DAN KOMUNIKASI
“Materi Dakwah dalam Al-Qur’an”
DOSEN PENGAMPU
Hj. Nur Hidayati, M.Pd.I
Disusun Oleh :
Kelompok 8 ( Delapan )
Jaenal ( 20.01.0004 )
Indra Sutandri ( 20.01.0015 )
PROGRAM STUDI
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) UISU
PEMATANGSIANTAR
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Puji serta syukur tidak lupa senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas
Nikmat dan Karunia-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul
“Materi dakwah dalam Al-Qur’an” ini. Sholawat beserta Salam kita haturkan kepada
junjungan agung Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi Wa Sallam yang telah
memberikan pedoman kepada kita jalan yang sebenar-benarnya jalan berupa ajaran
agama islam yang begitu sempurna dan menjadi rahmat bagi alam semesta. Semoga kita
termasuk orang-orang yang mendapat syafaat beliau di akhir kelak.
Kelompok 8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...……………………………………........................
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Artinya : “Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu
melainkan kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang
hak) melainkan aku”. (Q.S Al-Anbiya’ : 25)
Tauhid itu merupakan kaidah dasar dari kaidah, sejak Allah mengutus
para rasul kepada manusia. Tidak ada perubahan dan pergantian dalam perkara
itu, yaitu pengesaan Tuhan yang mengatur dan Tuhan yang disembah.
1
Jadi, tidak terpisah antara keyakinan rububiyah dan uluhiah. Maka, tidak ada
tempat sedikitpun untuk melakukan syirik dalam perkara uluhiah dan perkara
ibadah.
Itu merupakan kaidah yang tetap dan konsisten sebagaimana kokoh dan
konsistennya sistem alam semesta yang berhubungan dengan sistem akidah ini.
Bahkan, sistem akidah merupakan bagian dari sistem alam semesta.
Allah telah berfirman bahwasanya setiap rasul akan selalu memulai
dalam setiap dakwahnya dengan ajaran Ketauhidan. Dan mereka senantiasa
berkata kepada kaumnya: “sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan bagimu
selain-Nya”.
Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan bahwa Sesungguhnya seluruh rasul
diutus dengan membawa kemurnian ibadah dan tauhid. Allah tidak menerima
selai-Nya dari mereka. Selain itu, dalam tafsir Jalalain dijelaskan pula Lafal
Nuuhii dibaca yuuhaa, sehingga “bahwasanya tidak ada tuhan selain Aku, maka
sembahlah Aku olehmu sekalian”, mengandung makna tauhidkanlah atau
Esakanlah Aku.
Dengan demikian, dari kepercayaan terhadap adanya keesaan Tuhan atau
tauhid memiliki konsekuensi yang logis, yaitu pemusatan sikap pasrah secara
totalitas hanya kepada Allah. Dan inilah al-Islam yang menjadi esensi semua
agama yang benar. Sedang arti al-Islam (bahasa Arab) mengandung pengertian
perkataan al-islam dan al-inqiyad serta al-ikhlas (sikap berserah diri, tunduk dan
patuh dan tulus). Maka dalam Islam harus ada sikap berserah diri kepada Allah
Yang Maha Esa, bukan kepada yang lain. Dan inilah hakekat ucapan laa ilaaha
ilaa Allah, sehinga jika seseorang berserah diri kepada Allah dan juga kepada
yang lain, dia adalah musyrik. Sikap semacam itu wajib diwujudkan dalam
perilaku tidak beribadah kepada siapa atau apapun selain kepada Allah.
2
yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?”
Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat)
dipalingkan (dari jalan yang benar).
Sekalipun kepercayaan yang mereka anut telah jauh menyimpang dari agama
tauhid, namun mereka masih tetap mengakui bahwa mereka menganut agama
Ibrahim. Kalau ditanyakan kepada mereka tentang siapakah yang menciptakan
langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan, mereka menjawab,
"Yang menciptakan ialah Allah dan Allah-lah yang menguasainya."
3
Tafsir Jalalain: ( َولَئِنDan sesungguhnya jika) huruf lam menunjukkan
makna qasam سأ َ ْلت َ ُهم
َ (kamu tanyakan kepada mereka) yakni kepada orang-orang
kafir: ََّللاُ فَأَنَّى ُي ْؤفَكُون
َّ َّس َوا ْلقَ َم َر لَ َيقُولُن َّ س َّخ َر ال
َ ش ْم َ ت َو ْاْل َ ْر
َ ض َو ِ اوا
َ س َم َ َ“( َّم ْن َخلSiapakah
َّ ق ال
yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?”
Tentu mereka akan menjawab, “Allah,” maka betapakah mereka dapat
dipalingkan dari jalan yang benar?) Maksudnya dipalingkan dari mentauhidkan
Allah, padahal sebelumnya mereka telah mengakui hal tersebut.
3. Al-Qalam (68): 4
4
dalam kehidupan kita yaitu Rasulullah saw. Di sisi lain, juga mengesankan
bahwa Nabi Muhammad saw. menjadi mitra dialog ayat-ayat di atas berada di
atas tingkat budi pekerti yang luhur, tidak hanya berbudi pekerti luhur saja. Dan
memang Allah swt akan menegur Rasul saw. apabila hanya bersikap yang baik
dan telah biasa dilakukan oleh orang-orang yang dinilai sebagai berakhlak
mulia. Artinya, akhlak Rasulullah saw. harus lebih tinggi dari kebaikan-kebaikan
akhlak yang dilakukan oleh orang pada umumnya.
Arti pernyataan Aisyah r.a. bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah al-
Qur’an ialah Rasul saw. telah menjadikan perintah dan larangan al-Qur’an
sebagai karakter pribadinya. Tatkala al-Quran memerintahkan sesuatu maka
beliau akan menunaikannya, dan sebaliknya. Menurut Sayyid Qutub
sebagaimana dikutip oleh Quraish adalah kemampuan beliau menerima pujian
dari Allah swt tidak menjadikannya pribadi yang angkuh dan jumawa, justru
semakin rendah hati, lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap sesama.
Beliau menerima pujian itu dengan penuh ketenangan dan keseimbangan.
Akhlak mulai seperti di ataslah yang kita perlukan saat ini dalam
menciptakan keharmonisan dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat. Dari
ayat di atas, juga menjelaskan secara langsung tentang akhlak Rasul saw. Ibn
Katsir menyatakan bahwa akhlak Rasulullah saw adalah refleksi dari al-Qur’an.
Di antara akhlak yang dapat diteladani dari Rasulullah saw. adalah menjaga
amanah, dapat dipercaya, cakap bersosialisasi dan berkomunikasi dengan
sesama, memuliakan tamu, tidak angkuh dan sombong, rasa peduli terhadap
sesama, serta bermusyawarah dalam segala hal demi kepentingan bersama, dan
5
sebagainya. Hendaknya kita sebagai umat Islam meneladani akhlak Rasulullah
saw. dan menjadikan-Nya sebagai figur publik, minimal dimulai dari diri
sendiri (ibda’ binafsik). Wallahu A’lam. Dengan pelbagai keindahan budi
pekertinya, Nabi SAW mendorong kita berbuat baik, saling memaafkan, dan
mencintai orang lain. Semua kebaikan itu bermuara pada sebuah konsep hakiki
nasihat Nabi yang paling utama, yaitu akhlak mulia.
Artinya; “(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang
terdahulu”
"Agama kami ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu. Apa
yang dilakukan nenek moyang kami, itulah yang kami ikuti." Inilah bentuk
taklid buta dalam hal keyakinan agama yang sangat dibenci oleh Allah.
6
seorang rasul yang diutus Allah. Andaikata ia bukan seorang rasul, dia tidak
akan berani melakukan tantangan yang demikian terhadap kaumnya yang lebih
kuat tubuhnya dan lebih kejam sifatnya.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dalam Q.S Al-Kalam ayat 4 Nabi SAW mendorong kita berbuat baik,
saling memaafkan, dan mencintai orang lain. Semua kebaikan itu bermuara pada
sebuah konsep hakiki nasihat Nabi yang paling utama, yaitu akhlak mulia.
Dalam Q.S Asy-Syu’ara ayat 137 menjelaskan tentang kebiasaan orang-orang
terdahulu.
3.2 SARAN
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan karena menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu, penulis
sangat berharap dukungan serta sumbangsih pikiran baik berupa kritik maupun
saran yang membangun.
DAFTAR PUSTAKA
https://quranhadits.com/quran/26-asy-syu-ara/asy-syuara-ayat-137/
https://kalam.sindonews.com/ayat/61/29/al-ankabut-ayat-61
https://republika.co.id/berita/qdtvya320/tafsir-surat-al-qalam-ayat-4-menurut-imam-al-
mawardi
https://kalam.sindonews.com/ayat/4/68/al-qalam-ayat-4