Anda di halaman 1dari 13

VOL. 01 NO.

1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

FILSAFAT REKONTRUKSIONISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM


STUDI ATAS PEMIKIRAN MUHAMMAD IQBAL

*Oleh: Jeeny Rahmayana, M.Pd.I

Abstract :
Education cannot be indivisible to human beings. However the implementation of obtaining
education always changes. Sometimes that these changes are positive, but some of them are also
bring up to negative values. Many institution of the education system only preparing and educate
the students to aim at the world (a connection horizontally form). On the other side there are also
institution of education only educate the students to the life of course (relations vertically form).
According to Muhammad Iqbal and perception of islamic education, it is necessary to stipulate the
man clearly and good, based on religion values, so that it can be created insan kamil. That is the
human who could be successful vertically and horizontally form.

Key words : Education, Insan Kamil, and implementation.

Pendahuluan
Pendidikan pada hakekatnya adalah membantu peserta didik untuk menjadi generasi yang utuh,
yang pandai dalam bidang pengetahuan, bermoral, berbudi luhur, peka terhadap orang lain, beriman,
dan lainya. Pendidikan juga membawa misi untuk melibatkan peserta didik pada persoalan- persoalan
konkrit yang dihadapi dalam masyarakat. Rasanya sudah sangat sering kita dengarkan ketidakpuasan
masyarakat terhadap kinerja pendidikan nasional. Kata- kata ekstrem pun sering terluapkan, konon
pendidikan nasional Indonesia telah gagal menjalankan misinya untuk membentuk manusia-manusia
yang cakap dan berkepribadian serta membangun bangsa yang berkarakter. Konon pendidikan hanya
bisa menghasilkan koruptor, kolutor, provokator, dan manusia-manusia tak berbudi lainnya.

Ekstreminitas tersebut tentu tidak sepenuhnya benar meskipun ada bagian yang tidak salah.
Adalah benar bahwa sebagian koruptor, kolutor, provokator serta manusia- manusia yang tidak
berbudi lainnya adalah orang-orang yang berpendidikan, bahkan sebagian diantaranya berpendidikan
tinggi. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti
bahwa seluruh hasil pendidikan kita, khususnya pendidikan tinggi adalah buruk. Karena pendidikan
itu sendiri merupakan sebuah proses tiada henti, sebuah proses yang selalu menyisakan berbagai
persoalan, meskipun ia selalu memberikan konsep- konsep baru tentang bagaimana membangun dan
mengembangkan kualitas manusia. Disini, pendidikan menempati posisi penting, ketika secara “ tulus
“ ia menjadikan manusia sebagai subyek yang merdeka, sebagai sosok yang tidak “kosong” dari
pengalaman-pengalaman yang telah dia ciptakan sendiri.

Secara epistimologi, kelemahan beberapa memikiran klasik adalah ketika ia menganggap


pengetahuan sudah ada dan sudah jadi, lalu ia menempatkan “sosok guru” sebagai seseorang yang
paling tahu. Sehingga tugas guru adalah mentransfer pengetahuan itu ke dalam otak peserta didik.
Maka peserta didik tinggal membuka otaknya dan menerima pengetahuan itu apa adanya.

Pada proses selanjutnya, materi-materi pelajaran “disesakkan” sedemikian rupa ke otak-otak


peserta didik. Kesadaran untuk maju dicoba melalui media pengembangan dan pola-pola
penciptaan keresahan, ancaman,
dan bahkan hukuman oleh guru. Sekolah, pada

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 1


VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

akhirnya telah kehilangan ruh kanalisasi diri, etos kesepahaman, ekspresi dan aktualisasi pemikiran.
Kesenangan pada proses pembelajaran, berubah “dratis” menjadi kebingungan, kenyamanan belajar
pada akhirnya tidak lagi ditemukan di kelas. Inilah yang menjadi kegelisahan oleh para memikir
pendidikan, Kurt Singger menyebutnya sebagai “Pedagogi hitam”. Sinisme senada juga muncul
dari Ivan Illich, yang menyuarakan proyek “desschooling sociaty” (masyarakat bebas dari sekolah).
Kemudian Everett Reimer, meneriakkan “the end of school”, Paulo Friere dengan “pedagogy of the
opressed” nya, serta “the end of education” dari celotehan Neill Postman.

Usaha sekolah dalam melakukan proses pembelajaran, juga sangat mengunggulkan supremasi
kognisi. Sehingga orientasi pembelajarannya adalah bagaimana guru berupaya semaksimal mungkin
untuk menyelesaikan seluruh bahan atau materi, demi mengejar ulangan bersama dan mencapai nilai
yang tinggi dalam menghadapi ujian akhir atau bersaing dalam menempuh ujian masuk Peguruan
Tinggi. Maka pendidikan afeksi dan kompetensi peserta didik dalam melakukan interaksi antar sesama
sungguh menjadi terabaikan. Secara konseptual, tugas seorang pendidik adalah memberikan stimulus,
fasilitas, dan motivasi demi teraktualisasinya potensi setiap peserta didik. Akan tetapi pada dataran
realitas, seorang pendidik berupaya melakukan indoktrinasi dan “pencekokan” ilmu, yang oleh Friere
disebut sebagai the banking consept of education.

Dalam konteks pendidikan Islam, problematika pendidikan Islam mengalami hal yang serupa.
Relasi pendidik – peserta didik melahirkan sikap-sikap eksklusif, formalis, dan tidak demokratis
(Muqawim : 45). Sementara dalam konteks content, pendidikan islam masih menunjukkan sikap
apriori terhadap perbedaan. Padahal pendidikan Islam secara substansif berangkat dari
semangat al-Qur’an dan living sunnah (Fazlurrahman, 1994: 45). Sementara sebagai sebuah konsep
ilmu, pendidikan Islam terinspirasi dari dua sumber tersebut, akan tetapi ketika bersentuhan pada
dataran formulasi dan pengembangan, maka akan terjadi dealektika dengan konsep dan teori yang
dibangun dari non al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga sebuah ilmu bersifat relatif, debatable, dan
falifiable (Abdul Munir Mulkhan, 2002: 229).

Pengertian Pendidikan Islam


Terminologi pendidikan Islam menurut Kamal Hasan berati sebuah proses yang komprehensif
dan pengembangan kepribadian manusia secara menyeluruh meliputi intelektual, spritual, emosi, dan
fisik. Sehingga seorang muslim disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan-tujuan
kehadirannya oleh Allah Swt sebagai hamba dan wakil-Nya di dunia. Sementara hasil kongres
pendidikan Islam se Dunia, melalui seminar tentang konsep kurikulum pendidikan Islam di
Islamabad, Maret 1980 menyatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk mencapai
keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan,
akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan pancaindra. Oleh karena itu pendidikan Islam harus mampu
mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia baik secara spritual, intelektual, imajinasi,
jasmaniah, bahasa, dan mengembangkan secara individu maupun kelompok serta mendorong aspek-
aspek itu kearah kebaikan dan kearah kesempurnaan hidup (Muhammad Kamal Hasan, 1989:409).
Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan Islam harus mampu membimbing jasmani dan rohani
berdasarkan hukum- hukum Islam menuju kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Kepribadian yang dimaksud adalah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang seluruh aspek-
aspeknya, baik tingkah lakunya, aktifitas jiwanya maupun filsafat hidupnya dan kepercayaannnya
menuju kepada Allah SWT, serta penyerahan diri secara totalitas kepada-
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 2
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Nya (Marimba, 1989: 23). Dari uraian di atas maka pendidikan Islam merupakan sebuah upaya yang
sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, dan menghayati
hingga mengimani, bertaqwa kepada Tuhannya dan berakhlak mulia. Jadi yang penulis maksud dalam
pendidikan Islam disini adalah bagaimana melakukan proses internalisasi dan pembelajaran agama
Islam, yang kemudian dibarengi tuntutan untuk membangun kesadaran pembebasan dan
mengembangkan sikap kontekstual dalam pembelajaran.

Pendidikan Dalam pandangan filsafat Rekonstruksionisme

Kata rekonstruksionisme mempunyai akar kata dari bahasa inggris, yaitu “recontract
” yang berarti menyusun kembali. Artinya melakukan perombakan dan penyusunan kembali pola-pola
lama menjadi pola-pola baru yang lebih modern. Secara historis, lahirnya rekonstruksionisme sebagai
sebuah sistem pendidikan berawal dari terbitnya buku John Dewey pada tahun 1920, yang berjudul
reconstruction in philosophy. Buku ini lalu dijadikan gerakan oleh George Counts dan Harold Rugg
pada tahun 1930-an melalui keinginan mereka untuk menjadikanlembaga pendidikan sebagai sebuah
media rekonstruksi terhadap masyarakat (Muhmida Yeli, 2005:
193). Jadi makna rekonstruksionisme adalah sebuah aliran filsafat pendidikan modern yang muncul di
barat. Dan untuk lebih spesifiknya, nanti peneliti akan membahasnya lebih detail pada bab selanjutnya.

Namun ada juga yang memaknai rekonstruksionisme sebagai sebuah mazhab filsafat pendidikan
yang menempatkan sekolah/lembaga pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat.Seperti yang
telah dinyatakan oleh Caroline Pratt (1948), seorang rekonstruksionis sosial yang berpengaruh pada
periode itu : “nilai terbesar suatu sekolah harus menghasilkan manusia-manusia yang dapat berpikir
secara efektif dan bekerja secara
konstruktif, yang saat bersamaan dapat membuat suatu dunia yang lebih baik dibandingkan dengan
sekarang ini untuk hidup di dalamnya”. Dimana sekolah/lembaga pendidikan tersebut tidak hanya
harus menstransmisikan pengetahuan mengenai tatanan sosial yang ada, melainkan juga harus
berusahan merekonstruksii-nya seoptimal mungkin. Sehingga, menimbulkan suatu perubahan cara
berfikir yang lebih efektif dan cara kerja yang konstruktif yang secara signifikan dapat membuat
suatu dunia yang lebih baik dari sebelumnya atau mungkin juga lebih baik dari sekarang. I always
remember, today have to be more either from yesterday. Tomorrow have to be more either
from today”.

Kehadiran aliran rekonstruksionisme dalam pendidikan didorong adanya tuntutan yang


menghendaki agar sekolah berperan mengambil bagian dalam membangun masyarakat masa depan.
Hal ini dikarenakan masyarakat mengalami kebimbangan, ketakutan dan kebingungan dalam
menghadapi perkembangan zaman. Rekonstruksionisme ini untuk pertama kali dikemukakan oleh
Brameld dan Brubaeker yang mengkaji tentang ide pokok rekontruksionisme. Tokoh lain yang
mempelopori aliran ini diantaranya adalah George S. Couts .

Langkah awal yang diambil oleh aliran rekonstruksionisme dalam pendidikan yaitu dengan
mengadakan Persahabatan Pendidikan Amerika. Prinsip – prinsip yang menjadi landasan kerja yaitu:

1. Memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada setiap anak, tanpa membedakan ras,
kepercayaan / latar belakang ekonomi.
2. Memberikan pendidikan tinggi latihan
akademik, professional, dan teknikal kepada setiap mahasiswa untuk dapat menyerap dan
menggunakan ilmu dan teknologi yang diajarkannya.

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 3


VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

3. Membuat sekolah – sekolah Amerika menjadi berperan sangat penting sebagai satu bagian dari
kehidupan nasional kita yang akan menarik bagian karena para gurunya adalah laki – laki dan
perempuan dari zaman kita yang sangat bersemangat.
4. Menyusun sebuah program pemuda untuk anak – anak muda yang berusia 17 sampai dengan
23 tahun untuk membawa mereka dan sekolah aktif menuju pada partisipasi dalam masyarakat
orang dewasa.
5. Mengusahakan penggunaan penuh dari perlengkapan sekolah untuk pertemuan–pertemuan
pemuda, kegiatan–kegiatan masyarakat, pendidikan orang dewasa.
6. Bekerja sama penuh dengan semua lembaga masyarakat dan lembaga sosial menuju sebuah
masyarakat demokratis yang sesunggunya
7. Terus memperluas penelitian dan eksperimentasi pendidikan
8. Mengajak pemimpin masyarakat untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana dari masyarakat
menjadi bagian dari sekolah.Langkah berikutnya adalah mengenai kurikulum–kurikulum
rekonstruksionisme lebih memusatkan perhatiannya pada problema–problema yang dihadapi
masyarakat. Aliran rekonstruksionisme melihat kurikulum sebagai alat untuk mempengaruhi
perubahan sosial dan masyarakat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat.

Model Pembelajaran Aliran


Rekonstruksionisme

pendidikan dimana keadaan sekarang


merupakan zaman yang mempunyai
Dalam filsafat modern dikenal beberapa aliran-aliran diantaranya aliran rekontrusionisme di
zaman modern ini banyak menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan manusia terutama dalam
bidang
kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran. Untuk mengatasi
krisis kehidupan modern tersebut aliran rekonstrusionisme menempuhnya dengan jalan berupaya
membina konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat
manusia. Oleh karena itu pada aliran rekonstruksionisme ini, peradaban manusia masa depan sangat
di tekankan. di samping itu aliran rekonstruksionisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan
masalah, berfikir kritis dan sebagainya. Pandangan aliran ini terhadap belajar juga dapat dilihat dari
beberapa aspek pendidikan, yaitu :

1. Pelajar
Siswa hendaknya dipandang sebagai bungan yang sedang mekar, yang mengandung arti
bahwa siswa adalah generasi muda yang sedang tumbuh menjdai manusia pembangunan
masyarakat masa depan.

2. Pengajar
a) Direktur Proyek
Adalah guru yang tugasnya membantu para siswa mengenali masalah- masalah yang
dihadapi umat manusia sehingga para siswa merasa terikat untuk memecahkannya.

b) Pemimpin Penelitian.

Adalah guru yang tugasnya harus menumbuhkan dalam membantu peserta didik
menghadapi kontroversi dan perubahan, guru harus menumbuhkan berpikir yang berbeda- beda
sebagai suatu cara untk menciptakan alternatif pemecahan- pemecahan masalah yang
menjanjikan keberhasilan.

3. Pengajaran
Pelaksanaaan pengajaran yang diarahkan untuk meningkatkan kondisi

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 4


VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

kehidupan sesuai dengan potensi masyarakat.

4. Belajar
Siswa hendaknya belajar dengan tekun dan penuh dengan motivasi dalam menghadapi
perkembangan zaman dan kemajuan teknologi agar tujuan dari pendidikan dapat terlaksana.

Aliran rekonstruksionisme ini berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan
paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia. Untuk mencapai
tujuan tersebut, rekonstruksionisme berusaha mencari kepepakatan semua orang mengenai
tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidup manusia dalam suatu tatanan baru seluruh
lingkungannya, maka melalui lembagai dan proses pendidikan. Rekonstruksionisme ingin
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali
baru.
Aliran rekonstruksionisme juga berkeyakinan bahwa tugas penyelamat dunia merupakan
tugas semua umat manusia atau bangsa. Oleh karena itu pembinaan kembali daya intelektual dan
spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan
norma yang benar demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang sehingga terbentuk
dunia baru dalam pengawasan umat manusia. George counts sebagai pelopor rekonstruksionisme
dalam publikasinya Dare the school build a new sosial order mengemukakan bahwa sekolah akan
betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara
keseluruhan, dan kesukuan (rasialisme). masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan
masalah-masalah sosial yang besar
merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharu
dan rekonstruksi sosial dari pada pendidikan hanya mempertahankan status qua dengan
ketidaksamaan-ketidaksamaan dan masalah-masalah yang terpendam di dalamnya. Sekolah
harus bersatu dengan kekuatan buruh progresif, wanita, para petani, dan kelompok minoritas
untuk mengadakan perubahan-perubahan yang diperlukan. Counts mengkritik pendidikan
progresif telah gagal menghasilkan teori kesejahteraan sosial dan mengatakan sekolah dengan
pendekatan child centered tidak cocok untuk menentukan pengetahuan dan skill sesuai
dalam abad dua puluh.

Sosok dan Pemikiran Muhammad Iqbal


Tentang Pendidikan

Beliau adalah salah satu tokoh intelektual Islam pada abad 19. Ia lahir di Sialkot, Punyab
(sekarang termasuk wilayah Pakistan) pada tahun 1976. kawasan ini pada awalnya masih termasuk
wilayah India. Kemudian setelah Pakistan memisahkan diri dari India dan menyatakan diri sebagai
negara merdeka, maka secara otomatis daerah tersebut masuk kedalam wilayah Pakistan. Akan tetapi
karena Muhammad Iqbal meninggal sebelum proses pemisahan itu terjadi, maka banyak orang
memasukkan Muhammad Iqbal sebagai tokoh pembaharu dari India, bukan Pakistan (Fazlur
Rahman,
1992: 13). Muhammad Iqbal seringkali dikenal sebagai seorang filosof, ahli hukum, pemikir politik, dan
sebagai seorang penyair ulung (John L. Esposito: 213). Gubahan syair- syairnya hampir menyentuh
seluruh aspek kehidupan manusia yang banyak ditulis dalam bahasa Arab, Urdu, Persia, dan Inggris.
Toto Suharto dalam tulisannya Rekonstruksi Pemikiran Pendidikan Islam; Telaah Pemikiran
Muhammad Iqbal, menulis tentang bagaimana hegemoni pengetahuan

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 5


VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Barat yang kemudian direkonstruksi oleh Iqbal melalui pendidikan Islam yang lebih memberikan
makna bagi peningkatan dinamika dan kreatifitas manusia. Tulisan ini berangkat dari kondisi historis
umat Islam yang terjajah oleh Barat. Disatu sisi pengetahuan yang dikembangkan di Barat lebih
berorientasi pada materialisme, sementara perkembangan pemikiran di dunia Islam mengalami
kemundurun yang sangat luar biasa. Maka menurut Toto Suhartoyo, Muhammad Iqbal adalah tokoh
muslim pada saat itu yang mencoba mesintesiskan model pemikiran yang tidak memihak ke Barat dan
tidak pula Timur (Islam).
Muhammad Iqbal sendiri telah menulis, yang kemudian menjadi sebuah karya master peace-nya,
The Reconstruction of religious thought in Islam. Karya ini merupakan tulisan Muhammad Iqbal
terbesar dalam bidang pemikiran filsafatnya dalam bentuk prosa. Tema utama dalam buku ini adalah
gagasan perlunya diadakannya rekonstruksi pemikiran keagamaan. Ada tujuh hal yang dibahas dalam
buku ini, pertama, tentang pengalaman keagamaan dan pengetahuan. Kedua, tentang pembuktian
filsafat mengenai pengalaman keagamaan. Ketiga, tentang konsepsi Tuhan dan arti sholat. Keempat,
tentang ego manusia yang merdeka dan abadi. Kelima, tentang jiwa kebudayaan Islam. Keenam,
tentang prinsip- prinsip gerakan pembaharuan dalam Islam. Ketujuh, tentang kemungkinan-
kemungkinan dalam agama.
Muhammad Iqbal juga adalah filosof Muslim yang banyak dipengaruhi oleh banyak filosof Barat
seperti Thomas Aquinas, Bergson, Nietzsche, Hegel dan masih banyak lagi yang lainnya. Di antara
sekian banyak filosof, menurut Donny Gahral, Nietzsche dan Bergsonlah yang paling banyak
mempengaruhi Iqbal. Nietzsche dan Bergson sangat mempengaruhi Iqbal khususnya konsepnya
tentang hidup sebagai kehendak kreatif yang terus bergerak menuju realisasi. Manusia sebagai
kehendak kreatif tidak bisa dibelenggu oleh hukum mekanis maupun takdir sebagai rencana Tuhan
terhadap
manusia yang ditetapkan sebelum penciptaan. Namun semangat relegius Iqbal menyelamatkannya
dari sikap atheisme yang dianut Nitzsche sebagai konsekuensi kebebasan kreatif manusia. Iqbal masih
mempertahankan Tuhan dan mengemukakan argumentasi yang bisa mendamaikan kemahakuasaan
Tuhan dengan kebebasan manusia. Iqbal juga menolak konsep Nitzsche maupun Bergson tentang
kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan. Iqbal mengatakan bagaimanapun orang
sadar bahwa dalam kehendaknya ia memiliki tujuan karena kalau tidak buat apa ia berkehendak,
namun Iqbal menolak tujuan sebagai tujuan yang bukan ditetapkan oleh manusia sendiri melainkan
oleh takdir atau hukum evolusionistik. Filsafat ketuhanan Iqbal berbeda dengan filsafat ketuhanan
kontemplatif karena Iqbal berangkat dari filsafat manusia yang menekankan pengetahuan langsung
tentang keberadaan ego atau diri yang bebas-kreatif. Metafisika gerak Iqbal mengemukakan bahwa
manusia bukanlah benda statis tetapi suatu aktivitas gerak dinamis-kreatif yang terus merindu akan
kesempurnaan. Hidup keberagamaan sendiri menurut Iqbal adalah suatu proses evolusi yang dapat
dibagi menjadi tiga tahap, iman, pemikiran dan penemuan. Pada tahap pertama yaitu tahap iman kita
menerima apa yang difirmankan Tuhan tanpa keraguan sedikitpun. Pendeknya segala sesuatu yang
berasal dari Tuhan adalah mutlak benar karena berasal dari Tuhan dan bukan konstruksi
manusia. Pada tahap kedua yaitu tahap pemikiran. Kita tidak sekadar menaati secara buta firman
Tuhan melainkan mulai memikirkan maksud dari firman tersebut atau singkatnya kita mencoba
memahami secara rasional apa yang kita percayai. Dan pada tahap terakhir yaitu tahap penemuan kita
mencapai kontak langsung dengan realitas ultim yang merupakan sumber semua hukum dan
kenyataan.
Esensi pendidikan Islam menurut Muhammad Iqbal adalah sebagai pengupayaan perubahan
ke arah yang lebih
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 6
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

baik, yang mengarah pada pengembangan, menurut tujuan-tujuan yang telah ditetapkan,
meniscayakan pendidikan berorientasi pada masa depan masyarakat, bukan masa sekarang, dan atau
hanya sekedar pelestarian nilai-nilai semata. Masyarakat sebenarnya tidak bisa dipandang sebagai
sebuah sistem yang kaku. Hal ini dikarnakan didalamnya terdapat jaringan-jaringan yang saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya yang bermuara pada sebuah peristiwa yang bergerak kearah
perubahan-perubahan.
Menurut Muhammad Iqbal dalam konteks pendidikan, gerakan perubahan suatu masyarakat
dan sosial lebih diarahkan pada uapaya bagaimana penyelenggaraan pendidikan diorientasikan untuk
menjawab ragam persoalan dan kebutuhan masyarakat dalam gerak bangun kemajuan diberbagai
sektor kehidupan (Muhmida Yeli, 2009: 355). Pendidikan mestinya harus diselenggarakan atas dasar
prinsip-prinsip epietemologi yang bener-benar merupakan refleksi nyata atas model gerak manusia
dalam mengatur diri dan kediriannya agar dapat benar-benar berfungsi dan difungsikan sebagai
penggerak potensi perubahan dan kemajuan diberbagi sektor.
Dalam konteks dunia pendidikan, pendidikan persekolahan merupakan wadah strategis dalam
mempercepat lahirnya perbaikan-perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan ditengah-tengah
masyarakat, baik dalam konteks pengembangan individu- individu yang bergabung dalam suatu
tatanan masyarakat, maupun dalam konteks kolektifitas dan kelembagaan yang meniscayakan
munculnya masyarakat baru yang lebih arif dan tanggap untuk berbuat sesuatu yang mengarah pada
perbaikan- perbaikan taraf hidup di berbagai lini. Namun dibalik itu semua, sistem pendidikan
mestinya tidak memenjarakan kebebasan dan kreatifitas para pemburu ilmu pengetahuan.
Menurut Muhammad Iqbal dalam filsafat Khudi (ego) nya manusia dapat mengubah apa yang
ada kearah yang semestinya ada, karena ego manusia dapat membayangkan sebuah dunia baru yang
lebih
baik dan lebih sempurna dari upayanya membaca masa lalu dan mengaikakan dengan masa sekarang.
Muhammad Iqbal tidak sepakat dengan pemikiran Plato dan idealisme yang pada umumnya
menganggap bahwa ego manusia hanyalah bayangan jiwanya yang merupakan bagian dari jiwa yang
abadi, sehingga ego manusia senantiasa berjuang untuk dapat bersatu pada dengan induknya. Bagi
Muhammad Iqbal pandangan semacam ini tidak dapat dijadikan cita moral dan agama serta cerminan
dalam dunia pendidikan. Pemikiran semacam ini akan membunuh kebebasan dan kreatifitas manusia
dalam pendidikan. Baginya, tujuan ego selalu berjuang untuk mewujudkan dan mengaktualisasikan
dirinya dalam realitasnya, sehingga menjadi kepribadian yang mantap dan kukuh sebagai manusia (M.
Iqbal, 1966:4).
Muhammad Iqbal juga mengatakan bahwa hakikat manusia adalah segenap kekuatan diri yang
akan menentukan siapa ia. Apabila dirinya dapat berkembang dengan baik, maka eksistensinya dalam
masyarakat dan dunia pun akan diakui. Jika manusia tidak mengambil prakarsa dan berkeinginan
untuk mengembangkan dirinya dan tidak ingin merasakan gejolak batin hidup yang lebih tinggi, maka
ruh yang ada padanya akan mengkristal dan perlahan-lahan akan menjadikan dirinya tereduksi
kepada benda- benda mati. Dan untuk membangun kembali (rekonstruksi) umat Islam yang telah
terpuruk pada kemerosotan dan kemunduran yang berpangkal pada kemerosotan humanitas,
menurut Muhammad Iqbal perlu menata dan membangun kembali tata sistem baru dengan
mengembangkan potensi diri dan akal manusia yang akan menunjuk pada eksistensi manusia dalam
memandang realitas (M. Iqbal,
1966:119). Terakhir iqbal juga menambahkan bahwa pengembangan manusia mesti dengan
memperhitungkan kondisi-kondisi fisik yang merupakan prasyarat bagi keguatan yang dilakukannya
dengan penuh kesadaran. Iqbal menganjurkan agar memanfaatkan sumber- sumber material guna
pencapaian berbagai tujuan spritual yang paling tinggi.
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 7
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Tujuan Pendidikan Menurut


Muhammad Iqbal

Menurut Muhammad Iqbal, pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk pribadi Muslim yang
memiliki kepribadian kenabian, yang memiliki orientasi vertikal dan horizontal sekaligus. Akan tetapi
produk pendidikan Islam jusru menyumbang berbagai persoalan (meski bukan satu-satunya) dalam
hubungannya dengan realitas sosial. Prilaku- prilaku destruktif sering diwujudkan dalam konflik
komunal. Dalam salah satu sajaknya, Muhammad Iqbal mengkritik sistem pendidikann yang berlaku
pada saat ini:

Aku tamat dari sekolah dan pesantren penuh duka,


Disitu tidak kutemukan kehiduan, Tidak pula cinta,
Tak kutemukan hikmah, dan tidak pula kebijaksanaan.
Guru-guru sekolah adalah orang-
orang yang tak punya nurani, Mati rasa, mati selera,
Dan kiai-kiai adalah orang-orang yang tak punya himmah,
Lemah cita, miskin pengalaman.

Sajak ini mengajukan sebuah keluhan dari seorang Muhammad Iqbal tentang pola pendidikan
barat dan dunia Islam tradisional. Pendidikan barat lebih menitikberatkan pada materialisme, sehingga
merusak tatanan spritualitas kemanusiaan. Sementara pada pendidikan Islam tradisional, menurut
Muhammad Iqbal telah memenjarakan otak dan jiwa manusia dalam kurungan yang ketat.
Pendidikan tradisional dalam perspektif Muhammad Iqbal kiranya tidak mampu mencetak manusia
intelek yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan keduniaan. Dalam konteks ini kiranya sangat
penting untuk melihat dan meneliti Muhammad Iqbal sebagai seorang rekonstruksionisme yang
mencoba membangkitkan kesadaran umat Islam dari belenggu persoalan tersebut. Salah
satu dari upaya Muhammad Iqbal ini bisa dilihat dari sajaknya:

Bangkitlah!
Pikullah amanat di atas pundakmu, Hembuskan panas nafas panasmu di atas kebun ini,
Agar harum-haruman narwasatu meliputi segala.
Janganlah!
Jangan pilih hidup bagai nyanyian ombak,
Hanya bernyanyi ketika terhempas dipantai!
Tapi, jadilah kamu air bah! Menggugah dunia dengan amalmu.

Berbagai belenggu yang mengitari umat Islam, misalnya pandangan bahwa mempelajari alam
semesta dan sejarah bukan bagian dari agama. Kemudian umat Islam selalu berada dibawah bayangan-
banyangan filsafat Helenisme- Yunani. Untuk itulah sajak tersebut secara jelas berisi semangat untuk
melakukan rekonstruksi. Dan upaya rekonstruksi Muhammad Iqbal tersebut tidak terbatas pada
bidang pemikiran saja, melainkan juga pada pendidikan Islam. Oleh karena itu pola pembelajaran yang
selama ini muncul dan berlaku dimasyarakat khususnya masyarakat islam, yang mana dipandang
sebagai suatu proses mengkonsumsi pengetahuan. Guru bukanlah sekedar fasilitator, melainkan
sebagai sumber tunggal pengetahuan di depan kelas. Maka proses belajar adalah suatu proses dimana
siswa memproduksi pengetahuan. Dan selain itu siswa juga menyusun pengetahuan, membangun
makna (meaning making), serta mengkonstruksi gagasan. Disinilah makna dasar dari teori
Rekonstruksionisme, yang menekankan bahwa belajar adalah meaning making atau membangun
makna, sedang mengajar adalah schaffolding atau memfasilitasi. Secara sederhana, paradigma
pembelajaran rekonstruksionisme adalah:

Dari Menjadi
Mengajar Belajar

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 8


VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Indoktrinasi Partisipatif sebagai fasilitator dan mediator


Guru sebagai Siswa sebagai subyek subyek
Mengumpulkan Menemukan
Pengetahuan Pengetahuan dan Mengembangkan kerangka berfikir

Paradigma pembelajaran filsafat rekonstruksionisme, mencoba mengafirmasi dari mengajar


menjadi belajar, dari pendekatan indoktrinasi ke partisipatif, dimana pendidik sebagai fasilitator dan
mediator, pendidik sebagai subyek berubah menjadi siswalah yang menjadi subyek, dari
mengumpulkan pengetahuan menuju pada proses menemukan pengetahuan dan mengembangkan
kerangka berfikir. Dengan usaha untuk menggali dan menafsirkan kembali beberapa pemikiran
Muhammad Iqbal tentang rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam tersebut, kemudian melakukan
kajian lebih lanjut tentang model- model pembelajaran aliran filsafat rekonstruksionisme, maka akan
dapat ditelusuri lebih lanjut bagaimana sintesa dari dua pemikiran yang berbeda tersebut (satu dari
dunia timur dan sangat islami, dan yang satunya adalah salah satu aliran filsafat barat). Oleh karena
itu, tidaklah berlebihan jika penulis tertarik untuk mendiskripsikan dan mengkaji lebih jauh pemikiran
mereka, terutama pandangannya tentang pembelajaran. Karena bagi penulis pandangan tersebut
sangat membantu dalam menghadapi berbagai problem realitas sosial.

Konsep dan Pola Pikir Muhammad


Iqbal Tentang Pendidikan

Muhammad Iqbal senantiasa berupaya mereformasi pemikiran agama dengan menanamkan dan
membudayakan rasionalitas. Menurutnya, rasionalitas sudah menyatu dengan Islam sejak zaman
kenabian. Iqbal yang menguasai ilmu-ilmu logika lantas mengkritisi metode logika ala Yunani kuno. Al-
Qur’an menyeru kita untuk menuntut ilmu.
Sayangnya, umat Islam lalai akan seruan itu. Mohammad Iqbal meyakini bahwa tertutupnya pintu
ijtihad yang merupakan ajang pengembangan dari pemikiran Islam yang sebenarnya telah
mengakibatkan stagtansi pemikiran di tengah masyarakat Islam. Karena itu, jika pintu ijtihad yang
benar dibuka khususnya dalam kasus-kasus yang disepakati oleh umat Islam, akan terbentang jalan
bagi umat Islam menuju ke arah kemajuan.

Dalam paradigma Muhammad Iqbal sendiri tentang pendidikan Islam, beliau berpendapat
bahwa pendidikan Islam sangat modern. Muhammad Iqbal menjadikan hakikat ego atau
individualitas sebagai dasarnya dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya.
Masalah ini dibahas dalam karyanya yang ditulis dalam bahasa Persia dengan bentuk matsnawi
berjudul Asrar-i Khudi; kemudian dikembangkan dalam berbagai puisi dan dalam kumpulan
ceramah yang kemudian dibukukan dengan judul The Reconstruction of Relegious Thought in Islam
(Hasyimsyah:
185). Menurut Iqbal, khudi, arti harfiahnya ego atau self atau individualitas, merupakan suatu kesatuan
yang riil atau nyata, adalah pusat dan landasan dari semua kehidupan, merupakan suatu iradah kreatif
yang terarah secara rasional. Arti terarah secara rasional, menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu
arus tak terbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, suatu kegiatan sintesis
yang melingkupi serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan yang bercerai-berai dari organisme
yang hidup ke arah suatu tujuan konstruktif. Iqbal menerangkan bahwa khudi merupakan pusat dan
landasan dari keseluruhan kehidupan. Hal ini tercantum pada beberapa matsnawinya dalam Asrar-
i Khudi. Untuk memperkuat ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan ketertarikan, sedangkan yang
memperlemahnya adalah ketergantungan pada yang lain. Untuk mencapai kesempurnaan ego maka
setiap
individu mesti menjalani tiga tahap. Pertama,
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 9
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

setiap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk kepada kodrat makhluk dan hukum-
hukum ilahiah. Kedua, belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinya melalui
rasa takut dan cinta kepada Tuhan seraya tidak bergantung pada dunia. Ketiga, menyelesaikan
perkembangan dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual (Insan Kamil).

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa esensi pendidikan Islam menurut
Muhammad Iqbal adalah sebagai pengupayaan perubahan ke arah yang lebih baik, yang mengarah
pada pengembangan, menurut tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, meniscayakan pendidikan
berorientasi pada masa depan masyarakat, bukan masa sekarang, dan atau hanya sekedar pelestarian
nilai-nilai semata. Masyarakat sebenarnya tidak bisa dipandang sebagai sebuah sistem yang kaku. Hal
ini dikarnakan didalamnya terdapat jaringan-jaringan yang saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya yang bermuara pada sebuah peristiwa yang bergerak kearah perubahan-perubahan.

Dalam konteks pendidikan, gerakan perubahan suatu masyarakat dan sosial lebih diarahkan pada
uapaya bagaimana penyelenggaraan pendidikan diorientasikan untuk menjawab ragam persoalan dan
kebutuhan masyarakat dalam gerak bangun kemajuan diberbagai sektor kehidupan (Muhmida Yeli:
355). Pendidikan mestinya harus diselenggarakan atas dasar prinsip- prinsip epietemologi yang bener-
benar merupakan refleksi nyata atas model gerak manusia dalam mengatur diri dan kediriannya agar
dapat benar-benar berfungsi dan difungsikan sebagai penggerak potensi perubahan dan kemajuan
diberbagi sektor. Dalam konteks dunia pendidikan, pendidikan persekolahan merupakan wadah
strategis dalam mempercepat lahirnya perbaikan- perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan
ditengah-tengah masyarakat, baik dalam
konteks pengembangan individu-individu
yang bergabung dalam suatu tatanan masyarakat, maupun dalam konteks kolektifitas dan kelembagaan
yang meniscayakan munculnya masyarakat baru yang lebih arif dan tanggap untuk berbuat sesuatu
yang mengarah pada perbaikan- perbaikan taraf hidup di berbagai lini. Namun dibalik itu semua,
sistem pendidikan mestinya tidak memenjarakan kebebasan dan kreatifitas para pemburu ilmu
pengetahuan.

Dari penjelasan tersebut jelas antara kaum Rekonstruksionisme dengan Muhammad Iqbal jelas
mempunya perhatian yang sama terhadap pendidikan. Hanya saja kaum rekonstruksionisme lebih
banyak mengkritik dan memberikan ide-ide terhadap dunia pendidikan secara umum. Sedangkan
Muhammad Iqbal sangat mengharapkan perubahan dan merekonstruksi pendidikan islam yang sudah
sangat mengkhawatirkan. Melalui filsafat ego nya Muhammad Iqbal mencoba memberikan
pandangan-pandangan dan kritik yang membangun terhadap dunia pendidikan. Bila diarahkan pada
konteks sekarang ini, dimana pendidikan islam jelas- jelas sudah berada dalam masa yang sangat kritis
dan mengkhawatirkan. Dan situasi ini jelas-jelas sangat membutuhkan rekonstruksi terhadap sistem
pendidikan islam. Dan pada akhirnya yang harus bertanggung jawab dalam rekontruksi ini bukan
hanya Muhammad Iqbal, namun kita semua. Yaitu para pendidik, orang tua, masyarakat, dan semua
sistem yang ada harus diperbaiki.

Kesimpulan
Dalam pengertian Rekontruksionisme, belajar adalah suatu proses pembentukan pengetahuan.
Pembentukan ini harus dibuat sendiri oleh pelajar atau orang yang mau mengerti. Orang itulah yang
aktif berpikir, membuat konsep, dan mengambil makna. Guru atau pendidik di sini hanyalah
membantu agar proses rekonstruksi itu berjalan. Guru bukan mentransfer
pengetahuan sebagai yang sudah tahu, tetapi

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 10


VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

membantu agar anak didik membentuk pengetahuannya. Dalam belajar sistem ini, peran murid
diutamakan dan keaktivan murid untuk membentuk pengetahuan dinomorsatukan. Semua peralatan,
bahan, lingkungan, dan fasilitas disediakan untuk membantu pembentukan itu. Murid diberi
kesempatan mengungkapkan pemikirannya akan suatu masalah, tanpa dihambat. Dengan dibiasakan
berpikir sendiri dan mempertanggungjawabkan pemikirannya, murid akan terlatih untuk menjadi
pribadi yang sungguh mengerti, yang kritis, kreatif, dan rational.
Dalam pengertian Rekontruksionisme,
murid tidak dianggap sebagai suatu tabula rasa yang kosong, yang tidak mengerti apa-apa sebelumnya.
Murid dipahami sebagai subyek yang sudah membawa "pengertian awal" akan sesuatu sebelum mereka
mulai belajar secara formal. Hal ini dikuatkan oleh pemikiran Muhammad Iqbal yang berpendapat
bahwa untuk membangun humanitas manusia diperlukan penataan sistem pendidikan yang bermuara
pada pengembangan potensi diri dan akal manusia dalam memandang realitas, tidak saja yang bersifat
rasional-idealis seperti yang ditawarkan plato, tetapi juga sesuatu yang bersifat indrawi. Untuk itu,
pendidikan terbaik yang sesuai dengan watak manusia tentulah suatu pendidikan yang
mengaksentuasikan aktifitasnya pada pemberian pengetahuan kepada subjek didik melalui metode
problem solving, yaitu suatu cara yang efektif untuk melatih berpikir kreatif, kritis dan inovatif.
Dengan cara ini menurutnya dapat membentuk cakrawala berpikir subjek didik sedemikian rupa
sehingga menjadi manusia-manusia yang tanggap akan berbagai problematika kehidupannya dalam
masyarakat. Pengembangan manusia menurut Muhammad Iqbal mesti dengan memperhitungkan
kondisi-kondisi fisik yang merupakan prasyarat bagi kegiatan yang dilakukannya dengan penuh
kesadaran. Ia juga
menganjurkan agar memanfaatkan sumber-
sumber material guna pencapaian berbagai tujuan spiritual yang paling tinggi.
Muhammad Iqbal mengkritik konsep mekanisme di dalam kehidupan. Menurutnya dengan
mengikuti pendapat J.S. Haldane, perbedaan antara sebuah mesin dengan sebuah organisme hidup
adalah bahwa yang terakhir ini bersifat memelihara dan memproduksi diri sendiri. Iqbal memperkuat
konsepnya dengan pernyataan corak pendidikan sangat tergantung pada cara pandang seseorang atau
sekelompok orang tentang watak sejarah yang dapat melahirkan perkembangan dan kemajuan individu
dan masyarakat kearah kesempurnaan.

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 11


VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Daftar Pustaka

Abdul Munir Mulkhan, 2002., Nalar Spritual Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Abdurrahman Saleh, 1973., Didaktik
Pendidikan Agama, Jakarta: Bulan
Bintang.
Abdul Hadi, WM, “Sajak-sajak Iqbal dan Renaisance Asia” dalam Republika Online, edisi 14 Februari
1999.
Abdul Wahhab ‘Azzam, Filsafat dan Puisi
Iqbal, (Bandung: Pustaka, 1985).
Abu Hasan al-Nadwi, 1987., Pendidikan Islam Yang Mandiri, (trj) Oleh Afif Muhammad), Bandung :
Dunia Ilmu.
AD. Marimba, 1989., Pengantar Filasafat
Pendidikan Islam, Bandung: Ma’arif. Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1995., Membumikan
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Alex Lanur Ofm, 1993., Logika ; Selayang
Pandang, Yogyakarta: Kanisis.
Amin Abdullah, 2003., “Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan
Agama ; dari Paradigma Positivistik-Sekularistik kea rah Teoantroposentrik-Integralistik”
dalam Amin Abdullah, dkk. Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum : Upaya
Mempertemukan Epistimologi Islam dan Umum, Yogyakarta : Suka Press.
Anton Meliono, dkk, 1988., Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka).
Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair,
1994., Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius.
Aoer Cyprianus, 2005., Masa Depan Pendidikan Nasional; Catatan Seorang Wartawan Pendidikan
Sejak
1994, Jakarta: Center for Poverty
Studies.,
Bambang Q. Anees., 2004., Kamu Nggak Bego
Kok!, Bandung: Mizan.
Danusiri, 1996., Epistemologi Dalam Tasawuf
Iqbal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan Nasional, 2002., Kurikulum Berbasis Kompetensi; Mata Pelajaran PAI,
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.
Djohan Efendi dan Abdul Hadi WM (ed), Iqbal
Pemikir Sosial dan Sajak-sajaknya,
(Jakarta: Panjta Simpati, 1986).
E. Sumaryono, 1999., Hermeunetik; Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Filsafat Kanisius.
Fazlur Rahman, 1994., Islamic Metodology in
History, New Delhi : Adam Publishere and Distributors.
Fazlur Rahman, 1985., Islam dan Tantangan
Modernitas; Tentang Transformasi
Intelektual, Bandung: Pustaka.
H. A. R. Gibb, 1992., Aliran-Aliran Modern
Dalam Islam, Bandung: Mizan.
Imam Hanafi, “Paradigma Pembelajaran Rekonstruksionisme”, dalam Jurnal al- Fikra, PPs UIN
Suska Riau, Vol. ….
Ibn ‘Arabi., tth., The Bezel of Wisdom, New
York: Paulist Press.
K. G. Saiyidain, 1981., Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, (alih bahasa oleh: M. I.
Soelaeman), Bandung: CV. Diponegoro.
M. Sommers., Logika, Bandung : Penerbit
Alumni.
Mahfud Sholihudin, 1986., Pengantar Psikologi Umum, Surabaya: Sinar Wijaya.
Muqawwim, “Pendidikan Islam Perspektif Critical Padagogy” dalam Hermenia, Jurnal Kajian
Islam, Vol. 4. no. 1
Januari – juni 2005.
Muhmida Yeli, 2005., Filsafat Pendidikan
Islam, Pekanbaru: LSFK2P.
Muhammad Kamal Hasan, 1989., “Beberapa Dimensi Pendidikan Islam di Asia Tenggara” dalam
Taufiq Abdullah dan Shiddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta:
LP3ES.
Muhammad Iqbal, 1981., Reconstruction of Relegion Though of Iqbal in Islam, New Delhi: Kitab
Bhavan.
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 12
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Ninian Smart, 1999., History of Mysticism; Encyclopedia of Philoshophy, New York: Collier MacMillan
Publisher.
Purwantoro, dkk, 1991., Seluk Beluk Filsafat
Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pedesaan
dan Kawasan UGM dengan Depag RI. Prilaku Kekerasan Kolektif; Kondisi dan Pemicu,
Yogyakarta, 1997.
Qomar Mujamil, 2005., Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,
Jakarta: Erlangga.
Radja Mudyaharjo, 2002., Pengantar
Pendidikan: Sebuah Awal Tentang
Dasar-dasar Pendidikan Pada
Umumnya dan Pendidikan di
Shahid Hussain, “Iqbal’s Concep of Personal Identity” dalam M. Ma’ruf (ed), Contribution to Iqbal’s
Thought, (Lahore: Islamic Book Serviece, 1997).
T. Indratno A. Ferry T, 2005., Manusia Pasca- Indonesia & Manusia Pasca Einstein, Yogyakarta:
Dinamika Edukasi Dasar.
Toto Suharto., 2005., “rekonstruksi Pemikiran Pendidikan Islam; Telaah Pemikiran Muhammad Iqbal”
dalam Hermeneia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 4, No. 2 Juli- Desember 2005.
W. Poespoprojdo, 1987., Logika Scientifika,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
WJS. Purwadarminta, 1976., Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Balai
Pustaka.
Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo
., 1985., Pesan dari Timur,
Persada.
Salahudin al-Nadwi, 1995., Muhammad Iqbal wa Qadaya al-Tajdid, dalam Studi Islamika, Vol. II, No.
1, Tahun 1995.
Syed Abdul Vahid, 1976., Studies in Iqbal,
Lahore: Muhammad Asyraf.
Bandung: Pustaka.
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 13

Anda mungkin juga menyukai