakat yang ideal yang sering kita sebut sebagai masyarakat madani (civil society).
ker[a keras karya nyaLa"
Pendidikan ,, Mahasiswa Berbasis Kurikulum Realitas Sosial Apa yang kita Iikirkan dengan melihat dan merasakan suatu proses pendidikan di abad 21 ini? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita menyelami apa yang di sampaikan oleh Firdaus M. Yunus (2004) menuturkan bahwa selama ini pendidikan yang ada dirasa tidak sejalan dengan kenyataan yang dihadapi siswa didalam masyarakat tempat mereka hidup. Padalah output yang ingin dihasilkan dari proses pendidikan adalah terciptanya manusia-manusia yang dapat memecahkan masalah yang ada dilingkungannya, minimal dapat memberikan solusi dan kontribusi di tingkat lokal. Hal ini mengandung artian bahwa proses pendidikan yang dilakukan seharusnya mengandung substansi pelajaran dengan muatan lokal yang signiIikan dengan kebutuhan masyarakat. Bagaimana mungkin dapat terbentuk manusia-manusia yang keluar dari proses pendidikan yang mengerti akan kebutuhan lokal manakala dalam proses pembelajarannya tidak menyentuh dengan kebutuhan-kebutuhan yang mengakar dalam masyarakat. Sebenarnya kalau kita telaah lebih lanjut dengan analisis kondisi sekarang, yang kemudian hal ini dihubungkan dengan peran serta mahasiswa, maka apa yang disampaikan oleh Firdaus M. Yunus ini cukup menyentil mengenai kontribusi mahasiswa dalam pelaksaan program KKN-PPL di masyarakat maupun sekolah. Pelaksanaan program KKN-PPL yang dilakukan mahasiswa seharusnya menjadi program andalan dalam menjawab tantangan realitas sosial masyarakat dan bukan sebaliknya, program yang mereka canangkan tidak menyentuh dengan kebutuhan- kebutuhan yang mengakar dalam masyarakat. Oleh karena itu ada berapa tahap yang harus mahasiswa lakukan dalam upaya pelaksanaan pendidikan yang memadukan antara realitas sosial dengan kebutuhan masyarakat yang akan melahirkan pemecahan masalah yang kita sebut solusi. Pertama, program KKN: pembangunan infrastruktur dan peningkatan suprastruktur . Dalam pelaksanaan KKN jangan hanya menitiberatkan pada pembangunan Iisik semata seperti memperbaiki sarana prasarana sekolah dan Iasilitasnya, perbaikan jalan, mengecet, membuat papan arah penunjuk lokasi dan lain sebagainya yang ketika selesai hanya meninggalkan simbol- simbol belaka. Sehingga perlu upaya program peningkatan sumber daya manusia yang berorientasi pada terciptanya manusia yang memilki kemampuan tertentu yang dengan kemampuannya dapat memecahkahkan masalah sosial yang ada dan dapat membentuk manusia baru yang memiliki kemampuan minimal sama dengan dia. ker[a keras karya nyaLa"
Program ini biasanya menitikberatkan pada human development seperti training soft skill.Leadership dan enterpreneuship, training ESQ dan lain-lain Kedua, Program PPL: Kurikulum berbasis realitas sosial masyarakat (hadap masalah). Penerapan Pendidikan hadap masalah berimplikasi pada pergeseran konsep mengajar yang tidak hanya dipahami sebagai pemindahan pengetahuan dengan hapalan (verbalisme), melainkan mendorong siswa belajar untuk belajar (leran to learn). Belajar dengan demikian adalah prsoses belajar yang kritis dan dinamis bukan mekanis belaka. Hal ini karena, keberhasilan siswa belajar untuk belajar semakin mendorong terciptanya keluaran pendidikan yang selalu terus belajar dan mengembangkan diri secara mandiri sehingga mampu melakukan upaya transIormasi sosial secara kritis dan cerdas. Seorang antropolog Norwegia, Oyvind Swandbukt yang mengadakan penelitian dikalangan suku Kubu di Jambi yang mengungkapkan tentang pendidikan pada orang Kubu; tentang sosialisasi, transmisi pengetahuan tentang kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ditunjukan olehnya bahwa suku yang dinilai primitiI atau terasing memliki pengetahuan yang mengangumkan tentang lingkungan hidupnya dihutan tropis. Pengetahuan yang sudah menjadi satu paket untuk siap hidup dihutan belantara, tentunya diperoleh melalui proses belajar yang panjang dan dikukuhkan dalam kurikulum` yang tidak tertulis, atau dalam satu sistem pendidikan yang berpijak dibumi sendiri. Maka ketika sebagian orang Kubu ini dimukimkan kembali` seperti masyarakat lainnya, dan anak-anak mereka ditawari sistem pendidikan modern pada umumnya, mereka akan teras tercabut dari akar kehidupannya yang paling dalam. Anak- anak pedesaaan, pedalaman, nelayan, sebagian dikota, adalah anak-anak pinggiran yang luput dari perhatia kurikulum. Mereka terbiasa belajar sambil bekerja (St. Kartono, bernas, 22/10/1996). Ketiga, ommunity Development (Desa Binaan). Disinilah kelebihan mahasiswa daripada pemerintah yang seharusnya menjadi 'pelayan masyarakat. Jaringan sosial antara mahasiswa dengan masyarakat yang makin mesra antar keduanya dan kemudian terjalin konsensus bersama untuk saling bekerjasama antar keduanya secara permanen yang pada akhirnya akan membentuk suatu program yang bisa kita sebut dengan desa binaan`. Kita semua tahu bahwa Kuliah Kerja Nyata yang dilakukan oleh mahasiswa dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat tidak akan bertahan lama, karena mengingat waktu KKN hanya sekitar 3 (tiga) bulan. Oleh karena itu perlu ada ollow Up secara permanen yang harus dilakukan mahasiswa tanpa ada keterikatan hukum dengan pihak kampus. ker[a keras karya nyaLa"
Menurut M.Yanuar (2007) ComDev semacam ini umumnya tidak direncanakan sebelumnya, namun secara alami terbentuk karena kebutuhan masyarakat akan tenaga terpelajar serta kesadaran mahasiswa mengenai perlunya social relationship untuk meningkatkan acceptability masyarakat sekitar terhadap kehadiran mereka. Mahasiswa tahu apa yang diperlukan oleh masyarakat, mengetahui cara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, serta memiliki kemampuan dan keinginan untuk mewujudkannya Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonIormal berbasis masyarakat dalam desa binaan, yakni pendidikan nonIormal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Selain itu pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup Ada beberapa keuntungan yang akan didapatkan. Pertama, masyarakat diuntungkan dengan adanya program tersebut, di sisi lain, kelompok mahasiswa bisa mengadakan bahan riset gratis bagi penelitiannya, karena tidak hanya hal-hal teknis yang bisa kita berikan untuk mentransIer ilmu pengetahuan kepada masyarakat tapi juga hasil kekayaan intelektual dari suatu penelitian. Selain dari pada itu kerjasama yang dilakukan oleh mahasiswa dengan masyarakat langsung menyentuh masyarakat dalam tataran horizontal (masyarakat menengah ke bawah). Kedua, peran mahasiswa sebagai kaum menengah menjadi sangat vital sebagai mediator penghubung antara masyarakat bawah dengan kaum elit, dengan statusnya sebagai kaum intelektual mereka sekaligus dapat menjangkau kalangan atas dan bawah.
ker[a keras karya nyaLa"
Penutup Menuju Gerakan Pemecahan Masalah Sosial Pendidikan diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Fidaus M. Yunus (2004) menyampaikan keresahannya dalam buku 'Pendidikan Berbasis Realits Sosial`, secara gamblang dia menuturkan mengenai Ienomena penyelenggaraan pendidikan yang hanya sekedar 'transfer of knowledge' sehingga kurang menyentuh aspek riil permasalahan masyarakat. Dalam buku itu digambarkan realitas pendidikan di indonesia sekaligus menunjukan betapa pentingnya pendidikan berbasis realitas sosial sebagao paradigma. Perbincangan diseputar pendidikan adalah pada hakikatnya perbincangan mengenai manusia itu sendiri, artinya perbincangan diri sendiri sebagai yang berhak mendapatkan pendidikan. Terdapat tiga 'saham pendidikan yang itu menjadi bahan dasar miniatur pendidik Iormal, yaitu mahasiswa sebagai agen pembelajar, sistem sebagai rule and law, dan kampus yang menjadi muara tempat mereka menimba ilmu. Sebagai sebuah bangunan, kampus membutuhkan dua bahan dasar utama : akademisi (mahasiswa) dan sistem. Apabila ketiga 'saham pendidikan ini (kampus, sistem dan mahasiswa) telah bersinergi menuju kematangannya maka dengan penuh kebanggaan, mereka (mahasiswa) harus di antarkan dengan karpet merah untuk melakukan misi selanjutnya, yaitu 'Ekspansi Akademik agar keluar dari kampus dan menyatu dengan realitas sosial., karena proses kebangkitan sebuah bangsa pertama- tama harus dipandang sebagai sebuah peradaban yang besar dan kompleks yang tentunya mencangkup masyarakat luas. Potensi-potensi yang dimiliki mahasiswa merupakan amunisi mutakhir` dalam pemberantasan problematika yang ada dalam masyarakat terutama dalam lingkup pendidikannya. Mereka yang sudah tercerahkan dari dunia kampus harus melakukan pencerahan kembali kepada masyarakat yang mana dengan segala keterbatasannya, masyarakat tidak bisa mendapatkan pencerahan itu dikampus. Dengan program pemberdayaan manusia sebagai aset permanen, kurikulum berbasis realitas sosial masyarakat dan pembentukan ComDev dapat dilakukan mahasiswa dalam membantu masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Jika sudah demikian, mungkin tidak terlalu memaksakan apabila kita mengatakan bahwa mahasiswa merupakan ikut andil memegang saham kebangkitan! Semoga... 10 ker[a keras karya nyaLa"
Daftar Referensi Paulo Freire dkk,1999, Menggugat Pendidikan (undamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis), Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Rosyadi, Khoiron, 2004, Pendidikan Profetik, Pustaka Pelajar: Yogyakarta Yunus, Firdaus,M, 2004, Pendidikan Berbasis Realita Sosial, Logung Pustaka: Yogyakarta
Kepribadian: Pengantar ilmu kepribadian: apa itu kepribadian dan bagaimana menemukan melalui psikologi ilmiah bagaimana kepribadian mempengaruhi kehidupan kita