Anda di halaman 1dari 13

TAFSIR TEMATIK DAKWAH

DAN KOMUNIKASI
“Materi Dakwah dalam Al-Qur’an”

DOSEN PENGAMPU
Hj. Nur Hidayati, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Kelompok 8 ( Delapan )

Jaenal ( 20.01.0004 )
Indra Sutandri ( 20.01.0015 )

PROGRAM STUDI
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) UISU
PEMATANGSIANTAR
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Puji serta syukur tidak lupa senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas
Nikmat dan Karunia-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul
“Materi dakwah dalam Al-Qur’an” ini. Sholawat beserta Salam kita haturkan kepada
junjungan agung Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi Wa Sallam yang telah
memberikan pedoman kepada kita jalan yang sebenar-benarnya jalan berupa ajaran
agama islam yang begitu sempurna dan menjadi rahmat bagi alam semesta. Semoga kita
termasuk orang-orang yang mendapat syafaat beliau di akhir kelak.

Sebelumnya penulis sampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya


kepada Ibu Saminah,M.TH selaku dosen mata kuliah Tafsir Tematik Dakwah dan
Komunikasi yang telah memberikan arahan dan bimbingannya.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya selalu.


Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis
pada khususnya maupun bagi yang memerlukan.

Pematangsiantar, 27 September 2021

Kelompok 8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...……………………………………........................

DAFTAR ISI ....…………………………………………….........................

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………......................i


1.2 Rumusan Masalah ....................................................................i
1.3 Tujuan Pembahasan .................................................................i

BAB II PEMBAHASAN

AYAT AYAT TENTANG MATERI DAKWAH

2.1 Al-Anbiya’ (21): 25 ...................................................................................1

2.2 Al-Ankabut (29): 61 ..................................................................................2

2.3 Al-Qalam (68): 4 ......................................................................................4

2.4 Asy-Syu’ara’ (26): 137 .............................................................................6

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ................................................................................
3.2 Saran ..............……………………………………………........

DAFTAR PUSTAKA ....................………………………………...............


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia memang telah diberi hidayah oleh Allah berupa akal, namun ia tidak
dapat menentukan jalan hidupnya sendiri karena kemampuan akal manusia amat
terbatas. Bila manusia dibiarkan mengatur hidupnya sendiri, maka kehidupan
dimuka bumi ini akan kacau karena antara satu dan yang lain akan saling berbeda
pendapat, mau mengang sendiri, dan menyalahkan orang lain. Karena keterbatasan
kemampuan manusia ini, maka tuhan berkenan mengutusa rasul-rasul-Nya untuk
membawa risalah-Nya berupa peraturan-peraturan dan ajaran-ajaran. Peraturan dan
ajaran itu harus ditaati oleh setiap orang demi terbentuknya suatu masyarakat yang
aman dan tentram sehingga dengan peraturan dan ajaran itu manusia dapat
membentuk dan mengembangkan peradabannya.
Setiap Rasul berkewajiban menyampaikan risalahnya kepada kaum dimana ia
diutus. Khusus untuk nabi Muhammad, ia harus menyampaikan risalah kepada
seluruh umat manusia, karena ia tidak hanya diutus untuk kaumnya, tetapi untuk
seluruh manusia. Tidak masalah bila ternyata kaumnya itu menolak, kewajiban para
rasul hanyalah menyampaikan risalah Allah. Hal itu pula yang ditegaskan oleh
Allah kepada Rasulullah SAW, saat beliau bersedih ketika menjumpai kaumnya
menolak risalah yang disampaikan-nya.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapaun Rumusan masalah dari Pembahasan Makalah ini adalah sebagai berikut:
Ayat-ayat tentang materi dakwah:
Al-Anbiya’ (21): 25
Al-Ankabut (29): 61
Al-Qalam (68): 4
Asy-Syu’ara’ (26): 137
C. TUJUAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui Ayat-ayat tentang materi dakwah:
Al-Anbiya’ (21): 25
Al-Ankabut (29): 61
Al-Qalam (68): 4
Asy-Syu’ara’ (26): 137
ii
BAB II
PEMBAHASAN

AYAT-AYAT TENTANG MATERI DAKWAH


1. QS. Al-Anbiya: 25
Secara etimologi, Risalah berarti surat yang dikirim atau karya tulis. Namun
menurut terminologi syaria’at, risalah adalah ajaran-ajaran Allah SWT yang
disampaikaNya melalui perantara seseorang atau beberapa orang rasul untuk
mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT,
sesamanya, dan makhluk lingkungannya.
Persamaan prinsip ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul itu, yang
menjadi inti ajarannya, yaitu ajaran tauhid, tauhid (Pengesaan Allah) merupakan
dasar ajaran agama, yang mana Allah tidak menerima ajaran-ajaran agama
golongan umat terdahulu sampai sekarang yang tidak disertai dengan dasar
tauhid. Oleh karena itu, Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab
suci.
Tauhid merupakan Suatu kepercayaan terhadap adanya keesaan Tuhan.
Semua Nabi dan Rasul sejak Nabi Adam as, sampai Nabi Muhammad saw
menyeru kepada manusia untuk meyakini atau mempercayai kepada keesaan
Tuhan, dan menyeru tentang keharusan manusia untuk tunduk hanya kepada-
Nya saja, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Anbiya’ ayat 25 yang artinya :

Artinya : “Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu
melainkan kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang
hak) melainkan aku”. (Q.S Al-Anbiya’ : 25)
Tauhid itu merupakan kaidah dasar dari kaidah, sejak Allah mengutus
para rasul kepada manusia. Tidak ada perubahan dan pergantian dalam perkara
itu, yaitu pengesaan Tuhan yang mengatur dan Tuhan yang disembah.

1
Jadi, tidak terpisah antara keyakinan rububiyah dan uluhiah. Maka, tidak ada
tempat sedikitpun untuk melakukan syirik dalam perkara uluhiah dan perkara
ibadah.
Itu merupakan kaidah yang tetap dan konsisten sebagaimana kokoh dan
konsistennya sistem alam semesta yang berhubungan dengan sistem akidah ini.
Bahkan, sistem akidah merupakan bagian dari sistem alam semesta.
Allah telah berfirman bahwasanya setiap rasul akan selalu memulai
dalam setiap dakwahnya dengan ajaran Ketauhidan. Dan mereka senantiasa
berkata kepada kaumnya: “sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan bagimu
selain-Nya”.
Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan bahwa Sesungguhnya seluruh rasul
diutus dengan membawa kemurnian ibadah dan tauhid. Allah tidak menerima
selai-Nya dari mereka. Selain itu, dalam tafsir Jalalain dijelaskan pula Lafal
Nuuhii dibaca yuuhaa, sehingga “bahwasanya tidak ada tuhan selain Aku, maka
sembahlah Aku olehmu sekalian”, mengandung makna tauhidkanlah atau
Esakanlah Aku.
Dengan demikian, dari kepercayaan terhadap adanya keesaan Tuhan atau
tauhid memiliki konsekuensi yang logis, yaitu pemusatan sikap pasrah secara
totalitas hanya kepada Allah. Dan inilah al-Islam yang menjadi esensi semua
agama yang benar. Sedang arti al-Islam (bahasa Arab) mengandung pengertian
perkataan al-islam dan al-inqiyad serta al-ikhlas (sikap berserah diri, tunduk dan
patuh dan tulus). Maka dalam Islam harus ada sikap berserah diri kepada Allah
Yang Maha Esa, bukan kepada yang lain. Dan inilah hakekat ucapan laa ilaaha
ilaa Allah, sehinga jika seseorang berserah diri kepada Allah dan juga kepada
yang lain, dia adalah musyrik. Sikap semacam itu wajib diwujudkan dalam
perilaku tidak beribadah kepada siapa atau apapun selain kepada Allah.

2. Q.S Al-Ankabut Ayat 61

‫س َوا ْلقَ َم َر‬ َّ ‫س َّخ َر ال‬


َ ‫ش ْم‬ َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
َ ‫ض َو‬ ِ ‫اوا‬
َ ‫س َم‬ َ َ‫سأ َ ْلت َ ُهم َّم ْن َخل‬
َّ ‫ق ال‬ َ ‫َولَئِن‬
َ ‫َّللاُ فَأَنَّى يُ ْؤفَك‬
‫ُون‬ َّ ‫لَ َيقُولُ َّن‬
Artinya:”Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah

2
yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?”
Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat)
dipalingkan (dari jalan yang benar).

Usai menjelaskan janji dan ancaman-Nya, Allah kemudian beralih


menegaskan bahwa seandainya orang kafir mau menggunakan akal budinya,
pasti mereka akan mengakui eksistensi dan keesaan Allah. Dan sungguh, jika
engkau bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi
dan menundukkan matahari dan bulan supaya selalu berada di garis edarnya dan
tidak saling mendahului?” Pasti mereka akan menjawab, ”Allah.” Maka
mengapa mereka bisa dipalingkan dari kebenaran, padahal bukti-bukti tentang
wujud keesaan Allah sedemikian jelas?

Ayat ini menerangkan bahwa kaum musyrik mengakui bahwa yang


menciptakan langit dan bumi itu adalah Allah Yang Maha Esa. Dialah yang
menundukkan matahari dan bulan untuk kepentingan manusia. Pengakuan
mereka itu adalah suatu hal yang wajar karena pada mulanya nenek moyang
mereka beragama tauhid, yaitu, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Pada mulanya
mereka bangga dengan agama tauhid itu, sehingga mereka tidak tertarik dengan
agama Yahudi dan Nasrani yang berkembang di Jazirah Arab. Seiring dengan
berlalunya masa dan bergantinya generasi, tanpa mereka sadari agama tauhid
yang murni itu sedikit demi sedikit telah dimasuki oleh unsur-unsur syirik.
Karena memperturutkan perasaan dan hawa nafsu, mereka makin lama makin
jauh menyimpang dari dasar semula. Akhirnya, mereka menyembah patung, jin,
dan benda-benda lain di samping menyembah Allah.

Sekalipun kepercayaan yang mereka anut telah jauh menyimpang dari agama
tauhid, namun mereka masih tetap mengakui bahwa mereka menganut agama
Ibrahim. Kalau ditanyakan kepada mereka tentang siapakah yang menciptakan
langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan, mereka menjawab,
"Yang menciptakan ialah Allah dan Allah-lah yang menguasainya."

3
Tafsir Jalalain: ‫( َولَئِن‬Dan sesungguhnya jika) huruf lam menunjukkan
makna qasam ‫سأ َ ْلت َ ُهم‬
َ (kamu tanyakan kepada mereka) yakni kepada orang-orang
kafir: َ‫َّللاُ فَأَنَّى ُي ْؤفَكُون‬
َّ َّ‫س َوا ْلقَ َم َر لَ َيقُولُن‬ َّ ‫س َّخ َر ال‬
َ ‫ش ْم‬ َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
َ ‫ض َو‬ ِ ‫اوا‬
َ ‫س َم‬ َ َ‫“( َّم ْن َخل‬Siapakah
َّ ‫ق ال‬
yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?”
Tentu mereka akan menjawab, “Allah,” maka betapakah mereka dapat
dipalingkan dari jalan yang benar?) Maksudnya dipalingkan dari mentauhidkan
Allah, padahal sebelumnya mereka telah mengakui hal tersebut.

Tafsir Quraish Shihab: Aku bersumpah bahwa jika orang-orang


musyrik itu kamu tanya tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan untuk kepentingan manusia, mereka pasti
akan menjawab bahwa semua itu diciptakan oleh Allah. Mereka tidak akan
menyebut nama selain Allah. Kalau begitu, mengapa mereka menolak ajaran
pengesaan Allah swt., padahal mereka sudah menyatakan itu semua?

3. Al-Qalam (68): 4

‫ع ِظ ٍيم‬ ٍ ُ‫َو ِإنَّ َك لَ َعلَى ُخل‬


َ ‫ق‬
Artinya: “Dan sesungguhnya Engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur”

Momentum kelahiran memang tak luput dari kegembiraan, kesenangan,


bahkan tangisan. Harus juga dimengerti bahwa kelahiran Nabi Muhammad
SAW merupakan hadiah terbesar dari Allah SWT ke dunia, yang diperuntukkan
bagi manusia sebagai contoh yang baik dalam segala tindakan (uswah hasanah)
Laiknya sebuah sandiwara kehidupan yang disutradarai dengan indah oleh Sang
Mahapencipta, Allah SWT, Nabi Muhammad SAW menempati posisi sebagai
pemeran utama, yang menjadi tongkat dan aktor penentu arah kehidupan. Begitu
pula manusia yang menjadi aktor pengganti yang meneruskan sejarah
perjuangan Nabi akhir zaman.
Akhlak adalah buah dari hasil pelaksanaan Iman dan Islam. Jika iman
dan Islamnya sempurna maka kesempurnaan akhlak akan diraih. Allah swt telah
menggambarkan role model atau sosok figur publik yang dapat dijadikan teladan

4
dalam kehidupan kita yaitu Rasulullah saw. Di sisi lain, juga mengesankan
bahwa Nabi Muhammad saw. menjadi mitra dialog ayat-ayat di atas berada di
atas tingkat budi pekerti yang luhur, tidak hanya berbudi pekerti luhur saja. Dan
memang Allah swt akan menegur Rasul saw. apabila hanya bersikap yang baik
dan telah biasa dilakukan oleh orang-orang yang dinilai sebagai berakhlak
mulia. Artinya, akhlak Rasulullah saw. harus lebih tinggi dari kebaikan-kebaikan
akhlak yang dilakukan oleh orang pada umumnya.

Dalam riwayat yang lain, Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari


Ma’mar, dari Qatadah, dari Zurarah ibnu Aufa, dari Sa’d ibnu Hisyam yang
mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Aisyah, “Wahai Ummul
Mu’minin, ceritakanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah?” Aisyah balik
bertanya, “Bukankah kamu telah membaca Al-Qur’an?” Aku menjawab, “Ya.”
Maka ia berkata: Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.

Arti pernyataan Aisyah r.a. bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah al-
Qur’an ialah Rasul saw. telah menjadikan perintah dan larangan al-Qur’an
sebagai karakter pribadinya. Tatkala al-Quran memerintahkan sesuatu maka
beliau akan menunaikannya, dan sebaliknya. Menurut Sayyid Qutub
sebagaimana dikutip oleh Quraish adalah kemampuan beliau menerima pujian
dari Allah swt tidak menjadikannya pribadi yang angkuh dan jumawa, justru
semakin rendah hati, lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap sesama.
Beliau menerima pujian itu dengan penuh ketenangan dan keseimbangan.

Meneladani Akhlak Rasulullah saw.

Akhlak mulai seperti di ataslah yang kita perlukan saat ini dalam
menciptakan keharmonisan dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat. Dari
ayat di atas, juga menjelaskan secara langsung tentang akhlak Rasul saw. Ibn
Katsir menyatakan bahwa akhlak Rasulullah saw adalah refleksi dari al-Qur’an.
Di antara akhlak yang dapat diteladani dari Rasulullah saw. adalah menjaga
amanah, dapat dipercaya, cakap bersosialisasi dan berkomunikasi dengan
sesama, memuliakan tamu, tidak angkuh dan sombong, rasa peduli terhadap
sesama, serta bermusyawarah dalam segala hal demi kepentingan bersama, dan

5
sebagainya. Hendaknya kita sebagai umat Islam meneladani akhlak Rasulullah
saw. dan menjadikan-Nya sebagai figur publik, minimal dimulai dari diri
sendiri (ibda’ binafsik). Wallahu A’lam. Dengan pelbagai keindahan budi
pekertinya, Nabi SAW mendorong kita berbuat baik, saling memaafkan, dan
mencintai orang lain. Semua kebaikan itu bermuara pada sebuah konsep hakiki
nasihat Nabi yang paling utama, yaitu akhlak mulia.

3. Asy-Syu’ara’ (26): 137

َ‫ا ِۡن ٰهذَ ۤا ا اَِّل ُخلُ ُق ۡاَّلَ او ِل ۡين‬

Artinya; “(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang
terdahulu”

"Agama kami ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu. Apa
yang dilakukan nenek moyang kami, itulah yang kami ikuti." Inilah bentuk
taklid buta dalam hal keyakinan agama yang sangat dibenci oleh Allah.

Selanjutnya mereka mengatakan bahwa agama yang mereka anut adalah


agama nenek moyang yang telah diwariskan kepada mereka. Mereka yakin tidak
akan diazab karena mengikuti agama nenek moyang itu.
Pada ayat yang lain diterangkan bahwa Hud menantang kaumnya yang semakin
ingkar itu dengan menyeru mereka agar melakukan usaha untuk membunuhnya
dilakukan bersama-sama. Hud juga menyuruh mereka untuk mengikutkan dewa-
dewa yang mereka sembah, seandainya mereka benar-benar percaya akan
kemampuan dewa-dewa itu melakukan sesuatu yang mereka inginkan. Seakan-
akan Hud berkata kepada mereka, "Bersatulah kamu sekalian dengan dewa-
dewa yang kamu sembah itu untuk membunuhku, dan laksanakanlah
pembunuhan itu sekarang juga, jangan ditangguhkan lagi. Aku tidak takut
sedikit pun dibunuh karena aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan
Tuhanmu yang sebenarnya. Makhluk apa pun yang ada di bumi ini selalu dijaga,
dipelihara, dan dikuasai oleh Allah dan perkataan-Nya selalu benar dan lurus."
Tantangan yang dikemukakan Hud kepada kaumnya adalah bukti bahwa dia

6
seorang rasul yang diutus Allah. Andaikata ia bukan seorang rasul, dia tidak
akan berani melakukan tantangan yang demikian terhadap kaumnya yang lebih
kuat tubuhnya dan lebih kejam sifatnya.

Tafsir Ibnu Katsir


Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir
Adapun firman Allah Swt.:
(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu. (Asy-
Syu'ara': 137)

Sebagian ulama ada yang membacanya khalqu, bukan khuluqu.


Ibnu Mas'ud telah mengatakan, dan juga Al-Aufi dan Ibnu Abbas, serta
Alqamah dan Mujahid, bahwa mereka bermaksud "tiada lain apa yang kamu
sampaikan kepada kami hanyalah kebiasaan orang dahulu," seperti yang
dikatakan oleh orang-orang musyrik dari kaum Quraisy Ali ibnu AbuTalhah
telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu. (Asy-
Syu'ara': 137) Yaitu agama orang-orang dahulu.
Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, Ata Al-Khurrasani, Qatadah, dan Abdur
Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir.

7
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dalam Q.S al-Anbiya’ ayat 25 dinyatakan Tauhid merupakan Suatu


kepercayaan terhadap adanya keesaan Tuhan. Semua Nabi dan Rasul sejak Nabi
Adam as, sampai Nabi Muhammad saw menyeru kepada manusia untuk
meyakini atau mempercayai kepada keesaan Tuhan, dan menyeru tentang
keharusan manusia untuk tunduk hanya kepada-Nya saja. Dalam Q.S Al-
Ankabut ayat 61 Usai menjelaskan janji dan ancaman-Nya, Allah kemudian
beralih menegaskan bahwa seandainya orang kafir mau menggunakan akal
budinya, pasti mereka akan mengakui eksistensi dan keesaan Allah.

Dalam Q.S Al-Kalam ayat 4 Nabi SAW mendorong kita berbuat baik,
saling memaafkan, dan mencintai orang lain. Semua kebaikan itu bermuara pada
sebuah konsep hakiki nasihat Nabi yang paling utama, yaitu akhlak mulia.
Dalam Q.S Asy-Syu’ara ayat 137 menjelaskan tentang kebiasaan orang-orang
terdahulu.

3.2 SARAN
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan karena menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu, penulis
sangat berharap dukungan serta sumbangsih pikiran baik berupa kritik maupun
saran yang membangun.
DAFTAR PUSTAKA

https://quranhadits.com/quran/26-asy-syu-ara/asy-syuara-ayat-137/
https://kalam.sindonews.com/ayat/61/29/al-ankabut-ayat-61
https://republika.co.id/berita/qdtvya320/tafsir-surat-al-qalam-ayat-4-menurut-imam-al-
mawardi
https://kalam.sindonews.com/ayat/4/68/al-qalam-ayat-4

Anda mungkin juga menyukai