Anda di halaman 1dari 10

1 ker[a keras karya nyaLa"

Peran Mahasiswa Dalam Pendidikan Nasional


Pendidikan , Mahasiswa: Pendidikan Berbasisi Realitas Kehidupan Masyarakat
Oleh: Epi Suhaepi
Membicarakan mengenai pendidikan memang tidak ada habisnya, dengan pendidikan
terutama pendidikan Iormal, seseorang mendapatkan sebuah gelar intelektual yang dengannya
selalu dipercaya menjadi prasyarat mutlak untuk mendapat sebuah pekerjaan. Berkaitan dengan
masalah kepercayaan ini Paulo Freire (1999) dalam terjemahan bukunya Menggugat
Pendidikan, menyampaikan bahwa pendidikan sejak semula beriringan dengan kepercayaan.
Kepercayaann terhadap siIat hakiki kemanusiaan sendiri, Oleh karena itu dengan rasa
kepercayaan yang tinggi terhadap pendidikan, mereka (orangtua) bekerja keras untuk
menyekolahkan anak-anaknya dengan berbagai alasan-alasan yang sering kita dengar dalam
obrolan-obrolan didalam masyarakat. Walaupun dengan biaya pendidikan yang makin
menggunung, mereka tidak peduli yang penting anaknya bisa sekolah, lulus kemudian dapat
mengamalkan ilmunya (bekerja). Padahal ada masalah lain yang lebih besar dalam tubuh
pendidikan itu sendiri tapi jarang terlintas diIikiran mereka. Pendidikan selalu (seharusnya)
berhubungan dengan tema-tema dan problem kemanusiaan. Artinya, pendidikan di
selenggarakan dalam rangka untuk memberikan peluang bagi pengakuan derajat kemanusiaan.
Minimal, manusia dihargai sebagai manusia.
Pendidikan diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai
persoalan hidup yang melingkupinya. Akan tetapi, model pendidikan yang sekarang hanya
membebani siswa dengan hapalan-hapalan rumus, teori, sekedar mengerjakan soal, tapi
seringkali tidak sanggup untuk menerjemahkan kedalam realitas sosial. Fidaus M. Yunus (2004)
menyampaikan keresahannya dalam buku 'Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, secara
gamblang dia menuturkan mengenai Ienomena penyelenggaraan pendidikan yang hanya sekedar
'transfer of knowledge' sehingga kurang menyentuh aspek riil permasalahan masyarakat. Dalam
buku itu digambarkan realitas pendidikan di indonesia sekaligus menunjukan betapa pentingnya
pendidikan berbasis realitas sosial sebagai paradigma. Sebelumnya, Paulo Fraire (1976;214),
mantan Menteri Pendidkan kota Sao Paolo Brazil tahun 1988 telah menyampaikan anggapannya,
bahwa pendidikan merupakan ikhtiar untuk mengembalikan Iungsi pendidikan sebagai alat untuk
ker[a keras karya nyaLa"

membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan yang dialami oleh
masyarakat;baik dari soal kebodohan sampai ketertinggalan.
Pendidikan menjadi tercabut dari problem riil yang seharusnya mereka jawab dan
selesaikan. Menurut Chaedar Alwasih (1993;23) pendidikan kita selama ini hanya berIungsi
untuk 'membunuh kreativitas siswa, karena lebih mengedepankan aspek verbalisme.
Verbalisme merupakan suatu asas pendidikan yang menekankan hapalan bukannya pemahaman,
mengedepankan Iormulasi daripada substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya
kemandirian serta hura-hura klsikal bukanya petualangan intelektual. Model pendidikan seperti
ini dikritik oleh Paulo Freire (1970;119) sebagai banking education, yaitu suatu model
pendidikan yang tidak kritis, karena hanya diarahkan untuk domestiIikasi, penjinakan,
penyesuaian sosial dengan keadaan penindasan. Melalui model pendidikan ini, menurut Chaedar
Alwasih (1993;26) mungkin siswa hapal berbagai kosa kata, seperti kamus, furnal, tabloid,
ensiklopedi, tapi tidak pernah melihatnya diperpustakaan. Dalam kondisi yang sudah seperti ini
maka di perlukan adanya tindakan inovatiI dan kreatiI yang hanya dapat dilakukan oleh para
intelektual-intelektual idealis yang tidak terkait kepentingan-kepentingan sesaat.
Revitalisai Peran Strategis Mahasiswa untuk Menjawab Tantangan Realitas
Perbincangan diseputar pendidikan adalah pada hakikatnya perbincangan mengenai
manusia itu sendiri, artinya perbincangan diri sendiri sebagai yang berhak mendapatkan
pendidikan. Mari kita telaah terlebih dahulu perbincangan mengenai manusia dikampus:
mahasiswa. Sebagian aktivitas para mahasiswa senantiasa dihabiskan dengan hanya belajar
dikelas, menerima dan mengerjakan tugas dan bermain. Begitulah pemandangan suram yang
sering kita lihat dalam dunia kampus. Barangkali, apabila karena Iaktor internal (karena
mahasiswa itu sendiri) maka bisa kita maklumi. Akan tetapi apabila hal ini karena akibat sistem
yang membuat mereka seperti itu dalam kehidupan kampus, maka bukan waktunya lagi
mahasiswa untuk diam dan jalan ditempat. Mari kita cermati, akibat tepenjaranya gagasan-
gagasan mereka (mahasiswa) yang cerdas, maka tidak heran apabila kita melihat berbagai
organisasi mahasiswa hanya terlihat nampak hidup dalam kampus (action in the box) bagaikan
lembaga seminar, komunitas pembuat proposal, tempat mengobrol dan lain sebagainya.
Walaupun begiru, ditengah meningkatnya atmosIer wabah hedonisme` yang menjangkit para
mahasiswa masih kita lihat dan menemukan sosok-sosok mahasiswa idealis yang walaupun
ker[a keras karya nyaLa"

mereka kaum minoritas tapi peran mereka mayoritas dalam memberikan solusi terhadap masalah
yang ada,tentunya dengan kecerdasan pembuatan kebijakan-kebijakan yang mereka buat.
Terdapat tiga 'saham pendidikan yang itu menjadi bahan dasar miniatur pendidik
Iormal, yaitu mahasiswa sebagai agen pembelajar, sistem sebagai rule and law, dan kampus yang
menjadi muara tempat mereka menimba ilmu. Sebagai sebuah bangunan, kampus membutuhkan
dua bahan dasar utama : akademisi (mahasiswa) dan sistem. Apabila kedalam unsur utama itu
kita masukan unsur knowledge dan unsur leadership maka ketiga unsur utama tersebut akan
bersinergi dan tumbuh secara cepat. Walaupun secara implisit sebenarnya unsur knowledge
sudah masuk kedalam sistem dan unsur leadership sudah masuk kedalam unsur manusia yang
mana antara manusia dan sistem itu bersinergi dalam suatu wadah yang dinamakan kampus.
Oleh karena itu tahapan langkah yang harus dilakukan adalah; Pertama, Tingkatkan kualitas
manusia itu sendiri terutama mahasiswa. Manusialah yang akan mengisi suprastruktur, baik
mahasiswa maupun dosen (birokrat) sehingga upaya peningkatan kualitas para akademisi mutlak
harus dilakukan, misalnya diklat kepemimpinan. Tahapan pertama ini dapat menghilangkan atau
minimal meminimalisir siklus permanen dari tahun ke tahun yang 'terwariskan oleh sebuah
sistem budaya mahasiswa, yang apabila mereka melakukannya terasa sudah biasa dan pada
akhirnya menghasilkan keikutsertaan yang mengasyikan tanpa memIungsikan asset kecerdasan
sebagai landasan berIikir dan bertindak. 'Apatisme, virus inilah yang senantiasa menjadi
perusak kecerdasan intelektualitas para pewaris peradaban di kampus.
Menuju Kematangan Gerakan dari Suatu Proses Gagasan
Kampus dalam persoalan ini adalah masalah kedua. Sebab yang mendiami didalamnya
adalah manusia. Karena, kampus hanya akan menjadi penting ketika diisi oleh manusia-manusia
yang siap mengabdi dan mereka membentuk komunitas sebagai agen pelaksana misi tridarma
perguruan tinggi dalam wilayah teritorial untuk bergerak secara kolektiI, legal dan di akui
sebagai lembaga Iormal tempat menimba ilmu (lembaga pendidikan). Oleh karena itu, gerak
yang dilakukan oleh masyarakat kampus terutama mahasiswa seharusnya adalah sebuah
'metamorphosis out the box (campus)`.Akan tetapi proses metamorIosis ini tidak akan terasa
indah tanpa ada bungkus (sistem) yang membuatnya indah dan tepat guna. Indah dalam
pelaksanannya dan tepat guna dalam sasarannya. Sehingga, tahapan kedua adalah Perbaikan
Sistem. Upaya yang dapat dilakukan adalah menata kembali sistem pembelajaran dikampus yang
ker[a keras karya nyaLa"

berorientasi tidak hanya dalam prestasi dan belajar yang didapat wilayah teritorial kampus tapi
harus juga langsung terjun ke masyarakat (out the box).
Tanpa upaya ini, pemikiran-pemikiran mereka yang ingin memainkan peran sebagai
problem solver telah terpenjara oleh agenda rutinitas kampus. Mungkin bisa dimaklumi apabila
sistem menghendaki agar bagi mahasiswa semester-semester awal untuk terlebih dahulu
menguasai konsep-konsep yang sangat ideal, tapi siklus tahunan belajar seperti itu tidak bisa
dimaklumi lagi bagi tahun-tahun seterusnya yang mana mahasiswa membutuhkan pembelajaran
realita yang hanya mereka dapatkan langsung terjun dimasyarakat. Apabila dalam langkah
pertama dijelaskan bahwa manusialah yang akan mengisi suprastruktur,. maka sistem adalah
perangkat lunak (sofware), yang didalamnya menerangkan tentang sesuatu dengan apa kampus
bekerja. Dengan demikian, kampus yang sudah ideal sebagai gudangnya agen pelaksana misi
tridarma perguruan tinggi yang ada dalam wilayah teritorial untuk bergerak secara kolektiI, legal
dan di akui maka perlu dilibatkannya unsur akademisi dari mahasiswa dalam
pembuatan,pelaksanaaan dan pengawalan proses pembelajaran dikampus. Hal ini perlu
dilakukan karena mahasiswa itu sendiri yang akan menjadi konseptor dan aktor lapangan dimasa
depan. Sejarah menghendaki kita melangkah lebih cepat untuk menyelamatkan bangsa ini. Tanpa
bermaksud pesimis, barangkali merupakan kesalahan besar bagi kita untuk membebankan tugas
sejarah ini kepada orang tua kita sekarang, karena anak-anak muda adalah energi peradaban yang
senantiasa mengalirkan sungai sejarah, mereka bergerak dan berdiri digaris depan menyambut
panggilan sejarah. Hal ini mungkin dirasa berlebihan, akan tetapi akan terasa berat bila kita ingin
mewujudkan tujuan pendidikan itu sendiri (pasal 3 UU No 20 tahun 2003) yaitu untuk
mencipatakan manusia yng beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatiI, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Mempertemukan Potensi Mahasiswa dengan Realitas Sosial Masyarakat
Apabila mahasiswa dikampus masih dalam tataran 'experiment to learn` maka didalam
kehidupan masyarakat, mahasiswa diajarkan 'experiment to action` yang kemudian setelah itu
barulah ketika mereka benar-benar lulus dari kampus dan membaur dengan masyarkat maka
itulah saatnya 'given the real contribution`, bukan waktunya experiment lagi . Oleh karena itu
mahasiswa mempunyai potensi sebagai perencana sosial yang ulung yang mampu
ker[a keras karya nyaLa"

mentransIormasikan wacana menjadi sebuah gerakan yang mana pikiran mereka adalah arah,
sedangkan gerakannya adalah tanda kehidupan.
Sejarah selalu menasehati kita dalam memberikan contoh tauladan seperti pada tahun
1970, gerakan mahasiswa yang waktu itu dimotori oleh Wilopo berani bergerak melawan
praktek korupsi pemerintahan Orde Baru yang kemudian membentuk Gerakan Anti korupsi,
belum lagi sejarah Ienomenal reIormasi tahun 1998 yang dikawal oleh mahasiswa, mereka
bagaikan suatu arus yang mengalir deras karena segala aktivitas mereka dibendung oleh sistem
otoriter yang menjadi contoh kebijakannya di kampus adalah Normalisasi Kehidupan Kampus
yang kita kenal dengan nama NKK/BKK. Gerakan-gerakan yang dimotori Wilopo tahun 1970
dan reIormasi yang dimotori mahasiswa tahun 1998 merupakan tindakan yang telah menuju
kematangan gerakan dari sebuah proses pemikiran untuk menyatu dengan realitas sosial.
Apabila ketiga 'saham pendidikan ini (kampus, sistem dan mahasiswa) telah bersinergi
menuju kematangannya maka dengan penuh kebanggaan, mereka (mahasiswa) harus di antarkan
dengan karpet merah untuk melakukan misi selanjutnya, yaitu 'Ekspansi Akademik agar keluar
dari kampus dan menyatu dengan realitas sosial., karena proses kebangkitan sebuah bangsa
pertama-tama harus dipandang sebagai sebuah peradaban yang besar dan kompleks yang
tentunya mencangkup masyarakat luas. Dengan performance kampus yang ideal, sistem out the
box oriented dan dijalankan oleh aktor idealis dengan keberhasilan dalam naIas gerakannya,
maka melalui gerak kontribusi yang keluar dari kampus akan terciptalah 'Intelek Yang
Memasyarakat yang siap memberikan kontribusi nyata dan berjanji pada sejarah untuk pantang
menyerah. Intelek Yang Memasyarakat adalah peran strategis dengan pemikiran idealis yang
dengan potensi dan gagasannya akan mampu menjadi obat penawar dari realitas sosial
masyarakat yang kompleks. Inilah yang kita sebut mempertemukan potensi mahasiswa dengan
realitas sosial masyarakat. Sehingga kita dapat memandang lebih jauh bahwa bagaimana
kontribusi mahasiswa kepada masyarakat ini dapat mengejewantahkan kehendak-kehendak
masyarakat yang ideal yang sering kita sebut sebagai masyarakat madani (civil society).



ker[a keras karya nyaLa"


Pendidikan ,, Mahasiswa Berbasis Kurikulum Realitas Sosial
Apa yang kita Iikirkan dengan melihat dan merasakan suatu proses pendidikan di abad 21
ini? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita menyelami apa yang di sampaikan oleh
Firdaus M. Yunus (2004) menuturkan bahwa selama ini pendidikan yang ada dirasa tidak sejalan
dengan kenyataan yang dihadapi siswa didalam masyarakat tempat mereka hidup. Padalah output
yang ingin dihasilkan dari proses pendidikan adalah terciptanya manusia-manusia yang dapat
memecahkan masalah yang ada dilingkungannya, minimal dapat memberikan solusi dan
kontribusi di tingkat lokal. Hal ini mengandung artian bahwa proses pendidikan yang dilakukan
seharusnya mengandung substansi pelajaran dengan muatan lokal yang signiIikan dengan
kebutuhan masyarakat. Bagaimana mungkin dapat terbentuk manusia-manusia yang keluar dari
proses pendidikan yang mengerti akan kebutuhan lokal manakala dalam proses pembelajarannya
tidak menyentuh dengan kebutuhan-kebutuhan yang mengakar dalam masyarakat. Sebenarnya
kalau kita telaah lebih lanjut dengan analisis kondisi sekarang, yang kemudian hal ini
dihubungkan dengan peran serta mahasiswa, maka apa yang disampaikan oleh Firdaus M. Yunus
ini cukup menyentil mengenai kontribusi mahasiswa dalam pelaksaan program KKN-PPL di
masyarakat maupun sekolah. Pelaksanaan program KKN-PPL yang dilakukan mahasiswa
seharusnya menjadi program andalan dalam menjawab tantangan realitas sosial masyarakat dan
bukan sebaliknya, program yang mereka canangkan tidak menyentuh dengan kebutuhan-
kebutuhan yang mengakar dalam masyarakat. Oleh karena itu ada berapa tahap yang harus
mahasiswa lakukan dalam upaya pelaksanaan pendidikan yang memadukan antara realitas sosial
dengan kebutuhan masyarakat yang akan melahirkan pemecahan masalah yang kita sebut solusi.
Pertama, program KKN: pembangunan infrastruktur dan peningkatan suprastruktur .
Dalam pelaksanaan KKN jangan hanya menitiberatkan pada pembangunan Iisik semata seperti
memperbaiki sarana prasarana sekolah dan Iasilitasnya, perbaikan jalan, mengecet, membuat
papan arah penunjuk lokasi dan lain sebagainya yang ketika selesai hanya meninggalkan simbol-
simbol belaka. Sehingga perlu upaya program peningkatan sumber daya manusia yang
berorientasi pada terciptanya manusia yang memilki kemampuan tertentu yang dengan
kemampuannya dapat memecahkahkan masalah sosial yang ada dan dapat membentuk manusia
baru yang memiliki kemampuan minimal sama dengan dia.
ker[a keras karya nyaLa"

Program ini biasanya menitikberatkan pada human development seperti training soft
skill.Leadership dan enterpreneuship, training ESQ dan lain-lain Kedua, Program PPL:
Kurikulum berbasis realitas sosial masyarakat (hadap masalah). Penerapan Pendidikan hadap
masalah berimplikasi pada pergeseran konsep mengajar yang tidak hanya dipahami sebagai
pemindahan pengetahuan dengan hapalan (verbalisme), melainkan mendorong siswa belajar
untuk belajar (leran to learn). Belajar dengan demikian adalah prsoses belajar yang kritis dan
dinamis bukan mekanis belaka. Hal ini karena, keberhasilan siswa belajar untuk belajar semakin
mendorong terciptanya keluaran pendidikan yang selalu terus belajar dan mengembangkan diri
secara mandiri sehingga mampu melakukan upaya transIormasi sosial secara kritis dan cerdas.
Seorang antropolog Norwegia, Oyvind Swandbukt yang mengadakan penelitian dikalangan suku
Kubu di Jambi yang mengungkapkan tentang pendidikan pada orang Kubu; tentang sosialisasi,
transmisi pengetahuan tentang kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ditunjukan
olehnya bahwa suku yang dinilai primitiI atau terasing memliki pengetahuan yang
mengangumkan tentang lingkungan hidupnya dihutan tropis. Pengetahuan yang sudah menjadi
satu paket untuk siap hidup dihutan belantara, tentunya diperoleh melalui proses belajar yang
panjang dan dikukuhkan dalam kurikulum` yang tidak tertulis, atau dalam satu sistem
pendidikan yang berpijak dibumi sendiri. Maka ketika sebagian orang Kubu ini dimukimkan
kembali` seperti masyarakat lainnya, dan anak-anak mereka ditawari sistem pendidikan modern
pada umumnya, mereka akan teras tercabut dari akar kehidupannya yang paling dalam. Anak-
anak pedesaaan, pedalaman, nelayan, sebagian dikota, adalah anak-anak pinggiran yang luput
dari perhatia kurikulum. Mereka terbiasa belajar sambil bekerja (St. Kartono, bernas,
22/10/1996).
Ketiga, ommunity Development (Desa Binaan). Disinilah kelebihan mahasiswa daripada
pemerintah yang seharusnya menjadi 'pelayan masyarakat. Jaringan sosial antara mahasiswa
dengan masyarakat yang makin mesra antar keduanya dan kemudian terjalin konsensus bersama
untuk saling bekerjasama antar keduanya secara permanen yang pada akhirnya akan membentuk
suatu program yang bisa kita sebut dengan desa binaan`. Kita semua tahu bahwa Kuliah Kerja
Nyata yang dilakukan oleh mahasiswa dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat tidak
akan bertahan lama, karena mengingat waktu KKN hanya sekitar 3 (tiga) bulan. Oleh karena itu
perlu ada ollow Up secara permanen yang harus dilakukan mahasiswa tanpa ada keterikatan
hukum dengan pihak kampus.
ker[a keras karya nyaLa"

Menurut M.Yanuar (2007) ComDev semacam ini umumnya tidak direncanakan
sebelumnya, namun secara alami terbentuk karena kebutuhan masyarakat akan tenaga terpelajar
serta kesadaran mahasiswa mengenai perlunya social relationship untuk meningkatkan
acceptability masyarakat sekitar terhadap kehadiran mereka. Mahasiswa tahu apa yang
diperlukan oleh masyarakat, mengetahui cara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut,
serta memiliki kemampuan dan keinginan untuk mewujudkannya Bagi masyarakat yang tidak
mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar
untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu
didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonIormal berbasis masyarakat dalam
desa binaan, yakni pendidikan nonIormal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Selain
itu pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) merupakan mekanisme yang
memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi
melalui pembelajaran seumur hidup Ada beberapa keuntungan yang akan didapatkan. Pertama,
masyarakat diuntungkan dengan adanya program tersebut, di sisi lain, kelompok mahasiswa bisa
mengadakan bahan riset gratis bagi penelitiannya, karena tidak hanya hal-hal teknis yang bisa
kita berikan untuk mentransIer ilmu pengetahuan kepada masyarakat tapi juga hasil kekayaan
intelektual dari suatu penelitian. Selain dari pada itu kerjasama yang dilakukan oleh mahasiswa
dengan masyarakat langsung menyentuh masyarakat dalam tataran horizontal (masyarakat
menengah ke bawah). Kedua, peran mahasiswa sebagai kaum menengah menjadi sangat vital
sebagai mediator penghubung antara masyarakat bawah dengan kaum elit, dengan statusnya
sebagai kaum intelektual mereka sekaligus dapat menjangkau kalangan atas dan bawah.







ker[a keras karya nyaLa"

Penutup
Menuju Gerakan Pemecahan Masalah Sosial
Pendidikan diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai
persoalan hidup yang melingkupinya. Fidaus M. Yunus (2004) menyampaikan keresahannya
dalam buku 'Pendidikan Berbasis Realits Sosial`, secara gamblang dia menuturkan mengenai
Ienomena penyelenggaraan pendidikan yang hanya sekedar 'transfer of knowledge' sehingga
kurang menyentuh aspek riil permasalahan masyarakat. Dalam buku itu digambarkan realitas
pendidikan di indonesia sekaligus menunjukan betapa pentingnya pendidikan berbasis realitas
sosial sebagao paradigma. Perbincangan diseputar pendidikan adalah pada hakikatnya
perbincangan mengenai manusia itu sendiri, artinya perbincangan diri sendiri sebagai yang
berhak mendapatkan pendidikan. Terdapat tiga 'saham pendidikan yang itu menjadi bahan
dasar miniatur pendidik Iormal, yaitu mahasiswa sebagai agen pembelajar, sistem sebagai rule
and law, dan kampus yang menjadi muara tempat mereka menimba ilmu. Sebagai sebuah
bangunan, kampus membutuhkan dua bahan dasar utama : akademisi (mahasiswa) dan sistem.
Apabila ketiga 'saham pendidikan ini (kampus, sistem dan mahasiswa) telah bersinergi menuju
kematangannya maka dengan penuh kebanggaan, mereka (mahasiswa) harus di antarkan dengan
karpet merah untuk melakukan misi selanjutnya, yaitu 'Ekspansi Akademik agar keluar dari
kampus dan menyatu dengan realitas sosial., karena proses kebangkitan sebuah bangsa pertama-
tama harus dipandang sebagai sebuah peradaban yang besar dan kompleks yang tentunya
mencangkup masyarakat luas.
Potensi-potensi yang dimiliki mahasiswa merupakan amunisi mutakhir` dalam
pemberantasan problematika yang ada dalam masyarakat terutama dalam lingkup pendidikannya.
Mereka yang sudah tercerahkan dari dunia kampus harus melakukan pencerahan kembali kepada
masyarakat yang mana dengan segala keterbatasannya, masyarakat tidak bisa mendapatkan
pencerahan itu dikampus. Dengan program pemberdayaan manusia sebagai aset permanen,
kurikulum berbasis realitas sosial masyarakat dan pembentukan ComDev dapat dilakukan
mahasiswa dalam membantu masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Jika sudah demikian,
mungkin tidak terlalu memaksakan apabila kita mengatakan bahwa mahasiswa merupakan ikut
andil memegang saham kebangkitan! Semoga...
10 ker[a keras karya nyaLa"

Daftar Referensi
Paulo Freire dkk,1999, Menggugat Pendidikan (undamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis),
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Rosyadi, Khoiron, 2004, Pendidikan Profetik, Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Yunus, Firdaus,M, 2004, Pendidikan Berbasis Realita Sosial, Logung Pustaka: Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai