Anda di halaman 1dari 4

PENDIDIKAN YANG MEMERDEKAKAN

DARI MUHAMMAD SAW, PAULO FREIRE SAMPAI MAS MENTRI


Oleh: IRWANDi. M. Ag
Kepala SMA Negeri Ulumul Quran dan Ketua IGI Kab. Pidie

Hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia seutuhnya, sering disebut


juga dengan humanisasi. Demikian sebuah pernyataan yang sering terdengar di
kelas Filsafat Pendidikan. Kenyataannya ada orang yang katanya sudah menempuh
pendidikan tinggi, mendapat nilai bagus, menjadi figur yang malah berperilaku diluar
logika kita. Tertanggkapnya beberapa anggota DPR, Dosen, Rektor, dan perilaku
bar-bar beberapa remaja yang menyiksa kawannya dengan kasus sepele, yang
kemudian viral. Menjadi contoh tidak baik betapa adanya masalah karakter dalam
sistem pendidikan.
Contoh di atas menjadi cermin buruk bagi yang harus terus diperbaiki dan
uasaha yang lebih maksimal. Betapa pendidikan masih belum memberikan
pembebasan kepada manusia Indonesia yang seutuhnya. Dengan melihat pada
tujuan pendidikan yang digariskan pada dalam pasal 3 Undang-undang No. 20
Tahun 2003 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam tulisan ini penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang bisa kita
pelajari dari Nabi Muhammad SAW, Paulo Freire dan Mas Menteri Pendidikan
Bapak Nadim Makarim dari sudut pandang pendidikan yang membebaskan,
humanisme dan merdeka belajar. Ketiganya adalah upaya untuk menjadi pendidikan
dengan beragam komponennya sebagai proses menjadi manusia yang punya
pemikiran, kemampuan untuk membebaskan diri beragam sistem yang menindas,
menyimpang dan dehumaniasi. Hal ini penting untuk dibahas ditengah keraguan
banyak pihak terhadap adanya perubahan kurikulum di Indonesia, hampir setiap
terjadi pergantian menteri pendidikan.
Pendidikan yang memerdekakan, membebaskan manusia dari belenggu
apapun. Apa saja poin-poin yang kita pelajari dari ketiganya untuk menjadikan
pendidikan kita menjadi lebih merdeka yang kita sarikan dari tiga sampel acak dari
tiga zaman yang berbeda ini dengan pola dan ideologi yang berbeda tentunya.
Pertama, Di mulai dari Nabi Muhammad SAW yang secara dogmatis selalu
kita terima sebagai orang yang membebaskan manusia dari alam jahiliyah ke alam
Islamiyah. Atau bahasa yang sering disebut beliau diutus untuk memperbaiki akhlak
manusia. Di dunia modern sekarang persoalan akhlak dan karakter adalah problema
utama manusia abad ini. Kita memiliki jutaan orang pintar, baik ilmu pengetahuan,
bahkan bidang keagamaan. Namun memiliki problem dalam aplikasinya atau praktik
kesehariannya bermasalah akhlaknya. Karena akhlak adalah persoalan praktis yang
tidak bisa dengan didakwahkan saja secara verbal, tapi bukti nyata dengan bahasa
keteladanan.
Bahkan adanya kasus pencabulan anak-anak di sekolah asrama, panti
asuhan yang berbasis agama. Ini patut menjadi pemikiran bersama dalam
membangun kekuatan kita bukan hanya pada upaya pencegahan dari pelaku.
Namun perlu juga edukasi kepada siswa-siswi yang kemungkinan akan menjadi
korban oleh sistem pendidikan yang ada.
Kedua, Dalam sebuah peristiwa sangat terkenal terjadi peperangan.
Rasulullah SAW mensyaratkan pembebasan tawanan dengan kafir Quraisy bila
mengajarkan orang-orang yang belum bisa membaca di kalangan Islam. Hal ini
sebuah ide yang sangat brilian, dan mungkin belum pernah ada sebelumnya dalam
sejarah peperangan antar qabilah di Arab. Ide ini menjadi suatu hal yang
monumental dalam pencatatan al-Quran dan al-Hadist dalam dunia Islam. Sehingga
keduanya menjadi buku atau dokumen dengan periwayatan yang sangat sempurna
dalam sejarah dunia.
Ketiga, mereka yang mendengungkan kebebasan dalam dunia pendidikan
tentu harus belajar dari Islam di mana ada ayat yang pertama turun itu langsung
perintah membaca. Dengan kesadaran membaca berbasis pada nilai ketuhanan dan
perintah membaca langsung di alam nyata atau kehidupan. Adanya perintah
membaca ini menjadikan Islam sebagai suatu agama dengan tingkat pencapaian
dan perkembangan jumlah pemeluk yang luar biasa pada masa kenabian dan
beberapa tahun setelah beliau meninggal. Hal ini tentu tidak lepas dari rasionalitas
dan humanisasi yang diajarkan Islam saat itu.
Sedangkan dari Paulo Freire, ada beberapa gagasan utama yang dapat kita
ambil darinya yaitu, pendidikan dimulai dari membangun kesadaran pada setiap
manusia. Kesadaran dimulai dari pembelajaran dari deskripsi ke pembelajaran yang
dialogis transformatif.
Pemikirannya dipengaruhi cara pikir filosofis dari Thomas Aquinas. Pemikiran
ini menjadikan dia orang yang kritis terhadap keadaan yang ada di sekitarnya. Saat
itu banyak terjadi ketimpangan sosial dan dia sendiri lahir di kawasan kumuh dan
penuh kemiskinan. Beberapa karyanya dalam bidang pendidikan sangat
berpengaruh di antaranya: Education As The Practice Of Freedom, Pedagogy of the
Opressed, Cultural Action for Freedom(1970) dan Pedagogy of the Heart (1999)
Pendidikan menurut Paulo harus diarahkan untuk para peserta didik untuk
reinventing, recreating dan rewriting. Mereka harus menemukan kembali sendiri ilmu
pengetahuan, bukan di suap. Di sini ada keaktifan kaum pembelajar. Bukan hanya
sebagai obyek yang menjadi sasaran dari para pengajar. Peserta didik harus diajak
untuk mendapatkan kesadaran diri dalam proses pembelajaran. Jadi mereka yang
mengalami kontek terjadinya upaya mendapatkan ilmu pengetahuan yang kemudian
diserap menjadi perilaku dan landasan berfikir untuk bertindak.
Dia menyebut proses pendidikan yang tidak menyadarkan dengan pendidikan
gaya bank. Di mana guru yang menyetor ilmu selama beberapa saat, seminggu,
sebulan dan seterusnya sesuai dengan periode kalender pendidikan. Lalu pada
saatnya akan diambil kembali dalam bentuk ujian.
Bahkan Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan 'gaya bank' itu
sebagai berikut: - Guru yang mengajar murid belajar: “Guru serba tahu, murid tidak
tahu apa-apa. - Guru yang berpikir, murid dipikirkan. - Guru berbicara, murid
mendengarkan dengan baik. - Guru mengatur, murid yang diatur. - Guru memilih
dan memaksakan pilihan¬nya, murid harus menuruti. - Guru bertindak, murid
membayangkan bagaimana bertindak sesuai tindakan gurunya. - Guru akan
memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. - Guru mengacaukan
semua wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan
mempertentangkannya dengan suatu kebebasan murid. - Guru adalah subjek
proses belajar, murid objeknya.”
Selanjutnya Menteri Pendidikan, Riset dan Teknologi dalam sebuah
wawancaranya dengan Kompas (2022), mengatakan penerapan kurikulum baru
yaitu Kurikulum Merdeka akan memberikan otonomi dan kemerdekaan bagi murid
dan sekolah. Kurikulum ini akan semakin membuat murid lebih aktif karena
dirancang lebih sederhana dan fleksibel, berbeda dengan Kurikulum 2013 yang
materi pembelajarannya terlalu padat, membosankan, dan kurang beragam.
Ada beberapa titik poin yang menjadi utama Kurikulum Merdeka (Kumer)
yaitu: Pembelajaran berbasis proyek yang bertujuan untuk mengembangkan soft
skills dan karakter sesuai profil belajar Pancasila. Berfokus pada materi esensial
sehingga tersedia waktu yang cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi
kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. Dan fleksibilitas bagi guru dalam
melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta
didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.
Dari ketiga tokoh ini akhirnya kita dapat menyimpulkan betapa pentingnya
pembebasan dalam proses pendidikan. Dengan beranjak dari pemikiran yang kuat
bahwa manusia harus dibebaskan dari suatu belenggu penindasan dari manusia
atau ideologi yang tidak benar. Maka kelas, sekolah sebagai unit terkecil harus
menjadi penggerak utama yang harus di kawal dan di sana ada guru yang harus
dijaga dan tidak diganggu dengan beragam administrasi tidak penting dan sistem
karir, perhitungan jam yang sangat menyesakkan. Maka membebaskan dunia
pendidikan yang lebih cepat adalah membebaskan guru dulu dari beragam belenggu
sebagai salah satu komponen utama dalam pendidikan. Dan hasilnya akan terjadi
perubahan yang lebih besar dalam proses pembelajaran sebagai bagian terkecil dari
proses pendidikan itu sendiri. Karena kenyataan pendidikan di alam nyata menjadi
hal yang sesungguhnya.

Irwandizakaria@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai